Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

21. Mesir di Tangan Muslimin (1/4)

Muslimin tersebar di seluruh Mesir - 584; Penaklukan kota-kota yang mengadakan perlawanan - 585; Amr bin As mengadakan perjalanan ke Barqah dan Tripoli - 586; Ekspedisi ke Nubia - 589; Penaklukan Mesir secara paksa atau dengan jalan damai? - 589; Syarat-syarat persetujuan - 592; Jizyah yang dikenakan kepada orang Mesir - 595; Politik Amr bin As: Bebas berkeyakinan dan keringanan pajak - 596; Mencari ibu kota baru - 598; Sambutan orang-orang Mesir terhadap Islam - 602; Bagaimana Amr menyusun pemerintahan baru di Mesir - 604; Menghubungkan Sungai Nil ke Laut Tengah - 607; Amr melukiskan keadaan Mesir - 610; Mitos tentang 'Pengantin Sungai Nil' - 612; Mitos tentang dibakarnya perpustakaan Iskandariah - 616; Sanggahan terhadap kedua mitos - 619; Perbedaan mental Muslimin yang mula-mula dengan yang kemudian - 622; Surat-menyurat Umar dengan Amr - 625; Nilai Amr dalam membebaskan Mesir - 632

Muslimin tersebar di seluruh Mesir

Dengan jatuhnya Iskandariah suatu tanda bahwa seluruh Mesir sudah berada di tangan Muslimin. Kharijah bin Huzafah sudah pula menguasai daerah-daerah Hulu sampai ke perbatasan Thebes. Sesudah penaklukan ibu kota dari pihak Rumawi hanya tinggal sedikit saja lagi yang masih nekat mau bertempur. Tak ada pihak yang mau memperebutkan kekuasaan dari para penakluk itu. Pihak Rumawi sendiri sebenarnya sudah tidak akan mau mengadakan petualang demikian, sebab mereka tahu orang-orang Kopti itu memendam kebencian yang dalam kepada mereka. Mereka telah melakukan kekejaman terhadap orang-orang Kopti, sehubungan dengan penghasilan dan agama. Kebencian itu sudah begitu memuncak sehingga jika ada orang Kopti yang melihat orang Rumawi seorang diri, orang itu pasti mereka bunuh. Setelah itu tak ada yang tahu siapa pembunuhnya. Orang-orang Kopti itu bertindak demikian bukan karena mencintai para penakluk atau senang menyambut kedatangan mereka. Pada hari-hari pertama penaklukan itu penduduk Hulu itu jauh dari jangkauan kekuasaan Muslimin. Mereka juga tidak menyimpan rasa benci dan dendam kepada para pendatang itu. Kebencian dan dendam mereka justru kepada pihak Rumawi, yang selama berabad-abad melakukan berbagai penindasan terhadap mereka.

Desa-desa di kawasan Delta sudah banyak yang dikuasai oleh satuan-satuan yang pergi ke sana, dan kekuasaan itu pun sudah tersebar luas. Tak ada pihak yang mengadakan perlawanan terhadap satuan-satuan itu kecuali kota-kota yang pertahanannya memang sudah diperkuat. Di samping itu kawasan ini masih tetap dalam pengepungan, tak mampu mengalahkan para penyerang kendati ia mampu mempertahankan diri. Sesudah Amr membebaskan Iskandariah, banyak kawasan lain yang kemudian membuka pintu, sebab ia yakin pasukan Arab itu akan terus mencekiknya dan ia tak akan dapat lama-lama mengadakan perlawanan. Tetapi dalam pada itu daerah-daerah yang berdekatan dengan pantai Laut Tengah dan tidak pula masuk dalam perjanjian seperti daerah-daerah lain, tetap mengadakan perlawanan.

Bolehjadi penyebabnya karena kawasan ini merupakan tempat­tempat penyimpanan senjata pihak Rumawi, yang dikira oleh pasukannya bahwa baik mereka selamat atau mengadakan perlawanan, mereka akan binasa juga. Maka didorong oleh naluri hendak mempertahankan hidup, mereka mengadakan perlawanan. Atau mungkin juga yang mendorong mereka terus bertahan dan mengadakan perlawanan karena berita-berita yang dibawa oleh orang-orang Mesir penduduk setempat tentang kekejaman pasukan Muslimin. Sudah tentu propaganda Rumawi ini juga disebarluaskan, dengan segala sarana penyiaran yang ada waktu itu, bahwa pasukan Muslimin memperlakukan orang-orang Mesir dengan cara yang sangat buruk, penghasilan mereka dirampas secara paksa, mereka dipaksa meninggalkan kekristenan mereka untuk menganut Islam sebagai agama. Kita melihat berita-berita yang dikutip Butler dari Hanna Naqyusi itu, yang barangkali dapat menafsirkan perlawanan suatu negeri yang sudah tak mempunyai harapan untuk berhasilnya perlawanan, masih terus mengadakan perlawanan karena propaganda Rumawi sudah tersiar di kalangan mereka tentang serbuan pasukan Muslimin. Itulah semua yang membuat penduduk ketakutan dan memaksa pasukan itu bertempur terus mati-matian.

