|
23. Kehidupan Sosial pada Masa Umar
(3/4)
Pengaruh Umar dalam perkembangan
sosial
Ya, pengaruh apakah yang dibawa oleh faktor-faktor yang
beraneka ragam ini terhadap kehidupan masyarakat Arab waktu
itu?
Jawaban yang harus kita berikan atas pertanyaan ini ialah
kita harus merangkum semua faktor itu ke dalam satu faktor
yang telah mengarahkan semuanya, dan faktor itu ialah Umar
sendiri. Dia sudah demikian rupa mengadakan ijtihad dalam
bidang fikih, dalam bidang politik, ekonomi dan sosial
dengan pengaruh yang begitu besar dalam masyarakat Islam dan
masyarakat Arab semua, baik yang tinggal di Semenanjung atau
yang kemudian bermukim di negeri-negeri yang sudah
dibebaskan. Segala ijtihadnya itu dalam bab berikut ini akan
kita uraikan seperlunya. Pada masanya, ijtihad ini pulalah
yang menyelamatkan kehidupan sosial dari kemunduran. Dialah
yang telah menjaga kehormatan jiwa Islam dalam hati kaum
Muslimin di mana pun mereka berada. Jasa Umar dalam hal ini
besar sekali ditambah dengan sifat adilnya dalam menjalankan
hukum serta kemampuannya yang begitu perkasa dan cekatan
memikul segala beban.
Dengan nalurinya ia sudah dapat menangkap bahwa ketika
jiwa manusia sudah mulai membubung tinggi, manusia akan
selalu terancam oleh dorongan nafsu yang cenderung hendak
mencapai tingkat yang sesuai dengan watak dan bawaannya,
seperti pesawat terbang yang membubung tinggi di udara. Ia
akan selalu menanggung risiko jatuh, sesuai dengan gravitasi
- hukum daya tarik bumi, bilamana tenaganya di angkasa sudah
mulai berkurang. Kalau Amirulmukminin tidak mencurahkan
perhatiannya untuk mengatasi segala penyebab kelemahan itu
dalam dirinya terlebih dulu, untuk dijadikan teladan bagi
yang lain - kemudian untuk mengatasi sebab-sebab kelemahan
itu dalam diri semua orang karena dikhawatirkan
prinsip-prinsip yang telah mengantarkan mereka kepada
keagungan dan kekuatan itu akan menyimpang dari tujuan dan
akan dikalahkan oleh kodrat dan nafsu keduniaan - niscaya
orang akan kembali kepada cara-cara lama yang diterjemahkan
ke dalam pola baru yang dikira itulah yang sesuai dengan
prinsip-prinsip dan ajaran Islam.
Sudah kita lihat betapa kerasnya Umar terhadap dirinya,
supaya ia dapat merasakan sendiri beban perasaan yang
ditanggung oleh seorang Muslim yang paling miskin dan paling
lemah, sehingga pada suatu saat sahabat-sahabatnya merasa
sangat prihatin melihatnya. Tindakannya yang begitu keras
terhadap dirinya itu telah membuatnya bebas untuk bersikap
keras terhadap setiap orang yang dilihatnya menyalahi dasar
keadilan dan ketakwaan, atau menyimpang dari cara hidup
bersih dan perangai yang sebenarnya. Dengan demikian ia
dapat membuat perhitungan dengan semua pejabatnya dengan
cara yang sangat ketat, memecat mereka yang dilihatnya tidak
lurus, dengan tetap menjaga kewibawaan dan kewenangan mereka
yang berkelakuan baik. Dalam beberapa ketentuan hukum ia
terus berijtihad dengan sungguh-sungguh, yang pada masa Abu
Bakr dan masa Rasulullah tak pernah dilakukan. Ia membuat
peraturan dalam soal ekonomi dan sosial yang begitu keras,
yang menurut perhitungannya kebersihan dan kemurnian
prinsipprinsip agama yang benar akan tetap
terjamin.
Teladan dan kebijakan Umar dalam ekonomi dan sosial yang
ditanamkan ke dalam hati orang-orang Arab itu dari segi
keberanian dan strategi perang tetap terjaga kuat. Ia
melarang prajurit-prajurit Arab mengolah tanah di Irak, Syam
dan Mesir. Mereka harus tetap berada dalam barak-barak
sebagai prajurit pejuang. Kedaulatan Islam yang sudah
terbentang luas adalah akibat langsung kebijakan ini.
Ijtihad Umar ini telah membangkitkan kesadaran mental bagi
orang Arab dalam bidang-bidang yang belum pernah mereka
masuki. Melimpahnya harta itu telah menggoda orang untuk
berebut kekayaan serta gemar nenimbun harta dan
mengembangkannya. Ada yang menyambut baik kecenderungan
demikian ini untuk kesejahteraan umat Islam, ada pula yang
mencelanya dan menganggapnya bertentangan dengan dasar-dasar
dakwah Islam, dengan mengacu kepada firman Allah ini:
"Tidak, tetapi sungguh manusia melampaui batas, karena
melihat dirinya sudah serba cukup. Ingatlah, kepada Tuhannya
akan kembali semuanya." (Qur'an, 96:6-7). Kaum Muslimin
melihat peninggalan-peninggalan seni di kawasan-kawasan yang
baru dibebaskan itu ada yang berupa patungpatung
seperti berhala tidak mereka hancurkan, yang di zaman
jahiliah dulu ada di Ka'bah. Sa'd bin Abi Waqqas bahkan
menganggap tak ada salahnya menjadikan Iwan Kisra di Mada'in
sebagai tempat salat, dan membiarkan patung-patung itu tetap
berdiri di tempatnya sebagai dekorasi yang memperindah
istana agar tampak lebih cemerlang. Dibiarkannya
patung-patung itu demikian karena memang sudah tak ada orang
yang akan menyembahnya. Sebagian besar hasil kreativitas ini
tujuannya dalam hal yang tidak disebutkan dalam Qur'an dan
tidak pula terdapat dalam sunah Rasulullah. Salah satu yang
menjadi perhatian orang Arab memang berijtihad dengan akal
pikiran. Tetapi perhatian ini tak lebih hanya untuk
keperluan sementara, tidak sampai membuat orang Arab itu
membentuk aliran-aliran dalam filsafat atau dalam sosial
ekonomi yang dasarnya adalah logika yang akan memperdalam
segalanya, seperti yang dilakukan oleh Yunani. Juga bukan
untuk mendirikan aliranaliran dalam kesenian dengan
berbagai macamnya, yang berkembang dari puisi menjadi drama
kepahlawanan, dari prosa menjadi roman, seperti yang
dilakukan oleh Persia.
Akan berlebihan sekali jika orang menuntut dari
masyarakat Arab masa itu untuk mengubah filsafat tauhid
dengan apa yang diuraikan oleh Gazali, Farabi, Ibn Rusyd dan
yang lain, yang datang kemudian. Bagi mereka cukup sudah
beriman kepada akidah dan kaidah yang diwahyukan Allah
kepada Rasul-Nya. Akidah dan kaidah itu oleh mereka sudah
dijadikan dasar dalam masalah-masalah ibadah, sistem
kehidupan dan muamalatnya. Setelah itu mereka cukup bangga
bahwa kaidah-kaidah itu sudah mampu membangun sebuah
imperium besar, dan dari sana putra-putra imperium ini
berangsur-angsur mampu membangun prinsip-prinsip peradaban
yang telah membimbing umat manusia selama berabad-abad
berikutnya. Kalau kita ingat bahwa terjadinya transisi ini
bukan hal mudah dan kita ingat pula perjuangan Rasulullah
dan sahabat-sahabatnya untuk semua itu, kemudian kita nilai
keadaan masyarakat Arab selama kurun waktu itu dalam sejarah
umat manusia, kita harus melihat - dengan banyak berlapang
dada - apa yang masih tersisa dari adat istiadat lama dalam
masyarakat Arab yang tidak dilarang oleh Islam, dan, sesuai
dengan perkembangan, apa yang terjadi terhadap mereka dengan
adanya imperium itu, sesudah mereka sempat menikmati harta
kekayaan dan kesenangan yang mereka peroleh, yang tak pernah
mereka alami sebelum itu.
Sebenarnya dalam hal ini pola masyarakat Arab itu tidak
sendirian, juga mereka tidak menyimpang dari kebiasaan umat
manusia pada setiap zaman. Sudah berapa banyak bukti dalam
sejarah, bahwa revolusi-revolusi itu tak dapat mengubah
kecenderungan manusia dan segala adat istiadatnya sejauh
perubahan yang terjadi terhadap pola pemikiran dan sistem
masyarakat itu! Mereka yang akhirnya menganut suatu paham
atau salah satu prinsip dan sudah diyakininya pula, namun
toh mereka tetap berkutat dalam apa yang sudah menjadi
bawaan mereka sendiri, sesuai dengan kecenderungan dan
keinginan mereka dalam ruang lingkup prinsip dan sistem yang
menjadi dasarnya. Terjadi demikian, karena sebagian besar
manusia yang terpengaruh oleh dorongan dan godaan naluri,
jauh lebih besar daripada yang terpengaruh oleh
nilainilai luhur yang terpampang di depan mereka. Yang
sangat menjadi harapan golongan mayoritas ini sekiranya
mereka terbebas dari ganjaran, sebagai akibat atas gaya
hidup mereka yang sudah terdorong oleh godaan nalurinya itu.
Harapan demikian ini kadang dilakukan dengan
sembunyi-sembunyi, kadang mengharapkan kesangsian hakim
supaya mereka terhindar dari hukuman itu, dan yang selalu
menjadi harapan pengampunan dari Allah. Bukankah pengampunan
Allah meliputi segalanya? Bukankah segala kebaikan dibalas
dengan sepuluh kali kebaikan, dan balasan atas kejahatan
serupa dengan kejahatannya? Alangkah celakanya manusia jika
tidak mengharapkan pengampunan Allah! Alangkah banyaknya
kenikmatan yang dapat diperoleh manusia dari ciptaan Allah
ini! Barang siapa menghalalkan yang dihalalkan oleh Allah
dan mengharamkan atas dirinya apa yang sudah diharamkan,
dengan mengerjakan segala amal kebaikan, maka Allah juga
yang akan memberikan balasan. Tetapi barang siapa
tergelincir dan tergoda oleh segala nafsu yang memang selalu
mendorong manusia kepada kejahatan, kemudian ia kembali dan
bertobat, maka Allah selalu menerima tobat hamba-Nya.
Kebiasaan jahiliah yang masih melekat
sesudah Islam
Sesudah datangnya Islam, kebiasaan jahiliah apakah yang
masih tinggal dalam kehidupan masyarakat Arab? Apa yang
tiba-tiba terjadi terhadap kehidupan mereka ketika
kedaulatan ini sudah makin luas, dan ribuan dari mereka
tinggal di luar Semenanjung Arab?
Masyarakat Arab jahiliah itu sangat fanatik terhadap
kabilahnya masing-masing, dan semua sama sangat fanatik
terhadap ras Arab. Sedang nilai ajaran Islam menolak semua
fanatisme jahiliah itu. Ajaran itu menyamakan semua umat
manusia. Kelebihan hanya ada dalam perbuatan dan ketakwaan,
tak ada bedanya yang dengan yang bukan Arab. Firman Allah
dalam Qur'an sudah jelas mengenai hal ini: "
yang
paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah yang
paling bertakwa
" (Qur'an, 49: 13). Dan
firman-Nya: "Orang-orang mukmin itu bersaudara..."
(Qur'an, 49: 10). Islam diturunkan untuk semua umat manusia,
yang putih dan yang hitam, yang Arab dan yang
bukanArab. Untuk itu Rasulullah Sallallahu
alaihi wa sallam berkata dalam khotbah perpisahannya:
"Saudara-saudara! Allah telah menghilangkan dari kamu
sekalian kesombongan jahiliah dan membangga-banggakan nenek
moyang. Kamu semua anak Adam dan Adam dari tanah. Yang Arab
tidak lebih mulia dari yang bukan-Arab kecuali dengan
takwa." Sungguhpun begitu kefanatikan kabilah masih kuat
berakar dalam hati sebagian besar orang Arab, dan
kefanatikan ras Arab masih kuat pada mereka semua. Bahkan
dengan tersebarnya orang Arab di kerajaan Persia dan Rumawi
dengan dapat menguasai mereka, fanatik terhadap ras Arab itu
makin bertambah besar. Mereka yakin, bahwa Islam yang telah
diturunkan kepada mereka itu sebagai wakaf untuk mereka
sendiri tanpa ada pihak lain boleh mencampurinya.
Contoh-contoh tentang masih bersarangnya fanatik kabilah
ini dalam sejarah banyak sekali. Semasa hidup Nabi peristiwa
demikian sudah pernah terjadi tatkala kabilah Aus
membanggakan diri terhadap kabilah Khazraj dan
mengungkit-ungkit perang Bu'as. Salah satunya di antara
mereka berkata: "Kalau kalian mau akan kami lancarkan lagi
perang." Kalau tidak segera Nabi turun tangan menengahi dan
mengembalikan persaudaraan di antara mereka, niscaya terjadi
bencana besar. Karena kesibukan kaum Muslimin kemudian
menghadapi perang pembebasan, pada permulaan masa
pemerintahan para khalifah fanatik kabilah ini sudah mulai
reda, semua perselisihan di antara mereka berangsur padam.
Setelah kemudian terjadi perselisihan antara Ali dengan
Mu'awiah fanatik kabilah ini mulai timbul lagi seperti
semula, dan kembalilah permusuhan antara Banu Hasyim dan
Banu Umayyah seperti di zaman jahiliah dulu. Di kalangan
masyarakat Arab pedalaman fanatik kabilah masih terasa
sampai masa kita sekarang ini, baik mereka yang tinggal di
Semenanjung atau di luar itu.
Fanatisme ras Arab dan dalihnya
Makin besar lagi kefanatikan Arab terhadap ras mereka
sesudah terjadi perang pembebasan. Anggapan mereka, kedua
imperium besar Persia dan Rumawi telah bertekuk lutut di
bawah kekuatan mereka dan kekuasaan keduanya berpindah ke
tangan mereka. Barangkali mereka menganggap boleh-boleh saja
bersikap fanatik demikian karena mengenai mereka Allah sudah
berfirman: "Kamu adalah umat terbaik dilahirkan untuk
segenap umat manusia, menyuruh orang berbuat yang benar dan
melarang perbuatan mungkar serta beriman kepada
Allah..." (Qur'an 3: 110), dan firman-Nya:
"Demikianlah Kami jadikan kamu suatu umat yang berimbang
supaya kamu menjadi saksi atas segenap bangsa, dan Rasul pun
menjadi saksi atas kamu sendiri..." (Qur'an, 2: 143).
Hanya ayat-ayat ini yang mereka ingat dan mereka melupakan
teguran dan peringatan Allah dalam sekian banyak ayat
lainnya. Juga mereka telah melupakan dasar-dasar
persaudaraan dan persamaan yang diserukan Islam dan yang
telah menjadi dasar iman.
Kita bukan hendak menyalahkan Arab karena fanatik rasnya
itu. Fanatisme ras pada bangsa-bangsa lain juga masih
berlaku dan dijadikan alat untuk memperkuat rasa
kebangsaannya. Bukankah dewasa ini ras kulit putih
mendakwakan diri bahwa dalam peradaban, menurut ungkapan
mereka sendiri, mereka lebih unggul dari ras kulit berwarna?
Bukankah ras Aria masih merasa dirinya lebih unggul dari ras
Semit dan ras-ras yang lain, bahwa ia lebih cerdas, lebih
berpikir logis, lebih kreatif dan lebih produktif dalam ilmu
dan seni?! Ras Saxon dan ras Jerman masing-masing
mendakwakan diri seperti itu, yang karena terbawa nasib baik
lalu menyombongkan diri, dan dengan didukung oleh kekuasaan
dalam kurun waktu tertentu dalam sejarah, umat manusia lalu
menindas bangsa-bangsa lain. Mereka itu semua dengan
bermulut besar menyombongkan diri dengan pengakuan itu.
Mereka tahu apa yang sudah tercatat dalam sejarah bahwa
kekuasaan itu silih berganti, berpindah-pindah di antara
ras-ras dan bangsa-bangsa, yang dalam kurun waktu tertentu
kadang berhubungan dengan kehidupan rohani, dan kadang
dengan kehidupan ekonomi, yang samasekali tak ada
hubungannya dengan ras atau warna kulit itu sendiri. Kalau
fanatik ras Arab sudah berlebihan tatkala mereka menjadi
pihak yang menang dan pimpinan peradaban berada di tangan
mereka, mereka masih dapat dimaafkan, karena mereka
mengikuti kodrat yang berlaku terhadap semua ras dan bangsa,
lalu mereka jadi fanatik dengan kearabannya, sekalipun
fanatik demikian sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip
Islam serta ajarannya yang tegas-tegas mengajak kepada
persaudaraan dan persamaan.
