Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

24. Ijtihad Umar (1/4)

Ijtihad Umar sebelum dan sesudah menjadi Khalifah

Sesudah kabilah-kabilah yang di dekat Medinah menolak menunaikan zakat dan Abu Bakr bertekad akan memerangi mereka, ia mengumpulkan para sahabat untuk dimintai pendapat. Tetapi sebagian mereka menentang, di antaranya Umar bin Khattab. Mereka berpendapat, jangan memerangi orang yang sudah beriman kepada Allah dan sudah percaya kepada Rasulullah, dan lebih baik meminta bantuan mereka dalam menghadapi musuh. Ketika Umar berkata: "Bagaimana kita akan memerangi orang yang kata Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam: 'Aku diperintah memerangi orang sampai mereka berkata: Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul-Nya. Barang siapa berkata demikian, darah dan hartanya terjamin, kecuali dengan alasan." Abu Bakr berkata: "Demi Allah, aku akan memerangi siapa saja yang memisahkan salat dengan zakat. Zakat adalah kewajiban harta. Dikatakan 'sesuai dengan kewajiban zakat."' Kata Umar kemudian: "Sungguh, apa yang kusaksikan ternyata Allah memang telah melapangkan dada Abu Bakr dalam menghadapi perang, maka aku tahu bahwa dia benar."

Ketika terjadi ekspedisi Yamamah dan dari mereka yang hafal Qur'an banyak yang mati syahid, Umar bin Khattab datang menemui Abu Bakr yang sedang berada di Masjid. Kata Umar kepada Abu Bakr: "Pembunuhan yang terjadi dalam perang Yamamah sudah makin memuncak," katanya kemudian kepada Abu Bakr. "Saya khawatir di tempat-tempat lain akan bertambah banyak penghafal Qur'an yang akan terbunuh sehingga Qur'an akan banyak yang hilang. Saya mengusulkan agar Qur'an dihimpun." Usul yang dirasakan oleh Abu Bakr sangat tiba-tiba itu dijawab dengan pertanyaan: "Bagaimana saya akan melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam?" Maka terjadilah dialog panjang antara kedua tokoh itu yang membuat Abu Bakr kemudian puas dengan pendapat Umar. Ia memanggil Zaid bin Sabit dan menyampaikan usul Umar mengenai pengumpulan Qur'an seraya katanya: Saya katakan kepada Umar, bahwa "bagaimana saya akan melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh

Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam?" Lalu katanya: Itu sungguh bagus. Sementara dia terus mengoreksi saya sampai Allah membukakan hati saya, dan saya sependapat dengan Umar." Selanjutnya ia berkata kepada Zaid: "Anda masih muda, cerdas dan kami tidak meragukan Anda. Anda penulis wahyu untuk Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Sekarang lacaklah Qur'an itu dan kumpulkan." Zaid berkata: Bagaimana Anda berdua melakukan itu, yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka kata Abu Bakr: Itu sungguh bagus. Zaid menyudahi pembicaraan itu dengan mengatakan: Kemudian Allah membukakan hati saya seperti terhadap Abu Bakr dan Umar. Zaid meninggalkan tempat itu dan selanjutnya bekerja melacak dan menghimpun Qur'an dari lempengan-lempengan, dari tulang-tulang bahu, kepingan-kepingan pelepah pohon kurma dan dari hafalan orang.

Sesudah Perang Riddah selesai dan penyerbuan ke Irak dimulai dan Khalid bin Walid mengirimkan seperlima rampasan perang ke Medinah, Abu Bakr memerintahkan pembagian merata kepada semua orang. Tetapi Umar menegurnya dengan mengatakan: Bagaimana menyamakan orang yang memerangi Rasulullah dengan orang berperang bersama Rasulullah? Atau dengan kata-kata: Bagaimana Anda menyamakan orang yang meninggalkan rumah dan hartanya dan hijrah bersama Rasulullah, dengan orang yang masuk Islam karena terpaksa? Lalu kata Abu Bakr: Mereka telah menyerahkan diri kepada Allah maka pahalanya di tangan Allah. Dunia ini adalah sarana. Kita sudah melihat bahwa setelah menggantikan Abu Bakr Umar membeda-bedakan tunjangan itu dan menjadikan mereka bertingkat-tingkat.

Inilah beberapa contoh dari ijtihad Abu Bakr dalam soal kenegaraan secara umum. Seperti sudah kita lihat, semua mengenai soal yang sangat penting. Ijtihadnya mengenai hukum fikih antara lain: ia menetapkan nenek dari pihak ibu dapat menerima waris, tetapi nenek dari pihak ayah tidak. Beberapa orang dari Ansar berkata kepadanya: Perempuan mendapat warisan dari yang mati kalau dia yang mati tak ada yang mewarisi, dan perempuan meninggalkan harta peninggalan, kalau dia yang mati semua yang ditinggalkan diwariskan, dan antara keduanya dipersekutukan.

Ketika Abu Bakr ditanya mengenai soal kalalah7 ia menjawab: Saya katakan mengenai kalalah atas dasar pendapat saya sendiri; kalau itu benar, maka itulah yang dari Allah, kalau salah dari saya dan dari setan. Yang disebut kalalah ialah selain ayah dan anak.

Sudah kita lihat di atas dalam bab ini, dan dalam bab tiga dan bab empat sudah kita sebutkan juga ketika kita bicara mengenai Umar dalam mendampingi Nabi dan di masa Abu Bakr, tidak sedikit peranan Umar dalam berijtihad dengan pikiran, yang sebagian diperkuat oleh Qur'an, dan sebagian lagi disetujui oleh Rasulullah yang begitu kagum kepadanya, sehingga ia berkata: "Allah telah menempatkan kebenaran di lidah dan di hati Umar." Kita sudah melihat begitu Umar memulai pemerintahannya ia memerintahkan mereka untuk membebaskan semua tawanan Perang Riddah dan mengembalikan kepada keluarga-keluarga mereka, kebalikannya dari pendapat Abu Bakr sebelum itu. Ia berkata: "Aku tidak ingin melihat adanya tawanan perang menjadi kebiasaan di kalangan Arab." Dalam pengiriman pertama pasukan ke Irak dia tidak mengangkat orang dari Muhajirin dan Ansar yang mula-mula seperti yang dilakukan oleh Abu Bakr, tetapi yang diangkatnya Abu Ubaid as-Saqafi, karena dia orang yang pertama yang mencalonkan diri untuk ini setelah selama tiga hari orang masih maju mundur. Dia memecat Khalid bin Walid dari angkatan bersenjata di Syam padahal dia Saifullah sesuai dengan sebutan Rasulullah, dan dalam hal ini Abu Bakr berkata: Saya tak akan menyarungkan pedang yang oleh Allah sudah dihunuskan terhadap orang-orang kafir, dan dia sudah mampu mengeluarkan orang-orang Yahudi dan Nasrani dari koloni-koloni mereka di Semenanjung. Baik Rasulullah maupun Abu Bakr kemudian sudah mengadakan perjanjian dengan kaum Nasrani Najran mengenai jizyah yang akan mereka bayar sebagai imbalan atas penghormatan dan perlindungan kaum Muslimin terhadap mereka. Semua ini atas ijtihad Umar yang telah memperlihatkan kebijakan itu pada tempatnya.

Di samping itu kita masih melihat ijtihad Umar banyak sekali di bagian lain. Cukup kalau kita sebut misalnya ijtihadnya mengenai sanksi minuman keras (khamar) dan dalam menjauhi kota yang terkena wabah serta tindakannya menjauhi kota-kota lain. Membeda-bedakan tunjangan kepada Muslimin sesuai dengan lamanya dalam Islam serta kekerabatannya dengan Rasulullah. Banyak lagi hal lain di luar itu yang telah membawa perubahan di Semenanjung Arab dan negeri­negeri yang sudah ditaklukkan. Bab ini akan mengharuskan kita kembali kepada pembicaraan mengenai beberapa masalah, dan kita akan memasuki beberapa ijtihad Umar yang pada masanya sudah berpengaruh begitu besar. Sampai berapa jauh pengaruh persetujuan dan penolakannya itu dalam sejarah Islam dan Muslimin sesudah itu.

