|
21. Mesir di Tangan Muslimin (3/4)
Mitos tentang 'Pengantin Sungai
Nil'
Sejalan dengan penolakan kita atas pemalsuan surat Amr
tentang penggambaran Mesir, baik juga jika kita menolak
pemalsuan lain, yang sudah tentu dari awal sampai akhir
memang sudah dikarang-karang dan tak ada dasar kenyataannya,
yaitu yang di dalam dongeng disebut "Pengantin Sungai Nil."
Ada disebut-sebut bahwa "setelah Amr bin As memerintah
Mesir, beberapa orang Mesir menemuinya bertepatan dengan
datangnya bulan Ba'unah menurut kalender Kopti. Mereka
berkata, bahwa "ada suatu kebiasaan dan adat yang berlaku
untuk Sungai Nil yang harus kami laksanakan: Apa itu? Mereka
menjawab, bahwa bila sudah lalu hari malam kedua belas bulan
ini kami pergi mencari gadis perawan di tempat orangtuanya,
kami meminta kerelaan orangtuanya dan kami ambil anak
gadis itu. Kami beri dia perhiasan dan pakaian terbaik,
kemudian kami lemparkan dan kami hanyutkan ke dalam Sungai
Nil. Kata Amr kepada mereka: Dalam Islam yang demikian tidak
mungkin; Islam membasmi apa yang sebelumnya. Selama
bulanbulan Ba'unah, Abib dan Masra14 mereka
tinggal, sedikit pun tak ada air Sungai Nil yang mengalir
sehingga mereka bermaksud keluar meninggalkan tempat itu.
Melihat yang demikian Amr menulis surat kepada
Amirulmukminin. Dalam jawabannya Umar mengatakan: "Sikap
Anda benar. Islam menghapus yang sebelumnya. Bersama ini
saya kirimkan kepada Anda sebuah berkas untuk dilemparkan ke
dalam Sungai itu, bila surat saya ini sudah Anda terima."
Setelah surat diterima oleh Amr dan isi berkas itu
dibacanya, ternyata isinya: "Dari hamba Allah Umar
Amimlmukminin, kepada Sungai Nil Mesir. Amma ba'du. Kalau
selama ini engkau mengalir dari pihakmu sendiri, maka
janganlah mengalir. Tetapi jika Allah Yang Mahatunggal
Mahaperkasa Yang membuatmu mengalir, maka kami berdoa kepada
Allah Yang Mahatunggal Mahaperkasa agar membuatmu mengalir."
Isi surat dan berkas itu oleh Amr diberitahukan kepada
mereka. Berkas itu kemudian dilemparkan ke dalam Sungai Nil
sehari sebelum hari Raya Salib. Penduduk Mesir sudah
bersiap-siap akan keluar dan meninggalkan negerinya, sebab
tak ada apa pun yang akan membuat mereka tinggal menetap
selain Nil. Pada hari Raya Salib itu Allah mengalirkannya
enam belas depa dalam satu malam, dan penduduk Mesir selamat
dari tahun yang sial itu."
Demikianlah cerita "Pengantin Sungai Nil" itu seperti
yang dikutip oleh sejarawan-sejarawan Muslimin. Teks ini
kita salin dari kitab anNujum az-Zahirah oleh Ibn
Tagri Bardi.15 Sedikit pun kita tidak akan ragu
menolak cerita ini semua. Walaupun bantahan demikian ini
tidak didukung oleh dalil ilmiah, rasanya cukup kalau kita
berpegang pada ilmu dan peradaban yang telah dicapai oleh
dinasti Firaun, serta tersebarnya agama Nasrani di Mesir
pada masa kekuasaan Roma. Segala macam cerita takhayul ini
tidak akan dapat dicerna. Butler sependapat dengan pandangan
ini; ia membantah cerita ini terjadi di masa Kristen.
Kemudian ia berkata: "Rupanya cerita ini ada dasarnya dalam
sejarah. Memang suatu kenyataan yang sudah menjadi kebiasaan
orang-orang Sudan di ujung pelosok-pelosok selatan,
suku-suku yang masih biadab melemparkan anak gadisnya yang
perawan dalam berpakaian pengantin ke sungai. Agaknya adat
ini diikuti juga oleh orang-orang Nubia yang masih biadab di
beberapa tempat ketika mula-mula Islam datang ke sana.
Barangkali adat dengan kurban anak perawan yang dibuang ke
sungai itu diikuti oleh Mesir di masa Firaun. Sudah dapat
dipastikan bahwa perayaan Nil dan permohonan agar mendapat
tambahan rezeki dan air terus mengalir itu adalah perbuatan
takhayul, yang kebanyakannya merupakan peninggalan masa-masa
silam. Tetapi tidak seperti kejahatan yang sampai
mengorbankan anak perawan itu Kebohongan yang paling besar
jika yang demikian ini dituduhkan kepada orangorang
Nasrani, bahwa merekalah yang mempertahankan adat yang
menjijikkan ini, hal yang memang tidak disetujui oleh agama
mereka, juga masyarakat mereka tidak mengakuinya."
Yang aneh bila sampai terpikir oleh Butler bahwa adat
yang menjijikkan semacam ini barangkali diikuti Mesir pada
masa Firaun, sampai ia begitu marah karena tuduhan itu
dialamatkan kepada orang-orang Mesir Kopti yang beragama
Kristen bahwa mereka yang kemudian mempertahankannya. Kalau
dinasti Firaun memang mengikuti jejak itu pada masanya,
tentu sesudahnya akan tetap bertahan dan niscaya pihak
Kristen yang mengikutinya tak dapat disalahkan. Berapa
banyak sudah kebiasaan zaman Firaun yang pindah ke zaman
Kristen dan zaman Islam, dan sebagian tetap ada sampai
sekarang.16 Dengan sikap mau berlapang dada tak
perlu Butler membela diri dalam menuduh pihak Firaun dan
sekaligus begitu marah dalam menangkis tuduhan kepada pihak
Kristen, yang hanya karena terdorong oleh semangat
keagamaannya, seperti yang sudah kita singgung di atas.
Tetapi ilmu pengetahuan kemudian membuktikan bahwa belum
pernah terjadi ada anak perawan yang dilemparkan ke dalam
Sungai Nil untuk mendorong datangnya air pasang, kendatipun
ada dikatakan bahwa ada anak perawan dalam bentuk sebuah
patung dari kayu yang diberi perhiasan kemudian dilemparkan
ke dalam Sungai sebelum air pasang. Tetapi ada beberapa
sarjana yang kemudian juga menolak pendapat ini. Andaikata
benar bahwa Firaun dan yang lain dahulu melemparkan patung
dari kayu ke dalam Nil dengan permohonan dan harapan
mendapatkan air pasang, tentu itu merupakan pukulan terhadap
ilmu dan kebijaksanaan mereka, dan akan memberikan dorongan
bahwa yang demikian itu merupakan satu bentuk takhayul yang
akan membuat orang awam merasa puas dan tak ada kalangan
pemikirnya yang menentang.
Inilah yang dapat kita sarikan dari sejarah masa Firaun.
Karena ingin lebih memperjelas dalam hal ini saya meminta
bantuan pengetahuan dan pendapat sarjana arkeologi, Profesor
Salim Hasan. Menurut penelitiannya, bahwa apa yang dikatakan
tentang berkas yang dikirimkan Umar bin Khattab kemudian
dilemparkan ke dalam Sungai Nil agar air pasang, kalaupun
itu benar, tak lebih bahwa Khalifah hanya sekadar mau
menyesuaikan adat kebiasaan orang Mesir dan tidak akan
merugikan. Beberapa kebiasaan para pendeta Mesir - dan
sebagian rajanya - pada permulaan pergantian musim panas
mengadakan pesta kurban dengan menyajikan lembu, angsa dan
kurban-kurban lain berupa roti dan sebagainya, untuk sang
dewa. Kemudian ke dalam Sungai itu dilemparkan pula berkas
tertutup dari kertas papyrus berisi perintah tertulis kepada
Nil agar mengalirkan air pasang yang sedang, yang akan
memberikan rezeki dan kemakmuran kepada negeri itu. Pesta
ini diadakan bersamaan pada hari datangnya air Sungai Nil
musim panas, yang mengalir dari Aswan ke daerah-daerah,
sebagai tanda datangnya banjir Nil yang besar. Tampaknya
pihak Kristen menghapus kurban kurban semacam itu dan
pada zaman orang-orang Kristen Roma tidak ikut
mempersembahkan kurban, sebab mereka tidak mengenal dewa
Nil.
Berkas itu dibiarkan dilemparkan ke dalam Sungai Nil
supaya air pasang datang dan kesuburan mcrata dinikmati
seluruh negeri. Setelah Arab masuk di Mesir, para sejarawan
menghubungkan dokumen Islam yang pertama itu kepada Umar bin
Khattab yang memerintahkan Sungai Nil supaya mengalir,
seperti yang dulu diperintahkan pemimpin Roma pada masa
Kristen, dan seperti diperintahkan oleh pendeta
pendeta dan beberapa raja di masa dinasti Firaun.
Mengenai cerita 'Pengantin Sungai Nil' ini hanya takhayul
saja berdasarkan dongengan yang disebarkan oleh sejarawan
Yunani Plutarch. Ringkasnya, bahwa raja Mesir Aegyptus
memohonkan ilham agar diberi petunjuk untuk menghindari
bencana yang akan menimpa negeri itu. Petunjuk yang
diterimanya menyebutkan, bahwa ia harus membuat kurban
dengan melemparkan anak gadisnya ke dalam Sungai Nil.
Petunjuk itu dilaksanakannya. Karena perbuatannya itu
dirasakannya sebagai beban batin yang amat berat, ia juga
kemudian melemparkan diri ke dalam Sungai dan mati menyusul
putrinya. Cerita yang disebarluaskan oleh beberapa penulis
Yunani dan Latin (Roma) sesudah Plutarch, dalam literatur
Mesir tak pernah disebut-sebut, padahal sumber dongeng itu
sudah tersebar luas selama berabad-abad, diulang-ulang
setiap tahun dan dirangkai pula dengan imajinasi berbagai
cerita yang akan membuat banyak orang mengira sebagai
kejadian yang sebenarnya.
Ataukah imajinasi yang merangkaikan dongeng 'Pengantin
Sungai Nil' itu yang terdapat dalam papyrus Harris di masa
Ramses III sekitar tahun 1198 dan 1167 Pra Masehi? Kalau itu
benar, adalah suatu bukti bahwa umat manusia memang sering
percaya pada dongeng-dongeng yang tak ada dasarnya dalam
kehidupan, tetapi dipalsukan kemudian dipersolek oleh
imajinasi penulis-penulis dan kalangan seni. Dalam kertas
papyrus Harris itu pengantin perawan yang sudah dihiasi lalu
dilempar ke dalam Sungai Nil tidak ada disebut. Yang ada
bahwa perluasan Sungai itu lebih dari seratus jangkar, dan
antara satu jangkar dengan yang berikutnya kira-kira tujuh
mil. Pada setiap jangkar itu ada sebuah "mihrab" (ruangan)
untuk Habi dewa Nil, ya ng diurus oleh seorang pendeta
yang memperoleh makanan dari pelayar Nil yang akan
dipersembahkan kepada Rabi sebagai kurban. Pada setiap
"mihrab" ada beberapa penjaga dengan makanan dan pakaiannya
sendiri. Pada setiap "mihrab" diletakkan sebuah karangan
bunga yang setiap hari diganti, dan enam buah patung Rabi
dewa Nil itu terbuat dari kayu jummaiz, dan enam buah lagi
patung Rabit, istrinya, terbuat dari kayu itu juga. Selain
itu masih ada patung-patung Rabi yang lain terbuat dari
emas, perak, kaleng dan batu-batuan Mesir beraneka macam,
seperti pualam lazuardi, zamrud, hablur dan gelang-gelang
dari emas dan perak. Patung patung itu semua
dilemparkan ke dalam Nil pada pesta hari Raya Rabi pada awal
pergantian musim panas. Setelah itu, dibawakan gantinya yang
baru dan diletakkan di "mihrab-mihrab" itu sampai tiba hari
raya tahun berikutnya dan semua itu dilemparkan ke dalam
Sungai sebelum datangnya air pasang, kemudian di
"mihrab-mihrab" dipasang patung patung baru setiap
tahun.
Mungkinkah cerita 'Pengantin Sungai Nil' khayalnya
diperoleh dari patung-patung yang dilemparkan ke dalam
Sungai itu, lalu lahir kehidupan dalam kayu jummaiz dan
bahan-bahan lain untuk pembuatan patung-patung itu? Apakah
Dewa Rabit istrinya itu yang memberi imajinasi tentang
konsep pengantin perawan yang sudah hidup dan berdenyut? Apa
pun soalnya, cerita yang kita lihat ini semua adalah dongeng
(legenda) yang dihiasi angan-angan, lalu angan-angan itu
digantikan oleh gambaran nyata, tiba-tiba di dalam Nil itu
ada pengantin gadis remaja turunan Hawa, lengkap dengan
pakaian dan perhiasan dilemparkan ke dalamnya. Ternyata para
sejarawan saling mengutip dongeng itu seolah-oleh memang
suatu kenyataan dan tetap hidup selama berabad-abad. Saya
tidak tahu, apakah mitos semacam ini sudah terhapus sesudah
dibantah oleh kalangan sejarawan dan oleh Profesor Salim
Hasan dengan hasil penelitian ilmiah, ataukah masih melekat
dalam pikiran orang dan berangan-angan bahwa hal itu pada
suatu waktu memang merupakan kenyataan?!17
Mitos tentang dibakarnya perpustakaan
Iskandariah
Sesudah kita membantah adanya dongeng pengantin Nil,
baiklah sekarang kita pindah ke mitos lain lagi yang
dialamatkan kepada Umar bin Khattab dan kepada kaum Muslimin
waktu itu, yakni suatu tuduhan keji, yang selama
berabad-abad para sejarawan masih juga saling mengutip, dan
dalam mengambil sumber itu sejarawan Muslimin tak ada yang
merasa perlu untuk menjernihkannya. Tuduhan itu mengenai
pembakaran perpustakaan Iskandariah. Barangkali karena
pandainya membuat kepalsuan selama berabad-abad itu oleh
pihak Muslimin dianggap sudah bukan masalah. Tetapi harus
kita akui juga, bahwa yang telah berjasa membongkar segala
kepalsuan itu kalangan orientalis. Sejak abad ke-19 mereka
telah mengadakan penjernihan dan membuat bantahan. Jasa yang
paling besar dalam menuntaskan masalah ini ialah Butler,
dengan argumen-argumen yang dikemukakannya yang akan membuat
orang setelah itu tidak akan ragu lagi untuk memastikan
adanya pemalsuan dan kebohongan itu.
Tuduhan yang lebih keji lagi dialamat kepada Umar dan
kaum Muslimin ketika itu, bahwa perpustakaan Iskandariah
adalah perpustakaan terbesar di dunia, berisi berbagai macam
buku berharga, meliputi berbagai macam disiplin ilmu dan
seni yang sedikit sekali bandingannya dalam perpustakaan
dunia dewasa ini. Perpustakaan itu dibangun oleh dinasti
Ptolemaeus dan sudah dapat mengumpulkan 700.000 buku, dibagi
ke dalam beberapa ruangan dalam perpustakaan Iskandariah
yang berdampingan dengan istana-istana raja.
Bangunan-bangunan perpustakaan yang besar ini bersambung
dengan bangunan-bangunan sekolah kedokteran, anatomi dan
operasi; sekolah matematika dan astronomi, sekolah hukum dan
filsafat, di samping juga bangunan untuk observatorium serta
perkebunan untuk penelitian tumbuh-tumbuhan. Dengan demikian
perpustakaan dan universitas yang bersambung itu merupakan
pusat kebudayaan dunia terbesar waktu itu. Sudah tentu
pembakaran perpustakaan dengan keadaannya yang demikian itu
adalah suatu kejahatan yang sungguh mengerikan, dan suatu
perbuatan pidana terhadap umat manusia, yang hanya dilakukan
secara sengaja oleh orang biadab yang sudah begitu buas dan
beringas.
Sungguhpun begitu, tuduhan ini dialamatkan kepada Umar
bin Khattab dan kaum Muslimin masa itu, dan terus melekat
pada mereka selama beberapa abad terus-menerus untuk
dijadikan sasaran tuduhan palsu dan kritik. Hal ini terus
berjalan sampai kemudian ilmu pengetahuanlah yang
membantahnya, dan setiap orang yang masih akan menyebut hal
itu pasti akan dibantah. Sekiranya para sejarawan dahulu mau
peduli terhadap segala kritik, dan mau benar-benar
menyaring, niscaya pemalsuan semacam itu akan mudah
terlihat, dan selama enam abad ini sejarah tidak akan
terus-menerus terjerumus ke dalam kesesatan. Petunjuk paling
mudah bagi mereka untuk melihat segala pemalsuan itu, ialah
bahwa sepanjang lima abad setelah Muslimin membebaskan Mesir
tak pernah ada buku yang memuat soal itu. Padahal para
sejarawan yang mencatat sejarah selama periode itu - di
antara mereka terdapat orang-orang Mesir dan Kristen - tidak
akan membiarkan cacat apa pun yang dikaitkan kepada pihak
Arab yang tidak akan mereka catat. Di samping itu, tak ada
di antara mereka yang menyinggung nyinggung soal
dibakamya perpustakaan Iskandariah itu.
Dongeng ini barangkali timbul dalam lingkungan
orang-orang Syiah. Abul-Hasan al-Qifti18 dalam
bukunya Tarikhul H ukama', dikutip oleh Abul-Faraj bin
al-Ibri,19 dan keduanya hidup dalam abad ke-13
Masehi. Para sejarawan yang datang sesudah itu banyak pula
yang mengutip mereka dengan jaringan-jaringan atau rekayasa
yang sudah dibuat begitu sempurna. Kita sudah dapat melihat
dengan jelas penyempurnaan ini dari cara pengambilan
sumbernya. Mereka menyebutkan bahwa ada seorang pendeta
Kopti bernama Hanna20 an-Nahwi dipecat oleh
majelis pendeta karena dalam kepercayaannya terdapat
penyimpangan. Sesudah penaklukan pendeta ini menghubungi Amr
bin As. Amr melihat orang ini memang cerdas dengan pikiran
yang jemih dan keluasan ilmunya. Setelah ia yakin akan
sambutan Amr kepadanya, suatu hari ia berkata kepadanya:
"Saya sudah melihat kota ini seluruhnya. Anda sudah menyegel
semua barang berharga. Saya tidak akan meminta apa pun yang
dapat Anda manfaatkan, hanya satu yang buat Anda tidak
berharga tetapi bagi kami sangat berarti." Amr menanyakan
apa yang dimaksud dengan kata-katanya itu. Pendeta itu
menjawab: "Maksud saya buku-buku ilmu yang ada di dalam
khazanah-khazanah Rumawi." Amr menjelaskan: "Soal itu tak
dapat saya putuskan tanpa mendapat izin dari Khalifah."
Kemudian ia menulis surat meminta pendapat Khalifah. Jawaban
yang diterimanya dari Medinah sebagai berikut:
"Mengenai buku-buku yang Anda sebutkan, kalau yang ada
itu sudah cocok dengan yang ada dalam Kitabullah, kita sudah
tidak memerlukannya lagi. Tetapi kalau bertentangan tak ada
gunanya buat kita dan bakar sajalah." Sesudah menerima surat
itu Amr memerintahkan agar buku-buku itu disebarkan di
beberapa tempat pemandian di Iskandariah untuk dibakar, dan
akibat pembakaran itu api terus menyala selama enam bulan.
Ini ringkasan cerita al-Qifti, diikuti dengan kata-katanya:
"Saya mendengar kejadian itu dan saya heran!"
Sanggahan terhadap kedua mitos
Kita melihat betapa pandainya jaringan cerita ini dibuat.
Dialog antara Hanna dengan Amr, surat Amr kepada Khalifah
dan jawaban Khalifah memerintahkan perpustakaan itu dibakar,
dengan penjelasan terinci mengenai cara pelaksanaannya.
Sesudah semua ini apalagi yang masih akan meragukan orang
tentang kebenaran segala peristiwa itu?! Bagaimana kalangan
sejarawan Muslimin akan diliputi rasa ragu mengingat segala
kejadian itu ditulis dalam abad ke-6 Hijri tatkala dunia
kritik dan cara berpikir umat Islam sudah begitu beku dan
usaha para penulis terbatas hanya menyalin sumber-sumber
yang disebutkan orangorang sebelum mereka, tanpa
menyaring lagi untuk mengetahui benar tidaknya. Para
sejarawan Muslimin itu mencatat saja cerita aneh itu seperti
apa adanya, lalu yang datang kemudian menyalinnya pula dari
yang terdahulu, lalu para sejarawan Kristen yang mempercayai
kebenarannya mengutipnya dan memberi komentar sesuai dengan
kehendak mereka. Dalam benak mereka Islam dan Muslimin itu
sejajar dengan fanatisme terkutuk dan kekerasan yang biadab.
Peristiwa-peristiwa ini sudah begitu dipastikan kebenarannya
sebelum kemudian ada penelitian ilmiah memberikan keterangan
yang jelas. Saat itu terlihatlah semua kepalsuan itu.
Kepalsuan demikian itu diungkapkan oleh Gibbon, oleh
Sedillot, Renan dan Gustave Le Bon, juga oleh Butler sendiri
dan sejarawansejarawan lain. Kemudian diperlihatkan
juga oleh Encyclopaedia Britannica, Encyclopaedia of Islam
dan Historian's History. Dalam memperlihatkan kepalsuan dan
bantahannya itu seperti yang jelas-jelas dikatakan oleh
sarjana-sarjana Muslimin, bahwa "buku-buku agama Yahudi dan
Kristen yang diperoleh sebagai rampasan perang dengan cara
apa pun tidak dibenarkan untuk dijadikan sasaran api.
Karangankarangan para sejarawan, ulama, penyair,
sarjana naturalis dan filsuf harus dimanfaatkan demi
kepentingan kaum Mukminin." Jangan dikira bahwa kalangan
sejarawan itu cukup hanya dengan membantah mitos itu dengan
berpegang pada pertimbangan yang sudah umum saja; mereka
menerimanya sesudah mengadakan penyaringan sehingga
benarbenar mereka yakin bahwa semua itu memang tidak
terbukti. Kemudian semua peristiwa itu mereka bantah satu
demi satu secara ilmiah dan penelitian mendalam dengan
mengacu pada sumber-sumber yang autentik.
Tidak benar bahwa Hanna an-Nahwi pernah berbicara dengan
Amr bin As mengenai perpustakaan itu atau yang lain, sebab
Hanna anNahwi sudah meninggal sebelum Muslimin datang
ke Mesir. Yang sudah pasti ia menulis sebelum tahun 527 M.,
yakni sebelum masuknya Arab ke Mesir 115 tahun. Andaikata ia
menulis dalam usia 20 tahun tentu umurnya mencapai 135
tahun. Dan ini tidak masuk akal; tak pernah dikenal di Mesir
ada orang menulis dalam usia seperti itu.
Juga tidak benar bahwa perpustakaan dinasti Ptolemaeus
itu masih ada tatkala pasukan Arab membebaskan Mesir.
Kalangan sejarawan sependapat bahwa perpustakaan ini
terbakar dalam tahun 48 Masehi ketika Julius Caesar pergi ke
Iskandariah dan mengadakan pengepungan di pelabuhannya. Ia
membakar kapal-kapal yang ada di pelabuhan itu dan dari sana
api menjalar dan membakar juga perpustakaan Iskandariah
sampai musnah. Seperti dikatakan oleh Ammianus dan Sellius
bahwa "Perpustakaan-perpustakaan Iskandariah itu tak
ternilai harganya, dan yang semua penulis lama sepakat bahwa
perpustakaan-perpustakaan itu berisi 700.000 buku hasil
pengumpulan mati-matian oleh dinasti Ptolemaeus, dan untuk
itu mereka telah menghadapi berbagai macam kesulitan. Semua
itu telah dimakan api dalam perang Iskandariah ketika
diserang dan dihancurkan oleh (Julius) Caesar." Aurelius
menuturkan: "Selama dalam pertempuran itu, Caesar
memerintahkan pembakaran kapal-kapal perang kerajaan, yang
ketika itu sedang membuang jangkar di pelabuhan dan api
menjalar ke sebagian kota dan membakar 400.000 buku yang ada
di dalam sebuah bangunan tak jauh dari tempat kebakaran itu.
Maka hilanglah perbendaharaan budaya yang luar biasa dari
peninggalan nenek moyang kita yang telah mengumpulkan
koleksi karangan-karangan orang-orang jenius yang sangat
berharga ini." Dikatakan oleh Diodorus: "Api menjalar ke
bangunan di belakang pelabuhanpelabuhan dan
memusnahkan gudang-gudang gandum dan tempattempat
penyimpanan buku-buku. Konon jumlah buku itu besar sekali
dan bernilai tinggi." Dengan pendapat-pendapat ini sudah tak
ada lagi yang akan menyangsikan bahwa perpustakaan dinasti
Ptolemaeus itu sudah terbakar enam abad sebelum kedatangan
Arab.
Tidak benar bahwa perpustakaan-perpustakaan yang
dipindahkan atau dibangun di Iskandariah setelah terbakarnya
perpustakaan Ptolemaeus masih ada sampai pada masa
penaklukan. Marcus Antonius pernah menghadiahkan
perpustakaan Pergamum kepada Kleopatra sebagai ganti rugi
atas hilangnya perpustakaan nenek moyangnya, rajaraja
Ptolemaeus di Mesir. Di Iskandariah barangkali masih ada per
pustakaan-perpustakaan lain yang dibiarkan, mengingat
kedudukan ilmiahnya yang begitu tinggi di ibu kota Mesir
itu. Universitasnya menjadi kiblat para pelajar dan
sarjana-sarjana Yunani dan Roma dan semua pencinta ilmu di
dunia masa itu. Tetapi perpustakaan-perpustakaan juga sudah
musnah selama terjadi pergolakan yang berkobar begitu sengit
antara orang-orang Kristiani dengan orang-orang pagan pada
paruh kedua abad keempat Masehi. Dalam Historian's History
disebutkan, bahwa "di Iskandariah ada dua perpustakaan,
salah satunya perpustakaan Brucheium yang sudah rusak di
masa "Galenas" tahun 293 M. Yang kedua perpustakaan Sarapeum
yang juga mengalami nasib yang sama akibat pergolakan
Theophilus tahun 361 M. Kedua koleksi ini 250 tahun sebelum
Amr membebaskan Mesir sudah tak ada bekasnya. Sejarah pun
tidak menyebutkan bahwa ada seorang pemimpin atau uskup atau
penguasa selama masa itu bermaksud atau memperkirakan bahwa
tempatnya itu akan digantikan oleh yang lain." Kata Butler:
"Di atas sudah kita lihat bagaimana dalam tahun 366 itu kaum
Qaisariyun (golongan Caesar) dihancurkan dan dijarah di
tengah-tengah pertentangan agama itu. Besar sekali dugaan
bahwa perpustakaan yang ada di sana telah menjadi korban
pertentangan itu." Kemudian katanya lagi: "Orang-orang
Kristiani telah merobohkan dan menghancurkan kuil besar
Sarapis, dipimpin oleh Theophilus, dan ini terjadi dalam
tahun 39 l M. Dalam hal ini pendapat kedua mereka tidak
saling bertentangan. Ditegaskan bahwa perpustakaan ini
berada dalam ruanganruangan yang bersambung dengan
kuil itu, dan sudah terbukti bahwa seluruh kuil itu telah
dirobohkan dan dihancurkan. Sudah tentu perpustakaan itu pun
menyusul hancur bersama dengan kuil itu."21
Yang sudah dapat dipastikan bahwa ketika terjadi
penaklukan, Hanna an-Nahwi sudah meninggal, dan perpustakaan
dinasti Ptolemaeus sudah terbakar di masa Julius Caesar.
Perpustakaan-perpustakaan lain yang dibangun sesudah
kebakaran itu juga sudah hancur sebelum pasukan Muslimin
memasuki Mesir. Pendapat-pendapat beberapa sumber yang
menuduh Umar bin Khattab memerintahkan pembakaran
perpustakaan Iskandariah itu sudah tidak berlaku lagi.
Tetapi ini tidak berarti bahwa Iskandariah sudah
kehilangan semua perpustakaannya, yang umum dan yang khusus,
dan bahwa Mesir sudah tidak mempunyai perguruan-perguruan
tinggi dan perpustakaan-perpustakaan khusus lagi. Bahkan
ketika ibu kota Mesir itu sudah ditaklukkan reputasi
ilmiahnya masih tetap terjaga. Sebelum penaklukan ada dua
orang pencinta ilmu yang pernah mengunjunginya, yaitu
Severinus dan Hanna "Mascus." Mereka telah menjelajahi
pelosok-pelosok kota dan berkata tentang buku-buku di
perpustakaan-perpustakaannya dengan rasa kagum yang luar
biasa. Dalam tulisan-tulisan mereka samasekali tidak
menyinggung soal perpustakaan umum yang menurut dugaan
mereka yang mengutip sumber-sumber dongeng itu katanya sudah
dibakar atas perintah Khalifah orang-orang Islam. Ini adalah
bukti baru sebagai tambahan atas bukti-bukti yang sudah
disebutkan di atas tentang kebohongan dan kepalsuan dongeng
itu. Sesudah pembebasan, Hanna an-Naqyusi yang menulis
berita-berita dan menguraikan panjang lebar mengenai Amr bin
As dan segala tindakannya - ia mengecam keras sekali pihak
Muslimin sampai yang terpaksa mereka lakukan karena hukum
perang - tidak sepatah kata pun menyinggung soal
perpustakaan Iskandariah dan peristiwa terbakarnya itu.
Dengan demikian tuduhan palsu itu sudah terbantah
samasekali, dan segala keraguan yang mungkin masih tersisa
dalam hati orang yang paling memusuhi Islam sekalipun sudah
tak akan ada lagi.
Perbedaan mental Muslimin yang mula-mula
dengan yang kemudian
Dengan adanya bukti-bukti itu semua rasanya sudah tidak
perlu lagi dijelaskan mengenai segala yang tak masuk akal
yang terdapat dalam ungkapan beberapa sejarawan tentang
buku-buku yang disebarkan ke tempat-tempat pemandian untuk
dibakar, dan yang terus menyala selama enam bulan itu. Kalau
sudah terdapat indikasi dalam kata kata semacam itu,
para sejarawan itu tak perlu menghindar lalu menyusun segala
kepalsuan yang keluar dari angan-angan dan khayal mereka
untuk kemudian menutup kata-kata itu seperti kata al-Qifti:
"Saya mendengarkan apa yang terjadi itu dan saya heran!"
Kalau pada zaman-zaman itu kritik ilmiah sudah dikenal,
tidak sampai beberapa minggu saja niscaya mitos semacam ini
sudah akan dibantah oleh para kritikawan, dan pembawa sumber
itu akan dianggap badut saja, yang pendapat dan kata-katanya
tak perlu didengar dan diperhitungkan. Bagaimana dongeng
yang didasarkan pada dalil-dalil yang kebanyakannya palsu
itu dapat berjalan sampai berabad-abad, dan sebagian
sejarawan Muslimin tidak berkeberatan dengan penyampaian dan
pembenaran serupa itu? Bagi saya sebabnya sudah jelas, yaitu
cara berpikir Muslimin abad pertama dengan cara berpikir
Muslimin abad ke-7 Hijri dan abad-abad berikutnya
berbeda.
Kaum Muslimin pada masa Rasulullah dan para Khalifah yang
mula-mula merasa berkewajiban merenungkan alam semesta ini
dan mencari segala rahasia untuk mengetahui Sunnatullah yang
ada. Ukuran mereka dalam merenung dan mencari segala rahasia
itu tak terbatas, bahkan mereka dapat mutlak berpikir bebas.
Semua ini tidak lain hanya karena iman mereka yang sudah
begitu kuat. Mempelajari pikiran orang lain dan membaca apa
yang ditulis orang-orang dahulu dibolehkan, bahkan
diwajibkan. Mereka tidak takut menghadapi kepalsuan, sebab
hati mereka bersih, pikiran mereka jernih, dan karena
fakta-fakta belum menekan mereka sehingga mengikat pikiran
mereka, dan hati mereka dipenjarakan dalam dinding keras
yang tak ada lagi jalan ke luarnya. Karenanya, mereka terus
berusaha, terus berjuang. Perbedaan pendapat di antara
mereka tidak akan mengurangi penghargaan satu sama lain,
sebab mereka semua sudah sama-sama senasib sepenanggungan.
Satu sama lain mereka percaya bahwa dengan perjuangan atau
usaha mereka itu mereka ingin bekerja semata-mata demi
kebaikan Islam dan kaum Muslimin. Kita sudah melihat
bagaimana Umar dengan Abu Ubaidah berbeda pendapat ketika
menghadapi musim wabah. Hal ini tidak mengubah rasa hormat
Amirulmukminin kepada Am'inul Ummah22 dan
penghargaan Am'inul Ummah kepada Amirulmukminin.
Perjuangan itu mengantarkan mereka ke puncak-puncak
saling pengertian. Para Khalifah pada masa Banu Abbas
memerintahkan penerjemahan buku-buku Yunani, Persia dan
bangsa-bangsa lain dalam bidang kedokteran, matematika, ilmu
dan filsafat (ke dalam bahasa Arab) tanpa merasa khawatir
dengan penerjemahan itu akan membuat orang menyimpang dari
keyakinannya atau akan merusak jiwa. Begitulah keadaan
masyarakat itu, tidak mungkin atau tak ada di antara mereka
yang dapat dihibur dengan mengatakan: "Mengenai buku-buku
yang Anda sebutkan, kalau yang ada itu sudah cocok dengan
yang ada dalam Kitabullah, kita tidak memerlukannya. Tetapi
kalau bertentangan tak ada gunanya buat kita dan bakar
sajalah." Mereka sudah tahu bahwa Kitabullah itu tidak
menguraikan ilmu-ilmu kedokteran, matematika, arsitektur dan
sebagainya dan sekian banyak lagi ilmu yang lain.
Pengetahuan yang ditulis dalam ilmu-ilmu itu sesuai dengan
ke nyataannya, merupakan jalan yang paling lurus untuk
mengetahui Sunnatullah dalam alam.