Sikap fanatik ini telah membawa mereka begitu rapat
dengan adat kebiasaan jahiliah, yang menurut ajaran Islam
sudah tidak diakui samasekali, di antaranya seperti
kesenangan mengadakan balas dendam serta kukuhnya bertahan
dengan adat kebiasaan lama. Ajaran Islam tidak membolehkan
melakukan pembalasan dendam, yang dalam adat jahiliah
dibenarkan, yang akibatnya jika terjadi perang antarkalibah
dapat memakan waktu sampai bertahun-tahun. Allah telah
berfirman: "Dan jika kamu membalas mereka, balaslah
sebanding dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu, tetapi
kalau kamu sabar dan tetap tabah, itulah yang terbaik."
(Qur'an 16: 126), dan firman-Nya: "Wahai orang-orang
beriman! Telah diwajibkan kepadamu hukum kisas dalam hal
pembunuhan: yang merdeka dengan yang merdeka, budak dengan
budak dan perempuan dengan perempuan..." (Qur'an, 2: 178).
Hukum kisas adalah salah satu bentuk hukuman yang dijalankan
oleh pemegang kekuasaan (waliyul amr), bukan oleh si
penuntut balas (waliyud dam). Tetapi di samping itu Qur'an
menganjurkan pemberian maaf dan dalam sekian banyak ayat
menganjurkan demikian. Sungguhpun begitu, masyarakat Arab
sudah sangat melekat dengan cara-cara pembalasan dendam ini,
dan masih menjadi adat kebiasaan yang sudah berakar
turun-temurun. Paling tidak itulah yang kita lihat sampai
sekarang di kalangan penduduk pedalaman. Bahkan di sebagian
penduduk kota yang masih mempunyai pertalian kerabat dengan
orang-orang pedalaman, cara-cara balas dendam ini masih ada
hubungannya dengan rasa harga diri dan dengan cara hidup
mereka. Mereka tak mau beranjak dari sana. Dalam
undang-undang dan hukumannya tidak mereka lihat ada yang
dapat memuaskan perasaan mereka dan dapat melepaskan mereka
dari cara-cara jahiliahnya itu.
Orang Arab menyambut berbagai kesenangan
dan sebabnya
Hiruk-pikuk fanatik kabilah di masa Umar sudah mulai
reda, karena kaum Muslimin sudah disibukkan oleh perjuangan
dan perang pembebasan. Tetapi hasil rampasan perang yang
mereka peroleh akibat pembebasan itu, dan perubahan cara
hidup penduduk pedalaman di perkotaan - di Irak, Syam dan
Mesir - dalam hati banyak orang, kecenderungan lama terhadap
kekayaan materi dan cara hidup mereka itu bangkit
kembali.
Di masa jahiliah orang-orang Arab itu tergila-gila pada
minuman keras, perempuan dan nyanyi-nyanyian, dan tergoda
untuk memperturutkan hawa nafsu, sesuai dengan kemampuan
mereka, kaya atau miskin. Setelah memasuki masa penaklukan
dan mereka hidup makmur, segala macam kesenangan tersedia di
depan mata mereka, banyak dari mereka yang langsung hanyut
memperturutkan apa yang semula memang menjadi kesenangan
mereka. Alangkah cepatnya mereka berdalih dengan menggunakan
alasan yang akan meyakinkan, bahwa dalam hal ini mereka
tidak melanggar perintah dan larangan Allah serta hukuman
yang harus dilaksanakan ! Dengan demikian, ada di antara
mereka yang lalu terjun ke dalam minuman, dengan anggapan
bahwa perbuatan demikian itu tidak berdosa, dan Allah tidak
menentukan hukuman atas seorang peminum, baik Rasulullah
ataupun Abu Bakr tak sampai menjatuhkan hukuman kepada
seorang peminum. Mengenai perempuan, banyak mereka yang
menyalurkan kesenangannya itu kepada mereka yang sudah
menjadi miliknya.5 Mereka terdiri dari
tawanan-tawanan perang Persia dan Rumawi dari antara mereka
yang cantik-cantik dan genit. Mereka dibagi-bagikan kepada
prajurit-prajurit seperti membagi-bagikan harta rampasan,
dan ada yang ditawarkan di pasar-pasar sebagai budak. Orang
boleh membelinya dan diperlakukan sesuka hatinya.
Buku-buku sastra dan sejarah sudah banyak menceritakan
segala macam kesenangan berupa minuman keras, judi dan
perempuan, yang di atas sudah kita sebutkan beberapa orang
dari kaum Muslimin yang minum khamar di Syam. Ketika oleh
Abu Ubaidah mereka ditanya, mereka tidak mungkir, tetapi
mereka berdalih dengan mengatakan: "Kami sudah membuat
pilihan dan ini yang kami pilih. Firman-Nya: "Tidakkah kamu
mau berhenti juga, bukanlah suatu perintah kepada kami."
Mengenai kejadian dengan Abdur-Rahman bin Umar ketika ia
minum khamar di Mesir sudah kami ceritakan. Abdur-Rahman
pergi menemui Amr bin As agar dirinya dijatuhi hukuman. Juga
sudah kami sebutkan cerita sekitar orang-orang yang dilihat
oleh Umar malam-malam sedang minum-minum di pinggiran kota
Medinah. Tatkala keesokan harinya salah seorang dari mereka
ditanya apa yang telah mereka lakukan tadi malam, orang itu
malah menjawab: Bukankah Tuhan melarang kita memata-matai !?
Contoh-contoh ini sudah kita uraikan sesuai dengan
tempatnya. Hal ini menunjukkan bahwa minum minuman keras
merajalela pada beberapa golongan kaum Muslimin waktu itu,
serta bagaimana kerasnya Umar melarang minum minuman keras
dan hukuman yang dijatuhkannya.
Cerita-cerita tentang soal perempuan ini masih lebih
banyak lagi, ada pula yang dikaitkan dengan tokoh-tokoh
terpandang. Sudah kita lihat bagaimana tawanan-tawanan
perang yang cantik-cantik itu dipilih sudah merupakan hal
biasa, tak ada orang yang akan membantahnya, dan tidak pula
ada orang yang akan menyalahkan. Ali bin Abi Talib, Khalid
bin Walid dan beberapa sahabat besar lainnya memilih
tawanantawanan perang Persia dan Rumawi, di antaranya
ada yang melahirkan ada juga yang tidak. Penulis buku
al-Agani menceritakan, bahwa AbdurRahman bin Abu Bakr
begitu mencintai Laila putri al-Judi dari Banu Gassan, yang
pada suatu malam pernah dilihatnya di Baitulmukadas di
antara gadis-gadis dan perempuan-perempuan yang sedang
berjalan berlenggak-lenggok. Jika salah seorang dari mereka
melihatnya berkata: "Oh, putri al-Judi. Jika ada yang
bersumpah, bersumpah dengan putri al-Judi." Laila ini
tinggal di Damsyik, setelah kota ini dibebaskan. Ia ditawan
dan diambil oleh Abdur-Rahman lalu dibawa pindah ke Medinah
dan tinggal bersama-sama di sana. Ia sudah tergila-gila
kepadanya. Kecintaannya kepada gadis ini telah menjadi buah
mulut sehingga Aisyah Ummulmukminin, saudara kandungnya,
pernah menegurnya dan mengingatkannya akan pembicaraan orang
di luar. Jawabannya tak lebih hanya mengatakan: "Biarlah
saya begini; saya seperti sedang mengisap biji delima dari
dia!"
Pada mulanya Laila juga membalas cintanya itu dengan
cinta serupa. Kepada Laila ia pernah membisikkan bahwa
keberadaannya di rumah itu sebagai permaisuri yang
satu-satunya berkuasa atas segala yang ada dan atas siapa
pun dalam rumah. Tetapi di pihak Laila, lambat laun timbul
juga rasa rindu kepada keluarganya sendiri, dengan segala
kesenangan yang pernah dinikmatinya dalam kedudukannya yang
seperti raja di tengah-tengah mereka. Tidak heran, bila
dibandingkan hidupnya di Medinah dengan di gedung istananya
di Damsyik, di tengah taman-taman dan kebun-kebun yang
terbentang luas! Hidupnya dengan Abdur-Rahman tak dapat
dibandingkan dengan segala kenikmatan hidup tatkala ia
tinggal di istana ayahnya. Di istana ini, kalau ia hendak
bepergian untuk suatu keperluan, karpet dihamparkan dan dua
buah permainan tombol dari emas dipasang di tangannya untuk
hiburan selama dalam perjalanan. Tatkala masih di Damsyik ia
dikelilingi dayangdayang, tetapi di Medinah dia yang
menjadi dayang kendati oleh tuannya ia sudah diberi
kedudukan sedemikian rupa. Ia merasa bertambah rindu. Kalau
Abdur-Rahman keluar rumah, ketika kembali ia melihat bekas
tangis di mata Laila. Kalau ditanya mengapa menangis, ia
tidak menjawab.
Suatu hari ia berkata kepadanya: Ada beberapa pilihan,
silakan mana yang Anda sukai: Saya bebaskan Anda dan menikah
dengan Anda, atau saya kembalikan Anda ke masyarakat Anda
atau saya serahkan kepada kaum Muslimin. Tetapi semua
tawaran itu ditolaknya. Abdur-Rahman mendesaknya dengan
terus menanyakan mengapa ia menangis. "Saya menangisi raja
yang malang!" katanya kemudian. Kata-kata itu sangat
menyentuh hati Abdur-Rahman. Ia melihat sikap Laila
kepadanya sudah berbeda sekali, dan yang membuat sikapnya
juga berubah kepada Laila karena gadis itu telah melupakan
segala kebaikan hatinya. Sekarang ia menjauhinya, dan
sikapnya ini makin menyedihkan hati gadis itu. Ia jatuh
sakit, mukanya pucat, sinar matanya redup dan kecantikannya
pun sirna. Abdur-Rahman tampak sudah bosan kepadanya, tidak
lagi mau peduli dan hubungannya pun makin tidak serasi.
Begitu menyedihkan keadaan putri raja yang kini menjadi
tawanan perang itu, sehingga hati Aisyah Ummulmukminin
tergerak iba dan kasihan kepadanya. Ia menegur saudaranya
itu: "Abdur-Rahman, dulu Anda mencintai Laila sampai
berlebihan; sekarang membencinya, juga sampai berlebihan.
Anda harus memperlakukan dia secara adil, atau akhirilah
penderitaannya dan kembalikan kepada keluarganya!"
Abdur-Rahman segera mengadakan persiapan dan dia kembali
kepada keluarganya dengan perasaan pedih. Dengan sudah
kehilangan masa hidupnya yang menyenangkan, sekarang ia
menghabiskan sisa hidupnya itu bersama kaumnya.
Cerita tentang Abdur-Rahman bin Abu Bakr ini bukanlah
satusatunya. Kalau cerita-cerita semacam ini sebagai
petunjuk yang banyak tersebar dalam buku-buku sastra dan
buku-buku sejarah, artinya bahwa kecintaan dan kegemaran
orang Arab kepada perempuan sesudah Islam memang sudah
menjadi bawaannya. Dengan adanya tawanan-tawanan perang itu
kegemaran dan kesenangan mereka kepada perempuan bertambah
besar. Cerita tentang Abdur-Rahman dan yang semacamnya itu
terjadi di Medinah, bagaimana pula dengan yang terjadi di
Kufah, di Basrah, Damsyik, Hims, Fustat dan Iskandariah!
Kita masih ingat cerita Umm Jamil, salah seorang perempuan
Banu Hilal, yang biasa tidur dengan para amir dan kalangan
atas. Ia tidur dengan Mugirah bin Syu'bah sementara dia
sebagai penguasa daerah Basrah. Orang-orang mengadukannya
kepada Umar. Oleh Umar ia dipecat dari jabatannya. Tabari
yang membawa cerita Umm Jamil bahwa dia memang biasa tidur
dengan para amir dan kalangan atas, mengatakan: "Ada
beberapa perempuan yang suka berlaku demikian pada masa
itu," yakni di masa Umar.
Barangkali yang dapat kita tafsirkan tentang kebanyakan
orang yang gemar pada minuman keras dan perempuan serta
kesenangan lain, karena orang Arab memang sudah menyukainya
sejak sebelum Islam. Mereka selalu dalam perang dan
perkelahian yang terus-menerus. Begitu kembali dari medan
perang, mereka sudah siap selalu untuk kembali kepada
perbuatan itu. Di Basrah, di Kufah dan kota-kota lain di
Irak dan di Syam barak-barak tempat berhimpunnya
anggota-anggota pasukan yang kembali dari medan perang sudah
bersiap-siap untuk itu. Dewasa ini kita dapat menyaksikannya
dan sejarah pun bercerita tentang peristiwa-peristiwa masa
silam, bahwa perang itu memang menimbulkan nafsu dalam hati
kebanyakan orang dan nafsu ini mendorongnya untuk mencari
kepuasan. Rahasianya ialah bahwa bila perang sudah usai tak
ada yang dapat mengisi kekosongan tentara itu selain
bercerita membangga-banggakan peranan yang mereka lakukan,
dan peranan rekan-rekannya yang gugur di medan pertempuran.
Pada waktu itu suatu pertempuran tidak akan memakan waktu
seperti pertempuran dewasa ini. Kita sudah melihat
pertempuran Kadisiah hanya menghabiskan waktu tak lebih dari
tiga hari, dan pertempuran Nahawand berakhir sama lamanya
atau bahkan lebih cepat. Perang itu tidak akan memakan waktu
lama kalau tidak karena pengepungan yang dilakukan pasukan
Muslimin terhadap kota-kota yang kukuh seperti Damsyik atau
Kaisariah, Babilon atau Iskandariah. Setiap mendapat
kemenangan, tentara itu kembali dengan membawa rampasan
perang dan barang-barang rampasan, di antaranya
tawanan-tawanan perempuan dan gadis-gadis dari negeri-negeri
yang ditaklukkan.
Dalam peristiwa-peristiwa peperangan sudah banyak
diceritakan bahwa di negeri yang sudah ditaklukkan itu
selama beberapa hari setelah penaklukan dibolehkan untuk
memberikan kelonggaran kepada tentara, makan dan minum,
menikmati segala yang disenanginya. Tentara yang kembali
dari peperangan membawa tawanan-tawanan perang perempuan
dibolehkan menikmati segala yang sudah menjadi miliknya.
Orang yang tidak mendapat bagian, tetapi juga ingin mendapat
kesenangan, ia akan mencari jalan untuk mendapat kesenangan
itu setelah kembali. Begitulah keadaan tentara pada setiap
zaman, yang juga sampai sekarang. Itulah yang dapat
diungkapkan kepada kita sebagian apa yang diceritakan dalam
buku-buku sastra dan buku-buku sejarah, seperti yang juga
terjadi serupa dalam masa perang pembebasan itu.
Tetapi ungkapan ini tidak memperlihatkan rahasia sekitar
kegemaran orang Arab pada kesenangan ini, sesudah masa
penaklukan dan sesudah perang usai. Pada masa Banu Umayyah
dan Banu Abbas serta masa-masa kemunduran setelah itu banyak
mereka yang masih menggemari minuman keras. Pendapat umum
pun tidak terlalu asing terhadap orang-orang semacam itu.
Malah kebanyakan orang senang sekali mendengarkan
cerita-cerita tentang mereka dan segala yang menjadi
kesenangan mereka. Rasanya saya belum tahu ada syair yang
begitu indah dan menarik tentang khamriyat (bacchanalian
verses, yakni "puisi-puisi tentang aneka minuman keras") dan
tentang cinta seperti yang pernah dilukiskan orang dalam
syair-syair Arab. Mengenai kedua bidang ini syair-syair
Islam pun lebih banyak mendapatkan ilham dari syair jahiliah
daripada dari yang lain. Kalaulah watak perang dapat
membangkitkan nafsu berahi dan mengajak agar memenuhi
keinginan itu, nafsu demikian itu sebenarnya memang sudah
ada dalam jiwanya, dan bukan mengada-ada. Oleh karenanya,
perang Arab itu tak lebih hanya merupakan terangsangnya
kembali nafsu jahiliah di kalangan beberapa orang, yang oleh
Umar justru akan dihadapi secara tegas, seperti yang akan
kita uraikan sebentar lagi.
|