Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

24. Ijtihad Umar (1/4)

Definisi tentang pengertian khalifah - 730; Turunnya wahyu dengan ketentuan hukum sebagai pembimbing manusia - 731; Ijtihad Rasulullah dalam hal belum turun wahyu - 733; Rasulullah selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya - 736; Nabi mengajar para sahabat berijtihad - 737; Ijtihad Muslimin yang mula-mula - 738; Ijtihad Umar sebelum dan sesudah menjadi Khalifah - 740; Umar melarang pemberian kepada mualaf- 743; Soal talak tiga dengan sekali ucapan - 744; Melarang pengutipan riwayat hadis - 748; Umar melarang pengumpulan hadis, kemudian membiarkan - 752; Sikap Umar tentang hadis terbukti kebenarannya - 755; Menolak melaksanakan hukuman karena keadaan darurat - 757; Persamaan di depan hukum - 758; Yang tak terdapat nasnya dalam Qur'an Umar berijtihad sendiri - 760; Pembagian tanah pada Muslimin yang membebaskannya - 761; Umar berusaha melawan kelemahan dalam jiwanya dan jiwa umat - 765; Ia cenderung keras dan bersih dalam ijtihadnya - 767; Ijtihad yang telah membentuk kekuatan Muslim in - 768

Definisi tentang pengertian khalifah

Dalam sebuah sumber disebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah bertanya kepada Salman: Saya ini raja atau khalifah? Salman menjawab: Jika Anda memungut satu dirham, kurang atau lebih, lalu Anda gunakan tidak pada tempatnya, Anda adalah raja, bukan khalifah. Umar merasa sedih sekali. Disebutkan juga bahwa suatu hari ia berkata: Saya sungguh tidak tahu, saya ini khalifah atau raja. Kalau saya seorang raja, ini sungguh luar biasa! Ada orang berkata: Amirulmukminin, antara keduanya itu ada perbedaan. Apa bedanya? tanya Umar. Orang itu menjawab: Khalifah mengambil hanya atas dasar yang benar dan menggunakannya juga hanya atas dasar yang benar, dan alhamdulillah, Anda demikian. Sedang raja bertindak sewenang-wenang, kepada yang seorang ia mengambil, kepada yang lain ia memberi. Umar diam.

Definisi tentang khalifah semacam ini dan hanya cukup dengan batas-batas itu tidak sesuai dengan pengertian kaum Muslimin yang mula-mula. Para khalifah yang mula-mula itu telah dilukiskan sebagai al-khulafa' ar-rasyidun ("para khalifah teladan.") Dengan sebutan itu dimaksudkan bahwa mereka para pengganti Rasulullah terhadap kaum Muslimin, mengikuti jejaknya, menjalankan kebiasaannya dan menempuh jalan yang ditempuhnya mengenai soal-soal agama dan dunia. Dalam hal ini Umar berkata: "Saya punya dua orang sahabat menempuh satu jalan; kalau saya melanggar mereka, orang akan melanggar saya." Adapun mereka yang datang kemudian setelah Khulafa' Rasyidun itu mereka sudah berperilaku seperti raja-raja. Oleh karenanya mereka menjadi para penguasa atas kaum mukmin, bukan pengganti Rasulullah atau pengganti para penggantinya.

Sekali-kali Rasulullah bukanlah seorang raja. Apa yang dipikulnya mengurus kaum Muslimin di Medinah samasekali tidak sama dengan yang dilakukan oleh raja-raja Persia dan Rumawi pada masanya itu, atau oleh raja-raja berbagai bangsa apa dan di zaman kapan pun. Dia adalah Rasul Allah yang memberikan bimbingan dan petunjuk kepada umat, membawa kabar gembira dan peringatan, membawa pesan dan ajaran-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia, mengajak mereka kepada agama yang lurus dengan cara yang bijaksana dan seruan yang baik. Kaum Muslimin berlindung di bawah naungannya untuk menambah petunjuk dari ayat-ayat wahyu dan dari sunah yang diajarkan kepada mereka, yang pernah didengarnya, dan para penggantinya yang sudah menjadi teladan, para Khulafa' Rasyidun yang kemudian menggantikannya. Para khalifah itu pun bukanlah rasul-rasul yang mendapat wahyu, tetapi mereka sahabat-sahabat Rasulullah, mereka mengikuti ajaran-ajaran dan sudah menghirup prinsip-prinsip ajaran itu. Sesudah kemudian mereka menggantikannya, ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip itu mereka sebarkan kepada segenap umat manusia, membimbing mereka kepada hidayah. Mereka masing-masing mengambil atas dasar yang benar dan menempatkannya atas dasar yang benar pula. Dalam pengertian inilah Umar menjadi Khalifah, begitu juga Abu Bakr sebelumnya. Itu sebabnya, ia ingin sekali mengikuti jejak Abu Bakr, dalam kesederhanaan hidup, dalam menjalankan persamaan antara dirinya dengan orang lain, dengan selalu mengikuti kebenaran dan mengajak orang ke arah itu dan melaksanakannya.

Turunnya wahyu dengan ketentuan hukum sebagai pembimbing manusia

Rasulullah mengajak orang agar mengikuti wahyu yang disampaikan Tuhan kepadanya. Sesudah jumlah sahabatnya banyak, banyak pula yang mereka tanyakan mengenai hal-hal yang mereka hadapi yang belum ada dalam wahyu. Mengambil kebiasaan yang dilakukan oleh jahiliah bertentangan dengan yang diajarkan oleh Nabi. Tidak jarang wahyu turun sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka itu. Dalam surah Baqarah Allah berfirman: "Mereka bertanya kepadamu, apa yang harus mereka nafkahkan. Katakanlah: Apa saja yang baik kamu nafkahkan hendaknya kepada ibu-bapa dan kerabat, kepada anak yatim dan orang miskin dan kepada orang terlantar dalam perjalanan. Dan segala perbuatan baik yang kamu lakukan, Allah mengetahuinya. Diwajibkan kepada kamu berperang meskipun itu kamu benci. Tetapi mungkin apa yang tak kamu sukai justru itu membawa kebaikan kepada kamu, dan mungkin apa yang kamu sukai justru membawa bencana buat kamu. tetapi Allah mengetahui dan kamu tidak mengetahui. Mereka bertanya kepadamu tentang perang dalam bulan suci. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu suatu dosa besar. Tetapi merintangi orang dari jalan Allah, dan mengingkari-Nya, merintangi orang memasuki Masjidil Haram dan mengusir penduduk dari sekitarnya, lebih besar dalam pandangan Allah." Fitnah itu lebih jahat daripada pembunuhan. Mereka akan terus memerangi kamu sebelum kamu meninggalkan agamamu kalau mereka mampu. Dan barang siapa di antara kamu ada yang meninggalkan agamanya, dan mati dalam kekafiran maka gugurlah segala amal mereka di dunia dan akhirat. Mereka menjadi penghuni api (neraka) yang tinggal abadi di dalamnya. Mereka yang beriman dan mereka yang hijrah dan mereka dan berjuang di jalan Allah, mereka mengharapkan rahmat Allah; dan Allah Maha Pengampun, Maha Pengasih. Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Keduanya mengandung dosa besar dan manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya." Mereka bertanya kepadamu apa yang harus mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang tidak memberatkan." Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir. Tentang dunia dan akhirat. Mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim. Katakanlah: "Yang paling baik ialah memperbaiki keadaan mereka. Jika kamu bergaul dengan mereka, mereka adalah saudara­saudaramu juga. Allah mengetahui siapa yang melakukan kerusakan dan siapa yang mengadakan perbaikan dan jika Allah menghendaki niscaya Ia membuat kamu dalam kesulitan. Allah sungguh Mahaperkasa, Mahabijaksana." Dan janganlah kamu menikah dengan perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Perempuan budak yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik sekalipun ia menarik hatimu. Juga janganlah menikahkan (anak perempuanmu) dengan laki-laki musyrik sebelum mereka beriman. Seorang laki-laki budak beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik sekalipun ia menarik hatimu. Mereka (kaum musyrik) akan membawa ke dalam api (neraka). Tetapi Allah akan memanggil ke dalam surga dan pengampunan dengan izin-Nya. Dan Ia akan menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mendapat pelajaran. Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: suatu gangguan. Oleh karena itu jauhilah perempuan yang sedang dalam haid dan janganlah dekati mereka sebelum mereka bersih. Tetapi bila mereka sudah membersihkan diri bergaullah dengan mereka sesuai dengan perintah Allah kepadamu, sebab Allah mencintai mereka yang bertobat dan mencintai mereka yang suci dan bersih." (Qur'an 2: 215-222).

