Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

20. Menuju Iskandariah (4/4)

Kebudayaan Iskandariah dan arsitekturnya. Pengaruhnya dalam hati orang Arab

Di kawasan lain, tak jauh dari pintu selatan Iskandariah berdiri sebuah pilar Diocletianus, yang oleh orang-orang Arab kemudian diberi nama 'Amud as-Sawari. "Pilar barisan berkuda." Pilar-pilar yang masih tegak berdiri itu, dalam kebisuannya menjadi saksi tentang keindahan, kemegahan dan keagungan Kuil Sarapeum yang ada di sekitarnya. Sekarang tak ada lagi gambaran yang masih tampak di depan kita selain puing-puing Karnak. Hanya saja, kalau segala kemegahan dan keagungan bangunan Karnak bercorak Mesir semata, Kuil Sarapeum merupakan perpaduan seni Mesir dan Grik, sehingga kecermatan dan dekorasi seni Grik itu dapat menyatu dalam kemegahan Mesir.

Pertama kali kuil ini dibangun pada masa Ptolemaeus sebagai persembahan kepada Dewa Sarapis. Disebutkan bahwa Ptolemaeus yang membangunnya membawa sebuah patung dewa dari salah satu pulau di Grik, dan diberi dua nama yang diambil dari Osiris dan Apis, untuk menyatukan penyembahan penduduk Iskandariah yang terdiri dari orang-orang Mesir asli dan orang-orang Yunani yang berimigrasi ke Iskandariah dan menjadi warga kota itu. Ptolemaeus membangun tempat suci Dewa ini di atas sebuah dataran tinggi, yang sebagian berpendapat bahwa dataran itu memang alami, seperti dataran tinggi Acropolis di Atena, sementara yang lain berpendapat bahwa itu buatan tangan manusia. Apa pun yang terjadi yang jelas bangunan ini berdiri di atas sebuah dataran tinggi yang intinya dari batu alam, dan dengan ketinggiannya tempat itu menjorok ke kota. Orang yang akan menuju ke sana dapat menempuh dua jalan: dari tangga dengan seratus anak tangganya, atau tanah datar dengan jalan yang sudah dipadatkan dan dapat dilalui kendaraan.

Berdasarkan sumber-sumber para sejarawan, rupanya gedung Sarapeum itu panjangnya lima ratus dan lebar dua ratus lima puluh depa. Tempat suci Sarapis itu berdiri di tengah-tengahnya, bagian dalam dan luarnya terbuat dari pualam bermutu tinggi. Bangunan itu sungguh memperlihatkan keindahan yang luar biasa yang pernah dicapai seni bangunan di Mesir. Di tengah-tengahnya berdiri patung Sarapis yang besar dari kayu yang dilapisi emas dan gading dengan dua lengan dibentangkan, masing-masing hampir menyentuh dinding di sebelahnya. Rumah suci itu dihiasi dengan ukiran-ukiran yang sangat mencolok yang tak mungkin lagi dimodifikasi. Tempat ini dikelilingi oleh sederetan pilar yang seimbang dengan pilar-pilar yang mengelilingi serambi, yang semuanya terdiri atas empat baris yang berimbang. Tetapi rumah suci pagan itu sebelum kedatangan orang-orang Arab ke sana sudah dihancurkan oleh orang-orang Kristiani tanpa menghiraukan keindahan bangunan itu, tidak cukup hanya dengan mengeluarkan patung-patung pagan itu saja dan membiarkan gedungnya yang indah cemerlang itu tetap berdiri.

Gedung Sarapeum di sekitar rumah suci Sarapis itu tidak pula kurang megahnya. Dalam melukiskannya Ammianus berkata: "Rasanya orang tidak mampu melukiskan gambaran yang sebenarnya tentang itu semua. Serambi-serambinya yang berpilar-pilar, patung-patungnya yang seolah makhluk hidup, di samping peninggalan-peninggalan seninya yang lain, semua itu dapat membedakannya dan menjadikannya satu­satunya di dunia. Tak ada yang dapat melebihi keindahannya selain barangkali gedung Capitol, kebanggaan abadi yang dibanggakan oleh Roma Raya."

Dalam gedung Sarapeum itu terdapat ruangan-ruangan besar, beberapa di antaranya berisi perpustakaan Iskandariah dan yang sebagian lagi untuk kuburan dewa-dewa Mesir kuno. Di tempat ini terdapat dua tugu kuno dan sebuah kolam air besar terbuat dari pualam yang cantik sekali. Sebagian bangunannya oleh orang-orang Kristiani dijadikan gereja, yang tetap berdiri sampai setelah kedatangan pasukan Arab. Bagian dalamnya bersambung dengan sebuah bangunan berkubah tinggi bertatahkan emas berdiri di atas pilar-pilar bulat yang berpasangan. Bangunan ini tetap berdiri seperti kebanyakan pilar Sarapeum yang tetap tegak, lama sampai sesudah penaklukan. Beberapa sejarawan memang ada menyinggung soal bangunan ini, dan mereka namakan "Sekolah Aristoteles" atau "Kubah Aristoteles" dan "Baitul Hikmah" ("Gedung Filsafat").

