Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

23. Kehidupan Sosial pada Masa Umar (4/4)

Sikap Umar tentang kesenangan, yang halal dan yang haram

Tetapi Umar tidak bersikap demikian dalam hal berbagai macam kesenangan yang memang dihalalkan oleh Islam dan dibolehkan oleh bangsanya. Di antaranya masyarakat Arab itu dulu termasuk bangsa yang paling menyukai nyanyian dan menikmatinya, bahkan menyanyi itu sudah merupakan keperluan hidup dan keharusan yang tak dapat ditinggalkan. Dengan nyanyian memicu unta, mereka dan unta mereka lupa akan beratnya perjalanan, segala penderitaan yang mereka alami akan terasa ringan Jika mereka berhenti di suatu tempat, mereka beristirahat sesudah perjalanan malam yang jauh, nyanyian itulah yang menjadi hiburan mereka, terutama kalau di antara mereka ada seorang penyanyi yang suaranya merdu dan nyaring, dengan nada yang dapat membangkitkan rindu keluarga dalam hatinya, atau semangat balas dendam atau memperlihatkan kebanggaan. Yang demikian ini sudah merata di daerah-daerah pedalaman atau di kota-kota. Acara-acara musik serupa ini diadakan di Mekah, di Medinah dan di tempat-tempat lain di kawasan Semenanjung itu sampai ke daerah-daerah pedalaman, dari ujung selatan sampai ke ujung utara. Umar sendiri, kendati sudah terkenal begitu tegar dan keras, juga senang berdendang, kadang mengulang-ulanginya.

Ada serombongan anak muda pergi dalam sebuah kafilah, Umar, Usman dan Ibn Abbas termasuk di antaranya, dan ada pula Rabah al­Fihri, orang yang pandai memicu binatang dengan nyanyiannya. Menjelang malam, anak-anak muda itu meminta Rabah menyanyi, tetapi dia menolak dengan mengatakan: "Bersama Umar?" Kata mereka: Menyanyilah, kalau dia melarang ya berhenti. Dia pun mulai memacu dengan menyanyi. Ternyata Umar tidak keberatan, malah ia ikut menyanyi. Setelah memasuki fajar, kata Umar: Berhentilah, sekarang tiba saat zikir. Malam kedua pemuda-pemuda itu memintanya lagi menyanyi. Ketika ia menolak karena takut kepada Umar mereka berkata: Menyanyilah lagi, kalau dia melarang berhentilah. Umar pun ikut sampai waktu menjelang fajar ia berkata: Sudahlah! Sudah tiba saat zikir. Pada malam ketiga pemuda-pemuda itu meminta Rabah menyanyikan nyanyian biduanita. Begitu baru dia memulai Umar berteriak: Berhenti, ini akan membuat orang lupa daratan!

Suatu hari Umar berangkat pergi hendak menunaikan haji. Mereka yang menyertainya mengusulkan kepada Khawwat bin Jubair agar menyanyikan syair-syair Dirar. Kata Umar: Biarlah Abu Abdullah menyanyikan pilihan hatinya sendiri. Khawwat menyanyi, Umar pun turut bergembira ria. Sesudah tiba waktu fajar Umar berkata: "Sudahlah Khawwat, sekarang sudah waktu fajar." Dalam kafilah itu Umar ikut menyanyi.

Apa yang diangkut unta di atas pelananya
Jaminan yang lebih patuh dan lebih setia dari Muhammad.

Rombongan kafilah itu berkumpul semua sama-sama mendengarkan. Melihat mereka berkumpul, ia membaca Qur'an. Tetapi saat itu juga malah mereka bubar. Yang demikian ini terjadi berulang-ulang. Lalu ia berteriak: Hai anak-anak pungut!6 Kalau aku bunyikan seruling setan kalian berkumpul, kalau yang kubaca Kitabullah kalian bubar!