Ayat-ayat dalam surah Baqarah yang berturut-turut ini diturunkan dalam waktu yang berlain-lainan. Semua itu diturunkan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang oleh Muslimin ketika itu diajukan kepada Rasulullah. Maka Allah mewahyukan ayat-ayat tersebut kepadanya sebagai bimbingan untuk mereka dan untuk umat manusia, dan sebagai penjelasan tentang ketentuan-ketentuan hukum atas segala pertanyaan mereka itu. Ayat-ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa-peristiwa seperti diuraikan oleh para mufasir, dan mereka beri nama asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya). Almarhum Muhammad al-Khudari dalam Tarikh at-Tasyri' al-Islami berkata: "Mengenai ketentuan-ketentuan hukum yang diturunkan tanpa didahului suatu peristiwa atau pertanyaan sedikit sekali, dan jarang kita melihat ada suatu ketentuan hukum yang oleh para mufasir tidak disebutkan peristiwanya sehubungan dengan turunnya ketentuan itu."

Suatu sumber menyebutkan bahwa ketika Rasulullah mengutus Marsad al-Ganawi ke Mekah untuk mengeluarkan kaum duafa dari sana, seorang perempuan musyrik menawarkan diri untuk dikawini. Perempuan itu cantik dan kaya. Tawarannya itu diterima tetapi pelaksanaannya menunggu izin Rasulullah. Sekembalinya ke Medinah ia menyampaikan persoalan itu kepada Nabi, maka firman Allah ini turun: "… Dan janganlah kamu menikah dengan perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman …”(Qur'an, 2: 221) dan seterusnya. Kita masih ingat bahwa orang-orang Yahudi dan musyrik di Medinah sering mengambil kesempatan saat-saat minum minuman keras untuk membangkitkan perselisihan lama antara Aus dengan Khazraj, dan karenanya Umar menanyakan kepada Rasulullah mengenai khamar yang ketika itu belum disebutkan di dalam Qur'an dengan mengatakan: Ya Allah jelaskanlah ketentuan khamar kepada kami, maka ayat ini turun: "Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Keduanya mengandung dosa besar dan manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya."" (Qur'an, 2: 219)

Ijtihad Rasulullah dalam hal belum turun wahyu

Kaum Muslimin kadang menanyakan segala hal kepada Nabi. Kalau tak ada wahyu turun mengenai pertanyaan kaum Muslimin, ketika itulah Nabi memutuskan dengan pendapatnya sendiri. Dalam hal ini ia berkata: "Saya memutuskan perkara ini atas dasar pendapat dalam hal wahyu belum diturunkan." Kalau sesudah itu Qur'an turun berbeda dengan yang sudah diputuskan, maka yang sudah ada itu segera tinggalkan, dan yang dipakai yang sudah diturunkan dalam Qur'an.1 Bukan sekali saja wahyu turun berlawanan dengan yang sudah diputuskan, di antaranya seperti yang sudah kita sebutkan mengenai tawanan perang Badr. Para tawanan itu menginginkan penebusan dan akan mereka membayar mahal. Mengenai hal ini Rasulullah bermusyawarah dei:igan sahabat-sahabatnya. Abu Bakr berkata: "Mereka itu masih masyarakat kita, keluarga kita, tangguhkanlah dulu kalau-kalau Allah akan mengampuni mereka. Terimalah tebusan itu untuk memperkuat kita dalam menghadapi orang-orang kafir." Tetapi Umar berkata: "Mereka sudah membohongi kita dan mengusir kita. Bawalah mereka dan penggal leher mereka. Mereka itu biang keladi kaum kafir. Allah sudah memberi kecukupan kepada kita tanpa ada tebusan." Sesudah itu Muhammad juga mendengarkan pendapat para pemuka Muslimin yang lain. Akhirnya tebusan itu diterima dan para tawanan dilepaskan. Setelah itulah turun firman Allah: "Tidaklah pantas bagi seorang nabi mempunyai tawanan perang sebelum ia menaklukkan musuh di tempat itu. Yang ingin kamu peroleh hanya tujuan duniawi semata; tetapi tujuan Allah hari akhirat. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. Sekiranya tidak karena ketentuan Allah yang sudah lebih dulu, niscaya azab yang keras menimpa kamu karena (tebusan) yang sudah kamu ambil. Maka nikmatilah apa yang sudah kamu peroleh, halal dan baik, dan bertakwalah kamu kepada Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Pengasih." (Qur'an 8: 67-69)

Setelah ayat ini turun Rasulullah berkata: "Kalau azab menimpa kita, yang akan selamat hanya Umar."

Juga wahyu berbeda dengan pendapat Rasulullah dalam soal kaum Khawalif2 yang diajak berangkat ke medan perang Tabuk dalam menghadapi pasukan Rumawi. Mereka berdalih kepada Nabi dengan berbagai alasan. Mereka meminta izin kepada Nabi untuk tetap tinggal di Medinah. Nabi pun mengizinkan. Maka turunlah firman Allah ini: "Sekiranya ada keuntungan yang segera diperoleh dan perjalanan itu sederhana, pasti mereka mengikutimu. Tetapi ternyata perjalanan begitu jauh; mereka akan bersumpah demi Allah: "Kalau kami mampu, pastilah kami berangkat bersama kamu." Mereka menghancurkan diri sendiri. Dan Allah tahu, mereka berdusta. Allah telah memberi rahmat kepadamu. Mengapa engkau memberi izin kepada mereka sebelum jelas bagimu mereka yang berkata benar, dan kamu ketahui siapa yang berdusta?" (Qur'an 9: 42-43). Sekiranya ayat ini turun sebelum Rasulullah mengizinkan kaum Khawalif pasti mereka tidak akan diberi.

Tetapi ijtihad Rasulullah yang bertentangan dengan wahyu sedikit sekali. Oleh karena itu sunah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam tetap diikuti selama tidak bertentangan dengan wahyu, begitu juga caranya berijtihad telah dijadikan contoh pula. Nabi berpegang pada kias. Ketika ia ditanya oleh seorang gadis dari Banu Khas'am: Rasulullah, ayah saya sudah tua sekali ketika ada ketentuan ibadah haji sehingga ia sudah tak mampu melaksanakan. Bergunakah buat dia kalau saya yang menghajikan? Nabi menjawab: "Kalau ayahmu itu punya utang lalu kau menunaikannya, bergunakah itu buat dia?" Gadis itu menjawab: Ya. Kata Nabi lagi: "Utang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan." Mengaitkan utang kepada Allah dengan utang kepada manusia dalam keharusan penyelesaian dan manfaatnya, itulah kias.

Dalam memutuskan perkara di antara kaum Muslimin Rasulullah berkata: "Kalian mengadu kepadaku kalau-kalau yang sebagian dari kalian lebih mengetahui mengenai alasannya dari yang lain, maka saya membenarkan dia atas dasar dari yang saya dengar dari dia. Barang siapa ada yang saya benarkan dari hak saudaranya maka yang saya putuskan itu hanya merupakan sebagian dari api (neraka)." Al-Amidi mengatakan: "Hal itu menunjukkan bahwa adakalanya ia memutuskan hal yang tidak mengenai perkara itu sendiri." Tidak heran kalau Amidi berkata begitu. Keputusan yang diambil oleh Rasulullah atas dasar bukti yang diajukan oleh lawan, dan keputusannya bukan pula dengan wahyu dari Allah, tetapi dengan pertimbangan bukti-bukti kuat yang diajukan kepadanya. Adakalanya orang yang berhak tidak mampu mengajukan bukti atas haknya itu atau tidak mampu menangkis bukti yang disampaikan oleh pihak lawan. Hakim yang adil tidak akan memutuskan dengan ilmunya, melainkan keputusan itu akan diambil berdasarkan keyakinan hati nuraninya dengan bukti yang sudah disampaikan kepadanya.

Rasulullah selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya

Keputusan hakim berbeda dengan sunah, kendati keputusan itu juga termasuk sunah jika hukum itu sudah mengatur suatu prinsip yang umumnya mencakup peristiwa-peristiwa yang sama. Sedang mengenai sunah itu sendiri prinsip-prinsip dan hukumnya yang diwajibkan oleh Qur'an sudah dijelaskan oleh Rasulullah dengan perbuatan, dengan perkataan atau dengan kedua-duanya, seperti dalam firman Allah: "… dan Kami turunkan risalah ini supaya kaujelaskan kepada manusia apa yang sudah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka renungkan." ( Qur'an 16: 44). Sunah dengan perbuatan ialah seperti salat dan haji. Rasulullah mengimami salat lima waktu dan mengatakan: "Salatlah seperti yang kalian lihat aku melakukan salat." Ketika melaksanakan ibadah haji Rasulullah berkata kepada mereka yang ikut bersama­sama: "Contohlah aku dalam melaksanakan manasik." Sedang sunah dengan perkataan disebut hadis, ada hadis yang berhubungan dengan wahyu sebagai penjelasan dan penafsirannya, ada yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari yang terjadi pada masa Nabi dan disampaikan kepadanya, lalu Nabi memberikan pendapatnya. Dalam hal­hal semacam ini Nabi memberikan itu setelah bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya sesuai dengan firman Allah: " ...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan. Jika engkau sudah mengambil keputusan bertawakallah kepada Allah." (Qur'an 3: 159).

Tatkala Nabi bermusyawarah dengan para sahabat mengenai panggilan salat, ada yang menyarankan dengan api, ada yang mengatakan dengan terompet dan yang lain menyarankan dengan genta (bel). Yang diputuskan kemudian dengan azan seperti yang sudah kita sebutkan di atas.3 Juga ia bermusyawarah dengan para sahabat jika hendak menghadapi perang. Dalam perang Uhud misalnya, akan bertahan dalam kota atau akan menyongsong musuh di pinggiran kota. Begitu juga musyawarah itu dilakukan ketika berhadapan dengan peristiwa Hudaibiah dan dalam peristiwa-peristiwa ekspedisi yang lain. Abu Hurairah mengatakan: "Saya tak pernah melihat orang begitu sering mengajak sahabat-sahabat bermusyawarah seperti yang dilakukan oleh Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam. "

Rasulullah mengajak sahabat-sahabatnya berijtihad. Ada sumber yang menyebutkan mengenai Amr bin As, bahwa dia berkata: Ada dua orang yang sedang berselisih datang mengadu kepada Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu katanya kepada saya: Amr, putuskanlah perkara mereka. Kata saya: Dalam hal ini Rasulullah, Anda lebih tepat. Nabi berkata lagi: Walaupun begitu. Kata saya: Atas dasar apa saya memutuskan? "Kalau keputusan Anda terhadap kedua orang itu tepat Anda akan mendapat sepuluh pahala, kalau Anda sudah berusaha lalu keliru Anda akan mendapat satu pahala."