Tak jauh dari Sarapeum ini dibangun lapangan untuk pacuan kuda - konon tempat ini dapat menampung seribu penonton. Bangunan ini memang pantas mencapai jumlah yang begitu besar itu, untuk melihat dan mendengar apa yang terjadi tanpa menemui kesulitan. Ada pula gedung teater di kawasan lain yang begitu besar bangunannya, sehingga mencolok perhatian orang melihatnya dengan keindahannya yang juga sangat memesonakan. Bangunan-bangunan yang tampak di depan para penakluk itu pertama kali mereka memasuki dan menelusuri kota membuat mereka terperangah. Tetapi tak lama kemudian mereka lebih-lebih lagi terkejut tatkala melihat ke bawah. Di bawah bangunan-bangunan yang cantik ini ada lagi bangunan-bangunan lain di bawah tanah. Bangunan-bangunan bawah itu bertingkat-tingkat, terdiri dari empat atau lima tingkat. Di tiap tingkat terdapat pula sekian banyak pilar dan kolam-kolam besar tempat menyimpan air. Air mengalir ke sana di waktu Nil pasang melalui pipa-pipa di terusan Hilwat. Jika sudah penuh dapat dipakai untuk persediaan air minum sepanjang tahun.

Melihat semua ini orang-orang Arab itu tertegun. Tetapi kekaguman dan ketakjuban mereka tidak seperti ketika melihat menara besar. Bangunan besar yang mengagumkan itu terletak di timur laut pulau Pharos yang bersambung ke kota melalui sebuah jalan panjang, tegak di atas lengkungan yang kuat.6 Menara yang menjadi tujuh keajaiban dunia ini dibangun oleh Ptolemaeus II untuk dijadikan pedoman, dibuat dari batu putih, di waktu siang berkilau karena pantulan sinar matahari dan di waktu malam dinyalakan supaya dapat dilihat kapal. Dengan demikian sekarang menjadi pedoman kapal yang ke kota.

Ptolemaeus mendirikan menara itu di atas batu karang di laut, terbuat dari batu besar yang keras dan dipahat untuk kemudian dituangkan timah ke dalamnya sehingga tak ada bagian-bagian yang akan dapat dimasuki air laut. Tinggi menara ini tiga ratus depa terbagi ke dalam empat tingkat: yang pertama sesudah dasar segi empat, yang kedua di tas segi delapan, yang ketiga bulat dan yang keempat terbuka dengan tempat-tempat api yang akan menjadi pedoman kapal, dan kaca cermin, yang oleh para penulis dan sejarawan dibicarakan panjang lebar. Pada setiap tingkat itu disertai langkan (balkon) yang menghadap ke kota. Tingkat-tingkat itu dihubungkan dengan tangga naik di celah-celah menara dari bawah ke atas, dengan sinar masuk melalui jendela-jendela yang terbuka di beberapa tempat sesuai dengan teknik arsitektur yang sangat cermat.

Dalam menara terdapat pula bilik-bilik yang saling berhubungan. Jumlah dan saling hubungannya menimbulkan kekaguman orang-orang Arab itu, sehingga al-Maqrizi berkata: "Konon setiap yang memasuki menara ini akan kebingungan dan akan sesat jalan karena banyaknya jumlah bilik itu, di samping tingkat-tingkat dan lorong-lorong yang ada di dalamnya." Mengenai kaca cermin yang ada di atasnya memang merupakan suatu keajaiban yang luar biasa. Itu sebabnya banyak menjadi pembicaraan orang sekitar bahan bakunya, maksud ditempatkannya dan daya tahannya. Al-Mas'udi berkata: "Kaca cermin itu besar sekali, terbuat dari batu tipis transparan, dapat melihat kapal yang datang dari kawasan Rumawi yang cukup jauh dari pandangan mata." Yang lain berkata: "Itu merupakan kaca yang pembuatannya sungguh cermat." Ada lagi yang mengatakan: "Barang itu dari besi Cina." As-Suyuti berkata: "Lebarnya tujuh depa, dapat melihat kapal-kapal yang datang dari Eropa, dan dapat dipakai untuk membakar kapal-kapal musuh, yaitu dengan cara memutarnya ke arah matahari yang condong ke peraduannya, dilakukan oleh orang-orang yang bertugas di sana. Sinar matahari itu memantul dan dapat membakar kapal-kapal musuh. Umumnya berpendapat bahwa ia dapat melihat kapal yang lebih jauh dari sejauh mata memandang." Ada juga yang berpendapat bahwa orang dapat melihat segalanya ke Konstantinopel.

Menara itu dalam keadaan utuh ketika pasukan Arab datang ke sana, begitu juga kaca cermin itu, tetapi tidak berlangsung lama setelah itu. Kalangan sejarawan itu masih saling berbeda pendapat: Adakah orang-orang Arab itu hendak membangunnya kembali. Rasanya tak ada gunanya meneliti perbedaan pendapat mereka itu. Mereka yang berpendapat bahwa pihak Muslimin telah berusaha membangunnya kembali sepakat bahwa dalam usaha itu mereka tak berhasil.7

Rasanya sudah tak perlu lagi saya sebutkan, betapa dalamnya pengaruh bangunan Iskandariah serta keindahan dan kemegahannya yang luar biasa itu dalam hati orang-orang Arab yang menaklukkannya. Untuk memahami pengaruh ini cukup agaknya kalau kita membaca ungkapan Amr bin As dalam laporannya kepada Umar bin Khattab dengan kata-kata: "Amma ba'du. Saya tidak akan melukiskan keadaan kota yang sudah saya taklukkan, kecuali yang sudah saya peroleh ini saja, terdiri atas 4000 bangunan dengan 4000 pemandian, 40.000 orang Yahudi yang dikenakan jizyah dan 400 tempat hiburan untuk raja-raja." Kata-kata singkat dari orang yang terkenal suka berpanjang-panjang dan cermat dalam membuat gambaran itu, suatu bukti bahwa Amr melihat segala gambaran itu tidak akan mampu melukiskan segala yang dilihatnya di Iskandariah dengan sebenarnya. Bahkan ketika Amr bin As mengutus Mu'awiah bin Hudaij kepada Umar memberitahukan tentang penaklukan itu, Mu'awiah bertanya: "Tidak menulis surat untuk saya bawa?" Amr menjawab: "Apa yang akan saya katakan dengan surat? Bukankah Anda orang Arab yang mampu melukiskan segala yang Anda lihat dan alami?" Demikian jawabannya, padahal dia tahu bagaimana Umar ingin mengetahui segalanya itu lebih pasti, lebih jelas dan terinci.

Pengaruh Iskandariah itu memang sangat membekas dalam hati orang yang telah menaklukkannya. Di samping itu keterangan para penakluk itu meninggalkan kesan yang sangat dalam pula di hati para sejarawan yang mencatatnya dua abad kemudian. Kita melihat bahwa cerita-cerita mereka itu sudah sangat berlebihan, yang tak dapat ditafsirkan lain dari kekaguman orang-orang yang bercerita itu sampai mereka percaya saja segala yang mereka dengar. Ibn Abdul-Hakam misalnya dalam sebuah sumber dengan mengutip dasarnya menyebutkan: "Pemandian-pemandian yang sudah dihitung di Iskandariah ada dua belas ruangan bawah, ruangan terkecil berisi seribu tempat duduk, setiap tempat duduk dapat memuat beberapa orang." Dan katanya lagi: "Setelah Iskandariah ditaklukkan, di sana ada dua belas ribu pedagang sayur yang menjual sayur segar." Suyuti menyebutkan, bahwa semua penduduk Iskandariah mengenakan pakaian hitam dan merah karena lantai dan bangunan-bangunannya terbuat dari pualam putih. Karena kilauan pualam itu pula yang membuat para pendeta mengenakan pakaian serba hitam. Menyedihkan sekali orang yang berjalan di kota malam hari, karena cahaya bulan yang memantul di pualam putih membuat terang-benderang, sehingga seorang penenun dapat memasukkan benang ke dalam jarum tanpa menggunakan penerangan lampu lagi. Orang tak akan dapat memasuki kota tanpa menggunakan tutup mata yang akan melindunginya dari pantulan lapisan dinding dan pualam. Dalam melukiskan Sarapeum Mas'udi menyebutkan: "Dalam gedung itu terdapat seratus pilar besar, yang tak pernah terlihat ada ukuran semacam itu dengan puncaknya yang seperti mahkota... Pilar-pilar itu bergerak-gerak jika tertiup angin." Suyuti mengatakan, "bahwa di Iskandariah jin-jin Nabi Sulaiman telah membangun sebuah aula untuk tempat pertemuan, dengan tiga ratus pilar yang tingginya masing-masing tiga ratus depa, dan terbuat dari pualam warna warni, yang dipoles hingga seperti kaca cermin; orang dapat melihat orang lain berjalan di belakangnya. Di tengah-tengah aula ada sebuah pilar yang tingginya seratus sebelas depa; langit-langitnya terbuat dari selembar pualam hijau yang dipahat oleh jin. Jin-jin itu dalam bentuk manusia dengan kepala-kepala seperti kubah dan mata yang dapat mencabik singa."

Cerita-cerita ini dan yang semacamnya banyak sekali yang dikutip orang, membuktikan bahwa ibu kota Mesir itu memang meninggalkan kesan yang dalam sekali dalam hati para penakluknya. Mereka tak pernah merasakan yang semacam itu di seluruh kawasan yang pernah mereka bebaskan sebelumnya. Segala yang mereka saksikan itu mereka ceritakan. Selanjutnya cerita-cerita yang benar dan palsu yang mereka dengar itu kemudian ditambah-tambah, yang dalam kritik, kebanyakannya tak dapat dipertahankan.

Pengaruh ini sangat terasa dalam hati para penakluk itu, begitu mereka masuk di Iskandariah pertama kali. Tak lama kemudian setelah mereka melihat kehidupan warganya lebih-lebih lagi mereka kagum, dengan segala macam bangsa yang ada, agama-agama dan sekte-sekte yang beraneka macam, sejalan dengan bahasa-bahasa dan berbagai logat yang mereka gunakan. Semua ini merupakan rangkuman yang penuh dengan kehidupan yang tak ada bandingannya ketika dulu mereka membayangkan menara Babilon. Sungguhpun begitu, adanya perbedaan­ perbedaan bangsa, agama dan sekte, banyaknya bahasa dan dialek, samasekali tidak sampai mengganggu ketenteraman hidup penduduk ibu kota itu. Kalangan atasnya memang sudah hanyut dalam berbagai macam kesenangan yang membuat mereka lupa akan segala perbedaan itu, dan lupa segalanya selain berfoya-foya dengan segala kemewahan yang begitu beraneka ragam, sehingga membuat orang-orang Arab itu kebingungan, hampir mereka tak percaya apa yang mereka lihat dan mereka dengar itu!!

Selesai pengepungan, begitu kota itu kembali aman, kehidupan lama pun kembali lagi seperti semula, orang bersenang-senang dalam berbagai macam hiburan, menikmati kembali pelbagai macam kebiasaan. Lembaga-lembaga ilmu mengadakan sidangnya membahas masalah­asalah filsafat, matematika, kedokteran, seni dan lain sebagainya yang berhubungan dengan segala kenikmatan akal pikiran dan kekayaannya. Perhatian mereka dalam berlogika dan berdiskusi tercurah belaka pada keanekaragaman kekayaan itu Jika ada yang melihat sidang itu orang akan mengira bahwa hidup ini semua hanya untuk kepentingan akal pikiran semata dan segala yang diciptakan ilmu dan seni. Di bagian lain, marak pula tempat-tempat hiburan dengan penari-penarinya yang cekatan, penyanyi-penyanyi yang penuh haru, dengan segala pertunjukan teater, musik dan berbagai macam kesenian. Semua itu tak pernah terlihat oleh mata, tak pernah terdengar oleh telinga, juga tak pernah terlintas dalam pikiran mereka. Di samping itu terdapat juga tempat­ tempat industri yang begitu ramai dan hiruk pikuk selalu. Dengan menyingsing lengan baju para pekerja begitu sibuk. Mereka memproduksi beraneka macam barang, yang kesempurnaan pekerjaannya hanya terdapat di Iskandariah. Di bagian lain pedagang-pedagang kota di kampung masing-masing yang tidak mengalami kelesuan pasar akibat perang, tetap berjual-beli dan mengadakan transaksi. Mereka senang sekali dengan datangnya pelbagai macam hasil tanaman dan industri Mesir ke ibu kota Lembah Nil itu, dan barang-barang yang dibawa dari Nubia, Timur Jauh, Syam dan Eropa. Mereka itu kaum elite Iskandariah, dengan pakaian mereka yang indah beraneka ragam. Mereka ada yang pergi ke tempat-tempat hiburan, toko-toko, lembaga-lembaga ilmu dan gedung-gedung teater. Bila mereka sudah kembali pulang ke rumah masing-masing, barang-barang kesenangan itu menambah kecintaan mereka pada kehidupan dunia yang lebih besar lagi. Semua itu apa artinya gerangan!! Hanya saja ini lebih dekat kepada khayal daripada kenyataan! Sungguhpun begitu ini adalah kenyataan yang dapat dirasakan oleh para penakluk itu. Hanya kekaguman itu saja yang masih tinggal pada mereka. Mereka sudah tak dapat berbicara soal lain.

Para komandan pasukan itu tidak pula kurang kagum dan terpesonanya. Kita sudah melihat pengaruh kekaguman mereka itu dalam surat Amr bin As yang dikirimkan kepada Khalifah, bahwa kecemerlangan kota itu sudah membuatnya tak mampu melukiskan apa yang dilihatnya itu. Yang disebutnya hanya "yang sudah saya peroleh ini saja, terdiri atas 4000 bangunan dengan 4000 pemandian, 40.000 orang Yahudi yang dikenakan jizyah dan 400 tempat hiburan untuk raja-raja." Karena ketidakmampuan itulah yang membuatnya terpaksa mengutus Mu'awiah bin Hudaij ke Medinah dan tidak disertai surat, bahkan katanya: "Apa yang akan saya katakan dengan surat? Bukankah Anda orang Arab yang mampu melukiskan segala yang Anda lihat dan alami?!"

Selama berhari-hari Mu'awiah dalam perjalanan akhirnya ia sampai di Medinah di waktu lohor. Setelah menderumkan untanya di dekat pintu Masjid ia masuk dan duduk tak jauh dari pintu itu. Seorang pembantu perempuan keluar dari rumah Umar bin Khattab. Melihat mukanya yang pucat dengan mengenakan pakaian seorang musafir, ia dapat menangkap bahwa orang ini utusan Amr bin As. Ia masuk lagi ke dalam rumah cepat-cepat kemudian cepat-cepat kembali lagi sambil berkata: Berdirilah. Silakan, Amirulmukminin memanggil Anda. Mu'awiah masuk mengikuti pembantu itu. Ketika Umar menanyakannya ia menjawab: Kabar baik, Amirulmukminin. Allah telah menaklukkan Iskandariah untuk kita. Saat itu juga Umar pergi ke Masjid bersama Mu'awiah dan meminta muazin menyerukan azan dan mempersiapkan salat. Setelah mereka berkumpul kata Umar kepada Mu'awiah: Berdirilah dan beritahukan kepada jamaah. Setelah itu Umar mengerjakan sujud syukur kepada Allah. Selesai itu ia pulang dan di rumahnya ia menghadap kiblat dan berdoa. Kemudian ia meminta pembantunya membawakan makanan berupa roti dan minyak zaitun kepada utusan yang membawa berita tentang Iskandariah itu. Mu'awiah makan dengan agak malu-malu. Setelah itu dibawakan lagi sepiring kurma, yang dimakannya dengan perasaan malu. Selesai makan ia ditanya oleh Umar: Apa yang Anda katakan di Masjid tadi, Mu'awiah? Saya katakan bahwa Amirulmukminin mendukung, jawab Mu'awiah, diikuti oleh Umar yang berkata: Buruk sekali dugaanku itu! Kalau saya tidur siang, rakyat yang saya rugikan; kalau saya tidur malam, saya sendiri yang rugi. Bagaimana akan dapat tidur dengan adanya dua persoalan ini, Mu'awiah?!

Nasib Muqauqis setelah pembebasan Iskandariah

Sementara Mu'awiyah dalam perjalanan ke Medinah itu penarikan pasukan Rumawi sudah dimulai dari Iskandariah, melalui darat dan laut. Di atas sudah saya sebutkan bahwa sesudah menaklukkan Iskandariah persetujuan yang diadakan antara Amr dengan Muqauqis barangkali tidak lebih dari pengaturan dalam hal pengosongan pasukan Rumawi dari ibu kota Mesir dan dari seluruh Mesir. Mengutip Balazuri yang mengatakan: "Konon bahwa Muqauqis mengadakan perjanjian dengan Amr atas dasar tiga belas ribu dinar, dan dengan syarat bahwa barang siapa ingin keluar dari Iskandariah boleh keluar dan yang ingin tinggal boleh tetap tinggal. Setiap orang Kopti yang sudah dewasa dikenakan dua dinar. Untuk itu ia menulis surat kepada mereka." Butler menarik kesimpulan dari cerita Hanna Naqyusi bahwa Muqauqis dan Amr telah mengadakan persetujuan perletakan senjata setelah penaklukan Iskandariah selama sebelas bulan, yang selama dalam waktu itu pihak Arab tetap di tempat masing-masing. Dalam pada itu garnisun Rumawi di Iskandariah berangkat melalui laut dengan harta dan barang-barang mereka. Barang siapa ingin pergi melalui darat harus membayar jizyah bulanan sampai mencapai negeri Kaisar. Di samping itu Butler menambahkan beberapa syarat yang bertalian dengan persetujuan yang sudah dibuat di Babilon antara panglima Arab itu dengan uskup Rumawi. Jelas bahwa syarat­syarat ini sudah disebutkan di dalam perjanjian yang dasar-dasarnya sudah ada ketika pasukan Arab dulu mengepung benteng Babilon, yaitu perjanjian yang dulu ditolak oleh Heraklius. Tetapi sesudah terjadi penaklukan Iskandariah dengan kekerasan, soalnya terbatas hanya pada pengaturan dalam hal pengosongan pasukan Rumawi dari Iskandariah dan dari tempat-tempat lain di Mesir.

