|
|
|
|
|
HAK DAN KEWAJIBAN KELUARGA SI SAKIT DAN TEMAN-TEMANNYA (17/25)
Dr. Yusuf Qardhawi
ORANG SAKIT YANG MATI OTAKNYA DIANGGAP MATI MENURUT SYARA'
Sekarang sampailah pembahasan kita pada kondisi tertentu bagi
sebagian orang yang sakit, yang belum meninggal dunia, tetapi
otak dan sarafnya sudah mati, tidak berfungsi, dan tidak dapat
kembali normal menurut analisis para dokter ahli. Dalam
kondisi seperti ini keluarga dan familinya harus merawatnya
dengan mempergunakan instrumen-instrumen tertentu misalnya
untuk memasukkan makanan, pernapasan, dan kontinuitas
peredaran darahnya. Kadang-kadang kondisi seperti ini dijalani
berbulan-bulan atau bertahun-tahun dengan biaya yang besar dan
harus menunggunya secara bergantian. Mereka mengira bahwa
dengan cara demikian mereka telah memelihara si sakit dan
tidak mengabaikannya. Padahal dalam kondisi seperti itu, si
sakit tidak dianggap berada di alam orang sakit, tetapi
menurut kenyataannya dia telah berada di alam orang mati,
semenjak otak atau pusat sarafnya mengalami kematian secara
total.
Karena itu meneruskan pengobatan dengan mempergunakan
instrumen-instrumen seperti tersebut di atas merupakan
perbuatan sia-sia, membuang-buang tenaga, uang, dan waktu yang
tidak keruan ujungnya, dan yang demikian ini tidak sesuai
dengan ajaran Islam.
Kalau keluarga si sakit memahami agama dengan baik dan benar
serta mengerti hakikat masalah yang sebenarnya, niscaya akan
timbul keyakinan dalam hati mereka bahwa yang lebih utama bagi
mereka dan lebih mulia bagi si mayit --yang mereka kira masih
dalam keadaan sakit-- adalah menghentikan penggunaan peralatan
tersebut. Maka ketika itu akan berhentilah aliran darahnya,
dan dengan demikian semua orang tahu bahwa dia benar-benar
sudah meninggal dunia.
Dengan begitu, keluarga si sakit dapat menghemat tenaga dan
biaya. Disamping itu, tempat tidur bekas si sakit dan
peralatan-peralatan tersebut --yang biasanya sangat terbatas
jumlahnya-- dapat dimanfaatkan pasien lain yang memang masih
hidup.
Apa yang saya katakan ini bukanlah pendapat saya seorang,
tetapi merupakan keputusan Lembaga Fiqih Islami al-Alami
(Internasional), sebuah lembaga milik Organisasi Konferensi
Islam, yang telah mengkaji masalah ini dengan cermat dan
serius dalam dua kali muktamar --setelah terlebih dahulu
diadakan presentasi dari para pembicara dari kalangan ahli
fiqih dan dokter-dokter ahli. Melalui berbagai pembahasan dan
diskusi --termasuk menyelidiki semua segi yang berkaitan
dengan peralatan medis tersebut dan menerima pendapat dari
para dokter ahli-- Lembaga Fiqih Islam akhirnya menghasilkan
keputusannya yang bersejarah dalam muktamar yang
diselenggarakan di kota Amman, Yordania, pada tanggal 8-13
Shafar 1407 H/11-16 Oktober 1986 M. Diktum itu berbunyi
demikian:
"Menurut syara', seseorang dianggap telah mati dan
diberlakukan atasnya semua hukum syara' yang berkenaan dengan
kematian, apabila telah nyata padanya salah satu dari dua
indikasi berikut ini:
1. Apabila denyut jantung dan pernapasannya sudah berhenti
secara total, dan para dokter telah menetapkan bahwa
keberhentian ini tidak akan pulih kembali.
2. Apabila seluruh aktivitas otaknya sudah berhenti sama
sekali, dan para dokter ahli sudah menetapkan tidak akan pulih
kembali, otaknya sudah tidak berfungsi.
