|
|
|
|
|
HAK DAN KEWAJIBAN KELUARGA SI SAKIT DAN TEMAN-TEMANNYA (13/25)
Dr. Yusuf Qardhawi
MENYURUH SI SAKIT BERBUAT MA'RUF
DAN MENCEGAHNYA DARI YANG MUNGKAR
Sudah selayaknya bagi seorang yang menjenguk saudaranya sesama
muslim yang sakit untuk memberinya nasihat dengan jujur,
menyuruhnya berbuat ma'ruf dan mencegahnya dari kemunkaran,
karena ad-Din itu adalah nasihat, dan amar ma'ruf nahi munkar
merupakan suatu kewajiban, sedangkan sakitnya seorang muslim
tidak membebaskannya dari menerima perkataan yang baik dan
nasihat yang tulus. Dan semua yang dituntut itu hendaklah
dilakukan oleh si pemberi nasihat dengan memperhatikan
kondisinya, yaitu hendaklah dilakukan dengan lemah lembut dan
jangan memberatkan, karena Allah Ta'ala menyukai
kelemahlembutan dalam segala hal dan terhadap semua manusia,
lebih-lebih terhadap orang sakit. Dan tidaklah kelemahlembutan
itu memasuki sesuatu melainkan menjadikannya indah, dan
tidaklah ia dilepaskan dari sesuatu melainkan akan
menjadikannya buruk.
Kelemahlembutan semakin ditekankan apabila si sakit tidak
mengerti terhadap kebajikan yang ditinggalkannya atau
kemunkaran yang dilakukannya, seperti terhadap kebanyakan
putra kaum muslim yang tidak mengerti keunggulan Islam.
Oleh sebab itu, seseorang yang menjenguk orang sakit yang
kebetulan tidak mau melaksanakan shalat karena malas atau
karena tidak mengerti, yang mengira tidak dapat menunaikan
shalat, karena tidak dapat berwudhu, atau karena tidak dapat
berdiri, ruku', sujud, atau tidak dapat menghadap ke arah
kiblat, atau lainnya, maka wajiblah si pengunjung
mengingatkannya. Dia harus menjelaskan bahwa shalat wajib
dilaksanakan oleh orang yang sakit sebagaimana diwajibkan atas
orang yang sehat, dan kewajibannya itu tidak gugur melainkan
bagi orang yang hilang kesadarannya. Dijelaskan juga bahwa
orang sakit yang tidak dapat berwudhu boleh melakukan tayamum
dengan tanah jenis apa pun, dan boleh dibantu dengan
diambilkan pasir/tanah yang bersih yang ditempatkan di dalam
kaleng atau tempat lainnya, juga bisa dengan batu atau lantai
tergantung mazhab yang memandang hal itu sebagai permukaan
bumi yang bersih.
Begitu pula si sakit, ia boleh melaksanakan shalat dengan cara
bagaimanapun yang dapat ia lakukan, dengan duduk kalau ia
tidak mampu berdiri, atau dengan berbaring di atas lambungnya,
atau telentang di atas punggungnya (yakni punggungnya di
bawah), jika ia tidak dapat duduk, dan cukup dengan
berisyarat. Nabi saw. bersabda kepada Imran bin Hushain:
"Shalatlah engkau dengan berdiri. Jika tidak dapat, maka
hendaklah dengan duduk; dan jika tidak dapat (dengan
duduk) maka hendaklah dengan berbaring."49
Demikian pula jika ia tidak dapat menghadap kiblat, maka
gugurlah kewajiban menghadap kiblat itu, dan boleh ia
menghadap ke arah mana saja. Maka, setiap syarat shalat yang
tidak dapat ditunaikan menjadi gugur, dan Allah telah
berfirman:
"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana
pun kamu menghadap di situlah wajah Allah ..."
(al-Baqarah: 115)
Apabila tampak si sakit merasa kesal terhadap penyakitnya atau
merasa sempit dada karenanya, maka hendaklah ia diingatkan
akan besarnya pahala bagi si sakit di sisi Allah. Selain itu,
sebaiknya diingatkan bahwa Allah hendak menyucikannya dari
dosa-dosanya dengan penyakit tersebut, dan bahwa orang yang
paling berat ujiannya adalah para nabi, kemudian orang-orang
yang dibawahnya, kemudian yang dibawahnya lagi, dan ujian itu
akan senantiasa menimpa seseorang sehingga ia hidup di muka
bumi dengan tidak menanggung suatu dosa, sebagaimana
dinyatakan dalam beberapa hadits sahih.
