Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

24. Ijtihad Umar (3/4)

Umar melarang pengumpulan hadis, kemudian membiarkan

Tetapi tak lama setelah hal itu dipikirkan kernbali ia merasa ragu. Sahabat-sahabat Rasulullah dipanggilnya dan diajaknya bermusyawarah. Sebagian besar mereka setuju dan mereka juga menyarankan penulisan hadis dan sunah itu. Selama satu bulan ia memikirkan masalah itu, dan ia pun memohon kepada Allah untuk memberikan pilihan: Akan terus majukah atau akan mundur. Pada suatu pagi sesudah ia merasa Allah telah memberikan keteguhan hati kepadanya ia berkata: "Seperti kalian ketahui, saya pernah mengatakan kepada kalian mengenai penulisan hadis dan sunah. Kemudian saya teringat orang-orang dari Ahli Kitab sebelum kita yang menuliskan kitab-kitab. Begitu asyik mereka dengan kitab-kilab itu, dan Kitabullah mereka tinggalkan. Saya tidak akan mencampuradukkan Qur'an dengan apa pun!" Dengan demikian penulisan itu dibatalkan, dan ia menulis ke kota-kota lain dengan mengatakan: "Barang siapa memilikinya supaya dihapus."

Ketika Umar membatalkan penulisan hadis dan sunah itu dan memerintahkan orang untuk menghapus yang sudah ditulis, sudah benarkah dia ataukah salah, dan akibat kesalahannya itu tampak baru kemudian?

Kita dapat mengatakan bahwa dia salah, dan perjalanan sejarah telah menunjukkan adanya kesalahan itu. Hadis-hadis tersebut setelah itu mulai berbiak dan beredar dari mulut ke mulut tanpa batas. Dan setelah permusuhan antara Banu Umayyah dengan Banu Hasyim kembali tampak ke permukaan menyusul terbunuhnya Usman, kemudian timbul perang saudara antara Ali dengan Mu'awiah dan Aisyah melawan Ali, dan ada pula yang mendukung Ali, maka begitu banyak hadis palsu yang pro dan kontra Ali yang oleh Ali dibantah selama masa hidupnya dengan mengatakan: "Tak ada kitab yang dapat kami bacakan kepada kalian selain yang ada di dalam Qur'an, dan apa yang ada dalam lembaran ini saya ambil dari Rasulullah, di dalamnya terdapat soal kewajiban­kewajiban zakat." Kata-kata ini tidak juga dapat menghentikan tukang menciptakan hadis itu dari usahanya karena nafsu ingin mengajak orang, atau karena sifat-sifat kebaikan yang dikira akan dapat memikat orang untuk mengikutinya jika hadis itu dikaitkan kepada Rasulullah. Maka tersebarlah hadis-hadis palsu yang begitu banyak, baik karena tujuan­tujuan politik atau di luar politik, sehingga kaum Muslimin merasa sangat terkejut sebab banyak yang bertentangan dengan isi Qur'an. Usaha hendak menghentikannya di zaman Banu Umayyah tidak berhasil. Bahkan dari hari ke hari makin bertambah banyak dari sebelumnya.

Sesudah kemudian datang kedaulatan Banu Abbas dan muncul pula al-Ma'mun sesudah hampir dua abad Rasulullah wafat, sementara hadis-hadis palsu ini sudah tersebar puluhan, bahkan ratusan ribu, ada yang saling berlawanan dan bertentangan yang selama itu tidak terpikirkan. Untuk sekadar ukuran cukup kalau kita sebut misalnya al­Bukhari, ia menemukan hadis-hadis yang sedang beredar ketika itu lebih dari 600.000 hadis, dari antaranya hanya 4000 hadis yang dinilainya sahih. Sedang Abu Daud yang telah menghimpun 500.000 hadis hanya 4800 hadis yang dinyatakan sahih. Dan tidak sedikit hadis yang oleh para penghimpunnya dianggap sahih dikritik oleh ulama dan ahli fikih yang lain. Sekiranya Umar menghimpun hadis-hadis dan sunah yang dinilai paling sahih pada masanya itu, niscaya sesudah itu tidak lagi hadis-hadis yang akan berkembang biak. Setelah hadis yang sahih dalam hadis yang palsu seperti seutas bulu putih di kulit lembu jantan hitam - seperti dalam ungkapan ad-Daruqutni - pasti dapat diteliti apa yang disebutkan dalam sumber bahwa Mu'awiah mengatakan: "Pakailah hadis yang di masa Umar; ia telah mengancam orang mengenai hadis dari Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam." Tetapi karena Umar tidak sampai melakukan itu, maka banyak hadis yang diriwayatkan orang, dan orang tidak tahu lagi mana yang di masa Umar dan mana yang dipalsukan sesudahnya. Akibatnya terjadilah hadis-hadis buatan seperti yang kita lihat. Ini adalah suatu bukti bahwa Umar memang salah tatkala ia membatalkan niatnya hendak menghimpun hadis­hadis dan sunah itu, dan mengeluarkan perintah untuk menghapus semua yang sudah ditulis orang.

Kita dapat mengatakan ini, dan kita akan menjadi ragu setelah jumlahnya pada zaman Ma'mun mencapai 900.000 hadis, yang sahih di antaranya hanya empat ribu hadis. Itu pun tidak sedikit pula yang kemudian masih menjadi sasaran kritik dan sanggahan orang. Tetapi dalam menilai ini kita tidak obyektif kalau kita masih meragukannya. Umar sudah memperhitungkan, bahwa orang-orang yang akan menggantikannya kelak sebagai amirul mukminin akan mengikuti jejaknya dalam melarang orang meriwayatkan hadis, dan akan seperti dia memenjarakan siapa saja yang banyak mengumbar hadis Rasulullah. Kalaupun para pengganti itu tidak melakukannya, malah sengaja mereka menutup mata mengenai hadis-hadis yang dipalsukan karena tujuan­tujuan politik atau lainnya, dan sebagian lagi ada yang malah mendorong melakukan yang demikian, maka yang menanggung dosanya dalam hal ini bukanlah Umar, tetapi para pengganti itu sendiri. Mereka yang mendorong melakukan pemalsuan hadis-hadis itu, mereka itulah yang paling berat bertanggung jawab dan memikul segala akibatnya. Dalam keadaan seperti ini, adilkah kita mengaitkan kesalahan itu kepada Umar?!

Anggaplah misalnya Umar memerintahkan penulisan hadis dan sunah itu, kemudian timbul fitnah dan terjadi perang saudara antara Ali dengan Mu'awiah, antara Banu Umayyah dengan Banu Hasyim, lalu dalam perang dan huru-hara itu riwayat hadis dari Rasulullah dijadikan alat propaganda, masih mungkinkah orang menahan diri untuk tidak menuliskan hadis-hadis palsu dengan riwayatnya itu?! Ataukah para propagandis politik itu terus mendorong dan mengumpulkan hadis-hadis seperti yang dilakukan Umar, lalu pihak-pihak yang berkepentingan menambah-nambahkan kekuasaannya yang resmi ke dalamnya, hal yang tak pernah ada yang melakukan seperti itu atas apa yang sudah dihimpun oleh Bukhari dan para pemuka hadis yang lain sesudahnya? Kalau sudah begitu, tidaklah heran bahwa tulisan-tulisan pihak resmi itu lalu mempunyai nilai agama, hal yang sangat dikhawatirkan oleh Umar ketika ia berkata: "...saya tidak akan mencampuradukkan Qur'an dengan apa pun!" Dan saat berkata: "...ada satu golongan menulis kitab Begitu asyik mereka dengan itu dan Kitabullah mereka tinggalkan."