Dilarangnya Rabah menyanyikan nyanyian biduanita itu setelah ia mendengarkan dan mengikutinya. Tetapi kemarahannya kepada mereka yang pergi ketika mendengar pembacaan Qur'an setelah mereka berkumpul untuk mendengarkan nyanyian syair, semua itu menunjukkan bahwa ia suka mendengarkan lagu dan suka pula menyanyi. Kesukaan menyanyi itu membuat ia dapat mengungkapkan makna yang sesuai dengan suara hatinya. Ia tidak akan menyerah pada hal-hal yang akan menjerumuskan jiwanya dengan kecenderungan yang mendatangkan kelemahan dan mendorong nafsu. Umar yang begitu menyenangi nyanyian dan ikut menikmatinya, baginya mendengarkan bacaan Qur'an sangat menyentuh hatinya. Tidaklah heran, bila Umar sedang marah lalu terdengar pembacaan Qur'an, ia kembali tenang, dan air matanya yang sering bercucuran memperlihatkan betapa dalam keimanan serta kesungguhannya dalam Islam. Jadi memang tidak heran, jiwa yang lemah karena mendorong kepada nafsu jahat, di mata Umar itulah orang yang sangat tercela.

Dia melarang segala yang akan menimbulkan gejala-gejala kelemahan dalam hati dan akan mendorong nafsu, karena dia melihat pengaruhnya yang buruk dalam kehidupan masyarakat. Kewajiban yang harus dipikul oleh seorang pemimpin ialah membina kehidupan masyarakat yang kuat dan mampu mendorong kepada tujuan-tujuan yang luhur, seperti tanggung jawabnya dalam menjaga ketertiban dan keselamatan negara, sebab kekuatan dan kemampuan ini semua merupakan alat ketertiban dan keselamatan itu. Kata yang tanpa perbuatan tidak akan memberi pengaruh apa-apa dalam kehidupan ini.

Bentuk-bentuk syair madah (panegyrics) dan hija' (satir)7 sudah menjadi salah satu kecenderungan syair-syair Arab di masa jahiliah, kemudian waktu datangnya Islam tetap ada, dan sampai sekarang tetap bertahan. Kecenderungan madah dan satir ini pada beberapa penyair memang sangat berlebihan demikian rupa sehingga dapat menimbulkan rasa dendam dan kebencian yang berakibat pada permusuhan. Terhadap penyair-penyair semacam ini Umar bersikap tegas, sehingga membuat mereka jera dan tidak menularkan kepada yang lain.

Sumber-sumber mengenai ini banyak sekali. Disebutkan bahwa Hutai'ah8 oleh Umar pernah ditahan karena ia mengeluarkan syair-syair cabul (porno), memuji dan memaki orang dengan tidak semestinya. Setelah Hutai'ah memberikan jaminan tidak akan mengulanginya lagi ia dibebaskan. Setelah akan pergi ia dipanggil dan datang kembali Umar berkata: Hutai'ah, rasanya saya pernah melihat Anda di tempat seorang pemuda Kuraisy yang sudah menyiapkan kasur untuk Anda dan ada yang digulungkan untuk Anda yang kemudian mengatakan: Bacakanlah syairmu untuk kami, Hutai'ah, dan Anda pun mulai mendendangkannya dengan menjelek-jelekkan orang. Hutai 'ah berjanji tidak akan berbuat lagi. Zaid bin Aslam berkata: Suatu hari saya melihat Hutai'ah di tempat Ubaidillah bin Umar yang sudah menyediakan kasur kecil buat dia dan ada yang digulung, kemudian katanya: Bacakanlah syairmu untuk kami, Hutai'ah, dan dia berdendang. Lalu kata saya: Hutai'ah, Anda tidak ingat apa kata Umar? Merasa ketakutan ia berkata: Semoga Allah memberi rahmat kepada orang itu! Kalau dia masih hidup kami tidak akan dapat berbuat seperti ini. Hutai'ah ditahan oleh Umar karena dia mengejek Zibriqan bin Badr dalam syairnya yang mengatakan:

Tinggalkanlah sifat mulia, jangan pergi memburunya
Duduklah, kau sudah kenyang dengan pangan dan sandang

Umar sangat menyukai syair; dia dapat bercerita banyak tentang syair, dapat membacanya dan mengajak orang berbicara tentang itu. Ketika Zibriqan mengadukan Hutai'ah kepadanya ia bermaksud mencegah gunjingannya dengan syubhat. Ketika mendengar bunyi syair itu ia berkata: Saya tidak melihat ejekan tetapi cercaan. Mengenai syairnya itu kemudian ia menanyakan kepada Hassan bin Sabit,9 pakar tentang syair. Sesudah diperiksanya syair satir itu berisi kata-kata kotor. Hutai'ah ditahan dengan peringatan tidak akan mengulangi syair yang semacam itu lagi. Hutai'ah baru membuat syair-syair satir lagi pada masa kekhalifahan Usman.

Umar menjatuhkan hukuman dengan menahan dan memukuli penyair yang memperolok Banu Ajlan dengan bait-bait berikut ini:

Mereka adalah anak-anak turunan hina
Dan keluarga durhaka yang penuh dosa
Golongan lemah yang hina-dina dan tunduk menyerah

Tetapi kemudian ia diberi peringatan, kalau masih mengulanginya lagi hukumannya akan berlipat ganda. Umar menghukum para penyair satir dengan penahanan, penjara, dera, teguran dan peringatan, di samping kecintaannya pada syair dan cerita tentang sastra, karena dia tahu, betapa dalamnya pengaruh kata-kata itu dibandingkan dengan yang lain dalam kehidupan masyarakat manusia. Manusia - sejak kecil sampai akhir hidupnya - terpengaruh oleh kata-kata dan apa yang disampaikan kepada mereka itu hendak diusahakan mewujudkannya: Segala keyakinan kita, adat istiadat kita, pekerjaan, pemikiran dan perasaan serta kecenderungan kita yang sejak kecil kita dengar dari keluarga kita, dari guru-guru kita dan teman-teman kita dan apa yang kita baca dari buku-buku dari orang yang sebelum kita, semua itu telah ikut memberi bentuk. Pada masa jahiliah, syair-syair madah dan satir dianggap sah, malah telah menjadi salah satu nilai pokok dalam kehidupan masyarakat waktu itu. Kemudian teriakan perang berikut propagandanya tatkala ada kabilah hendak melakukan balas dendam terhadap kabilah yang lain. Kalau perang waktu itu sudah merupakan kebiasaan hidup sehari-hari, maka para penyair itu menyanjung-nyanjung salah satu kabilah serta memaki-maki dan memburuk-burukkan yang lain. Bahwa kemudian orang Arab sudah menjadi satu bangsa, tegak dalam satu barisan dalam menghadapi musuh, adat jahiliah ini sudah harus dihilangkan dari kehidupan masyarakat bangsa. Sudah menjadi kewajiban Amirulmukminin untuk bersungguh-sungguh berusaha ke arah itu. Lebih­lebih lagi dalam waktu perjuangan dan pembebasan, lebih wajib lagi mengikisnya, mengingat adanya persatuan dan tergalangnya kekuatan dan pemusatan seluruh bangsa dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan untuk menghadapi musuh dan mengikis segala ambisinya.

Opini berbeda dengan satir dan fitnah

Kebijakan Umar waktu itu dalam menumpas kesombongan dan rasa kebanggaan kabilah telah berhasil. Bahkan semua dilakukan dengan sikap kepala dingin, arif dan pandangan yang jauh ke depan. Saya menegaskan ini sebagai orang yang sangat percaya pada kebebasan berpikir dan kebebasan menyatakan pendapat dengan lisan dan tulisan, dan pada segala yang pernah diketahui umat manusia dan yang akan diketahui mengenai wahana pernyataan pendapat (opini). Sebabnya ialah, opini itu berbeda dengan satir dan fitnah. Opini adalah suatu konsep atau sekumpulan konsep yang keluar dari pikiran dan akal budi manusia, dengan tujuannya untuk mengurangi penderitaan umat manusia atau untuk menambah kebahagiaannya dari keadaan selama ini. Opininya mungkin benar, mungkin juga salah. Kita bebas menyerang opini orang kalau kita yakin bahwa itu salah. Tetapi kita tidak berhak menyerang opininya, kalau kita tidak dapat menunjukkan bukti atas niat buruknya dalam mengeluarkan opininya itu, bahwa tujuannya bukan untuk kebaikan bersama dan untuk kepentingan semua orang. Kalaupun kita mampu menunjukkan bukti itu kita tetap tidak berhak menyinggung kehidupan pribadi orang itu, yang tak ada hubungannya dengan opini yang dikemukakannya, atau dengan pekerjaan yang ingin disusun atas dasar opini itu atau bukti niat buruknya yang dapat kita tunjukkan. Dalam batas-batas ini saja kita bebas menyerang sekehendak kita betapapun kerasnya. Tetapi jika akan melampauinya sampai ke soal kehidupan pribadinya, maka itulah yang namanya fitnah, satir dan caci maki, hal yang tak boleh dibenarkan, baik oleh undang-undang atau oleh penguasa. Pelaku itu harus dihukum dengan hukuman badan dan harta, dan hukuman ini harus cukup keras, supaya orang yang mempunyai opini dan pekerja sosial untuk kepentingan umum itu bebas dalam menyatakan pendapatnya dan dalam pekerjaannya, sejalan dengan kritik membangun yang tidak melampaui haknya dalam menyatakan pendapat dan dalam bekerja untuk kepentingan umum itu.

Kebijakan Umar bin Khattab dalam menumpas sastra satir dan kaum satiris ini berhasil meredam rasa dendam dan kebencian dengan segala perangsangnya. Bukti yang paling jelas dalam hal ini seperti yang sudah terbaca dalam kata-kata Hutai'ah yang mulai lagi dengan syair-syair satirnya sesudah Umar wafat: "Semoga Allah memberi rahmat kepada orang itu! Kalau dia masih hidup kami tidak akan dapat berbuat seperti ini." Tetapi memang, sesudah Umar bentuk satir ini mulai merebak lagi dalam kehidupan masyarakat umat Islam. Hanya saja tidak lagi seperti dulu dari yang biasa dijadikan alat propaganda kabilah-kabilah dalam pertentangan mereka menjadi hanya sekadar alat untuk mencari mata pencaharian, atau alat untuk melampiaskan dendam dan memuaskan hawa nafsu. Begitu juga halnya dengan yang selain satir yang sudah biasa dalam kehidupan masyarakat sebelum Islam. Tidak heran kalau kecenderungan-kecenderungan jahiliah ini masih berakar dalam hati sebagian besar masyarakat Arab yang sudah masuk Islam sekalipun, dan mereka tak dapat mengatasinya, malah barangkali tak pernah berusaha ke arah itu.

Pertentangan mentalitas jahiliah dengan mentalitas Islam

Ustaz Ahmad Amin dalam Fajrul Islam telah melukiskan dengan baik sekali hal ini dengan mengatakan: "Sebenarnya pertentangan antara sikap mental Islam dan segala kecenderungannya, dengan sikap mental jahiliah dan segala kecenderungannya besar sekali, dan dalam waktu cukup lama. Islam tidak mewarnai masyarakat Arab dengan satu identitas yang sama. Tetapi pengaruh ajaran Islam yang terbaik terdapat pada kaum Muhajirin dan Ansar yang mula-mula. Mereka memeluk Islam dengan sepenuh hati, mereka benar-benar ikhlas dan melaksanakan semua perintahnya. Kebalikannya mereka yang masuk Islam pada waktu penaklukan Mekah atau sesudahnya, mereka masih tetap dalam kekufuran dan keras kepala. Karena mereka melihat Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat-sahabatnya di pihak yang menang, maka tak ada jalan lain mereka pun masuk Islam. Keimanan mereka masih tipis. "Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berjuang sebelum memperoleh kemenangan (penaklukan Mekah). Derajat mereka lebih tinggi daripada yang menafkahkan dan berjuang kemudian. Kepada mereka masing-masing Allah menjanjikan balasan yang baik." (Qur'an 57: 10). Memang tepat sekali para sejarawan membagi para sahabat ke dalam beberapa tingkat sesuai dengan peringkat mereka. Mereka dibagi ke dalam dua belas tingkat, tingkat terakhir yang menerima Islam pada waktu penaklukan Mekah itu."

Umar termasuk di antara kaum Muslimin yang paling baik pengertiannya tentang pokok-pokok dan kaidah-kaidah agama, dan yang terbaik pula perhitungannya sehingga ia dapat mewujudkan bentuk serta kepastian dasar-dasar dan kaidah-kaidah itu. Oleh karena itu ia ingin sekali membuang jauh-jauh segala kebiasaan Arab masa jahiliah, yang oleh Islam tidak diakui, dan memberikan satu warna dengan warna agama baru ini dalam segala manifestasi kehidupannya. Islam pada dasarnya adalah sebuah kedaulatan, dan kedaulatan ini terutama sekali adalah spiritual. Karenanya ia hendak menjalin hati nurani manusia dengan ikatan persaudaraan dan persamaan, dan "Tidak akan sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri." Dengan demikian tak ada jalan lain bagi penanggung jawab prinsip-prinsip agama ini selain harus melindungi prinsip-prinsip itu dari segala anasir yang menyimpang dari tujuannya atau hendak mengabaikan pelaksanaannya.

Dalam hal ini sikap Umar memang tegas sekali, sangat keras dan tak pernah ragu atau akan bersikap lemah. Ia menegakkan hukum Allah, dan sesudah bermusyawarah dengan para ahli, ia melaksanakan hukum itu sesuai dengan tujuan-tujuan Islam. Kita sudah melihat bagaimana ia memperlakukan mereka yang minum minuman keras di Syam dan di luar Syam. Disebutkan bahwa pernah ia meminta pendapat para sahabat mengenai khamar yang diminum seseorang. Ali bin Abi Talib menyarankan: "Pendapat saya didera dengan delapan puluh pukulan seperti hukum tuduhan palsu; sebab kalau dia minum ia akan mabuk, kalau sudah mabuk mengigau, kalau sudah mengigau berdusta." Maka mengenai minuman keras ini Umar memberlakukan hukum cambuk delapan puluh kali. Dengan ijmak (konsensus) Muslimin waktu itu tindakannya ini dipandang sebagai hukuman bagi peminum minuman keras.10 Dalam pembahasan bab berikut, "Ijtihad Umar", betapa besar akan kita lihat keinginannya hendak menegakkan kehidupan Islam atas dasar prinsip­prinsip yang benar, sesuai dengan wahyu yang sudah diturunkan dan sudah dikukuhkan pula oleh sunah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam.