Sebelum menguraikan ijtihad Umar agaknya baik juga seperti yang sudah kemukakan, kita sebutkan bahwa al-Faruq Umar yakin sekali bahwa Islam adalah jiwa dan akidah. Orang tidak akan sempurna imannya sebelum ia memahami jiwa agama yang sebenarnya diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya. Oleh karena itu ketentuan-ketentuan hukurn Qur'an yang diturunkan disesuaikan dengan jiwa yang menyertainya. Jika di dalamnya terdapat sunah yang berasal dari Rasulullah - dalam kata atau perbuatan - pertalian sunah itu perlu diketahui untuk kemudian diterapkan dengan sangat hati-hati. Dengan demikian dalam mengambil keputusan jika menghadapi sesuatu, mencari petunjuk itu dengan jiwa itu, bukan dengan huruf. Karena iman yang sudah begitu kuat dan benar-benar mematuhi ajaran-ajaran Rasulullah, ia berani melakukan ijtihad, kendati secara lahir tampak berlawanan dengan nas (ayat). Jika terdapat suatu nas yang harus diterapkan tetapi tidak sejalan dengan kondisi masyarakat, maka nas itu tidak diterapkan, dan kalau kondisi masyarakat itu memerlukan penafsiran nas maka nas itu yang ditafsirkan. Keduanya itu dilakukan supaya sejalan dengan hukum yang berhubungan dengan kondisi masyarakat itu, dan sekaligus juga cocok dengan jiwa prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran Islam yang murni.

Umar melarang pemberian kepada mualaf

Ada sekelompok masyarakat Arab yang sudah menyatakan masuk Islam. Mereka itu pemuka-pemuka masyarakat. Maka Allah memberi bagian sedekah kepada mereka, dan Nabi menganjurkan agar memberikan bagian mereka untuk menyejukkan hati mereka dan memperkuat iman mereka. Mereka itulah orang-orang yang disejukkan (dilunakkan) hatinya. Firman Allah dalam Qur'an sudah menentukan pemberian kepada mereka: "Sedekah hanya untuk kaum fakir dan miskin, para amil, orang-orang yang disejukkan hatinya (mualaf)..." (Qur'an, 9: 60). Rasulullah memberikan sebagian harta rampasan perang dan zakat kepada mereka, seperti Abu Sufyan, Agra' bin Habis, Abbas bin Mirdas, Safwan bin Umayyah dan Uyainah bin Hisn. Setiap orang diberi seratus ekor unta.

Sesudah Abu Bakr menjadi Khalifah pemberian demikian sama seperti yang diberikan oleh Rasulullah. Ketika Uyainah bin Hisn dan Agra' bin Habis datang meminta tanah oleh Abu Bakr mereka diberi surat untuk itu. Sesudah kemudian Umar naik menjadi Khalifah kedua orang itu datang menemuinya untuk mendapatkan haknya. Tetapi Umar merobek surat itu dengan mengatakan: "Allah sudah memperkuat Islam dan tidak memerlukan kalian. Kalian tetap dalam Islam atau hanya pedang yang ada." Golongan ini yang dulu pernah mendapat zakat, sekarang dihentikan, dan mereka disamakan dengan kaum Muslimin yang lain.

Ini termasuk ijtihad Umar dalam menerapkan salah satu nas Qur'an itu. Sudah tentu ini adalah suatu ijtihad yang positif. Ketentuan Qur'an untuk sebagian orang Arab ini saat Islam merasa perlu menyejukkan hati mereka. Sesudah Islam menjadi kuat yang demikian ini sudah tidak diperlukan lagi dan pemberian serupa itu pun tidak berlaku. Andaikata di Persia atau Rumawi Umar melihat ada yang diperlukan oleh Islam untuk disejukkan hatinya niscaya ketentuan itu akan diperlakukan kepada mereka. Ia sudah memperlakukan itu kepada Hormuzan ketika ia datang ke Medinah kemudian menjadi Muslim. Dari sini kita lihat berlakunya tergantung pada keadaan, kepada siapa harus diperlakukan. Jika keperluan itu sudah tak ada lagi, ketentuan ini pun tidak berlaku. Inilah jiwa nas tadi. Dengan demikian penerapan itu berlaku seperti yang sudah dilakukan oleh Umar.