Nabi mengajar para sahabat berijtihad

Ketika Rasulullah menunjuk Sa'd bin Mu'az untuk memutuskan perkara Banu Quraizah, keputusan Sa'd menjatuhkan hukuman mati kepada mereka dan menawan keluarga mereka. Nabi menyetujui pendapatnya itu. Dan tatkala Abu Qatadah membunuh seorang laki-laki musyrik dan orang lain yang mengambil perlengkapan perangnya, Abu Bakr berkata: Kami tidak bermaksud salah seorang dari singa Allah itu berperang demi Allah dan Rasul-Nya lalu kami berikan hasil perlengkapan perangnya4 kepadamu. Kembalikanlah kepadanya perlengkapan korban itu. Rasulullah berkata: "Benar, kembalikan perlengkapan perang korban itu kepadanya." Tatkala Nabi mengutus Mu'az bin Jabal ke Yaman untuk mengajarkan seluk-beluk agama kepada penduduk, Mu'az ditanya, hukum apa yang akan dipakainya, Mu'az menjawab: Kitabullah. Kalau tidak ada? tanya Nabi. Mu'az menjawab: Dengan sunah Rasulullah. Kalau tidak ada juga? Dengan pendapat saya sendiri, jawab Mu'az. Nabi menyetujuinya seraya berkata: Alhamdulillah, Allah telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah sesuai dengan yang dikehendaki-Nya dan dikehendaki Rasul-Nya." Ini sesuai pula dengan yang diberitakan tentang Rasulullah 'alaihis-saliim bahwa dia berkata kepada Abdullah bin Mas'ud: "Laksanakanlah hukum itu dengan Qur'an dan Sunah, kalau ada. Kalau dalam keduanya ketentuan hukumnya tak ada, berijtihadlah dengan pendapat pikiran Anda."

Tetapi ijtihad dengan pendapat sendiri itu pada masa Nabi dan masa-masa permulaan Islam tujuannya bukan untuk membentuk mazhab-mazhab fikih yang akan mencakup segala yang terlintas dalam pikiran orang, tetapi terbatas hanya pada peristiwa yang memang terjadi dalam masalah-masalah kehidupan yang memang memerlukan pemecahan dengan pikiran. Disebutkan bahwa Ibn Abbas mengatakan: "Saya tak pernah melihat suatu golongan yang lebih baik daripada sahabat­sahabat Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai meninggalnya ada tiga belas masalah yang mereka tanyakan, semua dalam Qur'an... Dan yang mereka tanyakan itu yang memberi manfaat kepada mereka. Umar bin Khattab mengutuk orang yang menanyakan hal-hal yang tidak ada." Disebutkan bahwa Umar bin Ishaq berkata: "Orang yang masih saya jumpai dari sahabat-sahabat Rasulullah lebih banyak dari yang sudah mendahului saya. Saya tidak melihat ada suatu golongan yang bersikap lebih luwes (tidak kaku) daripada mereka dan tidak terlalu keras."

Itu sebabnya, perselisihan yang timbul karena ijtihad yang bukan untuk membentuk mazhab tersendiri, jelas sekali dalam hal legislasi (pembentukan hukum) waktu itu. Bahkan Rasulullah melarang sahabat­sahabatnya berpecah belah dan berselisih dalam soal agama, sejalan dengan firman Allah dalam Qur'an: "...tegakkanlah agama dan janganlah berpecah belah..." [Qur’an, 42: 13], dan firman-Nya: "Mereka yang memecah-belah agama mereka dan menjadi kelompok-kelompok, sedikit pun kamu tidak termasuk mereka..." [Qur'an, 6: 159] dan banyak lagi ayat lain yang senada. Ia melarang sahabat-sahabatnya ketika dilihatnya mereka berbicara tentang takdir dengan mengatakan kepada mereka: "Mereka yang sebelum kita telah binasa karena terlalu dalam memasuki persoalan ini." Karenanya, samasekali tak ada berita dari para sahabat yang menyebutkan mereka pernah hanyut dan mau bernalar dalam masalah ilmu kalam (teologi). Kalau itu memang pernah terjadi, niscaya ada beritanya yang sampai kepada kita, seperti tentang ijtihad dengan pikiran yang mereka lakukan dalam soal-soal yang berhubungan dengan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari.