Maka apabila didapati sesuatu yang dilarang syara' pada si
sakit, hendaklah ia dilarang dengan lemah lembut dan
bijaksana, dan dikemukakannya kepadanya dalil-dalil syara'
yang dapat menghilangkan ketidaktahuan dan kelalaiannya. Cara
yang dilakukan tidak boleh kasar dan terkesan menyombonginya,
khususnya mengenai bencana yang banyak melanda masyarakat,
misalnya mereka yang menggantungkan jimat-jimat dan
sebagainya.
Disini, hendaklah ia memberitahukannya tentang ayat-ayat
Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw. yang menuntunnya kepada
kebenaran dan membimbingnya ke jalan yang benar, seperti sabda
Nabi saw.:
"Barangsiapa yang menggantungkan jimat-jimat, maka
sesungguhnya ia telah melakukan perbuatan syirik." (HR
Ahmad dan Hakim dari Uqbah bin Amir)50
Selain itu, tidak boleh ia (si penjenguk) mengingkari sesuatu
terhadap si sakit kecuali apa yang telah disepakati oleh para
ulama akan kemunkarannya. Adapun hal-hal yang masih
diperselisihkan oleh para ahli ilmu yang tepercaya, antara
yang memperbolehkan dan yang melarang, maka dalam hal ini
terdapat kelonggaran bagi orang yang mengambil salah satu dari
kedua pendapat itu, baik ia memilih melalui ijtihadnya atau
sekedar ikut-ikutan. Dan jangan sampai diperdebatkan seputar
pendapat ini mana yang lebih tepat atau yang lebih kuat,
karena kondisi sakit tidak mentolerir hal tersebut, kecuali
jika si sakit menanyakannya atau memang menyukai yang
demikian. Misalnya tentang hukum menggantungkan jimat yang
terdiri dari ayat-ayat Al-Qur'an atau hadits syarif, atau
berisi dzikir kepada Allah, sanjungan kepada-Nya, dan doa
kepada-Nya. Karena masalah ini masih diperselisihkan antara
orang yang memperbolehkannya dan yang menganggapnya makruh.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Amr, ia berkata,
"Rasulullah saw. mengajari kami beberapa kalimat yang kami
ucapkan apabila terkejut pada waktu tidur:
"Dengan nama Allah, aku berlindung dengan
kalimat-kalimat Allah yang sempurna dan kemurkaan dan
siksa-Nya, dan kejahatan hamba-hamba-Nya, dan gangguan
setan, dan dan kehadiran setan."
Maka Abdullah mengajarkan kalimat ini kepada anaknya yang
sudah balig untuk mengucapkannya ketika hendak tidur,
sedangkan terhadap anaknya yang masih kecil dan belum mengerti
atau belum dapat menghafalkannya, kalimat itu ditulisnya
kemudian digantungkan di lehernya.51
Akan tetapi, Ibrahim an-Nakhati berkata, "Mereka memakruhkan
semua macam jimat, baik dari Al-Qur'an maupun bukan." Yang
dimaksud dengan "mereka" disini adalah sahabat-sahabat Ibnu
Mas'ud seperti al-Aswad, 'Alqamah, Masruq, dan lain-lainnya.
Sedangkan makna "makruh" disini adalah "di awah haram."
Tidak mengapa diingatkan kepada si sakit dengan lemah lembut
bahwa yang lebih utama dan lebih hati-hati adalah meninggalkan
semua macam jimat, mengingat keumuman larangannya, dan untuk
menutup jalan kepada yang terlarang (saddan lidz-dzari'ah,
usaha preventif), juga karena khawatir dia membawanya masuk ke
kakus (WC) dan sebagainya. Hanya saja janganlah ia bersikap
keras dalam masalah ini, karena masih diperselisihkan hukumnya
di kalangan ulama.
(Bagian: 01, 02, 03, 03a, 04, 05, 06, 07, 08, 09, 10, 12, 13,
14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 21a, 22, 23, 24, 25)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |