|
23. Kehidupan Sosial pada Masa Umar
(4/4)
Sikap Umar tentang kesenangan, yang
halal dan yang haram
Tetapi Umar tidak bersikap demikian dalam hal berbagai
macam kesenangan yang memang dihalalkan oleh Islam dan
dibolehkan oleh bangsanya. Di antaranya masyarakat Arab itu
dulu termasuk bangsa yang paling menyukai nyanyian dan
menikmatinya, bahkan menyanyi itu sudah merupakan keperluan
hidup dan keharusan yang tak dapat ditinggalkan. Dengan
nyanyian memicu unta, mereka dan unta mereka lupa akan
beratnya perjalanan, segala penderitaan yang mereka alami
akan terasa ringan Jika mereka berhenti di suatu tempat,
mereka beristirahat sesudah perjalanan malam yang jauh,
nyanyian itulah yang menjadi hiburan mereka, terutama kalau
di antara mereka ada seorang penyanyi yang suaranya merdu
dan nyaring, dengan nada yang dapat membangkitkan rindu
keluarga dalam hatinya, atau semangat balas dendam atau
memperlihatkan kebanggaan. Yang demikian ini sudah merata di
daerah-daerah pedalaman atau di kota-kota. Acara-acara musik
serupa ini diadakan di Mekah, di Medinah dan di
tempat-tempat lain di kawasan Semenanjung itu sampai ke
daerah-daerah pedalaman, dari ujung selatan sampai ke ujung
utara. Umar sendiri, kendati sudah terkenal begitu tegar dan
keras, juga senang berdendang, kadang
mengulang-ulanginya.
Ada serombongan anak muda pergi dalam sebuah kafilah,
Umar, Usman dan Ibn Abbas termasuk di antaranya, dan ada
pula Rabah alFihri, orang yang pandai memicu binatang
dengan nyanyiannya. Menjelang malam, anak-anak muda itu
meminta Rabah menyanyi, tetapi dia menolak dengan
mengatakan: "Bersama Umar?" Kata mereka: Menyanyilah, kalau
dia melarang ya berhenti. Dia pun mulai memacu dengan
menyanyi. Ternyata Umar tidak keberatan, malah ia ikut
menyanyi. Setelah memasuki fajar, kata Umar: Berhentilah,
sekarang tiba saat zikir. Malam kedua pemuda-pemuda itu
memintanya lagi menyanyi. Ketika ia menolak karena takut
kepada Umar mereka berkata: Menyanyilah lagi, kalau dia
melarang berhentilah. Umar pun ikut sampai waktu menjelang
fajar ia berkata: Sudahlah! Sudah tiba saat zikir. Pada
malam ketiga pemuda-pemuda itu meminta Rabah menyanyikan
nyanyian biduanita. Begitu baru dia memulai Umar berteriak:
Berhenti, ini akan membuat orang lupa daratan!
Suatu hari Umar berangkat pergi hendak menunaikan haji.
Mereka yang menyertainya mengusulkan kepada Khawwat bin
Jubair agar menyanyikan syair-syair Dirar. Kata Umar:
Biarlah Abu Abdullah menyanyikan pilihan hatinya sendiri.
Khawwat menyanyi, Umar pun turut bergembira ria. Sesudah
tiba waktu fajar Umar berkata: "Sudahlah Khawwat, sekarang
sudah waktu fajar." Dalam kafilah itu Umar ikut
menyanyi.
- Apa yang diangkut unta di atas pelananya
- Jaminan yang lebih patuh dan lebih setia dari
Muhammad.
Rombongan kafilah itu berkumpul semua sama-sama
mendengarkan. Melihat mereka berkumpul, ia membaca Qur'an.
Tetapi saat itu juga malah mereka bubar. Yang demikian ini
terjadi berulang-ulang. Lalu ia berteriak: Hai anak-anak
pungut!6 Kalau aku bunyikan seruling setan kalian
berkumpul, kalau yang kubaca Kitabullah kalian bubar!
Dilarangnya Rabah menyanyikan nyanyian biduanita itu
setelah ia mendengarkan dan mengikutinya. Tetapi
kemarahannya kepada mereka yang pergi ketika mendengar
pembacaan Qur'an setelah mereka berkumpul untuk mendengarkan
nyanyian syair, semua itu menunjukkan bahwa ia suka
mendengarkan lagu dan suka pula menyanyi. Kesukaan menyanyi
itu membuat ia dapat mengungkapkan makna yang sesuai dengan
suara hatinya. Ia tidak akan menyerah pada hal-hal yang akan
menjerumuskan jiwanya dengan kecenderungan yang mendatangkan
kelemahan dan mendorong nafsu. Umar yang begitu menyenangi
nyanyian dan ikut menikmatinya, baginya mendengarkan bacaan
Qur'an sangat menyentuh hatinya. Tidaklah heran, bila Umar
sedang marah lalu terdengar pembacaan Qur'an, ia kembali
tenang, dan air matanya yang sering bercucuran
memperlihatkan betapa dalam keimanan serta kesungguhannya
dalam Islam. Jadi memang tidak heran, jiwa yang lemah karena
mendorong kepada nafsu jahat, di mata Umar itulah orang yang
sangat tercela.
Dia melarang segala yang akan menimbulkan gejala-gejala
kelemahan dalam hati dan akan mendorong nafsu, karena dia
melihat pengaruhnya yang buruk dalam kehidupan masyarakat.
Kewajiban yang harus dipikul oleh seorang pemimpin ialah
membina kehidupan masyarakat yang kuat dan mampu mendorong
kepada tujuan-tujuan yang luhur, seperti tanggung jawabnya
dalam menjaga ketertiban dan keselamatan negara, sebab
kekuatan dan kemampuan ini semua merupakan alat ketertiban
dan keselamatan itu. Kata yang tanpa perbuatan tidak akan
memberi pengaruh apa-apa dalam kehidupan ini.
Bentuk-bentuk syair madah (panegyrics) dan hija'
(satir)7 sudah menjadi salah satu kecenderungan
syair-syair Arab di masa jahiliah, kemudian waktu datangnya
Islam tetap ada, dan sampai sekarang tetap bertahan.
Kecenderungan madah dan satir ini pada beberapa penyair
memang sangat berlebihan demikian rupa sehingga dapat
menimbulkan rasa dendam dan kebencian yang berakibat pada
permusuhan. Terhadap penyair-penyair semacam ini Umar
bersikap tegas, sehingga membuat mereka jera dan tidak
menularkan kepada yang lain.
Sumber-sumber mengenai ini banyak sekali. Disebutkan
bahwa Hutai'ah8 oleh Umar pernah ditahan karena
ia mengeluarkan syair-syair cabul (porno), memuji dan memaki
orang dengan tidak semestinya. Setelah Hutai'ah memberikan
jaminan tidak akan mengulanginya lagi ia dibebaskan. Setelah
akan pergi ia dipanggil dan datang kembali Umar berkata:
Hutai'ah, rasanya saya pernah melihat Anda di tempat seorang
pemuda Kuraisy yang sudah menyiapkan kasur untuk Anda dan
ada yang digulungkan untuk Anda yang kemudian mengatakan:
Bacakanlah syairmu untuk kami, Hutai'ah, dan Anda pun mulai
mendendangkannya dengan menjelek-jelekkan orang. Hutai 'ah
berjanji tidak akan berbuat lagi. Zaid bin Aslam berkata:
Suatu hari saya melihat Hutai'ah di tempat Ubaidillah bin
Umar yang sudah menyediakan kasur kecil buat dia dan ada
yang digulung, kemudian katanya: Bacakanlah syairmu untuk
kami, Hutai'ah, dan dia berdendang. Lalu kata saya:
Hutai'ah, Anda tidak ingat apa kata Umar? Merasa ketakutan
ia berkata: Semoga Allah memberi rahmat kepada orang itu!
Kalau dia masih hidup kami tidak akan dapat berbuat seperti
ini. Hutai'ah ditahan oleh Umar karena dia mengejek Zibriqan
bin Badr dalam syairnya yang mengatakan:
- Tinggalkanlah sifat mulia, jangan pergi
memburunya
- Duduklah, kau sudah kenyang dengan pangan dan
sandang
Umar sangat menyukai syair; dia dapat bercerita banyak
tentang syair, dapat membacanya dan mengajak orang berbicara
tentang itu. Ketika Zibriqan mengadukan Hutai'ah kepadanya
ia bermaksud mencegah gunjingannya dengan syubhat. Ketika
mendengar bunyi syair itu ia berkata: Saya tidak melihat
ejekan tetapi cercaan. Mengenai syairnya itu kemudian ia
menanyakan kepada Hassan bin Sabit,9 pakar
tentang syair. Sesudah diperiksanya syair satir itu berisi
kata-kata kotor. Hutai'ah ditahan dengan peringatan tidak
akan mengulangi syair yang semacam itu lagi. Hutai'ah baru
membuat syair-syair satir lagi pada masa kekhalifahan
Usman.
Umar menjatuhkan hukuman dengan menahan dan memukuli
penyair yang memperolok Banu Ajlan dengan bait-bait berikut
ini:
- Mereka adalah anak-anak turunan hina
- Dan keluarga durhaka yang penuh dosa
- Golongan lemah yang hina-dina dan tunduk
menyerah
Tetapi kemudian ia diberi peringatan, kalau masih
mengulanginya lagi hukumannya akan berlipat ganda. Umar
menghukum para penyair satir dengan penahanan, penjara,
dera, teguran dan peringatan, di samping kecintaannya pada
syair dan cerita tentang sastra, karena dia tahu, betapa
dalamnya pengaruh kata-kata itu dibandingkan dengan yang
lain dalam kehidupan masyarakat manusia. Manusia - sejak
kecil sampai akhir hidupnya - terpengaruh oleh kata-kata dan
apa yang disampaikan kepada mereka itu hendak diusahakan
mewujudkannya: Segala keyakinan kita, adat istiadat kita,
pekerjaan, pemikiran dan perasaan serta kecenderungan kita
yang sejak kecil kita dengar dari keluarga kita, dari
guru-guru kita dan teman-teman kita dan apa yang kita baca
dari buku-buku dari orang yang sebelum kita, semua itu telah
ikut memberi bentuk. Pada masa jahiliah, syair-syair madah
dan satir dianggap sah, malah telah menjadi salah satu nilai
pokok dalam kehidupan masyarakat waktu itu. Kemudian
teriakan perang berikut propagandanya tatkala ada kabilah
hendak melakukan balas dendam terhadap kabilah yang lain.
Kalau perang waktu itu sudah merupakan kebiasaan hidup
sehari-hari, maka para penyair itu menyanjung-nyanjung salah
satu kabilah serta memaki-maki dan memburuk-burukkan yang
lain. Bahwa kemudian orang Arab sudah menjadi satu bangsa,
tegak dalam satu barisan dalam menghadapi musuh, adat
jahiliah ini sudah harus dihilangkan dari kehidupan
masyarakat bangsa. Sudah menjadi kewajiban Amirulmukminin
untuk bersungguh-sungguh berusaha ke arah itu.
Lebihlebih lagi dalam waktu perjuangan dan pembebasan,
lebih wajib lagi mengikisnya, mengingat adanya persatuan dan
tergalangnya kekuatan dan pemusatan seluruh bangsa dalam
satu kesatuan yang tak terpisahkan untuk menghadapi musuh
dan mengikis segala ambisinya.
Opini berbeda dengan satir dan
fitnah
Kebijakan Umar waktu itu dalam menumpas kesombongan dan
rasa kebanggaan kabilah telah berhasil. Bahkan semua
dilakukan dengan sikap kepala dingin, arif dan pandangan
yang jauh ke depan. Saya menegaskan ini sebagai orang yang
sangat percaya pada kebebasan berpikir dan kebebasan
menyatakan pendapat dengan lisan dan tulisan, dan pada
segala yang pernah diketahui umat manusia dan yang akan
diketahui mengenai wahana pernyataan pendapat (opini).
Sebabnya ialah, opini itu berbeda dengan satir dan fitnah.
Opini adalah suatu konsep atau sekumpulan konsep yang keluar
dari pikiran dan akal budi manusia, dengan tujuannya untuk
mengurangi penderitaan umat manusia atau untuk menambah
kebahagiaannya dari keadaan selama ini. Opininya mungkin
benar, mungkin juga salah. Kita bebas menyerang opini orang
kalau kita yakin bahwa itu salah. Tetapi kita tidak berhak
menyerang opininya, kalau kita tidak dapat menunjukkan bukti
atas niat buruknya dalam mengeluarkan opininya itu, bahwa
tujuannya bukan untuk kebaikan bersama dan untuk kepentingan
semua orang. Kalaupun kita mampu menunjukkan bukti itu kita
tetap tidak berhak menyinggung kehidupan pribadi orang itu,
yang tak ada hubungannya dengan opini yang dikemukakannya,
atau dengan pekerjaan yang ingin disusun atas dasar opini
itu atau bukti niat buruknya yang dapat kita tunjukkan.
Dalam batas-batas ini saja kita bebas menyerang sekehendak
kita betapapun kerasnya. Tetapi jika akan melampauinya
sampai ke soal kehidupan pribadinya, maka itulah yang
namanya fitnah, satir dan caci maki, hal yang tak boleh
dibenarkan, baik oleh undang-undang atau oleh penguasa.
Pelaku itu harus dihukum dengan hukuman badan dan harta, dan
hukuman ini harus cukup keras, supaya orang yang mempunyai
opini dan pekerja sosial untuk kepentingan umum itu bebas
dalam menyatakan pendapatnya dan dalam pekerjaannya, sejalan
dengan kritik membangun yang tidak melampaui haknya dalam
menyatakan pendapat dan dalam bekerja untuk kepentingan umum
itu.
Kebijakan Umar bin Khattab dalam menumpas sastra satir
dan kaum satiris ini berhasil meredam rasa dendam dan
kebencian dengan segala perangsangnya. Bukti yang paling
jelas dalam hal ini seperti yang sudah terbaca dalam
kata-kata Hutai'ah yang mulai lagi dengan syair-syair
satirnya sesudah Umar wafat: "Semoga Allah memberi rahmat
kepada orang itu! Kalau dia masih hidup kami tidak akan
dapat berbuat seperti ini." Tetapi memang, sesudah Umar
bentuk satir ini mulai merebak lagi dalam kehidupan
masyarakat umat Islam. Hanya saja tidak lagi seperti dulu
dari yang biasa dijadikan alat propaganda kabilah-kabilah
dalam pertentangan mereka menjadi hanya sekadar alat untuk
mencari mata pencaharian, atau alat untuk melampiaskan
dendam dan memuaskan hawa nafsu. Begitu juga halnya dengan
yang selain satir yang sudah biasa dalam kehidupan
masyarakat sebelum Islam. Tidak heran kalau
kecenderungan-kecenderungan jahiliah ini masih berakar dalam
hati sebagian besar masyarakat Arab yang sudah masuk Islam
sekalipun, dan mereka tak dapat mengatasinya, malah
barangkali tak pernah berusaha ke arah itu.
Pertentangan mentalitas jahiliah dengan
mentalitas Islam
Ustaz Ahmad Amin dalam Fajrul Islam telah melukiskan
dengan baik sekali hal ini dengan mengatakan: "Sebenarnya
pertentangan antara sikap mental Islam dan segala
kecenderungannya, dengan sikap mental jahiliah dan segala
kecenderungannya besar sekali, dan dalam waktu cukup lama.
Islam tidak mewarnai masyarakat Arab dengan satu identitas
yang sama. Tetapi pengaruh ajaran Islam yang terbaik
terdapat pada kaum Muhajirin dan Ansar yang mula-mula.