Rupanya yang disebutkan Butler tentang perletakan senjata itu benar, kendati mengenai pembatasan waktunya yang sebelas bulan itu masih diperselisihkan. Sebagian mereka berpendapat bahwa waktu itu tak lebih dari yang sudah diperkirakan oleh Amr bin As. Untuk itu cukup dilihat dari penolakan Khalifah mengenai syarat-syarat perletakan senjata dan pengosongan itu, yaitu tidak lebih dari dua bulan. Barangkali pendapat ini lebih mendekati kebenaran, mengingat kedatangan kapal-kapal ke Rumawi untuk mengangkut pasukan Rumawi itu tidak akan memakan waktu lebih dari itu.

Muqauqis tidak ikut pergi bersama pasukan Rumawi yang sudah dikosongkan dari Iskandariah itu. Ia tetap tinggal di istananya sampai meninggalnya dan dimakamkan di pemakaman kota Iskandariah. Ia tidak berpikir akan meninggalkan kota, karena dia tahu bahwa itu berarti ia mempertaruhkan kebebasannya, bahkan mempertaruhkan hidupnya jika ia tinggal di Bizantium. Kalau itu yang dilakukannya niscaya ia akan mengalami nasib diasingkan atau mati. Uskup tua itu dulu juga tinggal dalam pengasingannya atas perintah Heraklius sampai kemudian dipanggil oleh Konstantin dan Martina serta anaknya sesudah Heraklius meninggal. Kemudian atas persetujuan Martina ia pergi ke Iskandariah, dan tetap tinggal di sana sampai pasukan Arab membebaskannya dan diadakan persetujuan perletakan senjata. Waktu itu kemarahan Rumawi kepada Martina dan anaknya sudah mencapai puncaknya sesudah terbunuhnya Konstantin, atau disingkirkannya anak muda itu dan ibunya dari pemerintahan, kemudian digantikan oleh Konstans anak Konstantin naik takhta. Semua orang di Konstantinopel sudah tahu tentang hubungan Muqauqis dengan Martina. Andaikata ia pergi ke sana tidak heran jika ia akan mengalami nasib seperti yang telah dialami Ratu sekutunya itu. Karenanya ia memilih tetap tinggal di Mesir dengan keyakinan pihak Arab akan membiarkannya sebagai orang yang berpengaruh dan sejalan pula dengan usianya yang sudah lanjut.8

Banyak orang Mesir dan Rumawi yang mencari perlindungan di Iskandariah setelah jatuhnya benteng Babilon. Mereka berharap-harap akan dapat kembali ke tempat mereka masing-masing sesudah Iskandariah jatuh. Mereka memohon kepada Muqauqis membicarakan hal itu kepada Amr. Tetapi permintaan itu ditolak oleh Amr, karena ada beberapa tempat yang kuat masih tetap mengadakan perlawanan. Akan berbahaya sekali adanya orang-orang yang mungkin akan membantu mereka dalam mengadakan perlawanan itu. Muqauqis melihat penolakan Amr itu suatu tanda bahwa pengaruhnya sudah hilang. Itulah juga yang membuatnya kesal dan mempercepat kematiannya. Adakah ia mati karena penyesalannya menyerahkan Iskandariah kepada pihak Muslimin, seperti kata Hanna Naqyusi? Ataukah ia khawatir akan dibunuh oleh Amr. Setelah kekhawatirannya demikian itu sampai di puncaknya ia meletakkan cincin beracun di mulutnya dan ia meninggal ketika itu juga, seperti kata Severus,9 atau mati wajar karena ketuaannya? Butler menegaskan bahwa ia meninggal karena terserang disentri, dan karenanya ia mati biasa dan dimakamkan di Iskandariah pada tanggal 21 Maret 642.

Cyrus sudah meninggal, dan Rumawi pun sudah keluar dari ibu kota Mesir itu. Sekarang pihak Muslimin yang memegang kekuasaan dan menjalankan pemerintahan. Dengan demikian kedaulatan Rumawi sudah berganti dan kekuasaannya pun hilang, kendati masih ada beberapa garnisun yang sudah terkurung di beberapa tempat. Apa yang masih diharapkan oleh garnisun ini dari kedaulatan dan kekuasaan yang sudah hilang? Itulah sebabnya, jatuhnya Iskandariah ke tangan Amr bin As suatu isyarat dari Allah bahwa seluruh Mesir sudah berada di tangan Muslimin, dan Ia mengharuskan mereka memperbaiki keadaan mereka yang sudah rusak dan membangun kembali mana-mana yang sudah hancur. Tetapi mereka tidak akan melakukan itu sebelum seluruh bumi Mesir dibersihkan dari Rumawi, supaya ada rasa aman dalam hati orang-orang Kopti, dan keamanan di seluruh negeri sudah stabil. Maka jangan ada orang Rumawi yang berkata dalam hatinya untuk kembali lagi ke Mesir. Kalaupun ada yang berusaha ke arah itu, mereka akan dipukul mundur, dan akan merasakan akibat perbuatan itu.

