|
CATATAN PENERJEMAH
KETIKA pertama kali saya melihat buku tebal ini, dalam
hati saya bertanya-tanya, apa yang akan dikatakan penulis
tentang Umar. Jika yang akan ditulis hanya biografi Umar
rasanya sepertiga atau separuhnya saja sudah cukup. Sesudah
membacanya dan saya ikuti dengan saksama, rupanya Haekal
tidak sekadar menulis biografi; ia membuat studi yang cukup
mendalam mengenai pribadi dari segi psikologi dan tipologi
Umar dan, beberapa tokoh penting lainnya, mengenai
masyarakat lingkungannya dan politik dunia sekitarnya ketika
itu. Bukan itu saja kita tidak hanya membaca Umar; kita juga
melihat dengan jelas beberapa tokoh penting lainnya dan
peranan sahabat-sahabat Nabi yang lain, yang berhubungan
dengan Umar. Kita lalu mengenal pribadi, peranan dan
tipologi Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Sa'd bin Abi Waqqas,
Khalid bin Walid, Amr bin As dan sekian lagi yang lain
begitu jelas, sepertinya baru itu mengenal mereka. Juga
penulis rupanya tidak mudah terbawa oleh kebiasaan yang
apabila sudah mengagumi seorang tokoh lalu menyanjungnya
tanpa melihat kekurangannya yang lain sebagai manusia.
Haekal tidak segan-segan membuat kritik terhadap siapa saja
tokohtokoh sejarah itu, bila dilihatnya perlu
dikritik.
Kepemimpinan Umar bin Khattab selama lebih dari sepuluh
tahun sebagai Amirulmukminin, sebagai pemimpin dan kepala
pemerintahan, dengan prestasi yang telah dicapainya memang
terasa unik, jika kita baca langkah demi langkah perjalanan
hidupnya itu, dan cukup mengesankan. Umar sebagai Khalifah
tidak sekadar kepala negara dan pemerintahan, lebih-lebih
dia sebagai pemimpin umat. Ia sangat dekat dengan rakyatnya,
ia menempatkan diri sebagai salah seorang dari mereka, dan
sangaf prihatin terhadap kehidupan pribadi mereka.
Peranannya dalam masyarakat jahiliah sebelum masuk Islam,
kepribadiannya sebagai manusia Arab dan kemudian sebagai
Muslim. Sebagai murid dan sahabat Nabi, pergaulannya dengan
Nabi dan dengan sahabat-sahabat yang lain, sampai peranannya
sebagai kepala negara, wataknya yang keras dan yang lembut,
dengan scgala tanggung jawab dan kesederhanaan hidup pribadi
dan keluarganya, merupakan teladan yang sukar dicari tolok
bandingnya dalam sejarah.
Sudah seharusnya kita menempatkan diri lebih akrab dengan
biografi tokoh-tokoh besar dalam sejarah. Khusus dalam
sejarah Islam, sesudah Rasulullah Sallallahu 'alaihi
wasallam, nama Umar bin Khattab terasa yang paling menonjol
di kalangan umat Islam, juga di luar - di samping nama-nama
para sahabat Nabi yang lain. Peranannya dalam ijtihad dan
pengaruhnya terhadap perubahan pandangan orang, besar
sekali. Salah satu segi yang menarik misalnya, masalah
fikih. Di kalangan Muslimin Umar terkenal karena ijtihadnya
yang luar biasa dan berani dalam memecahkan masalah-masalah
hukum, sekalipun yang sudah termaktub dalam Qur'an, seperti
tentang mualaf misalnya, atau peristiwa-peristiwa baru yang
timbul setelah Rasulullah wafat.
Dalam menghadapi semua ini para ulama sudah tentu
bertolak dari Qur'an dan hadis sebagai sumber utama, dan
sebagian lagi dari ulama salaf Tetapi di samping kedua
sumber utama itu segala peristiwa dan peranan para sahabat
Nabi terasa perlu sekali mendapat perhatian, perlu lebih
banyak dipelajari dengan menekuni sejarah dan biografi
mereka. Kita melihat, bahwa mereka yang dalam pergaulan
lebih dekat dengan Nabi dan dengan masa itu, mereka sangat
berlapang dada, lebih toleran, terbuka dengan pandangan yang
luas dalam memecahkan masalah-masalah hukum agama dalam
berbagai masalah kehidupan sehari-hari. Rupanya sejarah masa
itu telah memberi sumbangan yang tidak kecil dalam
menentukan jalannya hukum Islam kemudian hari.