Mereka memeluk Islam dengan sepenuh hati, mereka benar-benar
ikhlas dan melaksanakan semua perintahnya. Kebalikannya
mereka yang masuk Islam pada waktu penaklukan Mekah atau
sesudahnya, mereka masih tetap dalam kekufuran dan keras
kepala. Karena mereka melihat Rasulullah Sallallahu
alaihi wa sallam dan sahabat-sahabatnya di pihak yang
menang, maka tak ada jalan lain mereka pun masuk Islam.
Keimanan mereka masih tipis. "Tidak sama di antara kamu
orang yang menafkahkan (hartanya) dan berjuang sebelum
memperoleh kemenangan (penaklukan Mekah). Derajat mereka
lebih tinggi daripada yang menafkahkan dan berjuang
kemudian. Kepada mereka masing-masing Allah menjanjikan
balasan yang baik." (Qur'an 57: 10). Memang tepat sekali
para sejarawan membagi para sahabat ke dalam beberapa
tingkat sesuai dengan peringkat mereka. Mereka dibagi ke
dalam dua belas tingkat, tingkat terakhir yang menerima
Islam pada waktu penaklukan Mekah itu."
Umar termasuk di antara kaum Muslimin yang paling baik
pengertiannya tentang pokok-pokok dan kaidah-kaidah agama,
dan yang terbaik pula perhitungannya sehingga ia dapat
mewujudkan bentuk serta kepastian dasar-dasar dan
kaidah-kaidah itu. Oleh karena itu ia ingin sekali membuang
jauh-jauh segala kebiasaan Arab masa jahiliah, yang oleh
Islam tidak diakui, dan memberikan satu warna dengan warna
agama baru ini dalam segala manifestasi kehidupannya. Islam
pada dasarnya adalah sebuah kedaulatan, dan kedaulatan ini
terutama sekali adalah spiritual. Karenanya ia hendak
menjalin hati nurani manusia dengan ikatan persaudaraan dan
persamaan, dan "Tidak akan sempurna iman seseorang sebelum
ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri."
Dengan demikian tak ada jalan lain bagi penanggung jawab
prinsip-prinsip agama ini selain harus melindungi
prinsip-prinsip itu dari segala anasir yang menyimpang dari
tujuannya atau hendak mengabaikan pelaksanaannya.
Dalam hal ini sikap Umar memang tegas sekali, sangat
keras dan tak pernah ragu atau akan bersikap lemah. Ia
menegakkan hukum Allah, dan sesudah bermusyawarah dengan
para ahli, ia melaksanakan hukum itu sesuai dengan
tujuan-tujuan Islam. Kita sudah melihat bagaimana ia
memperlakukan mereka yang minum minuman keras di Syam dan di
luar Syam. Disebutkan bahwa pernah ia meminta pendapat para
sahabat mengenai khamar yang diminum seseorang. Ali bin Abi
Talib menyarankan: "Pendapat saya didera dengan delapan
puluh pukulan seperti hukum tuduhan palsu; sebab kalau dia
minum ia akan mabuk, kalau sudah mabuk mengigau, kalau sudah
mengigau berdusta." Maka mengenai minuman keras ini Umar
memberlakukan hukum cambuk delapan puluh kali. Dengan ijmak
(konsensus) Muslimin waktu itu tindakannya ini dipandang
sebagai hukuman bagi peminum minuman keras.10
Dalam pembahasan bab berikut, "Ijtihad Umar", betapa besar
akan kita lihat keinginannya hendak menegakkan kehidupan
Islam atas dasar prinsipprinsip yang benar, sesuai
dengan wahyu yang sudah diturunkan dan sudah dikukuhkan pula
oleh sunah Rasulullah Sallallahu alaihi wa sallam.