Setelah kaum Muslimin mulai saling menuduh menyimpang
dari akidah tatkala terjadi saling berbeda pendapat, mulai
pula mentalitas Islam meluncur jatuh, seperti halnya dengan
mentalitas Kristiani sebelum itu. Pikiran orang jadi beku,
terbatas hanya pada mazhabnya sendiri. Yang paling mudah
meluncur di lidah mereka menuduh orang menyimpang dan tidak
beriman. Mengadakan kritik terhadap soal yang sudah nyata,
akan berubah menjadi kutukan. Orang yang melakukan itu
berarti sudah mempertaruhkan diri bahwa dia akan menjadi
sasaran tuduhan mengenai agamanya. Sebagai akibatnya ia akan
diperlakukan sewenang-wenang, mata pencariannya, kebebasan
pribadi dan hidupnya akan ditekan. Itulah sebabnya jarang
sekali kita dapati buku-buku penulis-penulis modern yang
mengkritik pendapat orang dahulu. Bahkan kita lihat mereka
cukup memperkuat apa yang sudah dikatakan orangorang
sebelum mereka, kendati sumber-sumbernya saling berbeda,
bahkan saling berlawanan. Kalau mereka sudah tidak mampu
lagi menghadapi kontradiksi demikian, mereka tak mau
berpikir untuk meluruskan dan memperbaiki kesalahannya,
tetapi, sesudah mengutip beberapa sumber cukup dengan
mengatakan: "Wallahualam, begitu katanya."
Kebekuan (jumud) yang menimpa mereka mula-mula dalam soal
akidah, ibadah dan dasar-dasar kritik. Tetapi kemudian cepat
sekali meluas ke soal-soal ilmu dan bidang-bidang tertentu
lainnya, termasuk sejarah di antaranya. Soalnya, karena di
satu pihak tak mungkin pikiran menjadi bebas, sementara di
pihak lain sudah beku sekali dan terikat. Yakni kalau ia
bersedia dibelenggu lalu tak lagi berdaya mengadakan
pembahasan mengenai dasar-dasar akidah dan
perundang-undangan, kebekuan itu akan menjadi hal yang
biasa, suatu sistem yang berlaku untuk segalanya. Tak perlu
heran! Kita tak dapat membuat suatu batas yang memisahkan
antara ilmu dengan yang lain, atau antara salah satu
disiplin ilmu dengan salah satu bidang tertentu yang semua
itu saling berkaitan. Kalau pikiran itu bebas di satu segi
ia tak akan mengalah dari kebebasannya ke segi yang lain;
kalau di satu segi ia sudah membeku maka pada segi-segi yang
lain segala kegiatannya juga akan lumpuh dan akhirnya mati.
Itulah yang terjadi pada saat-saat belakangan sejarah Islam
dan yang menyebabkan para sejarawan Muslimin jadi percaya
begitu saja pada dongeng-dongeng kosong, seperti dongeng
tentang perpustakaan Iskandariah dan pembakarannya atas
perintah Khalifah yang agung, Umar bin Khattab.
Hal ini sangat kita sesalkan sekali. Kebebasan cara
berpikir ini adalah intisari Islam dan menjadi dasar
kehidupan Islam yang kuat dalam sejarahnya yang mula-mula,
dan kebebasan cara berpikir ini pula yang telah mengantarkan
umat Islam mencapai puncaknya dan memperluas kedaulatannya,
yang hanya dalam beberapa tahun saja sudah sampai begitu
jauh.
Kebebasan mental yang diakui Islam itu, itu pula yang
membuat orang lebih percaya diri, mempunyai harga diri dan
menghendaki persamaan yang sudah menjadi naluri mereka sejak
mereka lahir. Orang Arab yang tinggal di pedalaman atau di
kota, nyawanya sudah dijadikan harga kebebasannya. Ia akan
menolak jika kebebasannya itu dikurangi. Ia hanya mau yang
lengkap, bebas seperti udara yang dihirupnya. Hanya saja
kepercayaan paganisme (jahiliah) mereka telah membelenggu
leher mereka sendiri sampai menjadi beban yang begitu berat,
tidak lagi mereka punya idealisme yang akan membuat mereka
siap berkorban untuk itu. Sesudah Islam datang menghancurkan
rantairantai belenggu itu dan kebebasan mental
dilepaskan, mereka pun mengembara menjelajahi bumi, seperti
yang sudah kita lihat, ditambah lagi dengan keyakinan mereka
yang begitu kuat serta persamaan antara semua kaum beriman,
demi menjaga kebebasan dan harga diri mereka. Di antara
mereka tak ada lagi yang mau mundur atau mau tawar-me
nawar untuk itu. Juga tak ada orang seorang atau
Amirulmukminin sekalipun yang bersedia melanggar hal
itu.
Begitulah keadaan mereka pada abad-abad permulaan itu
yang membuat mereka makin kuat. Sesudah tiba saatnya zaman
beredar, kebebasan kaum Muslimin sedikit demi sedikit
berkurang dan kemudian terperangkap ke dalam kebekuan
mental. Keruntuhan pun mulai menggerogoti mereka. Mereka
mulai percaya pada dongeng-dongeng, semisal dongeng
'Pengantin Sungai Nil' dan terbakarnya perpustakaan
Iskandariah yang katanya atas perintah Umar itu.
|