Penaklukan kota-kota yang mengadakan perlawanan

Kalangan sejarawan menyebutkan beberapa nama kota yang mengadakan perlawanan itu, di antaranya Ikhna di dekat Iskandariah, Balhib di selatan Rasyid, Barallus, Dimyat dan Tannis. Mereka berpendapat bahwa segala kejadian antara para penyerang dengan penghuni kawasan itu sebagiannya mengandung arti tertentu. Talma penguasa Ikhna ingin mengadakan perdamaian dengan Amr. Tetapi kata-kata orang itu tidak berkenan di hati Amr. Ia memerintahkan anak buahnya pergi ke Ikhna dan mereka menawan beberapa orang, padahal mereka sudah menyerah tanpa perlawanan. Oleh karena itu para tawanan yang dikirim ke kota itu oleh Amr dikembalikan, dan mereka menjadi orang-orang yang dilindungi (zimmi). Di Balhib juga terjadi peristiwa seperti yang di Ikhna. Konon ketika berada di Balhib Amr menerima surat dari Khalifah yang memintanya agar para tawanan itu memilih sendiri; mereka yang sudah masuk Islam supaya diperlakukan sebagai saudara kaum Muslimin. Mendengar berita itu banyak di antara tawanan tersebut yang masuk Islam. Kaum Muslimin pun bertakbir untuk setiap orang yang masuk Islam. Dari Barallus pasukan Arab pergi ke Dimyat dan menaklukkannya. Dengan demikian pesisir-pesisir laut dari Arisy sampai ke Iskandariah kini di tangan mereka. Sungguhpun begitu Tannis tidak juga mau menyerah dan tidak pula membuka pintu untuk pasukan Muslimin. Malah mereka tetap bertahan dan mengadakan perlawanan, di banyak tempat terjadi pertempuran. Akhirnya pasukan Muslimin menaklukkannya secara paksa, merampas harta mereka dan membagi-bagikannya. Alasan mereka mengadakan perlawanan karena kota ini adalah kota industri yang besar dan berpenduduk banyak. Di samping itu kota ini mempunyai kedudukan tersendiri, dinding-dinding temboknya begitu kuat dengan 19 pintu berlapis besi yang tebal, 72 gereja dan 36 tempat pemandian. Maqrizi mengatakan bahwa Tannis sampai pada waktu yang cukup lama tetap mengadakan perlawanan. Karena sampai selama itu belum ditaklukkan juga, penguasa sebuah kota di dekat Dimyat bernama Syata bin Hamuk - yang sudah masuk Islam - berangkat mengumpulkan pasukan dari Barallus, Damirah dan Asymun Tanah. Ia menyiapkan pasukannya untuk bergabung dengan pasukan Muslimin dan siap bertempur menghadapi mereka. Pada hari kota Tannis itu membuka pintu ia memang bertempur mati-matian, dan dia tewas dalam pertempuran itu. Namanya kemudian diabadikan untuk tempat ia mulai berangkat di timur Dimyat itu.

Dengan demikian habislah sudah perlawanan pihak Rumawi dan orang-orang Mesir pendukungnya atau yang ingin mendapat keuntungan dari peperangan untuk kemerdekaan tanah airnya. Sekarang Mesir seluruhnya sudah berada di tangan pasukan Muslimin, dari Laut Tengah sampai ke Nubia.

Amr bin As mengadakan perjalanan ke Barqah dan Tripoli

Setelah itu Amr boleh istirahat dulu, dan jangan melampaui luar Mesir. Tetapi dalam perhitungannya Rumawi masih menyimpan kekuatan di Barqah (Barca, Cyrenaica) dan di Tripoli (Tarabulus),1 yang bukan tak mungkin mereka akan bertahan di sana dan mengintai sampai ada kesempatan mengadakan pembalasan dan kembali ke Mesir. Karenanya setelah ia yakin di Mesir sudah stabil, ia bergerak dengan sejumlah kekuatan, keluar dari Iskandariah ke Sirenaika. Jalan antara kedua kota itu bukan padang sahara yang tandus seperti keadaannya sekarang, tetapi daerah itu merupakan tanah subur, di kanan kirinya rimbun dengan berbagai tanaman, buah-buahan dan kebun-kebun anggur serta keramaian yang terus-menerus. Dengan demikian perjalanan pasukan berkuda Muslimin ke Sirenaika itu dianggap sebagai suatu pesiar yang menarik. Dalam perjalanan itu dapat dikatakan ia tidak menemui perlawanan yang berarti. Rupanya ini berkesudahan dengan jalan damai setelah ada perlawanan kecil-kecilan, dan setuju membayar jizyah 13.000 dinar setahun. Kota Barqah atau Sirenaika ini termasuk wilayah Tripoli, menggunakan nama sebuah kota yang sekarang ditempati oleh Banu Gazi. Ibn Duqmaq2 berkata: Kota-kota di wilayah ini banyak yang ramai, dengan sungai-sungai dan pepohonan. Penduduknya padat dan banyak tanah perkebunannya yang menghasilkan tanaman safron. Disebutkan bahwa banyak pedagang yang mundar-mandir ke Barqah, sebab tidak sedikit jenis barang dagangan dari barat dan timur yang masuk ke kota ni, dan tidak banyak kota di Magrib yang seperti ini. Oleh karena itu tidak heran setelah tercapai persetujuan, para pemungut jizyah dari Muslimin akan memasuki daerah itu untuk memungut jizyah, sebab jizyah itu akan dikirim kepada Amr di Mesir melalui tangan rombongan nduduk. Yang aneh lagi mengenai persetujuan itu, seperti diceritakan, bahwa penduduknya dibolehkan menjual anak untuk membayar jizyah. Kebenaran ini tak dapat ditafsirkan lain daripada, bahwa menjual anak untuk membayar utang menurut adat mereka memang dibenarkan. Kaum Muslimin pun tidak mengharamkannya, kecuali bagi orang yang sudah masuk Islam.3 Besar kemungkinan bahwa anak-anak mereka itu tidak setuju dengan sistem ini, terbukti dari apa yang disebutkan Yaqut,4 bahwa kebanyakan orang di Barqah sudah masuk Islam.

Amr berangkat dari Barqah ke Tripoli yang merupakan sebuah dermaga yang kuat sekali dengan penjagaan sebuah garnisun dari Rumawi dan di sekitarnya terdapat persediaan makanan yang disimpan dalam benteng. Setelah melihat kedatangan pasukan Muslimin, pintu-pintu benteng itu segera mereka tutup. Dalam keadaan mereka serupa itu, sementara menunggu kedatangan bala bantuan melalui laut, mereka mengadakan konsolidasi untuk menghadapi pengepungan yang akan dilancarkan pihak musuh. Beberapa minggu sudah berlalu, namun bantuan belum juga datang. Dalam pada itu pasukan Arab sudah tahu bahwa kota itu tidak diperkuat dari jurusan laut. Beberapa orang anggota pasukan menyusup dari arah itu dan berteriak mengumandangkan takbir. Buat pasukan Rumawi itu tak ada jalan lain daripada melarikan diri ke kapal-kapal dengan meninggalkan kota di tangan para penjaganya untuk membukakan pintu, dan Amr pun masuk memimpin angkatan bersenjatanya.

Beberapa kesatuan pergi menyebarkan rasa takut dalam hati penduduk wilayah itu. Tak ada jalan lain di seluruh kawasan itu kecuali menyerah. Amr menulis surat kepada Amirulmukminin meminta izin akan meneruskan perjalanan ke Tunis dan ke seberangnya di Afrika Utara. Tetapi karena tidak diizinkan, ia kembali ke Barqah dan disambut oleh kabilah Berber, kabilah terbesar di sana yang kemudian menyatakan kesetiaannya.5 Sesudah ia yakin tentang habisnya kerajaan Rumawi dari seluruh kawasan itu ia bertolak kembali ke Iskandariah dengan membawa tawanan dan rampasan perang.

Ekspedisi ke Nubia

Amr bermaksud mengamankan perbatasan Mesir di bagian selatan itu seperti di bagian barat yang sudah diamankannya. Ia mengirim Uqbah bin Nafi' al-Fihri ke Nubia. Ternyata pihak Nubia menggempur pasukan Muslimin begitu gencar sehingga terpaksa Uqbah mundur tanpa mengadakan perjanjian atau perletakan senjata. Soalnya karena orang­orang Nubia, bila sudah membidik dengan panah tak pernah meleset. Yang dijadikan sasaran ialah mata sampai tercungkil, sehingga orang­orang Arab menyebut mereka 'pemanah-pemanah ulung.' Sesudah Uqbah mundur satuan-satuan Amr terus-menerus mengadakan kontak senjata di perbatasan. Pada masa kekhalifahan Usman bin Affan, Abdullah bin Sa'd bin Abi Sarh mengadakan perjanjian perletakan senjata: Kedua pihak tak boleh saling berperang; diadakan tukar-menukar budak yang diberikan pihak Nubia kepada Muslimin, serta makanan yang sesuai dengan harga budak-budak yang akan diberikan oleh pihak Muslimin kepada pihak Nubia.

Tetapi di pihak Nubia tak pernah terpikir akan melintasi perbatasan ke Mesir untuk mengganggu kekuatan Muslimin. Buat mereka cukup dengan memukul mundur pasukan musuh dari kawasan itu, dan mereka akan terus waspada. Oleh karena itu, dari pihak mereka Amr tidak lagi merasa khawatir. Dari arah selatan itu Mesir sudah dirasa aman, seperti dari bagian barat setelah kekalahan pasukan Rumawi di Barqah dan Tripoli. Kalau semua ini sudah meyakinkannya, maka sekarang ia akan mengarahkan seluruh pikirannya untuk perencanaan Mesir dan organisasi pemerintahannya. Bagaimana politiknya untuk perencanaan dan peng­ organisasian itu?

Penaklukan Mesir secara paksa atau dengan jalan damai?

Untuk menjawab pertanyaan ini baik juga kalau kita kemukakan masalah yang diuraikan panjang lebar oleh para sejarawan mengenai hal ini. Dalam bab ini dan dua bab sebelumnya di atas sudah kita lihat bahwa Amr membebaskan Mesir semuanya dengan paksa. Tak tercapai suatu perdamaian antara dia dengan pihak Rumawi. Juga penduduk Kopti yang akan mengadakan perjanjian demikian sementara mereka berada di bawah kekuasaan Heraklius dan yang menggantikan takhtanya kemudian. Muqauqis sudah pernah membuat konsep untuk berdamai dengan Amr ketika benteng Babilon berada dalam pengepungan, tetapi ditolak oleh Heraklius. Dengan penolakan itu perang antara keduanya pecah lagi, dan baru berhenti setelah Rumawi kalah dan keluar dari seluruh kawasan itu. Sungguhpun begitu, cerita-cerita ini diuraikan terlalu panjang lebar oleh kalangan sejarawan Muslimin. Ada yang berpendapat bahwa Mesir ditaklukkan dengan jalan damai, ada pula yang mengatakan dengan paksa, yang diuraikan begitu bertele-tele sehingga akan ada anggapan bahwa hal ini tak akan sampai pada pendapat yang memuaskan.

Mereka yang mengatakan bahwa Mesir ditaklukkan dengan paksa tanpa ada suatu perjanjian atau persetujuan, berpegang pada sumber­sumber mereka yang ikut menyaksikan penaklukan itu. Mereka mengatakan bahwa Mesir ditaklukkan paksa. Untuk mendukung pendapat ini, bahwa pada Umar bin Khattab ada sebuah peti yang berisi segala macam perjanjian yang telah diadakan oleh kedua pihak. Tetapi perjanjian dengan pihak Mesir tak pernah ada. Mereka menambahkan lagi dengan mengacu pada Amr bin As yang mengatakan: "Selama saya duduk di tempat saya ini tak pernah ada orang Kopti Mesir yang membuat perjanjian atau persetujuan selain dengan pihak Antabulus; ada sebuah persetujuan yang harus kami patuhi." Salah seorang narasumber menyebutkan bahwa Amr menambahkan: "Kalau saya mau, saya bunuh, atau saya ambil seperlima atau saya jual." Mereka yang berpendapat demikian mengutip bukti lain lagi yang memperkuat pendapat mereka bahwa Amr menulis surat kepada Umar tentang seorang pendeta di Mesir yang meninggal tanpa meninggalkan ahli waris. Dalam jawabannya Umar mengatakan: "Jika dia mempunyai keturunan berikanlah harta warisan itu kepada keturunannya; kalau tidak mempunyai keturunan, simpanlah hartanya itu dalam baitulmal milik Muslimin, karena penanganannya pada kaum Muslimin."

Sebaliknya mereka yang menyebutkan bahwa Mesir ditaklukkan secara damai berpegang pada sumber-sumber yang sebagian berpendapat bahwa negeri itu seluruhnya ditaklukkan dengan jalan damai, dan yang sebagian lagi mengecualikan Iskandariah, yang menyebutkan bahwa kota itu ditaklukkan secara paksa. Disebutkan bahwa setelah Amr bin As membebaskan Mesir diadakan persetujuan dengan semua orang Kopti yang sudah dewasa, dengan ketentuan masing-masing dua dinar, di luar perempuan, anak-anak dan orang usia lanjut. Sesudah dihitung mencapai jumlah delapan juta. Konon bahwa setelah Amr menaklukkan Iskandariah kebanyakan pihak Muslimin menginginkan agar semua yang ada di kota itu dibagi-bagikan. Tetapi Amr mengatakan: Saya tak berkuasa membagikannya sebelum saya menulis surat kepada Amirulmukminin. Ternyata isi jawaban Umar kepada Amr bin As:

"Jangan dibagikan dan biarkan mereka. Kharaj mereka akan menjadi harta rampasan perang6 bagi pasukan Muslimin dan untuk kekuatan mereka dalam menghadapi musuh. Hal ini disetujui oleh Amr. Ia menentukan kharaj kepada yang bersangkutan. Setelah dihitung jumlah mereka yang terkena kharaj mencapai 600.000. Dengan demikian seluruh Mesir dibebaskan secara damai dengan kewajiban setiap laki-laki membayar dua dinar. Dalam sebuah sumber konon ada seorang orang tua dahulu yang pernah menyaksikan penaklukan Mesir. Orang-orang mengatakan, tak ada perjanjian dengan pihak Mesir, maka ia berkata: Ia tidak peduli bahwa orang yang berkata tak ada perjanjian pada mereka tidak akan dibakar. Ketika ditanya, adakah perjanjian tertulis pada mereka? Dijawab. Ya, ada tiga perjanjian tertulis: Sebuah pada Tulma penguasa Ikhna, sebuah di tangan Quzman penguasa Rasyid dan sebuah lagi ada pada Yohannas penguasa Barallus. Ketika ditanya mengenai persetujuan tersebut orang tua itu menjawab, bahwa orang dikenakan jizyah dua dinar dan menjadi pendapatan pasukan Muslimin, dan bahwa disyaratkan tak boleh ada yang keluar rumah; perempuan-perempuan, harta simpanan dan tanah mereka tak boleh dirampas, dan tidak boleh ditambah.

Itulah sumber-sumber penting yang dijadikan pegangan oleh mereka yang di satu pihak berpendapat bahwa Mesir ditaklukkan secara damai, dan di pihak lain yang berpendapat bahwa penaklukan secara paksa. Barangkali pembaca sependapat dengan saya, bahwa dengan adanya perbedaan yang begitu tajam itu, akhirnya kita akan sampai pada satu kesimpulan yang mendukung bahwa Mesir ditaklukkan secara paksa, dan sekaligus juga dengan jalan damai. Perang yang terjadi di negeri ini adalah antara pasukan Muslimin dengan pasukan Rumawi, bukan antara Muslimin dengan orang-orang Kopti penduduk negeri. Atau katakanlah sikap orang-orang Mesir itu netral terhadap kedua pihak, atau dengan kata lain, sikap orang yang sudah tak berdaya, tak dapat secara terbuka bergabung kepada salah satunya dalam berperang. Oleh karena itu mereka hanya melaksanakan apa yang diperintahkan oleh pihak yang menang atas suatu daerah, secara rela, tentu karena terpaksa. Tatkala kekuasaan di tangan pihak Rumawi, orang-orang Kopti membantu mereka meratakan jalan dan membangun jembatan dan semacamnya yang diperlukan dalam perang. Ketika kemudian kekuasaan sudah di pihak Arab, orang-orang Kopti itu juga yang memberikan bantuan serupa. Tetapi seperti kita lihat, mereka sangat membenci Rumawi, karena perlakuan terhadap agama dan penghasilan mereka sudah melampaui batas. Dalam pada itu mereka juga khawatir orang Arab itu akan bertindak sama seperti orang Rumawi, tidak memperlakukan mereka dengan baik. Begitulah keadaan suatu bangsa yang sudah tidak mungkin dipandang sebagai prajurit, dan tidak pula mungkin dikatakan mereka memerangi pihak Arab atau pihak Rumawi. Apa yang sesungguhnya terjadi, ialah perang Arab dengan Rumawi di bumi Mesir. Pihak Arab sudah dapat mengalahkan dan mengusir pasukan Rumawi dari Mesir dan menggantikan kedaulatan mereka di sana. Dengan demikian mereka sudah merenggut Mesir dengan paksa dari tangan Rumawi yang mereka perangi dan sudah bertekuk lutut di depan mereka, bukan merenggutya secara paksa dari tangan orang-orang Mesir yang tidak memerangi mereka.

Setelah penaklukan Iskandariah, seperti sudah kita lihat bagaimana kota-kota Ikhna, Balhib, Balarrus dan Dimyat itu menyerah tanpa perlawanan, dan bagaimana pula orang-orang Mesir membantu Arab dalam perang dengan Tinnis sampai penaklukannya. Orang-orang Mesir tidak akan mampu memerangi pasukan Arab atau berusaha mengusir mereka dari tanah air sendiri sementara pihak Rumawi tidak pernah membangun angkatan bersenjata yang terdiri dari anak negeri, di negeri itu, juga tak ada senjata yang ditinggalkan agar anak negeri dapat mempertahankan diri. Kebalikannya, mereka dilucuti dari segala macam senjata, supaya mereka tidak memberontak dan berusaha melepaskan diri dari Rumawi. Jadi wajarlah sudah mereka tunduk kepada kekuasaan Arab begitu Rumawi dikalahkan dan dikeluarkan dari negeri mereka. Islam mewajibkan kepada penakluk itu untuk menawarkan Islam kepada orang-orang Kopti, yang dengan demikian hak dan kewajiban mereka akan sama dengan Muslimin yang lain, atau tetap dengan agama mereka dan membayar jizyah sebagai imbalan mereka mendapat perlindungan dari pihak Muslimin. Inilah pendapat Amr bin As yang berbeda dengan mereka yang ingin agar negeri itu dibagi-bagikan kepada kaum Muslimin. Pendapatnya disetujui oleh Umar bin Khattab, dan orang-orang Mesir pun menerimanya dengan senang hati. Dengan demikian, pembebasan Mesir itu adalah secara paksa jika dihubungkan kepada Rumawi, dan secara damai jika dihubungkan kepada orang-orang Mesir.

Syarat-syarat persetujuan

Perdamaian cara bagaimana yang disetujui oleh Umar dan diterima baik oleh orang-orang Mesir? Banyak sekali sumber mengenai ini dan beragam. Tetapi dengan yakin kita dapat mengatakan bahwa itu sesuai dengan rencana perdamaian yang ditolak oleh Heraklius, dengan syarat­syarat yang pernah disetujui oleh Amr bin As dan Muqauqis ketika pasukan Muslimin mengepung benteng Babilon. Tabari mengutip isi perjanjian itu sebagai berikut:

"Bismillahir-rahmanir-rahim. Inilah yang diberikan Amr bin As kepada orang-orang Mesir berupa jaminan keamanan terhadap diri mereka, agama mereka, harta, gereja-gereja dan salib-salib mereka, daratan dan lautan mereka. Tak ada urusan mereka yang boleh dicampuri atau dikurangi dan tak boleh dibagi dengan Nubia, dan pihak Mesir diwajibkan membayar jizyah. Jika perjanjian ini disetujui meliputi sepanjang sungai bagian mereka, mereka bertanggung jawab atas segala kejahatan yang dilakukan oleh pencuri-pencuri kawasan mereka itu. Jika di antara mereka ada yang menolak untuk memenuhi, maka ganti rugi tidak berlaku bagi mereka sesuai dengan kemampuan mereka, dan jaminan kami tidak berlaku bagi barang siapa yang menolak. Jika batas sungai itu berkurang dari yang dimaksud, perjanjian ini berlaku sesuai dengan kemampuan itu. Barang siapa dari pihak Rumawi dan Nubia yang bergabung ke dalam perjanjian ini, maka berlaku hak dan kewajiban yang sama. Barang siapa menolak dan memilih pergi maka akan dijamin sampai mencapai tempat tujuan atau keluar dari kekuasaan kami. Kewajiban mereka membayar sepertiga, pada setiap sepertiga dari hasil jizyah. Segala yang dalam perjanjian ini berada dalam perlindungan Allah, dalam perlindungan Rasul-Nya, dalam perlindungan Khalifah Amirulmukminin dan semua orang beriman. Bagi orang-orang Nubia yang menerima dan membantu sekian hewan ternak dan sekian kuda, dengan syarat tidak boleh diserang dan tidak boleh dilarang dalam mengirimkan dan menerima barang perdagangan. Perjanjian ini disaksikan oleh Zubair dan anak-anaknya: Abdullah dan Muhammad, ditulis dan dihadiri oleh Wardan."7

Sudah kita sebutkan bahwa perjanjian ini sesuai dengan syarat­syarat yang pernah disetujui oleh Amr dan Muqauqis, tetapi tidak kita katakan bahwa begitu itulah isinya. Naskah yang dikutip oleh Tabari itu bukanlah persetujuan kedua pihak (bilateral), melainkan suatu pernyataan sepihak (unilateral), menurut istilah hukum internasional dewasa ini. Memang benar bahwa Mesir menerima perjanjian ini setelah diumumkan dan bergabung ke dalamnya, tetapi penerimaan itu tidak mengubah sifatnya sebagai undang-undang. Yakni suatu perjanjian yang dibuat oleh orang yang menaklukkan suatu negeri dan tidak mendapat perlawanan pihak setempat, dengan tujuan hendak menanamkan ketenteraman dalam hati orang di negeri tersebut, dengan ketentuan tanggung jawab mereka sebagai imbalan untuk menjamin kebebasan mereka, masyarakat dan harta benda mereka. Diterimanya perjanjian sempa ini berarti tunduk kepada kenyataan demi menghindari bahaya yang lebih besar, dan bukan setuju dalam pengertian hukum, melainkan setuju atas dasar kebebasan yang bersangkutan untuk menerima atau menolak.

Bentuk perjanjian semacam itu sifat hukumnya berbeda sekali dengan perjanjian yang sudah disetujui oleh Amr dan Muqauqis selama dalam pengepungan benteng Babilon, tetapi kemudian ditolak oleh Heraklius. Perjanjian Muqauqis ini sifatnya bilateral dan mengatur hal-hal yang termasuk juga perjanjian keamanan yang diumumkan oleh Amr kepada orang-orang Mesir. Syarat-syarat perdamaian itu oleh Butler disebutkan dengan mengutip buku Hanna Naqyusi, kendati tidak disebutkan secara berurutan seperti yang disebutkan oleh sejarawan Kopti itu. Persyaratan ini menurut lahirnya ialah persetujuan damai antara pihak Muslimin yang menang dengan pihak Rumawi yang kalah dan berlaku untuk seluruh Mesir. Jangkauan perdamaian ini meliputi penarikan pasukan Rumawi, tidak boleh kembali lagi atau berusaha hendak mengambil kembali dan penarikan itu harus sudah selesai dalam waktu sebelas bulan dari konfirmasi Heraklius atas perjanjian ini. Dari pihaknya Rumawi harus mengirimkan 150 orang prajurit dan 50 orang bukan prajurit sebagai jaminan untuk pelaksanaan perjanjian ini. Selama masa gencatan senjata pasukan Arab harus tetap di tempatnya, tidak boleh berusaha ke arah perang. Orang-orang Yahudi boleh tinggal di Iskandariah dan pihak Muslimin tidak boleh mengambil gereja-gereja orang­orang Nasrani dan tidak boleh mencampuri segala urusan mereka, tidak boleh membeda-bedakan jizyah antara penduduk Mesir yang Kopti dan yang bukan Kopti.

Antara persetujuan ini dengan perjanjian keamanan yang dinyatakan secara sepihak itu tidak sama. Persetujuan dengan rencananya yang menolak perizinan dalam keadaan perang masih berlaku. Ringkasnya, Rumawi harus meninggalkan Mesir untuk orang Arab, dan pihak Arab mengingatkan Rumawi untuk tidak mengusir orang-orang Yahudi dari ibu kota; menghormati semua gereja Nasrani serta kepercayaan mereka; dalam hal jizyah orang Mesir dan bukan orang Mesir tidak boleh dibedakan. Sedang perjanjian keamanan tak ada hubungannya dengan Rumawi dan tidak pula dengan pihak Muslimin. Oleh karena itu salah sekali jika Butler mengatakan bahwa perjanjian keamanan tidak berbeda dengan persetujuan damai, dan bahwa keduanya saling melengkapi.

Jizyah yang dikenakan kepada orang Mesir

Tetapi perjanjian keamanan ini tidak mencantumkan soal jizyah secara terinci, mengenai cara pembagiannya di antara penduduk Mesir. Kalangan sejarawan sependapat bahwa kadar jizyah itu ditentukan dua dinar kepada setiap laki-laki dewasa. Jizyah tidak berlaku bagi anak­anak, perempuan, hamba sahaya, orang lanjut usia yang sudah tidak mampu. Jelas sekali bahwa jizyah itu dikenakan per kepala, dan bahwa itu bukan pajak tanah yang ditentukan menurut luas tanah yang ditanami. Dengan bersumber dari Abdullah bin Amr bin As, Balazuri mengatakan bahwa Amr "telah menentukan jizyah kepada setiap laki-laki dewasa dua dinar, kecuali jika ia tidak mampu, dan kepada setiap orang yang memiliki tanah di samping dua dinar tiga ardab gandum, dua kaleng madu dan dua kaleng cuka sebagai bagian pihak Muslimin, dikumpulkan di gudang makanan dan dibagikan." Pendapat mengenai keharusan gandum, minyak, madu dan cuka ini sukar sekali dipastikan, apakah sebagai pelengkap jizyah pada setiap kepala yang bukan pajak tanah, ataukah diperhitungkan kepada pajak itu? Sesudah mengutip Abdullah bin Amr mengenai hadis yang dinisbahkan kepada Yazid bin Abi Habib, Balazuri menyebutkan, "bahwa pada masa kekhalifahan Umar orang-orang yang dikenakan jizyah di Mesir, mengadakan persetujuan sesudah persetujuan yang pertama itu, setiap orang dikenakan dua dinar di atas dua dinar, sebagai ganti gandum, minyak, madu dan cuka. Jadi kepada setiap orang dikenakan empat dinar. Sesudah ditentukan yang demikian ternyata mereka lebih senang."

Beberapa sumber berpendapat bahwa Umar menulis surat kepada Amr bin As agar dalam menentukan besarnya jizyah kepada penduduk Mesir dibedakan menurut kemampuan mereka: empat dinar bagi yang mampu, tiga dinar kepada golongan menengah dan satu dinar kepada yang di bawah itu. Ijtihad Umar ini kemudian diikuti orang. Abu Yusuf8 dalam al-Kharaj mengatakan: "Jizyah itu merupakan keharusan kepada semua kaum zimmi... tetapi hanya untuk laki-laki, di luar perempuan dan anak-anak. Kepada yang mampu 48 dirham, kepada golongan menengah 24 dirham dan kepada yang tidak mampu, peladang dan pekerja tangan 12 dirham diambil setiap tahun dari mereka."

Perjanjian keamanan itu diumumkan oleh Amr di Mesir, orang­orang Mesir pun puas dan menerimanya dengan senang hati. Dengan demikian kini tiba waktunya ia harus mengubah kebijakan dari politik perang ke politik damai. Sudah tentu dalam menentukan langkah selama perang itu Amr berpegang pada segala keharusan dalam perang, di antaranya bertangan besi, bertindak tegas terhadap pihak Rumawi dan orang-orang Mesir sendiri yang membantunya. Dalam hal ini ia tidak salah, karena perang adalah perang. Merintis jalan untuk mencapai kemenangan dengan tetap menjaga keselamatan para prajurit pasukannya, itulah yang menjadi kewajiban pertama seorang komandan yang bertanggung jawab. Kalaupun untuk mencapai kedua tujuan itu ia tidak melampaui batas dalam menggunakan tangan besi dan kekerasan, karena ia mempunyai tujuan yang lebih besar, yaitu untuk mencapai kedua tujuan tersebut ia tak boleh ragu dengan alasan apa pun. Kalau kemenangan pihak Muslimin itu sudah menjadi kenyataan dan pihak Rumawi kalah dan harus keluar dari Mesir, selesailah sudah tugasnya sebagai panglima. Sekarang ia harus mulai menjalankan tugas sebagai politikus. Dalam berbagai peristiwa Amr bin As memang seorang politikus piawai yang berpengalaman dan tak dapat disaingi. Umar bin Khattab lebih banyak tahu tentang itu daripada orang lain. Itu pula sebabnya ia diangkat menjadi gubernur Mesir. Keberhasilannya mengemudikan dan mengatur Mesir lebih berarti dari keberhasilannya mengusir dan mengikis kekuasaan Rumawi di negeri itu. Segala yang sudah kita lihat tentang kematangannya dalam perencanaan perangnya yang nyaris merupakan suatu mukjizat.

Politik Amr bin As: Bebas berkeyakinan dan keringanan pajak

Sebelum kita menguraikan kebijakan ini dengan terinci baiklah kita singgung terlebih dulu secara ringkas. Yang pertama sekali menjadi perhatian Amr ialah menghilangkan segala penyebab yang membuat orang­orang Mesir itu menggerutu dan mengeluh selalu dan bagaimana sampai mereka memberontak terhadap Rumawi. Ternyata yang pertama menyebabkan mereka menggerutu dan berkeluh kesah ini karena adanya penindasan agama. Itu sebabnya yang pertama sekali dikumandangkan oleh Amr bin As kepada semua orang di Nubia dan Iskandariah, bahwa la ikraha fid-din - tak ada paksaan dalam agama, dan bahwa kebebasan menganut suatu kepercayaan adalah hal suci, kebebasan pribadi seseorang atau hartanya tak boleh diganggu hanya karena kepercayaan agama atau salah satu aliran yang dianutnya. Mereka bebas mau tetap dalam sekte Marcionit atau Monofisit. Orang yang ingin pindah dari suatu agama ke agama lain atau dari suatu sekte ke sekte lain tidak boleh diganggu. Kalau ia masuk Islam hak dan kewajibannya dengan hak dan kewajiban Muslim yang lain sama. Kebijakan itu dilaksanakan dengan sangat cermat sekali. Severus menyebutkan bahwa ada seorang uskup Marcionit yang tetap bertahan dalam sektenya itu sampai meninggalnya tak seorang pun ada yang mengganggunya, dan Benyamin penganut Monofisit mengajak orang kepada ajaran sektenya itu dengan argumen dan mengemukakan bukti-bukti, tak ada orang yang merintanginya atau mau melarang kegiatannya. Gereja-gereja kaum Marcionit dan gereja-gereja kaum Monofisit tetap berdiri, masing-masing menjalankan ritualnya sendiri-sendiri, tak ada yang berani mencemari kesuciannya, atau menyerang salah satu sekte. Tidak sulit pembaca memperkirakan, bagaimana pengaruh politik ini dalam hati orang-orang Mesir, setelah sebelum itu mereka mengalami penindasan agama yang begitu getir serta nasib yang menimpa mereka demi sekte berupa penyiksaan, pengejaran dan pengusiran, selama puluhan tahun terus-menerus.

Orang merasa lebih puas lagi dengan kebijaksanaan pemerintah baru ini, yang setelah melihat penyebab yang membuat mereka menggerutu dan mengeluh itu dihapus. Ada lagi penyebab lain yang tak kurang pula pengaruhnya dalam hati mereka dari penyebab yang pertama, yakni Amr telah meringankan beban pajak dan menghapus egala perbedaan sesama manusia yang selama itu dipraktekkan oleh Rumawi. Selain pungutan pajak kepala pihak Rumawi masih memungut lagi bermacam-macam pajak lain yang kebanyakannya dirasa tidak adil. Bahkan ada beberapa golongan yang dibebaskan dari pajak kepala dan pajak-pajak lain. Yang terbanyak mendapat pembebasan demikian ini penduduk Iskandariah. Sesudah semua macam pajak yang oleh Amr dirasakan tidak adil itu dihapus dan semua orang dipersamakan dalam pelaksanaannya, persamaan ini, yang dirasakan telah meringankan beban mereka, membuat semua orang menerima dengan senang hati dan merasa puas dengan kebijakannya itu. Di samping itu, gerutu orang-orang yang telah mendapat fasilitas yang sekarang telah dihapus itu tidak pula mengubah kepuasan dan kesenangan mereka. Dengan menyebutkan kedua masalah ini rasanya cukup sudah apa yang kita singgung selintas di atas itu. Dapat kita tambahkan bahwa keadilan dan penertiban keamanan oleh Amr dijadikan dasar kebijakannya di Mesir - ini untuk sekadar memperkirakan keberhasilan politiknya yang begitu cepat di Mesir itu, sehingga memberi arti penting dalam kehidupan Muslimin dan dalam politik kedaulatan Islam.

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team