Sikap Umar tentang hadis terbukti kebenarannya

Kata-kata Umar ini akan lebih terbukti dan lebih memberi konfirmasi kalau saja dia menuliskan hadis-hadis dan sunah itu. Setelah itu tak akan terjadi fitnah dan tak akan ada orang membuat hadis palsu, yang jumlahnya sudah begitu banyak sehingga hadis yang sahih hanya seperti dalam seutas bulu putih di kulit lembu jantan hitam. Kitab Umar itu tidak akan berisi sanad yang dapat mengangkat hadis tersebut sampai kepada Nabi, bahkan Zaid bin Sabit atau sahabat-sahabat besar lainnya akan membuat penelitian hadis-hadis yang disebutkan orang kepadanya menurut nas dan nisbatnya, dan akan dikonfirmasi bahwa kata-kata itu tidak diragukan adalah dari Nabi. Ketika itulah orang akan berhadapan dengan dua macam kitab, yang satu yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia, dan yang satu lagi yang dikatakan Rasulullah kepada umat manusia. Lalu kedua kitab itu pada zaman pembukuannya menjadi satu pasang. Bukan tak mungkin ini dapat menjurus pada apa yang dikhawatirkan Umar, orang akan menekuni kitab hadis dan akan meninggalkan Kitabullah. Untuk itulah Umar sangat berhati-hati, dan dalam hal ini Umar telah berhasil sekali. Qur'an tetap di tangan orang dan akan tetap demikian seperti yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya, sebagai petunjuk, sebagai rahmat dan sebagai cahaya bagi umat manusia. Hadis-hadis Rasulullah yang kemudian dihimpun oleh para peneliti yang didasarkan pada sumbernya itu, tak ada orang yang mencampuradukkannya dengan Qur'an, dan tak ada pula orang yang menekuninya lalu meninggalkan Kitabullah itu karenanya. Bahkan orang kagum melihatnya dan penuh rasa hormat dengan penghargaan yang luar biasa kepada orang yang telah membuat sanad itu. Di samping itu, juga tidak menghalangi orang untuk mengujinya kembali secara menyeluruh dengan menghadapkannya kepada Qur'an, serta mengadakan kritik dari segi sanad dan matannya.

Setelah ijtihad Umar untuk menghimpun hadis dan akhirnya membatalkan niatnya itu, saya rasa yang dapat kita lihat adalah suatu ijtihad yang sepenuhnya dapat kita terima, lepas dari kita setuju atau tidak dengan pendapatnya itu.

Seperti yang sudah kita lihat, dengan adanya ijtihad Umar itu sudah seharusnya hati kaum Muslimin akan merasa tenang. Dengan demikian kita dapat mengatakan Umar adalah Imamul Mujtahidin "bapak para mujtahid." Jangan ada orang yang akan menuduh kita sudah berlebihan. Dengan ijtihadnya itu Umar samasekali tidak bermaksud hendak berspekulasi dan dia tidak menyukai yang demikian, sebab dia tahu benar bahwa ijtihad demikian itu dapat menjurus pada perselisihan, hal yang memang sangat dibencinya. Suatu hari ia mendengar Abdullah bin Mas'ud dan Ubai bin Ka'b berselisih pendapat mengenai salat seseorang dengan satu atau dua pakaian. Ketika berada di atas mimbar ia berkata: "Ada dua orang sahabat Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam berselisih pendapat. Lalu fatwa mana yang akan diikuti kaum Muslimin. Saya akan mengambil tindakan setiap saya mendengar ada dua orang berselisih pendapat sesudah saya berdiri di sini ini." Pernah juga ia berkata: "Janganlah berselisih, sebab kalau kalian berselisih pendapat, perselisihan orang-orang yang sesudah kalian akan makin keras." Seruannya untuk tidak berselisih memang sudah menjadi pegangannya sejak ia masuk Islam. Oleh karena itu ia sangat mengecam orang yang bertanya tentang apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah. Sesudah ia menjadi Khalifah besar sekali hasratnya agar Muslimin bersatu pendapatnya untuk tidak mengeluarkan pendapat sebelum bermusyawarah dengan para sahabat besar dan berdiskusi dengan mereka mengenai suatu masalah, sehingga orang merasa benar­benar puas dengan pendapat yang dikeluarkan. Dalam kitabnya H ujjatullah al-Baligah ad-Dahlawi10 berkata: "Sudah menjadi kebiasaan Umar radiallahu 'anhu bahwa dia selalu bermusyawarah dengan sahabat-sahabat dan bertukar pikiran dengan mereka sehingga segalanya terungkap dan ia merasa sejuk. Akibatnya, segala keputusan dan fatwanya diikuti orang dari ujung timur sampai ke barat."11 Dalam hal ini Ibn Mas'ud berkata: "Jika Umar memecahkan suatu masalah kita melihatnya begitu mudah."

