Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

23. Kehidupan Sosial pada Masa Umar (3/4)

Pengaruh Umar dalam perkembangan sosial

Ya, pengaruh apakah yang dibawa oleh faktor-faktor yang beraneka ragam ini terhadap kehidupan masyarakat Arab waktu itu?

Jawaban yang harus kita berikan atas pertanyaan ini ialah kita harus merangkum semua faktor itu ke dalam satu faktor yang telah mengarahkan semuanya, dan faktor itu ialah Umar sendiri. Dia sudah demikian rupa mengadakan ijtihad dalam bidang fikih, dalam bidang politik, ekonomi dan sosial dengan pengaruh yang begitu besar dalam masyarakat Islam dan masyarakat Arab semua, baik yang tinggal di Semenanjung atau yang kemudian bermukim di negeri-negeri yang sudah dibebaskan. Segala ijtihadnya itu dalam bab berikut ini akan kita uraikan seperlunya. Pada masanya, ijtihad ini pulalah yang menyelamatkan kehidupan sosial dari kemunduran. Dialah yang telah menjaga kehormatan jiwa Islam dalam hati kaum Muslimin di mana pun mereka berada. Jasa Umar dalam hal ini besar sekali ditambah dengan sifat adilnya dalam menjalankan hukum serta kemampuannya yang begitu perkasa dan cekatan memikul segala beban.

Dengan nalurinya ia sudah dapat menangkap bahwa ketika jiwa manusia sudah mulai membubung tinggi, manusia akan selalu terancam oleh dorongan nafsu yang cenderung hendak mencapai tingkat yang sesuai dengan watak dan bawaannya, seperti pesawat terbang yang membubung tinggi di udara. Ia akan selalu menanggung risiko jatuh, sesuai dengan gravitasi - hukum daya tarik bumi, bilamana tenaganya di angkasa sudah mulai berkurang. Kalau Amirulmukminin tidak mencurahkan perhatiannya untuk mengatasi segala penyebab kelemahan itu dalam dirinya terlebih dulu, untuk dijadikan teladan bagi yang lain - kemudian untuk mengatasi sebab-sebab kelemahan itu dalam diri semua orang karena dikhawatirkan prinsip-prinsip yang telah mengantarkan mereka kepada keagungan dan kekuatan itu akan menyimpang dari tujuan dan akan dikalahkan oleh kodrat dan nafsu keduniaan - niscaya orang akan kembali kepada cara-cara lama yang diterjemahkan ke dalam pola baru yang dikira itulah yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan ajaran Islam.

Sudah kita lihat betapa kerasnya Umar terhadap dirinya, supaya ia dapat merasakan sendiri beban perasaan yang ditanggung oleh seorang Muslim yang paling miskin dan paling lemah, sehingga pada suatu saat sahabat-sahabatnya merasa sangat prihatin melihatnya. Tindakannya yang begitu keras terhadap dirinya itu telah membuatnya bebas untuk bersikap keras terhadap setiap orang yang dilihatnya menyalahi dasar keadilan dan ketakwaan, atau menyimpang dari cara hidup bersih dan perangai yang sebenarnya. Dengan demikian ia dapat membuat perhitungan dengan semua pejabatnya dengan cara yang sangat ketat, memecat mereka yang dilihatnya tidak lurus, dengan tetap menjaga kewibawaan dan kewenangan mereka yang berkelakuan baik. Dalam beberapa ketentuan hukum ia terus berijtihad dengan sungguh-sungguh, yang pada masa Abu Bakr dan masa Rasulullah tak pernah dilakukan. Ia membuat peraturan dalam soal ekonomi dan sosial yang begitu keras, yang menurut perhitungannya kebersihan dan kemurnian prinsip­prinsip agama yang benar akan tetap terjamin.

Teladan dan kebijakan Umar dalam ekonomi dan sosial yang ditanamkan ke dalam hati orang-orang Arab itu dari segi keberanian dan strategi perang tetap terjaga kuat. Ia melarang prajurit-prajurit Arab mengolah tanah di Irak, Syam dan Mesir. Mereka harus tetap berada dalam barak-barak sebagai prajurit pejuang. Kedaulatan Islam yang sudah terbentang luas adalah akibat langsung kebijakan ini. Ijtihad Umar ini telah membangkitkan kesadaran mental bagi orang Arab dalam bidang-bidang yang belum pernah mereka masuki. Melimpahnya harta itu telah menggoda orang untuk berebut kekayaan serta gemar nenimbun harta dan mengembangkannya. Ada yang menyambut baik kecenderungan demikian ini untuk kesejahteraan umat Islam, ada pula yang mencelanya dan menganggapnya bertentangan dengan dasar-dasar dakwah Islam, dengan mengacu kepada firman Allah ini: "Tidak, tetapi sungguh manusia melampaui batas, karena melihat dirinya sudah serba cukup. Ingatlah, kepada Tuhannya akan kembali semuanya." (Qur'an, 96:6-7). Kaum Muslimin melihat peninggalan-peninggalan seni di kawasan-kawasan yang baru dibebaskan itu ada yang berupa patung­patung seperti berhala tidak mereka hancurkan, yang di zaman jahiliah dulu ada di Ka'bah. Sa'd bin Abi Waqqas bahkan menganggap tak ada salahnya menjadikan Iwan Kisra di Mada'in sebagai tempat salat, dan membiarkan patung-patung itu tetap berdiri di tempatnya sebagai dekorasi yang memperindah istana agar tampak lebih cemerlang. Dibiarkannya patung-patung itu demikian karena memang sudah tak ada orang yang akan menyembahnya. Sebagian besar hasil kreativitas ini tujuannya dalam hal yang tidak disebutkan dalam Qur'an dan tidak pula terdapat dalam sunah Rasulullah. Salah satu yang menjadi perhatian orang Arab memang berijtihad dengan akal pikiran. Tetapi perhatian ini tak lebih hanya untuk keperluan sementara, tidak sampai membuat orang Arab itu membentuk aliran-aliran dalam filsafat atau dalam sosial ekonomi yang dasarnya adalah logika yang akan memperdalam segalanya, seperti yang dilakukan oleh Yunani. Juga bukan untuk mendirikan aliran­aliran dalam kesenian dengan berbagai macamnya, yang berkembang dari puisi menjadi drama kepahlawanan, dari prosa menjadi roman, seperti yang dilakukan oleh Persia.

Akan berlebihan sekali jika orang menuntut dari masyarakat Arab masa itu untuk mengubah filsafat tauhid dengan apa yang diuraikan oleh Gazali, Farabi, Ibn Rusyd dan yang lain, yang datang kemudian. Bagi mereka cukup sudah beriman kepada akidah dan kaidah yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya. Akidah dan kaidah itu oleh mereka sudah dijadikan dasar dalam masalah-masalah ibadah, sistem kehidupan dan muamalatnya. Setelah itu mereka cukup bangga bahwa kaidah-kaidah itu sudah mampu membangun sebuah imperium besar, dan dari sana putra-putra imperium ini berangsur-angsur mampu membangun prinsip-prinsip peradaban yang telah membimbing umat manusia selama berabad-abad berikutnya. Kalau kita ingat bahwa terjadinya transisi ini bukan hal mudah dan kita ingat pula perjuangan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya untuk semua itu, kemudian kita nilai keadaan masyarakat Arab selama kurun waktu itu dalam sejarah umat manusia, kita harus melihat - dengan banyak berlapang dada - apa yang masih tersisa dari adat istiadat lama dalam masyarakat Arab yang tidak dilarang oleh Islam, dan, sesuai dengan perkembangan, apa yang terjadi terhadap mereka dengan adanya imperium itu, sesudah mereka sempat menikmati harta kekayaan dan kesenangan yang mereka peroleh, yang tak pernah mereka alami sebelum itu.

Sebenarnya dalam hal ini pola masyarakat Arab itu tidak sendirian, juga mereka tidak menyimpang dari kebiasaan umat manusia pada setiap zaman. Sudah berapa banyak bukti dalam sejarah, bahwa revolusi-revolusi itu tak dapat mengubah kecenderungan manusia dan segala adat istiadatnya sejauh perubahan yang terjadi terhadap pola pemikiran dan sistem masyarakat itu! Mereka yang akhirnya menganut suatu paham atau salah satu prinsip dan sudah diyakininya pula, namun toh mereka tetap berkutat dalam apa yang sudah menjadi bawaan mereka sendiri, sesuai dengan kecenderungan dan keinginan mereka dalam ruang lingkup prinsip dan sistem yang menjadi dasarnya. Terjadi demikian, karena sebagian besar manusia yang terpengaruh oleh dorongan dan godaan naluri, jauh lebih besar daripada yang terpengaruh oleh nilai­nilai luhur yang terpampang di depan mereka. Yang sangat menjadi harapan golongan mayoritas ini sekiranya mereka terbebas dari ganjaran, sebagai akibat atas gaya hidup mereka yang sudah terdorong oleh godaan nalurinya itu. Harapan demikian ini kadang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, kadang mengharapkan kesangsian hakim supaya mereka terhindar dari hukuman itu, dan yang selalu menjadi harapan pengampunan dari Allah. Bukankah pengampunan Allah meliputi segalanya? Bukankah segala kebaikan dibalas dengan sepuluh kali kebaikan, dan balasan atas kejahatan serupa dengan kejahatannya? Alangkah celakanya manusia jika tidak mengharapkan pengampunan Allah! Alangkah banyaknya kenikmatan yang dapat diperoleh manusia dari ciptaan Allah ini! Barang siapa menghalalkan yang dihalalkan oleh Allah dan mengharamkan atas dirinya apa yang sudah diharamkan, dengan mengerjakan segala amal kebaikan, maka Allah juga yang akan memberikan balasan. Tetapi barang siapa tergelincir dan tergoda oleh segala nafsu yang memang selalu mendorong manusia kepada kejahatan, kemudian ia kembali dan bertobat, maka Allah selalu menerima tobat hamba-Nya.

Kebiasaan jahiliah yang masih melekat sesudah Islam

Sesudah datangnya Islam, kebiasaan jahiliah apakah yang masih tinggal dalam kehidupan masyarakat Arab? Apa yang tiba-tiba terjadi terhadap kehidupan mereka ketika kedaulatan ini sudah makin luas, dan ribuan dari mereka tinggal di luar Semenanjung Arab?

Masyarakat Arab jahiliah itu sangat fanatik terhadap kabilahnya masing-masing, dan semua sama sangat fanatik terhadap ras Arab. Sedang nilai ajaran Islam menolak semua fanatisme jahiliah itu. Ajaran itu menyamakan semua umat manusia. Kelebihan hanya ada dalam perbuatan dan ketakwaan, tak ada bedanya yang dengan yang bukan Arab. Firman Allah dalam Qur'an sudah jelas mengenai hal ini: "… yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah yang paling bertakwa …" (Qur'an, 49: 13). Dan firman-Nya: "Orang-orang mukmin itu bersaudara..." (Qur'an, 49: 10). Islam diturunkan untuk semua umat manusia, yang putih dan yang hitam, yang Arab dan yang bukan­Arab. Untuk itu Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam berkata dalam khotbah perpisahannya: "Saudara-saudara! Allah telah menghilangkan dari kamu sekalian kesombongan jahiliah dan membangga-banggakan nenek moyang. Kamu semua anak Adam dan Adam dari tanah. Yang Arab tidak lebih mulia dari yang bukan-Arab kecuali dengan takwa." Sungguhpun begitu kefanatikan kabilah masih kuat berakar dalam hati sebagian besar orang Arab, dan kefanatikan ras Arab masih kuat pada mereka semua. Bahkan dengan tersebarnya orang Arab di kerajaan Persia dan Rumawi dengan dapat menguasai mereka, fanatik terhadap ras Arab itu makin bertambah besar. Mereka yakin, bahwa Islam yang telah diturunkan kepada mereka itu sebagai wakaf untuk mereka sendiri tanpa ada pihak lain boleh mencampurinya.

Contoh-contoh tentang masih bersarangnya fanatik kabilah ini dalam sejarah banyak sekali. Semasa hidup Nabi peristiwa demikian sudah pernah terjadi tatkala kabilah Aus membanggakan diri terhadap kabilah Khazraj dan mengungkit-ungkit perang Bu'as. Salah satunya di antara mereka berkata: "Kalau kalian mau akan kami lancarkan lagi perang." Kalau tidak segera Nabi turun tangan menengahi dan mengembalikan persaudaraan di antara mereka, niscaya terjadi bencana besar. Karena kesibukan kaum Muslimin kemudian menghadapi perang pembebasan, pada permulaan masa pemerintahan para khalifah fanatik kabilah ini sudah mulai reda, semua perselisihan di antara mereka berangsur padam. Setelah kemudian terjadi perselisihan antara Ali dengan Mu'awiah fanatik kabilah ini mulai timbul lagi seperti semula, dan kembalilah permusuhan antara Banu Hasyim dan Banu Umayyah seperti di zaman jahiliah dulu. Di kalangan masyarakat Arab pedalaman fanatik kabilah masih terasa sampai masa kita sekarang ini, baik mereka yang tinggal di Semenanjung atau di luar itu.

Fanatisme ras Arab dan dalihnya

Makin besar lagi kefanatikan Arab terhadap ras mereka sesudah terjadi perang pembebasan. Anggapan mereka, kedua imperium besar Persia dan Rumawi telah bertekuk lutut di bawah kekuatan mereka dan kekuasaan keduanya berpindah ke tangan mereka. Barangkali mereka menganggap boleh-boleh saja bersikap fanatik demikian karena mengenai mereka Allah sudah berfirman: "Kamu adalah umat terbaik dilahirkan untuk segenap umat manusia, menyuruh orang berbuat yang benar dan melarang perbuatan mungkar serta beriman kepada Allah..." (Qur'an 3: 110), dan firman-Nya: "Demikianlah Kami jadikan kamu suatu umat yang berimbang supaya kamu menjadi saksi atas segenap bangsa, dan Rasul pun menjadi saksi atas kamu sendiri..." (Qur'an, 2: 143). Hanya ayat-ayat ini yang mereka ingat dan mereka melupakan teguran dan peringatan Allah dalam sekian banyak ayat lainnya. Juga mereka telah melupakan dasar-dasar persaudaraan dan persamaan yang diserukan Islam dan yang telah menjadi dasar iman.

Kita bukan hendak menyalahkan Arab karena fanatik rasnya itu. Fanatisme ras pada bangsa-bangsa lain juga masih berlaku dan dijadikan alat untuk memperkuat rasa kebangsaannya. Bukankah dewasa ini ras kulit putih mendakwakan diri bahwa dalam peradaban, menurut ungkapan mereka sendiri, mereka lebih unggul dari ras kulit berwarna? Bukankah ras Aria masih merasa dirinya lebih unggul dari ras Semit dan ras-ras yang lain, bahwa ia lebih cerdas, lebih berpikir logis, lebih kreatif dan lebih produktif dalam ilmu dan seni?! Ras Saxon dan ras Jerman masing-masing mendakwakan diri seperti itu, yang karena terbawa nasib baik lalu menyombongkan diri, dan dengan didukung oleh kekuasaan dalam kurun waktu tertentu dalam sejarah, umat manusia lalu menindas bangsa-bangsa lain. Mereka itu semua dengan bermulut besar menyombongkan diri dengan pengakuan itu. Mereka tahu apa yang sudah tercatat dalam sejarah bahwa kekuasaan itu silih berganti, berpindah-pindah di antara ras-ras dan bangsa-bangsa, yang dalam kurun waktu tertentu kadang berhubungan dengan kehidupan rohani, dan kadang dengan kehidupan ekonomi, yang samasekali tak ada hubungannya dengan ras atau warna kulit itu sendiri. Kalau fanatik ras Arab sudah berlebihan tatkala mereka menjadi pihak yang menang dan pimpinan peradaban berada di tangan mereka, mereka masih dapat dimaafkan, karena mereka mengikuti kodrat yang berlaku terhadap semua ras dan bangsa, lalu mereka jadi fanatik dengan kearabannya, sekalipun fanatik demikian sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam serta ajarannya yang tegas-tegas mengajak kepada persaudaraan dan persamaan.

Sikap fanatik ini telah membawa mereka begitu rapat dengan adat kebiasaan jahiliah, yang menurut ajaran Islam sudah tidak diakui sama­sekali, di antaranya seperti kesenangan mengadakan balas dendam serta kukuhnya bertahan dengan adat kebiasaan lama. Ajaran Islam tidak membolehkan melakukan pembalasan dendam, yang dalam adat jahiliah dibenarkan, yang akibatnya jika terjadi perang antarkalibah dapat memakan waktu sampai bertahun-tahun. Allah telah berfirman: "Dan jika kamu membalas mereka, balaslah sebanding dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu, tetapi kalau kamu sabar dan tetap tabah, itulah yang terbaik." (Qur'an 16: 126), dan firman-Nya: "Wahai orang-orang beriman! Telah diwajibkan kepadamu hukum kisas dalam hal pembunuhan: yang merdeka dengan yang merdeka, budak dengan budak dan perempuan dengan perempuan..." (Qur'an, 2: 178). Hukum kisas adalah salah satu bentuk hukuman yang dijalankan oleh pemegang kekuasaan (waliyul amr), bukan oleh si penuntut balas (waliyud dam). Tetapi di samping itu Qur'an menganjurkan pemberian maaf dan dalam sekian banyak ayat menganjurkan demikian. Sungguhpun begitu, masyarakat Arab sudah sangat melekat dengan cara-cara pembalasan dendam ini, dan masih menjadi adat kebiasaan yang sudah berakar turun-temurun. Paling tidak itulah yang kita lihat sampai sekarang di kalangan penduduk pedalaman. Bahkan di sebagian penduduk kota yang masih mempunyai pertalian kerabat dengan orang-orang pedalaman, cara-cara balas dendam ini masih ada hubungannya dengan rasa harga diri dan dengan cara hidup mereka. Mereka tak mau beranjak dari sana. Dalam undang-undang dan hukumannya tidak mereka lihat ada yang dapat memuaskan perasaan mereka dan dapat melepaskan mereka dari cara-cara jahiliahnya itu.

Orang Arab menyambut berbagai kesenangan dan sebabnya

Hiruk-pikuk fanatik kabilah di masa Umar sudah mulai reda, karena kaum Muslimin sudah disibukkan oleh perjuangan dan perang pembebasan. Tetapi hasil rampasan perang yang mereka peroleh akibat pembebasan itu, dan perubahan cara hidup penduduk pedalaman di perkotaan - di Irak, Syam dan Mesir - dalam hati banyak orang, kecenderungan lama terhadap kekayaan materi dan cara hidup mereka itu bangkit kembali.

Di masa jahiliah orang-orang Arab itu tergila-gila pada minuman keras, perempuan dan nyanyi-nyanyian, dan tergoda untuk memperturutkan hawa nafsu, sesuai dengan kemampuan mereka, kaya atau miskin. Setelah memasuki masa penaklukan dan mereka hidup makmur, segala macam kesenangan tersedia di depan mata mereka, banyak dari mereka yang langsung hanyut memperturutkan apa yang semula memang menjadi kesenangan mereka. Alangkah cepatnya mereka berdalih dengan menggunakan alasan yang akan meyakinkan, bahwa dalam hal ini mereka tidak melanggar perintah dan larangan Allah serta hukuman yang harus dilaksanakan ! Dengan demikian, ada di antara mereka yang lalu terjun ke dalam minuman, dengan anggapan bahwa perbuatan demikian itu tidak berdosa, dan Allah tidak menentukan hukuman atas seorang peminum, baik Rasulullah ataupun Abu Bakr tak sampai menjatuhkan hukuman kepada seorang peminum. Mengenai perempuan, banyak mereka yang menyalurkan kesenangannya itu kepada mereka yang sudah menjadi miliknya.5 Mereka terdiri dari tawanan-tawanan perang Persia dan Rumawi dari antara mereka yang cantik-cantik dan genit. Mereka dibagi-bagikan kepada prajurit-prajurit seperti membagi-bagikan harta rampasan, dan ada yang ditawarkan di pasar-pasar sebagai budak. Orang boleh membelinya dan diperlakukan sesuka hatinya.