***

Jasa Umar dalam perkembangan kehidupan di negeri Arab

Sekarang sudah kita lihat apa yang kita kemukakan dalam bab ini, bahwa kehidupan sosial di masa Umar sangat terpengaruh oleh berbagai macam faktor, yang sebagian besar belum ada pada masa Nabi, dan sebagian lagi belum tampak pengaruhnya pada masa Abu Bakr. Beberapa adat jahiliah yang sudah terhapus, sejak orang-orang Arab menyatakan keislamannya sebelum Rasulullah wafat, di antaranya sudah hilang karena keadaan. Kemudian dari waktu ke waktu kembali muncul, yang menandakan bahwa akarnya masih hidup merasuk, siap akan tumbuh dan berkembang lagi. Itulah yang dibentuk oleh Islam dalam hati orang yang sudah mengambilnya sebagai ideologi dan kebiasaan baru, yang sebelum itu tak pernah dialami, dan peradaban yang dialami kaum Muslimin di negeri-negeri yang baru ditaklukkan, yang kenyataannya belum biasa mereka hadapi. Sesudah mereka berbaur dan bergaul dengan penduduk, ternyata hal itu dapat mereka terima dan mereka cerna dengan baik.

Dalam perkembangan ini faktor ekonomi juga tidak kurang pengaruhnya dari faktor-faktor yang lain. Kemenangan telah memberikan kemakmuran kepada kebanyakan mereka sehingga hidup mereka lebih mudah, dan kesempatan ini pun mereka manfaatkan. Lebih-lebih lagi mereka yang pergi ke Irak, ke Syam dan ke Mesir, karena kehijauan dan kesuburan tanahnya sangat memudahkan mereka memperoleh berbagai macam keperluan, yang tidak mudah diperoleh di daerah-daerah pedalaman. Sebaliknya mereka yang tinggal di kawasan Semenanjung, perolehan mereka yang sudah ditentukan oleh Umar membuat mereka mampu mengadakan segala yang pernah mereka ketahui di zaman jahiliah, seperti yang sudah kita gambarkan di atas.

Perkembangan ini telah memberi semangat dalam kehidupan mental, yang bagi orang Arab ketika itu terbatas pada masalah ijtihad dengan pikiran dalam hal yang tidak terdapat dalam Qur'an dan sunah Rasulullah. Barangkali kita masih ingat kata-kata Abu Bakr dalam sakitnya yang terakhir: "Coba ketika itu kutanyakan kepada Rasulullah tentang warisan kemenakan perempuan dari pihak saudara laki-laki dan saudara perempuan dari pihak bapa. Dua hal ini masih mengganggu pikiranku." Di masa Umar itulah dan di masa-masa berikutnya ijtihad dengan pikiran berkembang terus-menerus, maka fikih Islam itulah hasilnya.

Perkembangan ini juga telah membuka cakrawala baru dalam sejarah bangsa-bangsa yang telah dibebaskan oleh kaum Muslimin, juga memberi pengaruh yang dalam ke dalam kehidupan masyarakat Arab sendiri. Cakrawala baru ini sudah terlihat terutama di Irak, di Syam dan di Persia, kendati pada masing-masingnya berbeda sesuai dengan perbedaan suku bangsa mereka. Soalnya, karena di Irak dan di Syam terdapat kabilah-kabilah Arab yang menyambut Islam dan terpengaruh oleh ajaran-ajarannya. Sekalipun mereka yang tetap bertahan dengan agama mereka, juga terpengaruh oleh sistem politik dan ekonomi yang dibawa oleh Islam. Sebaliknya Persia, cakrawala dan kecenderungannya memang berbeda dengan Irak dan Syam. Pengaruh perbedaan ini akan kita lihat nanti dalam pembahasan sekitar terbunuhnya Umar.

Sebelumnya sudah saya perkatakan mengenai pengaruh yang dibawa oleh kemenangan Islam ketika mula-mula di Mesir. Pengaruh ini berbeda dengan yang ada di Irak, di Syam dan di Persia, karena politik Amr bin As di Mesir tidak sama dengan politik Khalid bin Walid di Irak pada masa Abu Bakr, juga tidak sama dengan politik para penguasa yang memerintah di Syam setelah pembebasan negeri itu. Struktur politik di Mesir tidak seperti di Persia yang merdeka sementara Mesir di bawah kekuasaan Rumawi. Tetapi dari segi perbedaannya dengan Arab keduanya sama: Penduduknya, ras, bahasa dan agamanya. Sungguhpun begitu, pengaruh politik Amr bin As bukan tidak kuat dalam mengubah orang-orang Mesir menjadi umat Islam yang berbahasa Arab, dan setelah itu menjadi jantung dunia Islam serta pusat peradabannya.

Pengaruh Umar besar sekali dalam menyelesaikan perkembangan mengenai kehidupan masyarakat di negeri-negeri Arab itu. Rasanya tidak berlebihan kalau saya katakan bahwa jasanya dari segi ini tidak kurang dari jasanya dari segi politik. Pengaruh Umar dalam membawa perkembangan itu tidak hanya terbatas pada apa yang sudah kita isyaratkan dalam bab ini dan bab-bab sebelumnya dalam buku ini, tetapi ijtihadnya dengan cara menggunakan pikiran juga merupakan pengaruh terbesar dalam hal ini, begitu juga pengaruh demikian itu sangat terasa dalam kehidupan Muslimin yang lain.

Dan inilah yang akan kita jelaskan dalam membahas ijtihad Umar dalam bab berikut ini.

Catatan Kaki:

  1. Istibda' dari kata bud', jimak, persetubuhan, suatu bentuk pernikahan jahiliah. Perempuan yang diserahkan kepada lelaki tertentu untuk disetubuhi sampai terlihat kehamilannya dari laki-laki tersebut. Selama itu pula suaminya sendiri tidak menyentuhnya. Tujuannya hanya untuk mendapatkan keturunan bangsawan (N). - Pnj.
  2. Tatayyara, alamat baik atau buruk. Kepercayaan Arab jahiliah, jika orang hendak melakukan scsuatu melihat burung yang terbang di angkasa. Jika datangnya dari arah kanan berarti alamat baik, atau sebaliknya. - Pnj.
  3. ''Tujuh yang digantungkan," yakni karya-karya puisi tujuh penyair Arab jahiliah yang digantungkan di dinding Ka'bah pada zaman jahiliah. - Pnj.
  4. Lihat Sejarah Hidup Muhammad bab 15. - Pnj.
  5. Ma malakat yaminuhu, harfiah 'yang dimiliki tangan kanannya,' yakni hamba sahaya yang diperoleh dari rampasan perang. - Pnj.
  6. Laqit, luqata', anak dapat, anak yang dipungut dari jalan. - Pnj.
  7. Satir atau satire, kata bahasa Prancis, dalam bahasa Arab hija' bentuk karya sastra, terutama puisi dan drama, yang berisi sindiran atau terang-terangan mengungkapkan sifat-sifat buruk, jahat, kebodohan, caci maki dsb. untuk memperolok dan menghina orang, tanpa ada batas-batas moral yang berlaku. Sebaliknya madah. terutama puisi. berisi pujian. - Pnj.
  8. Hutai'ah, dari kabilah Abs, penyair dua zaman, terkenal sebagai satiris terkemuka pada zamannya, hidup di masa jahiliah dan masa Islam. Tak jelas asal-usulnya, hidupnya sangat sinis, tak punya pendirian dan mengejek semua orang, termasuk ibu-bapak, istri dan dirinya sendiri (wafat tahun 59 Hijri). - Pnj.
  9. Penyair terkenal dan sahabat Nabi. - Pnj.
  10. Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa Rasulullah pernah menghukum peminum minuman keras. Almarhum Muhammad al-Khudari dalam bukunya, Tarikh at-Tasyri' al-Islami menyebutkan dengan mengacu pada Qur'an mengenai hukuman itu, yakni tentang hukum kisas, hukum zina, hukum fitnah, hukum pencurian dan hukum perampokan. Kemudian katanya: "Dalam Qur'an tak ada hukuman lain selain yang kami sebutkan itu. Dalam Sunah sudah diterangkan tentang adanya hukuman yang keenam, yaitu hukuman bagi peminum khamar; Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam sudah pernah menghukumnya."

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team