Keikhlasan Umar dan integritasnya mengabdi kepada Islam
dan kepada umat, pribadinya yang sering disebut-sebut
sebagai teladan karena ketegasannya, keadilannya yang
benar-benar tanpa pilih bulu dan sikapnya yang sangat anti
kolusi dan nepotisme. Semua itu dibukti kan dalam
perbuatan. Salah seorang anaknya sendiri, karena melakukan
suatu pelanggaran dijatuhi hukum cambuk dan dipenjarakan,
yang akhirnya mati dalam penjara. Menjelang kematiannya Umar
menolak usul beberapa sahabat untuk mendudukkan anaknya yang
seorang lagi, atau anggota keluarganya untuk dicalonkan
duduk dalam majelis syura yang dibentuknya, yang berarti
memungkinkan mereka menduduki jabatan khalifah penggantinya.
Dimintanya jangan ada dari keluarga dan kerabantnya
dicalonkan untuk jabatan itu. Menjelang kematiannya ia
berkata, bahwa kalau Abu Ubaidah atau Salim bekas budak Abu
Huzaifah masih hidup, salah seorang itulah yang akan ia
calonkan. Bukankah Zaid bin Harisah, seorang bekas budak
yang dibeli oleh Khadijah Ummulmukminin lalu dimerdekakan,
oleh Rasulullah ditempatkan sebagai orang yang lebih mulia
dari kebanyakan orang Kuraisy dan kaum Muhajirin dan
Ansar?
Umar tidak ingin mengangkat pejabat yang tidak mengenal
amanat, tetapi karena hanya ambisinya ingin menduduki
jabatan itu. Dia juga yang memelopori setiap pejabat yang
diangkat terlebih dulu harus diperiksa kekayaan pribadinya,
begitu juga sesudah selesai tugasnya.
Betapa keras keadilan dan disiplin yang dipegangnya,
terutama dalam disiplin militer, yang juga telah mengagumkan
tokoh-tokoh dunia Bagaimana disiplin itu terjaga begitu
kuat, sehingga seolah-olah tidak masuk akal. Sekadar contoh,
Khalid bin Walid - jenderal jenius yang sangat menentukan
pembebasan Irak, Syam dan sekitarnya dan dengan gemilang
telah mengusir Heraklius Kaisar Rumawi kembali ke negerinya
- mendapat sanksi berat dan diturunkan pangkatnya karena
dianggap telah melanggar disiplin militer, malah pernah
dibelenggu karena dianggap melanggar ketentuan hukum yang
berlaku. "Dengan kematian Umar Islam telah mengalami retak,
yang sampai hari kiamat pun tak akan dapat diperbaiki," kata
salah seorang sahabat.
Tidak heran, begitu perasaan para pemikir dan orang-orang
terkemuka. Apalagi kaum duafa dan orang-orang miskin, mereka
lebih merasakan lagi, karena musibah itu telah menimpa
mereka juga. Ketika Medinah ditimpa kelaparan, ia juga ikut
menderita, makan seadanya, sehingga mukanya yang berisi dan
putih bersih, tampak cekung dan hitam. Bagi mereka Umar
adalah ayah dan saudara, dan dia menjadi benteng mereka,
menjadi tempat perlindungan mereka yang dapat dipercaya.
Dengan berpegang pada kebebasan, Dr. Haekal sebagai
seorang biografer terkemuka mengulas semua itu sangat
menarik dan jelas, tanpa melepaskan kritik di mana perlu. Ia
memang tidak sekadar menulis biografi Umar, tetapi juga
menganalisisnya dari beberapa segi, sekaligus juga
menyaringnya, mana-mana cerita yang dianggapnya tanpa dasar,
sekalipun buat awam mungkin lebih menarik, sekaligus
diperkenalkan kepada kita. Kita akan melihat tokoh-tokoh
sejarah penting lainnya: Peranan Ali bin Talib, peranan Abu
Ubaidah bin Jarrah dan Sa'd bin Abi Waqqas dan yang lain,
yang telah mendampingi Umar, termasuk Zubair bin Awwam,
Khalid bin Walid, Abdur-Rahman bin Auf, Amr bin As dan
sekian lari nama-nama para sahabat Nabi terkemuka dalam
militer dan sipil.
Peranan Umar yang, begitu menonjol tentu bukan hanya itu.
Ketegasan sikap dan kebijaksanaan berpikirnya, dengan
kecenderungan selalu mengutamakan musyawarah, juga
politiknya dalam mengendalikan pemerintahan serta
hubungannya dengan pihak luar, patut sekali menjadi studi
tersendiri yang akan cukup menarik. Akan kita lihat, bahwa
yang tampaknya benar-benar menggoda Umar dan menjadi
incarannya ialah daerah-daerah jajahan, dari Irak sampai ke
Azerbaijan dan Armenia yang menjadi jajahan Persia, Syam
(Yordania dan Palestina) sampai ke Mesir dan Afrika Utara
yang dijajah oleh Bizantium (Rumawi). Sampai pada waktu itu,
bangsa-bangsa dan penduduk masih selalu dalam ketakutan
kepada kedua raksasa itu yang bila sudah berkuasa berlaku
zalim dan memaksakan kehendak mereka kepada penduduk negeri
jajahannya .
Sasaran utamanya ia ingin membebaskan mereka yang masih
dalam genggaman kedua penjajah raksasa itu, dan sesudah
dibebaskan pemerintahan diserahkan kepada penduduk negeri.
Mereka dilepaskan untuk memerintah negeri sendiri. Umar
adalah tokoh pembebas pertama bangsa-bangsa dari kekuasaan
penjajah.
Di masanya inilah Islam berkembang sampai ke Persia, Asia
Barat, Mesir dan Afrika Utara. Orang bertanya-tanya: Mengapa
agama Islam dan bahasa Arab tidak diharuskan kepada
negeri-negeri yang sudah di bawah kekuasaannya? Memang
banyak tindakan Umar yang pada mulanya dianggap aneh. Umar
memberi kebebasan beragama sepenuhnya kepada penduduk
negeri. Juga ia menghendaki adanya kebebasan berdakwah dan
membiarkan Muslimin memberikan pelajaran agama kepada
penduduk yang masuk Islam. Itu saja sudahlah cukup buat dia,
yang pada masa kekuasaan Persia dan Rumawi hal yang tidak
mungkin terjadi. Apalagi yang selama itu pajak yang
dibebankan kepada rakyat begitu berat, kini sudah jauh lebih
ringan, seperti yang kemudian kita lihat ketika Islam masuk
di Mesir.
Kedaulatan Islam yang berdirinya telah dirintis oleh Abu
Bakr, oleh Umar diperluas dan berkembang dari perbatasan
Cina di timur sampai ke seberang Sirenaika (Cyrenaica) di
barat, dan dari Laut Kaspia di utara sampai ke Nubia di
selatan. Semua unsur ras dan etnik yang terjalin dan
berinteraksi dengan jati diri bangsa itu
masingmasing,kemudian peradaban dunia.
Umar tidak ingin mengganggu kedaulatan dalam negeri
Persia sendiri. Ia memerintahkan pasukannya untuk tidak
melampauinya. Bahkan tindakan ini yang selalu dikhawatirkan
Umar akan dilakukan oleh pasukannya. Umar berangan-angan,
sekiranyalah ada gunung api menjadi penyekat yang dapat
memisahkannya dari Persia, dan raksasa itu pun tak dapat
menjangkaunya. Tetapi gunung demikian itu rupanya tak pernah
ada.
Sejak semula Persia memang sudah memperlihatkan
permusuhan yang sangat kasar kepada Nabi, tetapi Umar tidak
ingin melakukan balas dendam. Dari para utusan dan
surat-surat Rasulullah yang dikirimkan kepada
pemimpin-pemimpin dan kepala-kepala negara agar sudi masuk
Islam, hanya Kisra Maharaja Persia yang memperlihatkan sikap
begitu angkuh dan kasar dengan menyobek surat itu, dan
memerintahkan kepada Bazan, wakilnya di Yaman supaya "kepala
lakilaki yang di Hijaz itu dibawa kepadanya." Tetapi
sebelum perintah itu sampai, Kisra sudah mati terbunuh oleh
sebuah komplotan di dalam istananya sendiri, dan Bazan malah
bergabung kepada Islam. Karenanya Umar harus membuat
perhitungan sungguh-sungguh terhadap kemungkinan pasukan
Persia yang sudah dipukul mundur sampai ke balik
pegunungannya sendiri itu berpikir ingin kembali ke Irak dan
sekitarnya dan mungkin akan terus menerjang sampai ke
Medinah, jantung Semenanjung Arab sebagai tindakan balas
dendam
Demikian juga yang terjadi dengan pihak Rumawi dan
daerahdaerah jajahannya. Pembahasan pengarang dari
segi sejarah ini cukup mendalam, disertai analisis politik
dan sosial-budaya.