Buku-buku sastra dan sejarah sudah banyak menceritakan segala macam kesenangan berupa minuman keras, judi dan perempuan, yang di atas sudah kita sebutkan beberapa orang dari kaum Muslimin yang minum khamar di Syam. Ketika oleh Abu Ubaidah mereka ditanya, mereka tidak mungkir, tetapi mereka berdalih dengan mengatakan: "Kami sudah membuat pilihan dan ini yang kami pilih. Firman-Nya: "Tidakkah kamu mau berhenti juga, bukanlah suatu perintah kepada kami." Mengenai kejadian dengan Abdur-Rahman bin Umar ketika ia minum khamar di Mesir sudah kami ceritakan. Abdur-Rahman pergi menemui Amr bin As agar dirinya dijatuhi hukuman. Juga sudah kami sebutkan cerita sekitar orang-orang yang dilihat oleh Umar malam-malam sedang minum-minum di pinggiran kota Medinah. Tatkala keesokan harinya salah seorang dari mereka ditanya apa yang telah mereka lakukan tadi malam, orang itu malah menjawab: Bukankah Tuhan melarang kita memata-matai !? Contoh-contoh ini sudah kita uraikan sesuai dengan tempatnya. Hal ini menunjukkan bahwa minum minuman keras merajalela pada beberapa golongan kaum Muslimin waktu itu, serta bagaimana kerasnya Umar melarang minum minuman keras dan hukuman yang dijatuhkannya.

Cerita-cerita tentang soal perempuan ini masih lebih banyak lagi, ada pula yang dikaitkan dengan tokoh-tokoh terpandang. Sudah kita lihat bagaimana tawanan-tawanan perang yang cantik-cantik itu dipilih sudah merupakan hal biasa, tak ada orang yang akan membantahnya, dan tidak pula ada orang yang akan menyalahkan. Ali bin Abi Talib, Khalid bin Walid dan beberapa sahabat besar lainnya memilih tawanan­tawanan perang Persia dan Rumawi, di antaranya ada yang melahirkan ada juga yang tidak. Penulis buku al-Agani menceritakan, bahwa Abdur­Rahman bin Abu Bakr begitu mencintai Laila putri al-Judi dari Banu Gassan, yang pada suatu malam pernah dilihatnya di Baitulmukadas di antara gadis-gadis dan perempuan-perempuan yang sedang berjalan berlenggak-lenggok. Jika salah seorang dari mereka melihatnya berkata: "Oh, putri al-Judi. Jika ada yang bersumpah, bersumpah dengan putri al-Judi." Laila ini tinggal di Damsyik, setelah kota ini dibebaskan. Ia ditawan dan diambil oleh Abdur-Rahman lalu dibawa pindah ke Medinah dan tinggal bersama-sama di sana. Ia sudah tergila-gila kepadanya. Kecintaannya kepada gadis ini telah menjadi buah mulut sehingga Aisyah Ummulmukminin, saudara kandungnya, pernah menegurnya dan mengingatkannya akan pembicaraan orang di luar. Jawabannya tak lebih hanya mengatakan: "Biarlah saya begini; saya seperti sedang mengisap biji delima dari dia!"