Itulah segala yang sudah terjadi, dan pembaca akan melihat nanti bagaimana terjadinya.

Catatan Kaki:

  1. Butler berpendapat bahwa jenderal Rumawi yang dipanggil oleh Konstantin dari Mesir untuk dimintai nasihatnya itu saat memanggil Cyrus dari tempat pembuangannya ialah Theodorus, panglima tertinggi pasukan, dengan menyebutkan bahwa Martina ingin Theodorus yang memimpin armada pasukan yang membawa Cyrus ke Mesir itu. Hal ini dilakukannya setelah ia mengetahui bahwa ia dicintai oleh angkatan bersenjata, juga karena ia khawatir Cyrus akan bergabung dengan lawan-lawannya kalau ia tetap tinggal di Konstantinopel. Di samping itu ia mengira bahwa Theodorus melihat kemelut di udara istana yang penuh intrik-intrik itu memaksa Martina meninggalkan ibu kota kerajaannya dan pergi ke Rhodes, dan melihat lawan-lawan Martina bersekongkol hendak menjatuhkannya. Maka untuk mencari selamat lebih baik ia pergi ke Karthage atau sambil menunggu akan terjadi peristiwa-peristiwa yang akan memberikan kesempatan kepadanya seperti yang dialami Heraklius sebelumnya. Kalau bagi Theodorus kesempatan ini sudah terlihat ia dan pasukannya akan pergi ke Konstantinopel dan tritunggal yang tak berdaya itu akan diturunkan dan dia sendiri akan naik takhta, mengambil teladan dari Heraklius ketika ia menawan dan memecat Phocas dan kemudian membunuhnya. Inilah yang tersimpan dalam hati Theodorus dan dia pura-pura tunduk kepada perintah Martina. Armada yang membawa Cyrus dan pasukan Rumawi telah bertolak ke Mesir. Pada suatu malam ia berbisik kepada anak buah kapalnya agar menuju ke arah barat ke jurusan Karthage. Anak buah kapal itu pura-pura mau menjalankan perintahnya. Tetapi kemudian ia berdalih bahwa karena terhalang oleh angin kapal itu tak akan dapat menuju ke barat. Theodorus dan Cyrus ternyata sudah turun di Iskandariah dan ternyata pula orang menyambut jenderal tua itu sebagai seorang panglima yang menang perang.
    Butler mendasarkan pendapatnya itu pada sebuah versi dalam buku Hanna an­Naqyusi. Tetapi dia menyebutkan bahwa dia mengutipnya secara bebas. Seperti dikatakan oleh Hanna sendiri, bahwa Kaisar "meminta kedatangan Anastasius dan agar meninggalkan Theodorus dalam penjagaan Iskandariah dan kota-kota pesisir." Butler telah mengganti nama Anastasius dengan nama Theodorus. Inilah beberapa kebebasan yang disebutkan oleh Butler. Soalnya karena Theodorus sendiri adalah panglima tertinggi pasukan dan karena Hanna sendiri menyebutkan bahwa Anastasius adalah gubernur Iskandariah sebelum kembalinya Cyrus ke sana. Disebutkan juga bahwa Theodorus bersama Cyrus di Rhodes dan bahwa dia kembali bersama-sama dari sana ke Iskandariah.
    Kita tidak menyangsikan bahwa Butler salah dalam penyimpangannya dari Hanna an-Naqyusi itu, dan yang mengatakan bahwa yang dipanggil oleh Konstantin Theodorus, bukan Anastasius. Buku-buku sejarah yang dipakai acuan Butler merupakan bukti yang paling kuat tentang kesalahannya itu. Disebutkan bahwa pasukan Muslimin berangkat dari benteng Babilon menuju Iskandariah bulan Mei 641. Mereka sampai di sana dan mengepungnya bulan Juni setelah terjadi pertempuran di beberapa tempat dengan pasukan Rumawi, yang secara terinci diuraikan dalam buku itu. Butler sendiri mengakui bahwa Theodorus adalah panglima Rumawi yang telah memimpin serangan-serangan itu, dan ini jelas disebutkan. Kalau Konstantin memanggil Theodorus ke Konstantinopel dan bertemu di sana, sudah tentu ini terjadi sebelum bulan Mei, karena Konstantin meninggal dalam bulan itu juga. Dalam bulan itu dan bulan Juni Theodorus memimpin sendiri pasukan yang akan memerangi Arab. Jadi mustahil sekali akan terjadi dua peristiwa ini dalam waktu yang bersamaan.