Memasuki kurun waktu dalam sejarah masa Umar ini, tentu
tidak sama dengan masa para pendahulunya, masa Rasulullah
dan penggantinya, Abu Bakr. Jangkauan daerah dan
peristiwanya sudah banyak berbeda. Inilah semua yang menarik
untuk dijadikan bahan studi.
Selesai semua ini kelak kita akan mencoba melihat kurun
sejarah masa berikutnya itu, masa Usman bin Affan, insya
Allah.
Akhirnya perlu juga ada catatan bahwa dengan adanya
pengaruh interaksi dengan bangsa-bangsa dan kebudayaan lain
yang telah melahirkan akulturasi sebagai akibat meluasnya
Islam ke beberapa kawasan itu, peranan bahasa dalam kerja
penerjemahan buku ini sedikit banyak tentu ikut membias
juga. Bahasa yang berhubungan dengan sejarah masa Nabi dan
para sahabat dahulu atau tak lama sesudah itu, adanya
interaksi dan multibudaya atau lintas budaya seperti
disebutkan di atas, tampaknya memerlukan perhatian
tersendiri. Kesulitan yang saya rasakan dalam menghadapi
semua itu, tentu tidak sama dengan ketika menghadapi
peristiwa sejarah dengan budaya tunggal, terutama karena
terbatasnya persediaan buku-buku referensi lama, seperti
sudah saya sebutkan dalam Abu-Bakr as-Siddiq.
Dalam mengutip kata-kata klasik, yang diucapkan oleh
tokoh-tokoh sejarah atau dikutip dari buku-buku klasik,
pengarang sering mengutipnya utuh tanpa disertai penjelasan
atau catatan. Ini juga sering menjadi kesulitan tersendiri
dalam arti kebahasaan.
Penamaan lembaga-lembaga dalam administrasi negara dan
jabatanjabatan sipil atau militer yang berlaku waktu
itu, tentu tidak sama dengan istilah-istilah teknik seperti
dalam pengertian kita sekarang. Karenanya, kalaupun ada
kata-kata demikian yang dipakai dalam terjemahan ini
hanyalah sekadar isyarat.
Masalah huruf dan ejaan juga tak dapat diabaikan begitu
saja, terutama dalam melatinkan kembali nama-nama orang atau
tempat yang berasal dari huruf Latin, seperti nama-nama
Rumawi atau Kopti, nama nama Persia sebelum Islam -
bahkan kadang dari nama-nama Arab sendiri. Tentu semua ini
sukar dilacak, karena kebanyakan pengarang Arab hanya
menggunakan ejaan huruf dan bahasa Arab yang tidak mudah
dilatinkan kembali.
Di samping itu masih ada beberapa hal yang sedikit banyak
perlu kita singgung. Penerjemahan kata ganti orang kedua
dari beberapa bahasa asing yang tidak mengenal tingkatan -
termasuk dari bahasa Arab - ke dalam bahasa Indonesia memang
merupakan masalah klasik. Hal ini terasa sekali sulitnya
waktu kita menerjemahkan. Kata ganti engkau misalnya, dalam
beberapa hal terasa janggal penggunaannya. Maka untuk lebih
memudahkan terpaksa disalin dengan Anda, kendati kata ganti
tuan (/t/ kecil) menurut hemat saya lebih tepat, lebih
demokratis dan cukup anggun.
Ada juga pembaca yang mempertanyakan mengapa dalam
buku buku saya, termasuk dalam Sejarah Hidup Muhammad
saya menggunakan kata /dia/, bukan /beliau/ untuk sebutan
kepada Rasulullah dan pribadi-pribadi lain yang kita
hormati. Kata ganti 'dia' biasa digunakan untuk tokoh
sejarah, selain tidak mengurangi rasa hormat kita kepada
yang bersangkutan, lebih mengandung arti keakraban, terasa
lebih dekat di hati. Di samping itu sebutan 'beliau'
biasanya lebih tepat dialamatkan kepada orang yang masih
hidup.
Tanda baca (diakritik), agar tidak mengganggu pembaca,
kata-kata atau nama-nama asing hanya sebagian kecil
digunakan dalam teks. Tanda baca yang lebih lengkap akan
terdapat dalam indeks.
Semoga semua ini tidak akan terlalu mengganggu pembaca
budiman.
Bogor, 18 Mai 1998
PENERJEMAH
|