Pada mulanya Laila juga membalas cintanya itu dengan cinta serupa. Kepada Laila ia pernah membisikkan bahwa keberadaannya di rumah itu sebagai permaisuri yang satu-satunya berkuasa atas segala yang ada dan atas siapa pun dalam rumah. Tetapi di pihak Laila, lambat laun timbul juga rasa rindu kepada keluarganya sendiri, dengan segala kesenangan yang pernah dinikmatinya dalam kedudukannya yang seperti raja di tengah-tengah mereka. Tidak heran, bila dibandingkan hidupnya di Medinah dengan di gedung istananya di Damsyik, di tengah taman-taman dan kebun-kebun yang terbentang luas! Hidupnya dengan Abdur-Rahman tak dapat dibandingkan dengan segala kenikmatan hidup tatkala ia tinggal di istana ayahnya. Di istana ini, kalau ia hendak bepergian untuk suatu keperluan, karpet dihamparkan dan dua buah permainan tombol dari emas dipasang di tangannya untuk hiburan selama dalam perjalanan. Tatkala masih di Damsyik ia dikelilingi dayang­dayang, tetapi di Medinah dia yang menjadi dayang kendati oleh tuannya ia sudah diberi kedudukan sedemikian rupa. Ia merasa bertambah rindu. Kalau Abdur-Rahman keluar rumah, ketika kembali ia melihat bekas tangis di mata Laila. Kalau ditanya mengapa menangis, ia tidak menjawab.

Suatu hari ia berkata kepadanya: Ada beberapa pilihan, silakan mana yang Anda sukai: Saya bebaskan Anda dan menikah dengan Anda, atau saya kembalikan Anda ke masyarakat Anda atau saya serahkan kepada kaum Muslimin. Tetapi semua tawaran itu ditolaknya. Abdur-Rahman mendesaknya dengan terus menanyakan mengapa ia menangis. "Saya menangisi raja yang malang!" katanya kemudian. Kata-kata itu sangat menyentuh hati Abdur-Rahman. Ia melihat sikap Laila kepadanya sudah berbeda sekali, dan yang membuat sikapnya juga berubah kepada Laila karena gadis itu telah melupakan segala kebaikan hatinya. Sekarang ia menjauhinya, dan sikapnya ini makin menyedihkan hati gadis itu. Ia jatuh sakit, mukanya pucat, sinar matanya redup dan kecantikannya pun sirna. Abdur-Rahman tampak sudah bosan kepadanya, tidak lagi mau peduli dan hubungannya pun makin tidak serasi. Begitu menyedihkan keadaan putri raja yang kini menjadi tawanan perang itu, sehingga hati Aisyah Ummulmukminin tergerak iba dan kasihan kepadanya. Ia menegur saudaranya itu: "Abdur-Rahman, dulu Anda mencintai Laila sampai berlebihan; sekarang membencinya, juga sampai berlebihan. Anda harus memperlakukan dia secara adil, atau akhirilah penderitaannya dan kembalikan kepada keluarganya!" Abdur-Rahman segera mengadakan persiapan dan dia kembali kepada keluarganya dengan perasaan pedih. Dengan sudah kehilangan masa hidupnya yang menyenangkan, sekarang ia menghabiskan sisa hidupnya itu bersama kaumnya.

Cerita tentang Abdur-Rahman bin Abu Bakr ini bukanlah satu­satunya. Kalau cerita-cerita semacam ini sebagai petunjuk yang banyak tersebar dalam buku-buku sastra dan buku-buku sejarah, artinya bahwa kecintaan dan kegemaran orang Arab kepada perempuan sesudah Islam memang sudah menjadi bawaannya. Dengan adanya tawanan-tawanan perang itu kegemaran dan kesenangan mereka kepada perempuan bertambah besar. Cerita tentang Abdur-Rahman dan yang semacamnya itu terjadi di Medinah, bagaimana pula dengan yang terjadi di Kufah, di Basrah, Damsyik, Hims, Fustat dan Iskandariah! Kita masih ingat cerita Umm Jamil, salah seorang perempuan Banu Hilal, yang biasa tidur dengan para amir dan kalangan atas. Ia tidur dengan Mugirah bin Syu'bah sementara dia sebagai penguasa daerah Basrah. Orang-orang mengadukannya kepada Umar. Oleh Umar ia dipecat dari jabatannya. Tabari yang membawa cerita Umm Jamil bahwa dia memang biasa tidur dengan para amir dan kalangan atas, mengatakan: "Ada beberapa perempuan yang suka berlaku demikian pada masa itu," yakni di masa Umar.

Barangkali yang dapat kita tafsirkan tentang kebanyakan orang yang gemar pada minuman keras dan perempuan serta kesenangan lain, karena orang Arab memang sudah menyukainya sejak sebelum Islam. Mereka selalu dalam perang dan perkelahian yang terus-menerus. Begitu kembali dari medan perang, mereka sudah siap selalu untuk kembali kepada perbuatan itu. Di Basrah, di Kufah dan kota-kota lain di Irak dan di Syam barak-barak tempat berhimpunnya anggota-anggota pasukan yang kembali dari medan perang sudah bersiap-siap untuk itu. Dewasa ini kita dapat menyaksikannya dan sejarah pun bercerita tentang peristiwa-peristiwa masa silam, bahwa perang itu memang menimbulkan nafsu dalam hati kebanyakan orang dan nafsu ini mendorongnya untuk mencari kepuasan. Rahasianya ialah bahwa bila perang sudah usai tak ada yang dapat mengisi kekosongan tentara itu selain bercerita membangga-banggakan peranan yang mereka lakukan, dan peranan rekan-rekannya yang gugur di medan pertempuran. Pada waktu itu suatu pertempuran tidak akan memakan waktu seperti pertempuran dewasa ini. Kita sudah melihat pertempuran Kadisiah hanya menghabiskan waktu tak lebih dari tiga hari, dan pertempuran Nahawand berakhir sama lamanya atau bahkan lebih cepat. Perang itu tidak akan memakan waktu lama kalau tidak karena pengepungan yang dilakukan pasukan Muslimin terhadap kota-kota yang kukuh seperti Damsyik atau Kaisariah, Babilon atau Iskandariah. Setiap mendapat kemenangan, tentara itu kembali dengan membawa rampasan perang dan barang-barang rampasan, di antaranya tawanan-tawanan perempuan dan gadis-gadis dari negeri-negeri yang ditaklukkan.

Dalam peristiwa-peristiwa peperangan sudah banyak diceritakan bahwa di negeri yang sudah ditaklukkan itu selama beberapa hari setelah penaklukan dibolehkan untuk memberikan kelonggaran kepada tentara, makan dan minum, menikmati segala yang disenanginya. Tentara yang kembali dari peperangan membawa tawanan-tawanan perang perempuan dibolehkan menikmati segala yang sudah menjadi miliknya. Orang yang tidak mendapat bagian, tetapi juga ingin mendapat kesenangan, ia akan mencari jalan untuk mendapat kesenangan itu setelah kembali. Begitulah keadaan tentara pada setiap zaman, yang juga sampai sekarang. Itulah yang dapat diungkapkan kepada kita sebagian apa yang diceritakan dalam buku-buku sastra dan buku-buku sejarah, seperti yang juga terjadi serupa dalam masa perang pembebasan itu.

Tetapi ungkapan ini tidak memperlihatkan rahasia sekitar kegemaran orang Arab pada kesenangan ini, sesudah masa penaklukan dan sesudah perang usai. Pada masa Banu Umayyah dan Banu Abbas serta masa-masa kemunduran setelah itu banyak mereka yang masih menggemari minuman keras. Pendapat umum pun tidak terlalu asing terhadap orang-orang semacam itu. Malah kebanyakan orang senang sekali mendengarkan cerita-cerita tentang mereka dan segala yang menjadi kesenangan mereka. Rasanya saya belum tahu ada syair yang begitu indah dan menarik tentang khamriyat (bacchanalian verses, yakni "puisi-puisi tentang aneka minuman keras") dan tentang cinta seperti yang pernah dilukiskan orang dalam syair-syair Arab. Mengenai kedua bidang ini syair-syair Islam pun lebih banyak mendapatkan ilham dari syair jahiliah daripada dari yang lain. Kalaulah watak perang dapat membangkitkan nafsu berahi dan mengajak agar memenuhi keinginan itu, nafsu demikian itu sebenarnya memang sudah ada dalam jiwanya, dan bukan mengada-ada. Oleh karenanya, perang Arab itu tak lebih hanya merupakan terangsangnya kembali nafsu jahiliah di kalangan beberapa orang, yang oleh Umar justru akan dihadapi secara tegas, seperti yang akan kita uraikan sebentar lagi.

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team