Ijtihad Muslimin yang mula-mula

Setelah Rasulullah berpulang ke rahmatullah, kaum Muslimin yang mula-mula itu memang sangat memerlukan ijtihad dengan pikiran. Ketika itu mereka meminta fatwa Rasulullah dan dia pun memberikan fatwa. Perkara-perkara yang diajukan kepadanya diselesaikan. Kalau melihat ada orang melakukan sesuatu yang baik dipujinya, kalau perbuatan jahat yang dilakukan dicelanya. Jika para sahabat mempunyai beberapa pendapat lalu disampaikan kepadanya, pendapat yang benar dibenarkannya dan yang salah dikatakannya salah. Setelah Rasulullah wafat tak ada jalan lain mereka harus memilih jalan kias dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang tak terdapat dalam nas.5 Itulah yang mereka lakukan, dan apa yang mereka lakukan itu tak seorang pun di antara mereka ada yang berkeberatan. Tetapi mereka tidak memberi fatwa sebagai suatu keharusan atau itulah yang benar; itu hanya suatu dugaan sambil mereka beristigfar kepada Allah, atau mencari jalan tengah antara kedua pihak yang saling berbeda pendapat. Seperti dikatakan Ibn Hazm dalam al-Ihkam fi Usulil Ahkam: "Mereka yang menyampaikan pendapat atas dasar pikiran, istihsan atau ikhtiar banyak sekali di antara mereka. Semoga rida Allah dilimpahkan kepada mereka. Tetapi tak ada caranya untuk menuduh seseorang bahwa dia menyampaikan pendapatnya sebagai ketentuan yang harus dipatuhi. Mereka hanya mengatakan sebagai catatan dari pihak mereka, bahwa itulah yang terlontar dalam pikiran mereka. Begitulah menurut dugaan mereka, dan demi kerukunan antara kedua pihak yang saling berbeda pendapat, dan sebagainya."6 Bagaimana mereka tidak akan berijtihad sementara persoalan-persoalan baru selalu timbul dan suasana kehidupan dalam kabilah-kabilah dan bangsa-bangsa yang harus dihadapi oleh sahabat-sahabat Rasulullah itu beraneka macam, berbeda dengan suasana kehidupan di tempat mereka. Semua itu memerlukan ijtihad, dan orang tak akan hidup tenang tanpa ada pemecahannya.

Ijtihad mereka yang pertama ialah ketika memilih Abu Bakr sebagai khalifah setelah Nabi wafat. Kita masih ingat dialog dan perdebatan yang terjadi di Saqifah Banu Sa'idah yang begitu keras sehingga hampir terjadi bencana, yang kemudian berakhir dengan dibaiatnya Abu Bakr. Sesudah Abu Bakr resmi sebagai Khalifah, mereka pernah berselisih pendapat tentang pengiriman pasukan Usamah untuk menghadapi pasukan Rumawi, yaitu ketika terjadi pembangkangan orang-orang Arab pedalaman atas pemerintahan Medinah. Kalangan Muhajirin dan Ansar berkata kepada Abu Bakr: "Mereka [yakni pasukan Usamah] Muslimin pilihan, dan seperti Anda ketahui, orang-orang Arab pedalaman itu sudah memberontak kepada kita. Maka tidak seharusnya jemaah Muslimin terpisah dari Anda." Usamah sendiri meminta kepada Umar bin Khattab agar ia kembali kepada Abu Bakr memintakan izin untuk kembali dengan pasukannya, supaya angkatan bersenjatanya dapat menghadapi kaum musyrik dan mereka tidak akan mengubrak-abrik kaum Muslimin. Tetapi jawaban Abu Bakr: "Demi Yang memegang nyawa Abu Bakr, sekiranya ada serigala akan menerkamku, niscaya akan kuteruskan pengiriman pasukan Usamah ini seperti yang diperintahkan Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Sekiranya di kota ini sudah tak ada orang lagi selain aku, pasti kulaksanakan juga."

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team