Soal talak tiga dengan sekali ucapan

Ada ijtihad Umar mengenai nas Qur'an yang berbeda dengan kita sekarang. Allah berfirman: "Bercerai dibolehkan hanya dua kali; maka tahanlah dengan cara yang pantas, atau Lepaskan dengan cara yang baik ..." (Qur'an 2: 229), dan selanjutnya: "Bila (pihak suami) menceraikannya, maka sesudah itu tak boleh ia mengawininya Lagi sebelum ia menikah dengan suami lain..." (Qur'an, 2: 230). Jelas bahwa yang dimaksud dalam ayat ini jika terjadi perceraian berulang kali. Sesudah terjadi dua kali perceraian suami masih boleh rujuk dengan istrinya. Tetapi sesudah talak yang ketiga sudah tak dibolehkan lagi sebelum perempuan itu menikah dengan laki-laki lain. Hikmah yang terdapat dalam nas ini jelas sekali. Perceraian atau talak berarti berakhirnya kehidupan suami-istri yang akan berakibat fatal bagi kedua pihak, dan akan berlanjut sampai kepada anak-anaknya. Juga tidak jarang pula akibat buruk akan menimpa anak-anak itu sepanjang hidupnya. Oleh karena itu Qur'an membolehkan pihak suami kembali rujuk dengan istrinya sesudah talak pertama dan sesudah talak kedua. Diisyaratkan bahwa talak itu harus didahului dengan perukunan kembali antara suami-istri sesuai dengan firman Allah: "Bila kamu khawatir terjadi perpecahan antara mereka berdua, utuslah seorang penengah (masing-masing) dari pihak keluarga suami dan dari pihak keluarga istri. Jika keduanya menghendaki kerukunan, Allah akan membukakan jalan kepada mereka..." (Qur'an 4: 35). Jika jalan keluar itu sudah tidak mungkin dan terjadi perpisahan dengan talak masih dapat dilakukan rujuk dua kali. Supaya setelah itu pihak suami-istri tidak saling menganggap enteng retaknya tali perkawinan, Qur'an mengatur dengan tidak membenarkan seorang suami kembali rujuk dengan bekas istrinya setelah talak yang ketiga, sebelum ia menikah dengan laki-laki lain. Kalau seorang suami berkata kepada istrinya: Saya jatuhkan talak tiga kepadamu, talak demikian tetap berlaku sekali, sebab talak itu dengan perbuatan, bukan dengan perkataan. Itulah yang berlaku pada masa Nabi dan masa Abu Bakr. Dalam Sahih Muslim dari Ibn Abbas ia berkata: "Talak itu berlaku pada masa Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam dan masa Abu Bakr dan dua tahun di masa kekhalifahan Umar, talak tiga itu satu kali. Umar bin Khattab berkata: "Orang tergesa-gesa dalam soal yang seharusnya berhati-hati. Seharusnya ini kita berlakukan kepada mereka. Maka diberlakukannya itu kepada mereka."

Bagaimana Umar berpendapat begitu dan memberlakukannya kepada orang padahal itu bertentangan dengan arti harfiah nas dan hikmahnya? Untuk dapat memahami ini kita harus mengacu kepada sebab turunnya ayat ini: "Bercerai dibolehkan hanya dua kali; maka tahanlah dengan cara yang pantas, atau lepaskan dengan cara yang baik ... " Ibn Jarir menceritakan dalam tafsirnya bahwa apa yang dikatakan oleh sebagian mereka bahwa "ayat ini turun karena orang-orang jahiliah dan orang-orang Islam sebelum turun ayat tersebut menceraikan istri tanpa batas yang menerangkan berakhirnya kembali rujuk dengan istri itu dalam masa idahnya. Untuk itu Allah menyebutkan suatu batas yang mengharamkan berakhirnya talak itu bagi laki-laki terhadap istri yang sudah diceraikan kecuali sesudah menikah lagi dan ketika itu si istri lebih berhak atas dirinya daripada laki-laki itu." Disebutkan bahwa ada laki-laki berkata kepada istrinya pada masa Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam: Aku tidak akan melindungimu dan tidak akan membiarkanmu boleh dikawini! Kata perempuan itu: Bagaimana caranya? Dijawab: Menceraimu, dan kalau waktu idah sudah hampir habis aku kembali rujuk lagi. Kapan dibolehkan? - yakni menikah dengan yang lain. Perempuan itu pergi menemui Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Allah menurunkan ayat ini: "Bercerai dibolehkan hanya dua kali; maka tahanlah istrimu dengan cara yang pantas, atau lepaskan dengan cara yang baik... " Orang menyambutnya sebagai hal baru, baik yang sudah diceraikan atau tidak. Qatadah sebagai sumber mengatakan: "Orang jahiliah dapat menceraikan tiga kali, sepuluh kali atau lebih, kemudian rujuk lagi dengan perempuan yang masih dalam idah. Maka Allah membatasi talak itu tiga kali."

Dari sebab turunnya ayat ini terlihat bahwa pembatasan hak laki­laki mengadakan rujuk terhadap istrinya - selama dengan berakhirnya idah itu belum bergaul, dan rujuk itu tidak lebih dari dua kali - tujuannya agar pihak laki-laki tidak merugikan pihak perempuan dan tidak membiarkannya seolah-olah ia hidup terkatung-katung. Melindungi perempuan demikian ini sesuai dengan jiwa Islam. Demikian rupa Qur'an melindungi kepentingan perempuan sehingga perempuan yang diceraikan dua kali disuruh tetap tinggal di rumah suami-istri tadi selama masa idah, dan harus mendapat perlakuan yang baik. Allah berfirman: " ...dan janganlah keluarkan mereka dari rumah-rumah mereka, juga janganlah mereka sendiri yang keluar, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang sudah jelas..." (Qur'an, 65: 1) dan "Untuk istri­istri yang diceraikan (harus diberi) biaya hidup menurut (ukuran) yang pantas... " (Qur'an, 2: 241). Firrnan-Nya lagi: "Jika waktu yang ditentukan buat mereka sudah sampai, pertahankanlah mereka dengan cara yang baik atau lepaskanlah mereka dengan cara yang baik ... (Qur'an, 65: 2), juga: " ...Dan suami-suami mereka lebih berhak rujuk jika mereka menghendaki damai (kerukunan)..." (Qur'an, 2: 228), Selanjutnya: "Apabila kamu menceraikan istrimu dan sudah cukup masanya (idah), maka janganlah dirintangi mereka menikah lagi dengan suaminya (yang dulu) jika sama-sama mereka setujui dengan cara yang pantas..." (Qur'an, 2: 232) Ayat-ayat ini dan yang lain rnelarang pihak suarni merugikan istrinya, dan gangguan ini dipandang sebagai dosa besar. Allah telah rnenentukan adanya rujuk itu untuk kerukunan. Kalau ternyata kerukunan sudah tidak mungkin, dan ternyata rujuknya suami kepada istrinya tujuannya hanya untuk membuat mudarat (merugikan) hikmah rujuk itu sudah tak ada artinya lagi.

Kemungkinan besar mereka yang menceraikan istri pada masa Umar itu tak kenal rasa kasihan sesudah mereka diceraikan. Bekas tawanan-tawanan perang Irak dan Syam begitu banyak dan menggoda penduduk Medinah dan Semenanjung. Mereka lalu cepat-cepat menceraikan istri secara berlebihan karena hendak memperturutkan nafsu. Mereka mengatakan talak tiga dengan sekali ucapan sehingga perempuan-perempuan genit itu yakin bahwa dia adalah satu-satunya orang dalam hati laki-laki itu.

Mungkin juga ada sebab-sebab lain yang mendorong sekelompok Muslimin pada masa permulaan itu dengan mempermainkan talak tiga secara sewenang-wenang dan sangat menyakiti. Dengan demikian laki­laki dapat kawin lagi dengan perempuan lain, Arab atau bukan-Arab, di luar tawanan-tawanan perang, dengan syarat agar ia menceraikan istri pertamanya dengan talak tiga dan ia tak akan boleh rujuk sebelum bekas istrinya itu kawin dengan laki-laki lain. Kalaupun terjadi rujuk, rujuk ini akan menimbulkan gejolak dalam rumah dengan akibat tidak akan membawa ketenteraman hidup rumah tangga.

Sebab-sebab yang seperti inilah yang telah mendorong Umar mengeluarkan fatwanya, dan memberlakukan talak tiga dengan sekali ucapan seolah itu talak tiga yang masing-masing terpisah. Dia melihat bahwa jika orang sudah begitu meremehkan akad pernikahannya, lalu menggabungkan talak tiga menjadi satu, orang yang telah berbuat sewenang-wenang harus memikul akibat perbuatannya itu. Dan itulah yang dikatakannya: "Orang tergesa-gesa dalam soal yang seharusnya berhati-hati. Seharusnya ini kita berlakukan kepada mereka!"

Inilah ijtihad dengan menggunakan akal pikiran yang kemudian tidak sedikit ahli fikih yang menentang pendapat Umar ini. Sampai di zaman kita sekarang pun di beberapa negeri Islam banyak orang yang menentangnya. Janganlah hendaknya ada yang berprasangka terhadap Umar, juga dia tidak berprasangka terhadap orang yang menentangnya. Umar dan sahabat-sahabat yang lain tidak memberikan fatwa dengan pendapat mereka sebagai pemaksaan, juga bukan dia sendiri yang merasa berhak, tetapi itu adalah sekadar pendapat, kalau benar dari Allah dan kalau salah dari pihaknya sendiri. Untuk itu ia beristigfar kepada Allah. Umar pernah bertemu seseorang yang sedang bermasalah lalu ditanya: Apa yang Anda lakukan? Dijawab: Ali dan Zaid memutuskan begini ... Kata Umar: Kalau saya yang begitu tentu saya lakukan begini. Kata orang itu: Mengapa tidak Anda lakukan, keputusan di tangan Anda? Umar menjawab: Kalau saya bawa Anda kepada Qur'an dan Sunah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam tentu sudah saya lakukan. Tetapi saya ingin mengajak Anda kepada pendapat saya. Dan pendapat itu kolektif. Oleh karena itu apa yang diputuskan oieh Ali dan Zaid tidak gugur. Suatu hari ketika Umar menyampaikan suatu pendapat ada yang berkata: Inilah pendapat Allah dan pendapat Umar. Orang itu dibentaknya: Tidak benar apa yang Anda katakan. Inilah pendapat Umar; kalau benar dari Allah, dan kalau salah dari Umar. Dia diam sebentar, kemudian katanya: Hukum adalah yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Janganlah pendapat yang salah hendak dijadikan suatu hukum bagi umat.

Kalaupun saya sudah menyebutkan ijtihad Umar mengenai talak tiga yang dengan satu kata dan yang secara harfiah bertentangan dengan nas dan hikmah karena sebab-sebab yang sudah saya sebutkan di atas, baik juga kalau di sini saya singgung juga, bahwa bukan hanya dalam soal ini saja ia berijtihad. Dia juga berijtihad dalam soal perkawinan dan perceraian, tentang kehidupan suami-istri dan ibu dengan ijtihad yang kemudian begitu besar pengaruhnya dalam pembentukan hukum fikih. Dialah yang melarang nikah mut’ah. Sejak itu kaum suni berjalan atas dasar pendapatnya itu. Juga Umar melarang penjualan ibu anak-anak (yang asalnya hamba sahaya) yang di masa Rasulullah dan di masa Abu Bakr dibolehkan. Ali bin Abi Talib di masa kekhalifahannya bermaksud menghidupkan kembali cara ini, dan mengatakan bahwa tak adanya penjualan itu atas dasar ijtihad dengan persetujuan dia dengan Umar, dan kadinya Ubaidah as-Salmani berkata: Pendapat Anda dan pendapat Umar bersama-sama lebih kami sukai daripada pendapat Anda sendirian. Ali menjawab: Ambillah keputusan seperti yang sudah kalian lakukan dulu. Demikianlah karena dia tidak menyukai adanya perbedaan. Tentang perempuan yang diceraikan yang masih dalam idah serta perkawinannya dengan yang bukan suaminya yang pertama, dan pewarisannya sebelum habis waktunya dan segala yang berhubungan dengan itu Umar memberi fatwa dengan fatwa-fatwa yang kebanyakannya masih berlaku sampai sekarang.

Rasanya tidak perlu saya mengulangi lagi apa yang sudah menjadi keputusan Umar mengenai hukuman terhadap peminum khamar. Hal ini di atas sudah saya singgung. Cukup kalau saya sebutkan di sini bahwa Umar sudah berijtihad mengenai penentuan hukuman dengan memakai kias (analogi) pada hukum tuduhan berzina (terhadap perempuan baik­baik) yang terdapat dalam Qur'an. Pendapat dengan akal pikiran, ijtihad dan kias itu sama, dan ijtihad ini merupakan hak seorang penanggung jawab yang berwenang membuat undang-undang dalam batas-batas ketentuan Qur'an dan Sunah.

Melarang pengutipan riwayat hadis

Sehubungan dengan Sunah Rasulullah ini Umar memegang peranan penting sekali yang patut kita perhatikan dengan saksama. Umar termasuk orang sangat kuat imannya kepada Allah dan kepada Rasulullah, dan yang sangat besar hasratnya ingin mengikuti segala yang dibawa oleh Rasulullah yang datang dari Allah serta meneladani segala yang dikatakan dan dilakukan oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi juga besar sekali hasratnya tidak ingin mencampuradukkan Kitabullah dengan apa pun, dan merintangi apa yang kadang memalingkan Muslimin dari al-Qur'anul Karim. Dalam hal ini ia sangat kuat mematuhi perilaku Rasulullah dan perilaku Abu Bakr sesudahnya. Mengutip sumber tentang Rasulullah yang berkata:

[huruf Arab]

"Jangan menuliskan sesuatu tentang aku selain Qur'an. Barang siapa menuliskan itu selain Qur'an, hendaklah dihapus."

Dan katanya lagi:

[huruf Arab]

"Kalian akan berselisih sesudah kutinggalkan. Karenanya, apa yang dikatakan orang tentang diriku, cocokkanlah dengan Qur'an. Mana yang cocok itu dari aku, dan mana yang bertentangan, bukan dari aku."8

Kecenderungan inilah yang dilihat Umar dalam kehidupan Nabi sampai ia wafat. Sumber tentang Ibn Abbas menyebutkan bahwa dia berkata: Sesudah Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam tiba ia berkata - di rumah banyak orang, di antaranya Umar bin Khattab - "Mari saya tuliskan sebuah kitab untuk kalian yang akan membuat kalian tidak akan sesat lagi sesudah itu."9 Umar berkata, bahwa sakit Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam sudah berat, pada kita sudah ada Qur’an, maka sudah cukuplah dengan Kitabullah itu. Anggota keluarga berselisih pendapat, ada yang mengatakan: Bawakan, supaya Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh tuliskan, sehingga sesudah itu kita tidak sesat. Ada pula yang berpendapat seperti yang dikatakan oleh Umar. Setelah terjadi ribut-ribut dan perselisihan pendapat di depan Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: "Pergilah kamu sekalian !" Ketika itu Ibn Abbas berkata: "Bahwa bencana yang paling besar karena tidak segera menuliskan apa yang hendak dikatakan oleh Nabi, dengan ribut-ribu dan berselisih pendapat." Dalam pada itu - wallahualam - Allah mewahyukan kepadanya, bahwa jika kitab itu dituliskan untuk mereka, sesudah itu mereka tidak akan tersesat samasekali, dan umat akan lepas dari ketentuan firman-Nya ini: " ...mereka tidak akan juga berhenti bertengkar" dengan masuknya ke dalam firman-Nya: "Kecuali mereka yang telah mendapat rahmat dari Allah..." Tetapi Allah tidak menghendaki selain pertengkaran mereka yang sudah lebih dulu ditentukan dalam ilmu-Nya seperti pertengkaran mereka yang lain. Demikianlah sumber Ibn Abbas. Tetapi Umar masih tetap dengan pendapatnya yang mengatakan: "Sudah cukuplah dengan Kitabullah." Kaum Muslimin memang mengikuti pendapat ini pada masa kekhalifahan Abu Bakr dan pada masa kekhalifahannya sendiri, kecuali ada penegasan yang sudah pasti (qat'i) dan meyakinkan bahwa hal itu memang dikatakan oleh Rasulullah.

Sumber mengenai Abu Bakr menyebutkan bahwa setelah Nabi wafat ia mengumpulkan orang dan mengatakan kepada mereka: "Kalian akan membawa-bawa hadis dari Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam dengan hadis-hadis yang saling berlainan. Orang yang datang sesudah kita lebih-lebih lagi akan saling berselisih. Janganlah kalian membawa-bawa hadis Rasulullah. Jika ada yang bertanya kepada kalian katakanlah pada kita sudah ada Kitabullah, maka halalkanlah mana yang dihalalkan dan haramkanlah mana yang diharamkan." Sesudah Umar terpilih sebagai khalifah, ia meneruskan kebiasaan Abu Bakr ini, dan melarang orang menggunakan hadis Rasulullah, supaya tidak terjadi perbedaan pendapat. Begitu keras ia melaksanakan perintah ini sehingga ada tiga orang sahabat besar yang dipenjarakannya, yaitu Ibn Mas'ud, Abu ad-Darda' dan Abu Mas'ud al-Ansari, sebab mereka terlalu banyak membawa hadis Rasulullah, kendati mereka sudah begitu berhati-hati mengutip sumbernya. Karena pengaruh perintah Umar ini pengutipan hadis menjadi sedikit sekali, sehingga Abu Amr asy-Syaibani berkata: Ketika saya sedang duduk mengelilingi Ibn Mas'ud, dia tidak berkata: Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, dan kalaupun dia berkata: kata Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam, ia agak gemetar sambil katanya: Begitulah, atau kurang lebih begitu atau kira-kira begitu. Abu Hurairah orang yang paling banyak bicara tentang hadis Rasulullah sesudah masa pemerintahan Umar. Suatu hari Abu Salamah menanyainya: Pada zaman Umar Anda membawa hadis begitu? Dia menjawab: Kalau pada masa Umar saya membawa-bawa hadis seperti yang saya lakukan sekarang kepada kalian, pasti dia akan memukul saya dengan cambuk kayunya itu.

Umar memberangkatkan Qarazah bin Ka'b dengan beberapa orang lagi ke Irak dan dia ikut berjalan bersama mereka. Setelah lepas dari kota Medinah, ia menanya kepada mereka: Tahukah kalian mengapa saya mengantarkan kalian? Mereka menjawab: Ya, sebagai penghormatan kepada kami. Di samping itu kalian akan melihat penduduk negeri itu, mereka akan seperti lebah, ramai mendengung-dengungkan Qur'an. Maka janganlah mereka diganggu dengan macam-macam hadis. Perbaikilah bacaan Qur'an kalian dan kurangilah mengutip pengambilan (riwayat) hadis dari Rasulullah dan saya bersama kalian semua. Begitu Qarazah tiba penduduk Irak berkata kepadanya: Bawakan hadis dari Rasulullah kepada kami. Ia menjawab: Umar melarang kami berbuat begitu.

Umar memang melarang orang membawa-bawa riwayat hadis, dan sangat keras ia melaksanakan perintahnya itu. Sungguhpun begitu orang masih juga mengutip hadis-hadis jika menyangkut beberapa analogi, yang sebelum itu Umar belum melarang orang meriwayatkan hadis. Yang terpenting dengan soal analogi ini ialah yang menyangkut beberapa masalah hukum pengadilan. Apa yang sudah diputuskan oleh Rasulullah dijadikan dalil dan analogi (kias). Dalam Qur'an Abu Bakr tidak melihat ada hukum waris untuk nenek yang pernah ia putuskan ketika seorang perempuan yang datang kepadanya menuntut harta warisnya, maka Mugirah bin Syu'bah berkata: Saya mendengar Rasulullah memberinya seperenam, dan Muhammad bin Maslamah juga pernah menyaksikan hal serupa, maka Abu Bakr pun mengambil keputusan demikian. Ada orang yang datang kepada Umar bin Khattab, karena sesudah memberi salam dari balik pintu sampai tiga kali Umar tidak menyuruhnya masuk, orang itu kembali. Umar menyuruh orang menyusulnya: Mengapa Anda kembali? tanyanya. Orang itu menjawab: Saya mendengar Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: "Kalau ada yang memberi salam sampai tiga kali tidak dijawab, maka kembalilah." Umar meminta penjelasan mengenai hadis tersebut dan orang itu menjelaskan. Para hakim Umar memutuskan segala perkara berdasarkan Qur'an dan hadis. Jika ada lawan berperkara mengajukan hadis atau sunah Rasulullah kepada mereka, mereka menelitinya sungguh-sungguh. Jika dapat diperkuat, maka perkara itu diputuskan. Umar tak dapat melarang orang mengacu kepada hadis atau sunah dalam perkara hukum seperti larangannya mengenai riwayat hadis. Ia khawatir riwayat itu akan makin banyak karena sebab demikian, dan didorong oleh kepentingannya sendiri, sebagian orang akan membuat-buat hadis dan direkayasanya untuk memperkuat keabsahannya. Dengan demikian akan banyak timbul hadis palsu. Itulah sebabnya terpikir ia menuliskan hadis dan sunah itu supaya orang tidak lagi menambah-nambah di luar itu, seperti yang pernah disarankannya kepada Abu Bakr sebelum itu ketika untuk mengumpulkan Qur'an.

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team