***
Jasa Umar dalam perkembangan kehidupan
di negeri Arab
Sekarang sudah kita lihat apa yang kita kemukakan dalam
bab ini, bahwa kehidupan sosial di masa Umar sangat
terpengaruh oleh berbagai macam faktor, yang sebagian besar
belum ada pada masa Nabi, dan sebagian lagi belum tampak
pengaruhnya pada masa Abu Bakr. Beberapa adat jahiliah yang
sudah terhapus, sejak orang-orang Arab menyatakan
keislamannya sebelum Rasulullah wafat, di antaranya sudah
hilang karena keadaan. Kemudian dari waktu ke waktu kembali
muncul, yang menandakan bahwa akarnya masih hidup merasuk,
siap akan tumbuh dan berkembang lagi. Itulah yang dibentuk
oleh Islam dalam hati orang yang sudah mengambilnya sebagai
ideologi dan kebiasaan baru, yang sebelum itu tak pernah
dialami, dan peradaban yang dialami kaum Muslimin di
negeri-negeri yang baru ditaklukkan, yang kenyataannya belum
biasa mereka hadapi. Sesudah mereka berbaur dan bergaul
dengan penduduk, ternyata hal itu dapat mereka terima dan
mereka cerna dengan baik.
Dalam perkembangan ini faktor ekonomi juga tidak kurang
pengaruhnya dari faktor-faktor yang lain. Kemenangan telah
memberikan kemakmuran kepada kebanyakan mereka sehingga
hidup mereka lebih mudah, dan kesempatan ini pun mereka
manfaatkan. Lebih-lebih lagi mereka yang pergi ke Irak, ke
Syam dan ke Mesir, karena kehijauan dan kesuburan tanahnya
sangat memudahkan mereka memperoleh berbagai macam
keperluan, yang tidak mudah diperoleh di daerah-daerah
pedalaman. Sebaliknya mereka yang tinggal di kawasan
Semenanjung, perolehan mereka yang sudah ditentukan oleh
Umar membuat mereka mampu mengadakan segala yang pernah
mereka ketahui di zaman jahiliah, seperti yang sudah kita
gambarkan di atas.
Perkembangan ini telah memberi semangat dalam kehidupan
mental, yang bagi orang Arab ketika itu terbatas pada
masalah ijtihad dengan pikiran dalam hal yang tidak terdapat
dalam Qur'an dan sunah Rasulullah. Barangkali kita masih
ingat kata-kata Abu Bakr dalam sakitnya yang terakhir: "Coba
ketika itu kutanyakan kepada Rasulullah tentang warisan
kemenakan perempuan dari pihak saudara laki-laki dan saudara
perempuan dari pihak bapa. Dua hal ini masih mengganggu
pikiranku." Di masa Umar itulah dan di masa-masa berikutnya
ijtihad dengan pikiran berkembang terus-menerus, maka fikih
Islam itulah hasilnya.
Perkembangan ini juga telah membuka cakrawala baru dalam
sejarah bangsa-bangsa yang telah dibebaskan oleh kaum
Muslimin, juga memberi pengaruh yang dalam ke dalam
kehidupan masyarakat Arab sendiri. Cakrawala baru ini sudah
terlihat terutama di Irak, di Syam dan di Persia, kendati
pada masing-masingnya berbeda sesuai dengan perbedaan suku
bangsa mereka. Soalnya, karena di Irak dan di Syam terdapat
kabilah-kabilah Arab yang menyambut Islam dan terpengaruh
oleh ajaran-ajarannya. Sekalipun mereka yang tetap bertahan
dengan agama mereka, juga terpengaruh oleh sistem politik
dan ekonomi yang dibawa oleh Islam. Sebaliknya Persia,
cakrawala dan kecenderungannya memang berbeda dengan Irak
dan Syam. Pengaruh perbedaan ini akan kita lihat nanti dalam
pembahasan sekitar terbunuhnya Umar.
Sebelumnya sudah saya perkatakan mengenai pengaruh yang
dibawa oleh kemenangan Islam ketika mula-mula di Mesir.
Pengaruh ini berbeda dengan yang ada di Irak, di Syam dan di
Persia, karena politik Amr bin As di Mesir tidak sama dengan
politik Khalid bin Walid di Irak pada masa Abu Bakr, juga
tidak sama dengan politik para penguasa yang memerintah di
Syam setelah pembebasan negeri itu. Struktur politik di
Mesir tidak seperti di Persia yang merdeka sementara Mesir
di bawah kekuasaan Rumawi. Tetapi dari segi perbedaannya
dengan Arab keduanya sama: Penduduknya, ras, bahasa dan
agamanya. Sungguhpun begitu, pengaruh politik Amr bin As
bukan tidak kuat dalam mengubah orang-orang Mesir menjadi
umat Islam yang berbahasa Arab, dan setelah itu menjadi
jantung dunia Islam serta pusat peradabannya.
Pengaruh Umar besar sekali dalam menyelesaikan
perkembangan mengenai kehidupan masyarakat di negeri-negeri
Arab itu. Rasanya tidak berlebihan kalau saya katakan bahwa
jasanya dari segi ini tidak kurang dari jasanya dari segi
politik. Pengaruh Umar dalam membawa perkembangan itu tidak
hanya terbatas pada apa yang sudah kita isyaratkan dalam bab
ini dan bab-bab sebelumnya dalam buku ini, tetapi ijtihadnya
dengan cara menggunakan pikiran juga merupakan pengaruh
terbesar dalam hal ini, begitu juga pengaruh demikian itu
sangat terasa dalam kehidupan Muslimin yang lain.
Dan inilah yang akan kita jelaskan dalam membahas ijtihad
Umar dalam bab berikut ini.
Catatan Kaki:
- Istibda' dari kata bud', jimak,
persetubuhan, suatu bentuk pernikahan jahiliah. Perempuan
yang diserahkan kepada lelaki tertentu untuk disetubuhi
sampai terlihat kehamilannya dari laki-laki tersebut.
Selama itu pula suaminya sendiri tidak menyentuhnya.
Tujuannya hanya untuk mendapatkan keturunan bangsawan
(N). - Pnj.
- Tatayyara, alamat baik atau buruk. Kepercayaan
Arab jahiliah, jika orang hendak melakukan scsuatu
melihat burung yang terbang di angkasa. Jika datangnya
dari arah kanan berarti alamat baik, atau sebaliknya. -
Pnj.
- ''Tujuh yang digantungkan," yakni karya-karya puisi
tujuh penyair Arab jahiliah yang digantungkan di dinding
Ka'bah pada zaman jahiliah. - Pnj.
- Lihat Sejarah Hidup
Muhammad bab 15. - Pnj.
- Ma malakat yaminuhu, harfiah 'yang dimiliki
tangan kanannya,' yakni hamba sahaya yang diperoleh dari
rampasan perang. - Pnj.
- Laqit, luqata', anak dapat, anak yang dipungut dari
jalan. - Pnj.
- Satir atau satire, kata bahasa Prancis, dalam bahasa
Arab hija' bentuk karya sastra, terutama puisi dan drama,
yang berisi sindiran atau terang-terangan mengungkapkan
sifat-sifat buruk, jahat, kebodohan, caci maki dsb. untuk
memperolok dan menghina orang, tanpa ada batas-batas
moral yang berlaku. Sebaliknya madah. terutama puisi.
berisi pujian. - Pnj.
- Hutai'ah, dari kabilah Abs, penyair dua zaman,
terkenal sebagai satiris terkemuka pada zamannya, hidup
di masa jahiliah dan masa Islam. Tak jelas asal-usulnya,
hidupnya sangat sinis, tak punya pendirian dan mengejek
semua orang, termasuk ibu-bapak, istri dan dirinya
sendiri (wafat tahun 59 Hijri). - Pnj.
- Penyair terkenal dan sahabat Nabi. - Pnj.
- Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa Rasulullah
pernah menghukum peminum minuman keras. Almarhum Muhammad
al-Khudari dalam bukunya, Tarikh at-Tasyri' al-Islami
menyebutkan dengan mengacu pada Qur'an mengenai hukuman
itu, yakni tentang hukum kisas, hukum zina, hukum fitnah,
hukum pencurian dan hukum perampokan. Kemudian katanya:
"Dalam Qur'an tak ada hukuman lain selain yang kami
sebutkan itu. Dalam Sunah sudah diterangkan tentang
adanya hukuman yang keenam, yaitu hukuman bagi peminum
khamar; Rasulullah Sallallahu alaihi wa sallam
sudah pernah menghukumnya."
|