Dalam kondisi seperti ini diperbolehkan melepas
instrumen-instrumen yang dipasang pada seseorang (si sakit),
meskipun sebagian organnya seperti jantungnya masih berdenyut
karena kerja instrumen tersebut.
Wallahu a'lam."
Dari diktum ini dapat dihasilkan sejumlah hukum syar'iyah,
antara lain:
Pertama: boleh melepas alat-alat pengaktif (perangsang) organ
dan pernapasan dari si sakit, karena tidak berguna lagi.
Bahkan saya katakan wajib melepas atau menghentikan penggunaan
alat-alat ini, karena tetap mempergunakan alat-alat tersebut
bertentangan dengan ajaran syariah dalam beberapa hal, antara
lain:
Menunda pengurusan mayit dan penguburannya tanpa alasan
darurat, menunda pembagian harta peninggalannya, mengundurkan
masa iddah istrinya, dan lain-lain hukum yang berkaitan dengan
kematian.
Diantaranya lagi adalah menyia-nyiakan harta dan
membelanjakannya untuk sesuatu yang tidak ada gunanya,
sedangkan tindakan seperti ini terlarang.
Selain itu, diantara akibat yang ditimbulkannya lagi ialah
memberi mudarat kepada orang lain dengan menghalangi mereka
memanfaatkan alat-alat yang sedang dipergunakan orang yang
telah mati otak dan sarafnya itu. Hadits Nabawi menetapkan
sebuah kaidah qath'iyah yang berbunyi:
"Tidak boleh memberi mudarat kepada diri sendiri dan
tidak boleh memberi mudarat kepada orang lain."63
Kedua: boleh mendermakan (mendonorkan) sebagian organ tubuhnya
pada kondisi seperti ini, yang akan menjadi sedekah baginya
dan kelak ia akan memperoleh pahala, meskipun ia (si sakit)
tidak mewasiatkannya Disebutkan dalam hadits sahih bahwa
seseorang itu akan mendapatkan pahala karena buah tanamannya
yang dimakan oleh orang lain, burung, atau binatang lain, dan
yang demikian itu merupakan sedekah baginya, meskipun ia tidak
bermaksud bersedekah:
"Tiada seorang muslimpun yang menanam suatu tanaman atau
menabur benih, lantas buahva dimakan burung, manusia,
atau binatang melainkan yang demikian itu menjadi
sedekah baginya."64
Bahkan disebutkan juga dalam hadits sahih bahwa orang mukmin
mendapatkan pahala karena ditimpa kepayahan, sakit, kesusahan,
duka cita, gangguan, atau bala bencana, hingga tertusuk duri
sekalipun, semuanya dapat menghapuskan dosa-dosanya.
Maka tidaklah mengherankan bila seorang muslim mendapatkan
pahala jika ia mendermakan sebagian organ tubuh keluarganya
ketika telah mati otaknya kepada pasien lain yang memerlukan
organ tubuh tersebut untuk menyelamatkan kehidupannya, atau
untuk mengembalikan kesehatannya. Maka seorang muslim tidak
perlu meragukan betapa utamanya amal ini dan betapa besarnya
nilai dan pahalanya di sisi Allah Ta'ala.
Apabila pemberian derma (donor) ini sudah dipastikan, maka
bolehlah mengambil organ yang dibutuhkan itu sebelum peralatan
yang dipasang pada tubuhnya dilepaskan, karena jika tidak
dernikian berarti mengambil organ dari orang yang sudah mati
bila ditinjau dari segi aktivitasnya menurut keputusan di
atas. Sebab pengambilan organ setelah dilepas peralatannya
tidaklah berguna untuk dicangkokkan kepada orang lain,
dikarenakan organ itu telah kehilangan daya hidup, dan telah
menjadi organ mati.
(Bagian: 01, 02, 03, 03a, 04, 05, 06, 07, 08, 09, 10, 11, 12,
13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 21a, 22, 23, 24, 25)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |