Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

23. Kehidupan Sosial pada Masa Umar (1/4)

Begitu cepat perubahan terjadi dalam kehidupan sosial - 686; Kehidupan kabilah dan sifat-sifatnya - 687; Sistem kekeluargaan dan kedudukan perempuan yang hina di zaman jahiliah - 688; Permusuhan dan solidaritas kekabilahan - 693, Kepercayaan dan adat istiadat di zaman jahiliah - 696; Kekuatan tauhid dan kebebasan rohani - 698; Pengaruh Qur'an dan kedudukan perempuan - 700; Islam menghormati perempuan dan pengaruhnya dalam masyarakat- 703; Poligami dan hak waris - 704; Pengaruh Qur'an dalam ekonomi: Egoisme, zakat dan riba - 706; Pengaruh Umar dalam perkembangan sosial - 709; Kebiasaan jahiliah yang masih melekat sesudah Islam - 712; Fanatisme ras Arab dan dalihnya- 713; Orang Arab menyambut berbagai kesenangan dan sebabnya - 715; Sikap Umar tentang kesenangan, yang halal dan yang haram - 720; Opini berbeda dengan satir dan fitnah - 724; Pertentangan mentalitas jahiliah dengan mentalitas Islam - 725; Jasa Umar dalam perkembangan kehidupan di negeri Arab - 727

Alangkah besarnya perkembangan yang terjadi di negeri-negeri Arab selama lima belas tahun setelah pembebasan kota Mekah! Kebesarannya itu membuat kita tidak berlebihan jika tidak kita namakan perkembangan, melainkan lompatan yang tak ada bandingannya dalam sejarah! Dalam waktu yang begitu singkat itu bangsa Arab berpindah dari kehidupan paganisme kepada Islam, dari kabilah-kabilah dan kelompok-kelompok yang bercerai berai saling bermusuhan kepada persatuan yang saling bantu-membantu dengan politik umum dan tujuan bersama. Dari keterpencilan menyendiri dalam batas-batas Semenanjung kepada penguasaan mereka dalam kedaulatan yang begitu besar, menggabungkan kekuasaan Persia dan kekuasaan Rumawi. Dari kehidupan badui yang begitu keras dan kasar yang sudah merata di kebanyakan negeri mereka, kepada kehidupan makmur yang tak biasa mereka rasakan sebelumnya. Dengan keadaan mereka seperti itu, tidaklah heran kehidupan sosial mereka akan sangat terpengaruh oleh perubahan yang begitu cepat itu. Pandangan mereka tentang kehidupan serta tuntutan akan segala keperluan mereka pun akan berubah.

Begitu cepat perubahan terjadi dalam kehidupan sosial

Tetapi memang itulah yang terjadi. Masing-masing faktor yang telah menyebabkan adanya lompatan demikian itu sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka - dalam arti perorangan atau masyarakat. Faktor agama, faktor politik dan faktor ekonomi. Pengaruh atas semua itu adakalanya saling berlawanan, tetapi satu sama lain saling terjalin dan menyatu, yang kemudian membawa pada peralihan dalam kehidupan sosial yang begitu menarik perhatian dan mendorong orang berpikir tentang bagaimana akibatnya kelak terhadap kehidupan Islam dan kaum Muslimin.

Untuk memperkirakan sampai berapa jauh perkembangan itu terjadi, baik juga kita mengalihkan pandangan kita ke masa kehidupan sosial orang Arab sebelum Islam. Mereka kebanyakan masyarakat pedalaman, masyarakat badui, sedikit sekali mereka yang menjadi penghuni kota, karena di Semenanjung itu tak ada aliran sungai yang teratur, juga tak ada curah hujan yang turun di musim-musim tertentu dalam setahun dengan kadar yang berimbang waktunya. Kalaupun ada, hujan turun sekaligus membawa banjir yang kadang sangat merusak, dan kadang datang musim-musim kering yang terus-menerus. Kecuali di daerah-daerah tertentu, pengaturan pertanian juga tidak mudah. Berdirinya kota-kota besar dan kecil karena adanya mata air yang dapat mengalir deras. Di luar itu tetap daerah pedalaman yang menjadi padang rumput bila turun hujan dan kembali gersang bila tak ada hujan. Oleh karena itu, seperti daerah-daerah pedalaman lainnya, pedalaman Yaman juga dihuni oleh sebagian besar penduduk Yaman, kendati perbandingan penduduk kota Yaman dengan pedalamannya lebih besar daripada penduduk kota Najd, Hijaz dan negeri-negeri Arab lain dengan pedalamannya.

Kehidupan kabilah dan sifat-sifatnya

Dasar kemasyarakatan di pedalaman itu ialah kabilah (tribalism, kesukuan), dan kabilah itu terdiri dari kampung-kampung yang diikat oleh nasab keturunan dan kekerabatan antara mereka yang ada dalam kampung itu. Setiap keluarga dalam kampung tersebut tinggal di rumah bulu yang mudah dibawa-bawa setiap ada kabilah ingin mengembara mencari padang rumput untuk ternaknya dan rezeki untuk anak-anaknya. Perpindahan kabilah-kabilah itu lebih sering pada musim semi dan musim panas, ketika terdapat banyak rumput di sekitar sumber mata air yang kecil-kecil di pedalaman itu. Bilamana datang musim dingin dan rerumputan jadi kering, mereka pindah ke daerah-daerah perkotaan dan tinggal tak jauh dari sana, mencari hubungan kerja dengan warga kota atau menyerang mereka untuk sekadar mendapatkan sesuap makan untuk kehidupan mereka, karena ini lebih menjamin kebebasan, yang bagi mereka memang lebih penting daripada makanan yang enak-enak dan pakaian halus yang ringan-ringan.

Setiap kabilah dipimpin oleh seorang syekh, setiap kampung oleh seorang kepala kampung dan setiap rumah oleh kepala rumah tangga. Kepala rumah tangga adalah ayah. Dialah yang berkuasa penuh atas semua anggota keluarga, dan kekuasaan terbesar atas istrinya. Kedudukan seorang istri terhadap suami seperti kedudukan bujang terhadap tuannya - ia tak mempunyai hak suara terhadap suami, tak boleh membantah atau menentang perintahnya. Tugasnya hanya mengurus rumah dan memperbanyak keturunan tuannya. Itu sebabnya, kemandulan adalah penyebab perceraian yang utama. Poligami tanpa batas supaya dapat memberikan keturunan sebanyak-banyaknya. Soalnya karena dulu orang Arab sangat mendambakan banyak keturunan anak laki-laki untuk memperkuat perlindungan kabilah dan keluarganya. Kita masih ingat kisah Abdul-Muttalib bin Hasyim, kakek Nabi tatkala ia bernazar bahwa apabila ia mendapat sepuluh anak laki-laki sampai mencapai umur dewasa dan dapat menopangnya, salah seorang akan disembelih untuk dipersembahkan sebagai sesajen kepada Tuhan di Ka'bah. Kita masih ingat nazarnya itu dilaksanakan, tetapi Abdullah kemudian ditebus dengan seratus ekor unta.

Orang Arab lebih suka kawin dengan kabilah lain, dengan kepercayaan bahwa keturunan dari hasil perkawinan campuran semacam ini lebih kuat dan lebih baik. Sebaliknya perkawinan dengan gadis-gadis kabilahnya sering membawa percekcokan dan permusuhan. Kepercayaan mereka inilah yang membuat mereka menahan para tawanan perang perempuan dengan harapan memberikan keturunan kepada mereka. Begitu juga tuntutan pertama yang diajukan sebagai diat untuk yang terbunuh, dua orang anak gadis orang kampung yang membunuh tak dapat ditawar-tawar lagi, meskipun dalam soal yang lain, unta, kambing dan harta masih dapat tawar-menawar. Sungguhpun begitu, kemenakan laki-laki yang melamar sepupunya perempuan mendapat prioritas pertama. Ayah si gadis tak boleh menahan selama ia memberikan mas-kawin yang sudah umum berlaku di kalangan kabilah itu. Kalau mas­kawin itu sekian kali lebih besar dari yang lain, maka itu adalah suatu keberuntungan dan kebahagiaan.

Sistem kekeluargaan dan kedudukan perempuan yang hina di zaman jahiliah

Pemuda yang melamar anak gadis kepada keluarganya, berlangsungnya perkawinan setelah ada maskawin, kemudian dibawa pindah ke tempat kabilah si pemuda, itulah bentuk yang sudah umum di kalangan Arab. Tetapi mereka juga sudah biasa dengan bentuk perkawinan yang lain, yang sebagian masih tetap ada sampai sesudah Islam datang - dan yang lain oleh Islam sudah dihapus - di antaranya menikah dengan seorang perempuan lalu dibiarkan di dalam lingkungan masyarakatnya. Kalau dalam suatu perdagangan atau perjalanan ia melewati kabilah itu ia akan tinggal di tempat mereka. Sebagian kaum perempuan lebih menyukai tinggal di tengah-tengah keluarganya sendiri jika mereka orang­orang berada dan terpandang. Mereka tidak suka berpisah dengan harta dan orang-orang yang mengurus dan mengembangkan perdagangan mereka. Anak laki-laki tinggal bersama ibunya sampai ia dewasa. Itu sebabnya mereka bernasab kepada ibunya dan kepada kabilah ibunya.

Begitulah juga halnya dengan Salma binti Amr, salah seorang keluarga Banu Najjar penduduk Yasrib (Medinah) dari kabilah Khazraj. Dia perempuan terpandang dan kaya, perdagangannya dijalankan oleh masyarakatnya sendiri. Ketika suatu hari Hasyim bin Abdu-Manaf dalam perjalanan pulang dari Syam melalui Yasrib, dan melihat perempuan itu muncul di tengah-tengah kaumnya, ia merasa tertarik lalu melamarnya untuk diperistri. Lamaran itu pun diterima dengan syarat ia akan tetap bebas. Dari perkawinan ini ia melahirkan Syaibah dan yang tinggal bersama ibunya di tengah-tengah Banu Najjar sampai ayahnya meninggal. Kemudian pamannya Muttalib membawanya ke Mekah yang diboncengnya di atas untanya. Setelah dilihat oleh orang-orang Kuraisy, mereka mengiranya seorang budak yang baru dibeli oleh Muttalib, lalu mereka berkata: Abdul-Muttalib ("budak Muttalib"). Maka sejak itu nama inilah yang lebih dikenal, dan tak ada orang yang memanggilnya dengan nama Syaibah.

Beberapa sejarawan berpendapat bahwa perkawinan ini merupakan asal mulanya kawin mut’ah, yang pada permulaan Islam masih dibenarkan dan kemudian oleh Umar diharamkan. Di kalangan Syiah kawin mut’ah ini dihalalkan sampai sekarang.

Ada bentuk lain dalam kawin sementara ini. Pihak perempuan dalam perkawinan ini dapat memutuskan ikatan perkawinan itu kalau ia mau, dan untuk itu cukup dia mengubah letak pintu kemah bulunya supaya diketahui oleh temannya bahwa dia sudah tidak bersuami. Dalam pengembaraannya Ibn Batutah menyebutkan bahwa ketika ia berada di Yaman, perkawinan semacam ini masih terdapat di perkampungan Zubaid.

Begitu juga antara lain seperti yang disebutkan oleh para sejarawan Yaman bahwa pada zaman tertentu di antara anggota keluarga itu ada pemilikan bersama, dan perempuan termasuk salah satu milik bersama itu. Ia menjadi pasangan atau kekasih semua anggota keluarga. Jika ada lelaki di antara mereka yang memasuki kemahnya dan menancapkan tongkatnya di pintu untuk tujuan tertentu, maka tak akan ada orang yang akan membukanya. Tetapi tempat bermalam perempuan itu selalu dengan kepala keluarga. Sungguhpun begitu, perempuan berzina dengan laki-laki luar dipandang sebagai tindakan kejahatan yang harus dihukum mati. Di antara yang pernah diceritakan dalam hal ini bahwa ada gadis salah seorang amir ("pemimpin") dalam keluarga milik bersama itu yang mencintai seorang pemuda dari luar keluarga itu. Setiap pemuda itu datang menemui si gadis, gadis itu menancapkan sebatang tongkat di pintu supaya jangan ada yang memergokinya, untuk menyelubungi kejahatannya. Suatu hari kaum lelaki keluarga itu semua berkumpul; mereka melihat tongkat yang terpancang di pintu itu. Mengetahui apa yang sedang dilakukan gadis yang tak kenal malu itu, mereka segera menjatuhkan hukuman kepadanya.

Tampaknya perkawinan ini aneh sekali, tetapi yang lebih aneh lagi ialah nikah istibda',1 (nikah jimak). Pihak suami menyerahkan istrinya kepada laki-laki lain, sesudah hamil dikembalikan dan isi kandungannya dinasabkan kepada suaminya. Bolehjadi mereka melakukan perbuatan mungkar itu hanya karena laki-laki itu mandul dan ingin mendapat anak. Tetapi memungut anak merupakan suatu alternatif dalam keadaan serupa itu. Orang Arab membolehkan memungut anak hanya untuk anak laki-laki, bukan anak perempuan. Kedudukan anak yang dijadikan anak angkat itu dinasabkan kepada bapak angkatnya dan kepada kabilahnya. Adakalanya hak warisnya sampai disamakan dengan hak waris anak kandung. Pernikahan semacam ini tentu saja kita tolak, juga Islam menolaknya, begitu juga cara pengangkatan anak pada umumnya. Para sejarawan menyebutkan bahwa itu adalah adat Arab zaman jahiliah.

Kita sebutkan bentuk-bentuk perkawinan di kalangan Arab ini dengan tanda-tanda pelecehan dan penghinaan terhadap perempuan. Sebenarnya kedudukan mereka lebih rendah dari budak belian. Cukuplah sebagai bukti bahwa ahli waris tuan rumah - baik ayah, saudara laki-laki atau anak laki-laki - berhak mendatangi janda itu lalu melemparkan bajunya kepada perempuan itu dan memberikan maskawinnya, maka dia sudah menjadi istrinya. Begitu juga kalau dia mau ia berhak mengawinkannya kepada orang lain dan dia yang memegang maskawinnya. Perempuan tak dapat lepas dari nasib semacam itu, kecuali bila sebelum itu ia sudah pulang kepada keluarganya. Dalam ini perkawinan itu berada di tangannya atau di tangan walinya.

Perempuan tidak punya hak suara dalam memutuskan tali perkawinan, kecuali untuk kawin mut’ah, yaitu kawin sementara. Di luar itu, pemutusan tali perkawinan dengan jalan khul’ (khuluk) atau cerai. Khuluk itu diselesaikan dengan persetujuan antara pihak suami dengan wali istri, dan untuk menguatkan niatnya perceraian berlaku hanya kalau pihak suami menyebutkannya tiga kali.

Perempuan tidak dapat menerima warisan, baik sebagai ibu, istri, anak perempuan, saudara perempuan atau kerabat perempuan, sebab orang dulu mengatakan: Yang dapat menerima waris hanya yang sudah dapat menetak dengan lembing, dapat mempertahankan hartanya dan dapat meraih rampasan perang. Sedang anak laki-laki dapat menerima warisan dengan pembagian yang sama. Yang tertua mendapat keistimewaan dari saudara-saudaranya yang lain-lain dalam arti ia mendapat kesempatan pertama memilih.

Seperti yang sudah kita lihat kekuasaan suami terhadap istri dan anak-anaknya besar sekali, lebih-lebih lagi terhadap anak perempuan. Dalam beberapa kabilah laki-Iaki menguburkan anak perempuannya hidup-hidup karena takut mendapat malu atau hidup miskin. Kalau sudah dikuburkan hidup-hidup tak ada orang yang akan mempertanyakannya, ibu dan anak perempuan tak punya hak suara mengenai perkawinannya. Hanya bapak sendiri yang berhak memutuskan. Dia pula yang akan melindunginya setelah pindah ke rumah suaminya, baik dalam lingkungan kabilahnya sendiri atau dalam kabilah lain. Kalau suaminya tidak menyukainya atau menceraikannya, ia kembali ke rumah ayahnya dan hidup di bawah asuhannya. Sebaliknya anak laki-laki, ia boleh memilih orang yang akan dilamarnya, kemudian untuk itu ia berusaha untuk mendapatkan restu ayahnya. Kalau sudah berumah-rumah sendiri dia yang menjamin kehidupan istrinya. Ayahnya sudah tak berkuasa lagi. Kalau mereka tinggal di rumah ayahnya, maka sang ayah yang berkuasa penuh.

Inilah sekadar gambaran selintas tentang sistem kekeluargaan di daerah pedalaman. Secara umum juga begitu gambaran untuk sistem kekeluargaan di kota-kota di negeri Arab, sebab warga kota itu juga kabilah-kabilah sama seperti penduduk pedalaman. Kebanyakan mereka tidak lepas dari asal-usul mereka di pedalaman. Mereka kemudian tertarik pada kehidupan kota lalu mereka bergabung dan menetap di kota. Orang yang sudah pernah berkunjung ke pedalaman akan melihat bekas-bekas peninggalan itu yang sampai sekarang masih ada dalam kehidupan masyarakat pedalaman seperti dulu, kendati sudah banyak yang dihapus oleh Islam. Bahkan beberapa bekas ini masih akan kita lihat dalam kehidupan mereka yang ada pertaliannya dengan orang Arab penduduk kota di Mesir dan negeri-negeri di luar Mesir yang berbahasa Arab. Masih banyak mereka yang menghilangkan hak waris anak perempuan. Begitu rupa mereka memandang derajat laki-laki berada jauh di atas derajat anak perempuan, hampir-hampir setingkat dengan yang sudah biasa berlaku di pedalaman sebelum Islam. Dalam soal perkawinan banyak mereka yang samasekali tak mau menghargai pendapat atau suara anak perempuan atau ibunya. Anak perempuan yang kematian suami atau diceraikan ataupun diperlakukan tidak baik oleh suami, masih akan pulang ke rumah ayahnya. Kekuasaan ayah sangat besar terhadap anak-anaknya yang tinggal bersama serumah dalam hal mereka tidak mampu memperoleh mata pencarian.

Sistem kekeluargaan orang Arab yang tinggal di pedalaman dan yang tinggal di kota sama, tetapi terdapat perbedaan besar mengenai cara hidup dan apa yang kita namakan sekarang sistem ekonominya. Orang kota menggantungkan hidupnya pada perdagangan dan pada hasil tanaman yang dikerjakan oleh para petani di ladang-ladang, di kebun-kebun dan persawahan di sekitar mereka, yang dengan cara istimewa sudah menjadi milik mereka. Keuntungan mereka dari hasil perdagangan dan dari hasil tanaman tidak sedikit. Banyak mereka yang meminjamkan uang bagi yang ingin berdagang atau mengembangkannya dengan imbalan keuntungan yang luar biasa besarnya, berlipat ganda besarnya waktu singkat. Mereka semua sudah mengenal kemewahan dan kesenangan hidup yang tak dikenal oleh penduduk pedalaman. Mereka sudah mengenal tempat-tempat minum minuman keras, gedung pertunjukan, tempat perjudian, yang cukup banyak tersedia di kota-kota. Mereka akan bertemu dengan segalanya untuk memuaskan nafsu dan segala kesenangan hidup mereka sepuas-puasnya.

Tetapi Ibn Khaldun tampaknya berlebihan ketika mengatakan bahwa "Jiwa mereka sudah sangat dicemari oleh perilaku yang tercela dan jahat. Jalan kebaikan buat mereka sudah semakin jauh, sejalan dengan segala macam kenikmatan dan kemewahan yang mereka peroleh serta kerakusannya pada dunia dan harta, kebohongan dan segala macam nafsu, sehingga rasa malu pada mereka sudah tak ada lagi. Banyak mereka yang menggunjing dengan kata-kata kotor dalam pergaulan, di antara orang-orang tua dan keluarga mereka. Rasa malu sudah bukan rintangan lagi buat mereka karena mereka sudah terbawa oleh kebiasaan jahat dengan memperlihatkan berbagai kekejian, dalam kata dan perbuatan. Ringkasnya, mereka itu tukang tipu, suka berkhianat dan mengingkari janji."

Sungguhpun begitu, sudah tentu pada mereka juga kebaikan dan kelebihannya sendiri. Kalau tidak karena itu perdagangan mereka tentu sudah bangkrut, dan tidak akan mampu melawan keganasan alam di sekitar mereka. Tetapi mereka juga pedagang-pedagang yang banyak tipu muslihatnya, tipu muslihat yang menurut Ibn Khaldun menyebabkan adanya beberapa kekurangan pada mereka. Keuntungan yang mereka peroleh dari perdagangan dan dari riba memudahkan mereka untuk hanyut dalam segala kesenangan dan banyak meremehkan nilai-nilai akhlak yang mulia.

Adapun kehidupan di pedalaman dasarnya adalah berpindah-pindah, mencari padang rumput serta memanfaatkan daging dan susu unta. Yang menjadi milik seorang badui (pedalaman) hanyalah sebuah rumah bulu yang dijadikan tempat tinggalnya, dan di sekitar rumah itu kadang ditanami biji-bijian dan buah-buahan. Menurut ketentuan yang berlaku, hasil tanaman itu bagi yang menanamnya. Tetapi pemilikan ini tidak penting. Orang-orang badui umumnya menghindari pekerjaan cocok tanam dan menganggap pertanian di bawah yang seharusnya untuk mereka. Tentang padang rumput yang ada di sekitar perkampungan kabilah, menjadi milik bersama kabilah itu. Begitu juga rerumputan yang tumbuh di padang pasir, berada di bawah perlindungan perkampungan itu. Kabilah-kabilah tetangga boleh mengadakan saling tukar padang rumput.

Permusuhan dan solidaritas kekabilahan

Perkampungan-perkampungan para kabilah itu dibatasi oleh adat dan kesepakatan. Apabila di satu kabilah terjadi kekeringan maka ia akan mencari padang rumput jauh dari kampungnya sendiri, dan tak boleh ada kabilah lain menempati tempatnya itu atau mencoba membunuh penghuni dan pemiliknya. Dengan demikian, pada waktu kita sekarang ini kita dapat mengenali perkampungan para kabilah itu dari peta bumi. Tetapi permusuhan semacam itu serta peperangan antar-kabilah sebagai akibatnya, sering terjadi, bahkan sudah menjadi hal yang biasa dalam kehidupan jahiliah. Oleh karenanya, seorang badui itu sudah menjadi prajurit sejak lahir, dan kehidupan kabilah itu sering merupakan kehidupan perang dan perampasan. Mengadakan serangan dan penjarahan kemudian membawanya lari ke kemah-kemah besar sudah menjadi kebiasaan penghuni pedalaman. Kalau kabilah itu sudah kembali pulang sesudah mengadakan serangan, mereka tinggal dalam kemah-kemah itu dengan siaga penuh, menunggu datangnya serangan balik dari yang lain sebagai pembalasan atau balik menjarah harta mereka seperti yang mereka lakukan terhadap yang lain. Begitu juga - masih menurut Ibn Khaldun - mengenai penduduk pedalaman, bahwa "Mereka tukang rampok dan melakukan perbuatan sia-sia semampu mereka. Tanpa suatu alasan mereka melakukan petualangan lalu melarikan diri ke tempat pencarian rumput di gurun terpencil. Biasanya pemimpin mereka memerlukan mereka untuk memupuk rasa solidaritas kesukuan yang akan dijadikan kubu pertahanannya. Dalam hal ini ia terpaksa mengikuti watak mereka dan meninggalkan permusuhan mereka agar tidak melemahkan rasa solidaritasnya, yang berarti akan menjadi kehancurannya sendiri dan kehancuran mereka."

Wajar sekali bila mereka merasa khawatir akan mendapat pembalasan dan serangan dari kabilah secara bersama-sama, mendorong orang-orangnya untuk memperkuat diri dengan membawa kenangan masa lalu serta keberanian nenek moyang mereka dulu yang gagah berani. Di sinilah letak rahasia keinginan mereka untuk mengetahui asal usul mereka, membanggakan diri terhadap yang lain, memperkuat rasa gotong royong dengan mengacu kepada leluhur yang terkenal berani, murah hati, suka melindungi tetangga dan sifat-sifat serupa, yang ditanamkan kepada mereka untuk dijadikan bawaan dan watak mereka. Dan sudah menjadi keharusan pula anak-anak mereka akan mengikuti jejak itu. Hanya dengan inilah kehidupan di pedalaman itu dimungkinkan. Manusia pedalaman menjadi sasaran penyerangan kabilah lain. Hidup di pedalaman adalah hidup keras, kadang sampai kepada kemiskinan. Kalau penghuninya tidak ramah bersedia menerima tamu dan melindungi tetangga banyak yang akan menghadapi kehancuran. Hidup di pedalaman hidup melawan alam dan menghadapi para penyerang. Kalau penghuninya bukan orang-orang pemberani, cerdik dan tabah, mereka akan memikul segala beban hidup. Kalau mereka tak dapat bermain propaganda yang akan membuat yang lain takut, mereka akan menghadapi bahaya. Oleh karena itu syair-syair dan prosa-prosa mereka isinya kebanyakan tentang kebanggaan, semangat kekesatriaan, kemuliaan dan bicara tentang segala macam kebajikan yang dituntut oleh hidup ini dan mendorong mereka berbicara tentang itu semua.

Dalam mengadakan pembalasan terhadap para penyerang, Arab pedalaman itu tidak saja terhadap perkampungan mereka, tetapi juga terhadap nyawa, harta benda, kehormatan dan penghinaan serta segala yang harus mendapat pembalasan, yang kesemuanya itu sudah ada aturan mainnya di kalangan mereka. Setiap anak kabilah merasa mempunyai kewajiban untuk mengadakan pembalasan. Kalau seseorang di antara mereka ada yang terbunuh, semua anak mereka akan mengangkat senjata tatkala teriakan keluarga pihak yang terbunuh mulai menggema: "Hai, pembalasan!" Begitu juga halnya terutama bila si pembunuh dari kabilah lain. Kalau tempat tinggal si pembunuh itu dekat dibakar, semua unta dan kambingnya dibunuhi, dan segala yang dianggap suci selama tiga hari penuh boleh dilanggar. Dalam hal ini kabilah pihak pembunuh tidak akan menyalahkan atau menghukum si penuntut balas dan kabilahnya atas tindakan mereka itu. Tetapi si pembunuh setelah melakukan kejahatannya sering berlindung kepada siapa saja yang bersedia melindunginya dan mampu mengamankannya. Kalau dia meminta suaka dan dilindungi maka ia harus membayar diat. Sesuai dengan adat yang berlaku mengenai diat ini, pihak yang hendak rnenuntut balas akan menuntut anak-anak gadis, unta dan harta kepada keluarga si pernbunuh. Pertama sekali keluarga si pembunuh harus menerima terlebih dulu, baru kemudian terjadi tawar-menawar disusul dengan pihak penuntut yang akan banyak mengalah atas tuntutannya itu. Tetapi samasekali ia tidak akan mengalah dari diat berupa dua anak gadis dari kampung si pembunuh, untuk dirinya sendiri atau untuk diberikan kepada siapa saja.

Tentang pembalasan yang menyangkut kehormatan dan penghinaan biasanya mengakibatkan perang antara dua kabilah, yang dapat memakan waktu sampai bertahun-tahun lamanya. Kalau kabilah penuntut balas terlalu lemah untuk mengadakan pembalasan sendiri, ia akan menawarkan kepada kampung-kampung kabilah yang lain apa yang menjadi haknya serta pelanggaran atas kehormatannya itu. Kabilah­kabilah yang lain pun bersedia memberikan perlindungan atau bersekutu untuk bersama-sama mengadakan pembalasan. Persekutuan untuk tujuan semacam ini sudah biasa. Barangkali kita masih ingat mengenai H ilf al-Fudul yang juga mengikutkan Muhammad sebelum kerasulannya ketika kabilah-kabilah Mekah mengadakan perjanjian dan kesepakatan, bahwa mereka akan berada di pihak yang teraniaya sampai ia dapat menyelesaikan kewajibannya. Serangan pihak Ahzab ke Medinah sesudah hijrah Rasulullah adalah hasil persekutuan Yahudi Medinah dengan kabilah-kabilah Mekah dan kabilah-kabilah Arab lainnya. Persekutuan semacam ini banyak sekali dilakukan pada masa jahiliah. Berita-beritanya pun banyak terdapat dalam buku-buku sejarah dan buku-buku sastra.

Untuk hidup saling balas dendam, saling serang dan petualangan ini orang percaya pada alamat baik dan alamat buruk.2 Pihak yang menang akan merasa mendapat alamat baik kalau kemenangannya membawa kepada hal-hal yang di luar dugaannya. Sebaliknya pihak yang kalah merasa mendapat alamat buruk, juga oleh sebab yang sama. Orang Arab waktu itu termasuk bangsa yang paling percaya pada alamat baik atau alamat buruk itu. Hal demikian bukan hanya dalam soal perang, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa sejarawan menghubungkan orang Arab yang menamakan anak-anaknya dengan nama binatang karena kepercayaannya pada alamat buruk atau alamat baik tadi. Disebutkan bahwa jika ada yang mendapat keturunan lalu mati kemudian mendapat anak lagi maka anaknya ini diberi nama binatang, seperti Sa'lab ("kancil"), Saur ("sapi"), Kalb ("anjing"), Zi'b ("serigala"), Fahd ("harimau kumbang") atau Asad ("singa"). Para sejarawan itu juga menyebutkan bahwa banyak kabilah yang menggunakan nama-nama hewan itu karena nenek moyang mereka dulu memakai nama hewan untuk menghindari kematian. Kalau penafsiran ini benar, juga harus berlaku kepada yang lain yang bukan Arab. Keluarga-keluarga yang menggunakan nama kancil, serigala atau nama­nama hewan lain seperti yang kita lihat pada orang-orang Inggris, Prancis, Jerman dan yang lain. Penyebabnya mungkin karena kepercayaan pada alamat buruk dan baik tadi seperti pada orang Arab.

Kepercayaan dan adat istiadat di zaman jahiliah

Penyembahan berhala dan mengharapkan ramalannya di depannya dengan qih (semacam anak panah) akan memperkuat kepercayaan mereka pada alamat buruk atau baik itu. Jika ada yang menginginkan sesuatu, ia datang membawa azlam, yaitu beberapa batang kayu atau batu, pada yang satu ditulis "perintah," pada yang kedua "larangan" dan yang ketiga dibiarkan kosong, untuk dijadikan pilihan. Kemudian dikocok di bawah lindungan berhala seperti Hubal, dan salah satunya dikeluarkan. Kalau yang keluar itu "perintah" maka ia boleh melaksanakan maksudnya; kalau yang keluar "larangan" maka harus membatalkannya dan kalau yang keluar kosong ia boleh mengulang lagi, mengocok dan menunggu ramalannya lagi. Dalam kepercayaan mereka berhala yang mereka sembah dan tempat mengharapkan ramalan, dialah yang mengeluarkan azlam. Itu pula sebabnya mereka patuh sekali, karena itu adalah alamat dan perintah dari sang dewa.

Pada setiap kabilah, bahkan pada keluarga setiap rumah, ada satu berhala untuk disembah. Jika di antara mereka ada yang hendak mengadakan perjalanan, perbuatan yang terakhir yang dilakukannya meraba berhala itu. Kalau kembali dari perjalanan, begitu masuk rumah yang pertama sekali dilakukannya juga merabanya. Ibn al-Kalbi dalam karyanya al-Asnam ("Berhala-berhala") menyebutkan bahwa penyembahan berhala dan batu itu karena "setiap orang yang singgah di Mekah pulangnya akan membawa batu dari Masjidilharam sebagai penghormatan pada Masjid dan cintanya yang mendalam pada Mekah. Di mana saja mereka berada batu itu mereka letakkan dan mereka kelilingi seperti mengelilingi Ka'bah... Kemudian cara ini mereka tinggalkan sampai kemudian mereka menyembah berhala." Dengan demikian setiap kabilah punya berhalanya sendiri. Berhala kabilah Huzail bin Mudrikah adalah Suwa' di Yanbu', berhala kabilah Kalb Wadd di Dumat al-Jandal dan berhala kabilah Hamdan dan pendukung-pendukungnya di Yaman berhala Ya'uq yang terletak di sebuah desa yang disebut Khaiwan, dari San'a dua malam perjalanan dengan unta ke dekat Mekah. Kabilah Himyar menyembah Nasr di suatu tempat yang disebut Balkh dan kabilah Muzhij dan penduduk Jurasy menyembah Yagus... Mengenai berhala-berhala inilah firman Allah turun: "Dan mereka berkata: "Sekali-kali janganlah kamu tinggalkan sembahan-sembahanmu; sekali­kali janganlah tinggalkan Wadd dan Suwa', Yagus, Ya'uq dan Nasr. Mereka telah menyesatkan orang banyak; dan biarkanlah orang-orang yang zalim bertambah sesat." (Qur'an, 71: 23).

Berhala Manat termasuk berhala orang Arab yang tertua, terpancang di Qudaid yang terletak antara Mekah dengan Medinah, dan semua orang Arab memujanya dan menyembelih kurban di sekitarnya. Lat adalah berhala Ta'if berupa batu segi empat, para penjaganya dari Saqif mendirikan sebuah bangunan di atasnya yang menambah kemegahannya. Sedang Uzza berada dalam rumah di sebuah lembah di bilangan Nakhlah, konon dulu mereka mendengar keluar suara. Mengenai ketiga berhala itu Kuraisy mengatakan, bahwa ketiganya adalah putri-putri Tuhan dan dapat menjadi perantara dengan Tuhan. Dalam hal ini Allah berfirman: "Adakah kamu perhatikan Lat dan Uzza? Dan itu Manat ketiga, yang terakhir? Adakah untuk kamu yang jantan dan untuk Dia yang betina? Ingatlah, itulah pembagian yang tidak adil! Itu hanya nama-nama yang kamu buat-buat sendiri, kamu dan moyang kamu, -- Allah tidak memberi kekuasaan tentang itu. Apa yang mereka ikuti hanya dugaan, dan yang menyenangkan nafsu sendiri! Padahal petunjuk yang benar dari Tuhan sudah sampai kepada mereka." (Qur'an, 53: 19-23).

Di samping itu ada pula berhala-berhala Kuraisy di dalam Ka'bah, yang terbesar buat mereka adalah Hubal, terbuat dari batu akik merah dalam bentuk manusia, tangan kanannya sudah patah. Oleh Kuraisy dibuatkan tangan dari emas. Sedang Isaf dan Na'ilah dua buah berhala masing-masing di Safa dan di Marwah. Selain itu masih ada patung­patung berhala lain yang sebagian besar disebutkan oleh al-Kalbi dalam kitab al-Asnam itu. Yang lain-lain ada disebutkan dalam Taj al-Arus dan Muruj az-Zahab dan kitab-kitab para sejarawan lainnya.

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team