    Adapun pegangan Butler bahwa Theodorus kembali bersama Cyrus ke Iskandariah tidak mengubah apa yang sudah disebutkan di atas tadi. Kalau benar hal ini hanya memperlihatkan bahwa selama pengepungan Iskandariah itu Theodorus pergi ke Rhodes, kemudian kembali dari sana bersama Cyrus. Selama ia pergi itu pimpinan diserahkan kepada Anastasius yang cepat-cepat kembali ke Mesir setelah meninggalnya Konstantin.
    Dari sini terlihat bahwa sesudah diteliti dan dibahas, buku-buku sejarah yang dipakai oleh Butler itu patut ditinjau kembali. Saya hanya mengemukakan satu bukti saja dari sekian banyak bukti yang mendukung pendapat itu. Butler berpendapat bahwa ketika Heraklius meninggal pasukan Arab masih mengepung Babilon dan beberapa bulan sebelum berangkat ke Iskandariah, padahal hampir semua sejarawan Muslimin sepakat bahwa Heraklius meninggal lima bulan setelah pengepungan Iskandariah. Banyak sejarawan Eropa yang setuju dan mengakui kebenaran pendapat para sejarawan Muslimin itu. Melihat yang demikian sudah seharusnya kita lebih berhati-hati. dan meninggalkan bagian-bagian yang masih meragukan dalam sejarah masa itu, yang penuh pertentangan dan masih kacau.
  2. Fathul 'Arab li Misr (The Arab Conquest of Egypt), terjemahan bahasa Arab, h. 248.
  3. Butler, terjemahan bahasa Arab, h. 288.
  4. Lampiran ketujuh terjemahan buku Butler dalam bahasa Arab h. 498.
  5. Dikutip oleh Butler, terjemahan bahasa Arab h. 323.
  6. Jalan ini mereka namai Heptastadium.
  7. Banyak yang menyebutkan bahwa sebab dirobohkannya menara itu karena ini membantu Muslimin dalam menghadang serangan Rumawi dari laut dan dari serangan mendadak. Tetapi untuk merobohkannya pihak Rumawi membuat muslihat dengan mengirim seorang tokoh penting kerajaan kepada Walid bin Abdul-Malik dengan membawa berbagai macam hadiah berharga. Ia berpura-pura bahwa rajanya mendengkinya dan mau membunuhnya. Ia ingin masuk Islam dan tinggal di Syam, yang oleh Walid disambut baik. Orang itu menunjukkan kepada Walid tempat-tempat harta karun yang dapat digali dari Syam. Melihat nilai harta yang begitu besar Walid merasa senang sekali. Selanjutnya orang itu mengatakan bahwa di bawah dasar menara Iskandariah juga ada simpanan harta karun berupa emas dan permata dalam jumlah besar. Timbul nafsu hendak memiliki harta karun ini, Walid mengirim pasukan yang ditugaskan menghancurkan separuh menara itu dan membongkar kaca cermin itu. Tetapi setelah dibongkar tak ada yang dapat mereka temukan. Mereka baru sadar bahwa mereka tertipu. Lalu mereka membuat bangunan dari batu bata, tetapi tak berhasil meninggikan seperti menara yang semula. Sesudah kaca cermin itu diletakkan di atasnya. ternyata sudah tak bermanfaat lagi.
  8. Para sejarawan Muslimin tidak mengisyaratkan adanya perjalanan Cyrus ke Konstantinopel, juga tentang pengasingannya. Tetapi mereka menyebutkan bahwa dulu Heraklius menulis surat kepadanya mencela pendapatnya dan menganggapnya lemah, dan menolak segala tindakannya itu. Ia mcmerintahkan agar terus mengadakan perlawanan terhadap pihak Arab dan jangan berpendapat lain di luar itu, dan bahwa ia mengirim angkatan bersenjatanya dan menutup pintu Iskandariah serta mengumumkan perang kepada Muslimin. Muqauqis menemui Amr dan berkata: Ada tiga perkara yang saya minta. Kata Amr: Sebutkan. Muqauqis berkata: Janganlah memperlakukan Rumawi seperti memperlakukan saya. Saya sudah menasihati mereka tetapi mereka tak mau mendengarkan nasihat saya. Janganlah melanggar janji dengan orang-orang Kopti, karena mereka tak akan melanggar janji, dan kalau saya mati supaya dikuburkan di Gereja Abu Yahnus. Lalu kata Amr: Ini yang paling ringan buat saya.
    Selain sejarawan Muslimin, para sejarawan juga menyebutkan kepergian dan pengasingan Muqauqis itu dan kemudian kembalinya lagi ke Mesir, dengan penjelasan yang kira-kira tidak akan dapat diragukan. Malah kebenarannya sudah dapat diperkuat.
  9. Sejarawan ini mungkin penulis buku Historia Patriarcharum Alexandrinorum, yang biografinya tak banyak kita ketahui. - Pnj.

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team