Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

19. Mesir Diduduki (1/4)

Usaha Amr memasuki Mesir - 500; Muqauqis membiarkan Amr meneruskan perjalanan - 502; Pasukan Muslimin menerobos ke Farama - 502; Orang-orang Kopti bersikap netral - 503; Rumawi, Iskandar Agung dan Ptolemaeus di Mesir - 504; Kota Farama jatuh - 505; Sikap orang­orang Mesir terhadap Muslimin - 506; Kehancuran Atrabun dan pasukannya - 509; Usaha menguasai benteng Umm Dunain dan benteng Babilon - 510; Amr bin As menuju Fayyum - 515; Amr kembali menyongsong datangnya bala bantuan ke Heliopolis - 517; Zubair bin Awwam - 518; Amr bermarkas di Heliopolis (Ain Syams) - 520; Pertempuran Ain Syams -521; Benteng Babilon dikepung - 525; Ancaman Muqauqis dan perundingan melalui utusan - 526; Pertempuran di luar benteng - 530; Heraklius menolak isi perjanjian - 532; Keberanian Zubair menerobos benteng Babilon - 534; Amr bin As dan orang-orang Kopti - 537; Perjalanan ke Iskandariah - 540

Usaha Amr memasuki Mesir

Kurir Umar melintas jalan cepat-cepat kembali ke Medinah, membawa berita kepada Amirulmukminin bahwa Amr bin As sudah memasuki Mesir dengan tekadnya yang begitu kuat hendak membebaskannya, dan sangat memerlukan bala bantuan. Ketika Amr berangkat Arisy, kota itu tak ada yang mempertahankan. Ia melintas dengan menyusur ke selatan Danau Serbonis, menempuh jalan yang dua puluh lima tahun silam sebelum itu pernah dilalui pasukan Persia untuk menduduki Mesir. Dalam perjalanan ini Amr tidak menemui rintanga hingga mencapai kota Farama (Pelusium). Di kota ini ia dicegat ole pasukan Rumawi dengan kekuatan yang dapat menghentikannya da berusaha hendak mencegahnya dari penyerangan.

Jalan dari Arisy ke Farama panjangnya mencapai 70 mil, yang di tempuhnya melalui Sahara, disela-sela oleh mata air dan desa-desa yang dapat meringankan rasa lelah orang yang dalam perjalanan. Itu sebabnya jalan antara Palestina dengan Mesir yang sudah dipadatkan dan diratakan itu sudah ada sejak dahulu kala, yang sudah pernah dialami dengan "Kedatangan Ibrahim, Yakub, Yusuf, Cambyses, Iskandar Agung, Kleopatra dan keluarga Isa Almasih"1 ke negeri ini. Jalan ini adalah jalan para peziarah dari Mesir ke Yerusalem, seperti perjalanan musafir dan perdagangan antara Asia dengan Afrika. Sebelum itu Amr bin As sudah sering melalui jalan ini dalam usaha perdagangannya, seperti pernah juga dilalui oleh penjaga gereja yang sudah kita ceritakan di atas, dan yang konon dilalui Amr dalam perjalanannya ke Iskandariah untuk menerima hadiah karena telah dua kali menyelamatkan nyawanya.

Kota Farama ini ialah Baramun (Per-Amun) dalam bahasa Kopti atau al-Biluz (Pelusium) dalam bahasa Firaun - terletak di sebuah dataran tinggi di dekat Laut Tengah dan tak jauh dari muara cabang Biluz, salah satu cabang Nil yang tujuh. Waktu itu dan sebelumnya Sungai Nil di Mesir Hilir (bagian utara) mempunyai tujuh cabang sungai (alur delta): dua cabang yang kita kenal sekarang dengan nama Cabang Dimyat (Fara' Dumyat) dan Cabang Rasyid (Rosetta). Yang pertama pada waktu itu bernama Cabang Fitanti [Fara' al-Fitanti] dan yang kedua bernama Cabang Bilbiti (Bolbiti). Cabang yang ketiga berdiri sendiri, dimulai di bagian selatan sekitar enam mil ke arah timur celah Provinsi Syarqiah hingga bermuara di Laut Tengah sejauh lebih dari 24 mil arah timur Port Said. Cabang ketiga ini cabang Biluz. Cabang yang empat lainnya pecahan dari dua cabang Nil yang masih ada sampai sekarang. Dua di antaranya mengalir di Provinsi Syarqiah dan Provinsi Daqahliah atau bermuara di Laut Tengah di celah Danau Manzela [Buhairat al-Manzilah]; bagian timurnya Cabang at-Taniti melalui Tanis, yaitu San al-Hajar, kota arkelogi yang masa kita sekarang cukup terkenal, dan yang lain Cabang Mindizi yang menembus Provinsi Daqahliah, bercabang dari Sungai Nil pada sebuah titik di dekat Mit Gamr untuk kemudian bermuara di Danau Manzela, sebuah tempat antara Port Said dengan Dimyat (Damietta). Cabang Sabanti ini melintasi Provinsi al-Manufiah (Munufia) dan Provinsi al-Garbiah, di mulai dari Cabang Dimyat di dekat al-Qanatir al-Khairiah untuk kemudian bermuara di Danau Barallus [Buhairah al-Barallus]. Selanjutnya Cabang al-Kanubi (Kanopos, Canopus) bercabang lagi dari tengah­tengah Cabang Rasyid yang kemudian mengalir ke utara di sebelah barat hingga bermuara di dekat Iskandariah ke sebelah timurnya.

Pusat jaringan air ini menyebarkan sekian banyak terusan yang mengairi tanah Mesir yang subur dan produktif berbentuk segitiga besar itu. Segitiga ini membentang ke sebelah barat di belakang Iskandariah sampai ke al-Barqah (Sirenaika, Cyrenaica). Daerah Maryut (Mareotis) ini memang padat, penduduknya ramah dan hidup makmur, tinggal di rumah-rumah yang bagus dikelilingi kebun yang rindang. Daerah yang melimpah dengan buah-buahan ini membentang jauh sampai ke perbatasan Barqah dengan hasil buah-buahan yang lezat yang banyak diekspor ke Rumawi. Buah anggurnya terkenal luas sehingga Virgilius dan Strabo menyebut-nyebut tentang minuman kerasnya yang bermutu tinggi, seperti Abu Nuwas dan kawan-kawannya ketika melukiskan khamar Hit dan Anat.

Muqauqis membiarkan Amr meneruskan perjalanan

Ketika itu Amr bin As sudah berada di ujung timur laut, di sudut segitiga itu tatkala memasuki Farama. Berita perjalanannya sudah lebih dulu sampai kepada pihak Rumawi sejak ia menginjakkan kakinya di perbatasan Mesir. Kiranya apa yang akan mereka lakukan? Tak terlintas dalam benak mereka hendak menghadapinya sementara ia dalam perjalanan di Sahara di sekitar Arisy dengan Farama itu, sebab mereka tahu bahwa orang Arab paling mampu mengadakan perang Sahara, dan karena dekatnya Arisy dan tempat-tempat di sekitar Palestina, bala bantuan berupa pasukan dari Baitulmukadas mudah sekali diberikan kepada Amr. Oleh karena itu Muqauqis gubernur kota itu lebih cenderung membiarkan Amr meneruskan perjalanannya sehingga ia akan makin jauh dari tempat-tempat yang dapat memasok ataupun yang diharapkan untuk itu, dan benteng-benteng Farama yang kukuh akan dijadikan tempat pertama menghadapi pasukan Muslimin, tanpa menanggung risiko ia harus pergi ke sana, atau mengirimkan Atrabun, panglima besarnya itu.

Pasukan Muslimin menerobos ke Farama

Jadi pihak Rumawi sekarang bertahan di kota untuk menghadapi pasukan Arab, dengan keyakinan mereka mampu melindungi kota dan memukul mundur musuh. Mereka sudah tahu bahwa pasukan Arab yang dipimpin Amr itu jumlahnya kecil, dan mereka tidak mempunyai perlengkapan untuk mengadakan pengepungan seperti pada pasukan Persia ketika dulu menyerang Farama dan berhasil menaklukkannya tanpa banyak menemui kesulitan. Sebaliknya Amr juga tahu persiapan dan kekuatan mereka dan mereka sudah memperbanyak pasukan sampai berlipat ganda. Sungguhpun begitu, ia tidak ragu untuk terus melangkah dan melakukan serangan, setelah ia berpidato mengingatkan pasukannya bahwa pihak Muslimin selalu dalam jumlah kecil dalam menghadapi Rumawi dan Persia, tetapi selalu mampu mengalahkan musuh di semua medan pertempuran, sebab Allah sudah menjanjikan kemenangan dan akan bersama mereka. Amr dan sahabat-sahabatnya tidak bohong. Mereka mengepung Farama selama satu bulan kemudian menggempurnya dan mereka jadikan tempat perlindungan setelah mereka dapat mengalahkan pasukan Rumawi habis-habisan.

Bagaimana hal ini terjadi? Bagaimana 4000 prajurit itu dapat mengepung kota yang diperkuat dengan tembok-tembok dan benteng-benteng yang begitu kukuh dan kuat, dengan melumpuhkan pasukannya, menyerbu tembok-tembok serta menerobos benteng-benteng itu? Beberapa sejarawan menganggap ini suatu keajaiban. Mereka mencari dalih dengan beranggapan bahwa orang-orang Kopti Farama memberikan bantuan kepada pasukan Arab selama melakukan pengepungan. Itulah yang menyebabkan mereka berhasil mengalahkan pihak musuh. Demikian pendapat al-Maqrizi dan Abu al-Mahasin. Ibn Abdul-Hakam misalnya mengatakan: "Di Iskandariah ada seorang uskup bernama Abu Mayamin. Setelah mendengar kedatangan Amr bin As, ia menulis surat memberitahukan kepada orang-orang Kopti bahwa Rumawi sudah tidak berkuasa lagi, dan bahwa kekuasaan mereka sudah putus. Mereka diperintahkan menyambut Amr. Maka dikatakan bahwa orang-orang Kopti di Farama ketika itu adalah siap membantu Amr." Apa yang dikatakan oleh Ibn Abdul-Hakam ini tidak setepat sumber al-Maqrizi dan Abu al­Mahasin. Abu Mayamin ini ialah Uskup Benyamin, yang ketika orang Arab masuk ke Mesir ia tidak berada di Iskandariah. Sejak beberapa tahun sebelum itu ia sudah melarikan diri ke Qus, seperti yang sudah kami sebutkan dalam bab di atas.

Bolehjadi Ibn Abdul-Hakam dan beberapa sejarawan lain yang belakangan mencatat cerita itu karena mereka tidak mendapatkan penafsiran lain sekitar kemenangan Amr atas Rumawi selain bahwa ia mendapat bantuan dari rakyat Mesir. Lalu mereka mencatat dan mempercayai cerita demikian itu atas dasar bahwa orang Kopti memang sangat membenci kekuasaan Rumawi dengan melakukan penindasan gama terhadap mereka. Sebenarnya orang-orang Kopti tidak membantu pasukan Muslimin, juga tidak pula membantu pasukan Rumawi. Kemenangan pihak Muslimin terhadap Rumawi, penguasaan tempat empat dan benteng-bentengnya tidak berpengaruh terhadap mereka.

Orang-orang Kopti bersikap netral

Sudah tentu orang-orang Kopti itu tidak akan membantu Rumawi dalam berperang dengan pihak Arab kalau tidak karena terpaksa dalam keadaan mereka berada di bawah kekuasaannya. Mereka tidak senang terhadap kekuasaan Kaisar dan para pejabatnya. Tetapi sudah tentu mereka juga tidak akan membantu pasukan Arab, kecuali bantuan­bantuan yang bersifat pribadi yang dilakukan secara sukarela dan diam­diam, yaitu mereka yang benar-benar sudah tak dapat menahan kemarahan kepada pihak Rumawi dan pemerintahannya. Mereka mempertaruhkan kemerdekaan dan hidup mereka dengan memperlihatkan segala rahasia Rumawi. Tetapi yang di luar itu, menghadapi golongan yang sedang berperang itu bangsa Mesir bersikap seperti penonton yang penuh perhatian. Mereka sudah merasakan pelbagai macam kekejaman, pemerasan dan penindasan dari Rumawi sehingga mereka sudah kehilangan semangat untuk membantunya. Mereka tidak tahu keadaan pihak Arab, akan juga menjadi sasaran kebencian mereka atau akan mereka sambut dengan senang hati. Soalnya, kekuatan dan kekuasaan Rumawi di Mesir membuat mereka sangsi siapa yang akhirnya akan memperoleh kemenangan. Memang benar bahwa berita-berita kemenangan Arab di Syam dan di Irak sudah sampai kepada mereka, tetapi mereka belum melupakan kemenangan Heraklius terhadap Persia di Mesir sampai akhirnya mereka terusir. Andaikata bangsa ini terang­terangan membantu pasukan Arab lalu Rumawi yang menang, seribu kali celakalah mereka. Mereka akan dijerumuskan ke dalam berbagai macam penyiksaan berlipat ganda dari yang sebelum itu. Dan tidak pula wajar mereka akan membantu Rumawi sedang dendam mereka sudah begitu berat. Bahwa sekarang perang masih baru dimulai, dan tak ada yang tahu bagaimana nasibnya, lebih bijaksana apabila mereka menunggu saja dulu sambil melihat, dan kemudian menyesuaikan sikap demikian rupa untuk menghindari segala bahaya kekejaman, dan berusaha mengambil manfaatnya sedapat mungkin.

Rumawi, Iskandar Agung dan Ptolemaeus di Mesir

Sikap bangsa Mesir ini adalah sikap yang wajar buat semua bangsa dalam menghadapi situasi demikian pada masa itu. Bangsa ini sangat mengharapkan sekali sekiranya Rumawi keluar dari negerinya itu, agar segala kekayaan negerinya hanya berada di tangan bangsa sendiri dan memperoleh hak-haknya sendiri pula yang wajar, sehingga segala kemerdekaan, di seluruh negeri, kehormatan dan harga diri diperoleh kembali. Tetapi sejak Iskandar Agung merenggut kemerdekaan dan kebebasannya, seperti juga terhadap kemerdekaan dan kebebasan bangsa­ bangsa lain, ia sudah tak berdaya lagi. Setelah Iskandar Agung meninggal Mesir kembali di bawah Ptolemaeus Yunani. Mereka ini memisahkan diri dari masyarakatnya dan dari Roma. Mereka merdeka sendiri di Mesir dan menjadi orang-orang Mesir. Bangsa Mesir ini tidak melihat adanya unsur asing yang akan merombak atau memberontak kepadanya. Waktu itu keluarga-keluarga kerajaan di Mesir dan di luar Mesir berasal dari unsur asing. Demikian itulah keadaannya sampai sekarang. Pada zaman tertentu keluarga-keluarga itu datang ke negeri-negeri yang takhtanya sudah mantap sebagai penyerang, dengan bantuan serdadu­serdadu bayaran yang menjadikan perang dan penaklukan itu sebagai profesinya. Setelah perang usai dan orang kembali tenang dan aman, keluarga-keluarga ini pun sudah merasa aman dengan negeri-negeri tempat mereka sekarang bertakhta dan sudah dijadikan tanah air mereka sendiri. Rakyat juga menyambut mereka dan dijadikan benteng yang akan melindungi mereka dari pertentangan sesama mereka.

Demikian itulah keadaan Keluarga Ptolemaeus. Mereka berlindung di Mesir dan menjadi bangsa Mesir. Mereka menjadi milik Mesir dan Mesir menjadi milik mereka. Keadaan ini tetap berjalan demikian sampai kemudian datang Julius Caesar, setelah itu menyusul Antonius, dan mereka tinggal di Mesir pada masa Kleopatra. Dengan kedatangan mereka ini Mesir tergabung ke dalam Imperium Rumawi yang membentang luas sampai ke ujung barat dan ke ujung utara di Eropa, dan ke pedalaman Samawah di Asia.

Tak seberapa lama setelah penggabungan ini rupanya muncul suatu unsur baru mengalihkan perhatian dunia dari konsep ekspansi dalam penaklukan untuk mengejar keagungan ke suatu bidang dengan tujuan yang lebih luhur dan lebih patut bagi umat manusia ketika manusia sudah mencapai tingkat kematangan pribadinya. Unsur itu ialah ajaran agama Nasrani. Agama ini mengajak orang kepada hidup kasih sayang dan persaudaraan serta memandang rendah segala kenikmatan hidup duniawi, dan menjauhkan diri dari saling bunuh untuk itu. Tak lama setelah agama Masehi tersebar di Roma dan di Mesir manusia sudah melupakan segala permusuhan dan kebencian di antara mereka. Di depan mereka tergambar konsep sebuah imperium suci, orang dapat hidup di dalamnya dalam persaudaraan, saling mencintai di bawah naungan Allah. Hanya saja citra demikian segera menjadi cair yang membuat iman manusia kepada rasa persaudaraan justru menjadi lemah, yaitu tatkala sekte-sekte agama Nasrani mulai berkembang biak. Penganut­penganut masing-masing sekte memandang penganut sekte lain dengan rasa benci dan dengki. Dengan demikian manusia kembali seperti sediakala. Orang-orang Mesir kembali membenci kerajaan Roma yang bercokol di negeri mereka, dan mereka makin benci karena adanya penganiayaan besar yang diterapkan oleh pihak Rumawi.

Kota Farama jatuh

Rakyat Mesir tidak membantu Amr bin As di Farama. Tetapi bagaimana dengan kekuatan yang kecil ia dapat mengepung kota dengan tembok-tembok dan benteng-benteng yang begitu kuat dan kukuh itu, melumpuhkan pasukannya, menyerbu tembok-tembok dan menerobos benteng-benteng itu semua. Ia lakukan itu selama satu bulan menurut satu sumber terkenal, dan dua bulan menurut sumber yang lain. Dari waktu ke waktu pasukan itu keluar dari benteng menghadapi pasukan Amr kemudian mundur kembali bertahan di dalam kota. Sementara itu Amr sendiri mengadakan serangan ke sekitar kota dengan pasukan kecil berkuda, kekuatan yang didatangkan disesuaikan dengan yang diperlukan pasukannya. Sesudah ternyata pengepungan itu berlangsung lama, garnisun kota memang sedang menunggu-nunggu pemerintah pusat akan mengirimkan bala bantuan untuk mengusir mereka dari Mesir. Tetapi bala bantuan itu tak kunjung datang, juga garnisun itu tidak menerima berita apa pun yang menggembirakan bahwa bantuan sudah hampir tiba. Waktu itulah komandannya keluar ke balik tembok mempertaruhkan diri berhadapan muka dengan musuh, dengan harapan akan memperoleh kemenangan. Tetapi tak lama setelah terjadi pertempuran sengit ia melihat pasukan Muslimin tak ubahnya seperti singa yang sudah tak pedulikan maut. Ia memerintahkan pasukannya menarik diri dan berlindung ke dalam benteng-benteng itu. Melihat mereka mundur pasukan Muslimin terus mengejar mereka sambil melakukan serangan gencar sehingga barisan mereka kacau balau. Pasukan Amr dapat mendahului mereka sampai ke pintu kota dan berhasil menguasainya, dan terus melewati tembok-tembok itu ke benteng-benteng mereka yang berhasil pula diduduki. Tak ada jalan lain buat pihak Rumawi kecuali menyerah. Sekarang Amr sudah dapat menguasai kota. Benteng-benteng yang paling kuat mereka hancurkan, kapal-kapal yang merapat di pelabuhan dekat kota itu dibakar dan semua gereja atau biara yang mungkin dipakai tempat bertahan dirobohkan. Kemudian semua itu digunakan sebagai gardu untuk mengamankan jalan ke Palestina dan ke negeri-negeri Arab. Sekarang ia memikirkan langkah apa yang harus diambil selanjutnya setelah memenangkan pertempuran pertama di jantung Mesir ini.

Sikap orang-orang Mesir terhadap Muslimin

Apa sebab Muqauqis enggan memasok bantuan kepada garnisun Farama? Pertanyaan ini terlintas dalam pikiran setiap sejarawan.

Butler berpendapat bahwa diamnya Muqauqis itu tak dapat ditafsirkan lain daripada pengkhianatan Cyrus terhadap Kaisar, karena ia memang menginginkan keuskupan Iskandariah terpisah dan lepas dari Konstantinopel, dengan mengadakan persetujuan dengan pihak Arab dan memberikan bantuan kepada mereka. Pendapat Butler ini tidak didukung oleh dasar kenyataan apa pun, hanya disimpulkannya begitu saja dari beberapa peristiwa. Menurut hemat kami, pendapatnya itu terdorong oleh perasaan ia sebagai seorang Kristiani, bukan oleh kenyataan sejarah, mengingat bahwa memang belum ada satu pun orang Arab yang pernah dijumpainya, dan terbukti pula setelah itu dia memerangi Amr dan kaum Muslimin di Babilon dan di Iskandariah. Pendapat yang mengatakan bahwa dia telah mengkhianati kerajaan Rumawi untuk tujuan pribadinya, adalah suatu kesimpulan yang dasarnya hanyalah perasaan, bukan berlandaskan logika sejarah.

Kita berpendapat bahwa keengganan Muqauqis memberikan bala bantuan kepada garnisun Farama banyak penyebabnya. Penyebab pertama perasaan pihak Rumawi di Mesir menghadapi sikap permusuhan rakyat Mesir terhadap mereka, suatu sikap yang tak mudah diramalkan akibat apa yang mungkin terjadi. Kalau mereka mengirimkan kekuatan angkatan bersenjatanya di Mesir atau di Iskandariah untuk berperang di Farama kemudian rakyat Mesir memberontak kepada mereka, niscaya mereka akan jadi porak poranda, dan bala bantuan kepada Farama itu tidak akan dapat menolong mereka dari bencana pemberontakan di kota-kota besar lainnya. Di samping itu mereka pun akan teringat pada kekalahan mereka ketika menghadapi pasukan Muslimin di Suria dan di Palestina. Oleh karena itu mereka tidak ingin mempertaruhkan diri menghadapi raksasa-raksasa itu di medan pertempuran yang mereka sendiri tidak yakin akan mampu mengadakan perlawanan demikian. Atas pertimbangan itu mereka lebih suka bertahan di benteng-benteng Babilon2 yang dekat dari Mesir dan dari Memphis dengan maksud enjadikan Sungai Nil sebagai parit antara mereka dengan musuh. Mereka hanya akan membatasi diri di Farama dan kota-kota kecil lainnya yang kuat untuk menahan pasukan Arab selama mungkin, sehingga mereka mendapat kesempatan memperkuat benteng-benteng pertahanan mereka di pusat-pusat yang penting. Kalau sesudah itu pihak Arab masih berani mempertaruhkan diri dan mencapai kota Mesir, benteng-benteng mereka akan mampu membendung kemajuan lawan, dan barangkali dapat menumpas mereka. Dengan demikian cukup untuk mengalihkan perhatian mereka dari Mesir dan tidak lagi berpikir akan kembali ke sana.

Dari segi strategi perang mungkin pemikiran demikian ini salah. Tetapi peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian menunjukkan bahwa memang itulah yang menjadi pemikiran Muqauqis dan kawan-kawannya ketika pertama kali pasukan Arab memasuki Mesir. Sesudah Farama dibebaskan, sebuah pasukan dari pedalaman yang tinggal di perbatasan­perbatasan Sahara Mesir bergabung pula dengan Amr dengan harapan mendapatkan rampasan perang. Dengan demikian anggota pasukan Muslimin yang hilang ketika pengepungan pertama di Mesir telah tergantikan. Dalam pada itu Amr telah berangkat menyusur ke selatan mengikuti perbatasan dan melewati kota Majdal lama ke letak Qantarah yang sekarang. Dari sana ia menuju ke arah barat ke al-Qassasin, serta meneruskan perjalanannya ke selatan di bagian barat hingga mencapai Bilbis (Phelbes).3 Dalam jalan panjang yang ditempuh pasukan berkuda Muslimin di bumi Mesir, "yang dipertahankan terhadap Amr hanya soal kecil" meminjam kata-kata Ibn Abdul-Hakam dan para sejarawan Arab lainnya yang mengikuti jejaknya. Kalangan sejarawan berpendapat bahwa ketika ada seorang gembala dari pedalaman yang menjadi pendukung pasukan Muslimin mendekati sebuah perkampungan desa di jalan yang dilalui Amr. Ia mendengar ada seorang Kopti mengatakan: Tidakkah kalian heran mereka yang datang menghadapi pasukan Rumawi yang besar itu jumlahnya kecil sekali! Yang lain menjawab: Setiap mereka menghadapi lawan pasti mereka yang menang. Perjalanan panjang ini dan percakapan yang dibawa orang-orang Mesir dari mulut ke mulut itu jelas menunjukkan bahwa Muqauqis dan kawan-kawannya tidak puas terhadap kekuasaan orang-orang Mesir, dan karenanya pilihan mereka ialah bertahan di kota dalam menghadapi kaum penyerang di tanah terbuka yang berhadapan dengan perbatasan dengan Sahara. Pasukan Muslimin tidak menemui rintangan apa pun "kecuali soal kecil," sampai mereka mencapai Bilbis. Mereka menempuh jarak 33 mil dari kota dan benteng-benteng Mesir.

Kalangan sejarawan sependapat bahwa pasukan Muslimin tinggal di Bilbis selama satu bulan, dan dalam pada itu mereka terus memukul musuh hingga memperoleh kemenangan. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang: Pertempuran antara kedua pihak itu terjadi dengan sengit, ataukah pasukan Muslimin tidak menemui perlawanan berarti dari pihak Rumawi sejak meninggalkan Farama. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketika pertama kali Amr memasuki Bilbis Muqauqis mengirim delegasi kepadanya untuk merundingkan agar ia menarik diri dari Mesir, dan bahwa Amr berbicara dengan para uskup perunding itu tentang Allah yang telah mengutus seorang rasul yang sebenarnya dan bahwa Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan sahabat-sahabatnya agar memaafkan semua orang. "Kami mengajak Anda semua ke dalam Islam. Barang siapa sudi menyambutnya maka ia sama dengan kami, dan bagi yang menolak, kami tawarkan jizyah dengan imbangan perlindungan dari kami. Kami sudah diberi tahu bahwa kami yang akan menaklukkan kalian, dan dipesankan kepada kami untuk menjaga hubungan silaturahmi dengan kalian, dan bahwa jika kalian menyetujui seruan kami kalian sepenuhnya berada dalam perlindungan kami."

Para uskup itu segera sadar, bahwa yang dimaksud oleh Amr dengan hubungan silaturahmi ialah Hajar, ibu Ismail. Maka mereka berkata: Ya, hubungan kerabat jauh, yang hanya dicapai oleh para nabi! Kemudian mereka menambahkan: Beri kami jaminan sampai kami kembali lagi kepada Anda. Tetapi Amr menjawab: Kami tidak akan tertipu. Tetapi saya akan memberi tenggang waktu tiga hari supaya dapat kalian pertimbangkan dan membicarakannya dengan golongan kalian; kalau tidak kami akan memerangi kalian. Mereka meminta tambahan waktu. Oleh Amr ditambah sehari dan sehari lagi hingga menjadi lima hari. Rombongan itu pun kembali kepada Muqauqis dan pembicaraan dengan Amr mereka sampaikan. Tetapi panglima Atrabun 'menolak dan tetap akan memerangi Muslimin. Sungguhpun begitu para uskup yang melakukan perundingan itu dibayangi oleh kekhawatiran; mereka berkata: "Kami akan berusaha membela kalian dan tidak akan kembali kepada mereka. Sekarang tinggal lagi empat hari, jangan sampai terjadi sesuatu dan harapan kami tetap dalam keadaan aman."

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team