Menolak melaksanakan hukuman karena keadaan darurat

Hukum Islam sangat berutang budi kepada ijtihad Umar, yang tidak kurang pula dari politik Islam dalam menegakkan kedaulatan, dengan pandangannya yang begitu bagus, disertai iman yang kuat dan keteguhan hatinya. Ia telah memantapkan prinsip-prinsip dan pandangan-pandangannya dalam hukum fikih, yang oleh mereka yang datang kemudian telah dijadikan pegangan, dan segaja yang berasal dari dia dipandang sebagai bukti yang sahih. Tidak sedikit dari pengaruh prinsip­prinsip itu yang penting sekali artinya. Karenanya, penerapannya tetap berlaku sampai sekarang. Dalam beberapa bidang hukum, baik dalam hukum Islam atau di luar hukum Islam sudah dianggap sebagai prinsip-prinsip universal yang sudah tak dapat dibantah lagi. Di antara prinsip­prinsip itu ialah soal hukum darurat (terpaksa). Dalam Qur'an sudah ditentukan hukum-hukum Allah yang berlaku mengenai pembunuhan, pencurian, zina, tuduhan palsu dan perampokan. Allah berfirman: "… barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah mereka itulah orang fasik," (Qur'an 5: 47). Sungguhpun begitu Umar berpendapat akan menghindari hukuman itu dengan cara darurat berdasarkan firman Allah: " ...jika dalam keadaan terpaksa bukan sengaja hendak melanggar atau mau melampaui batas maka tidaklah ia berdosa. Allah Maha Pengampun, Maha Pengasih," (Qur'an 2: 173).

Suatu hari orang-orang membawa seorang perempuan yang melakukan perbuatan zina dan dia memang mengakui perbuatannya. Umar memerintahkan agar dia dirajam. Tetapi Ali bin Abi Talib berkata: Barangkali dia masih dapat mengemukakan alasan! Kemudian ia ditanya: Apa yang membuatmu berbuat begitu? Perempuan itu menjawab: Saya mempunyai seorang teman. Dalam untanya masih ada air susu, sedang dalam unta saya tak ada air juga tak ada susu. Saya sangat haus; saya minta diberi air tetapi dia menolak kecuali kalau saya bersedia menyerahkan diri. Tetapi saya menolak, sampai tiga kali. Saya sudah begitu haus dan sesudah saya rasa saya sudah akan mati maka saya berikan apa yang dimintanya itu. Lalu ia memberi saya minum. "Allahu Akbar!" kata Ali. " ... jika dalam keadaan terpaksa bukan sengaja hendak melanggar atau mau melampaui batas maka tidaklah ia berdosa. Allah Maha Pengampun, Maha Pengasih." Dalam Sunan oleh Baihaqi dari Abu Abdur-Rahman as-Sulami ia melaporkan bahwa ada seorang perempuan yang sudah kepayahan karena kehausan dibawa kepada Umar. Ketika sedang melalui seorang gembala ia meminta diberi minum gembala itu menolak kecuali jika ia menyerahkan dirinya, maka ia pun menyerah. Umar mengadakan musyawarah untuk menjatuhkan hukum rajam, tetapi Ali berkata: Ini keadaan terpaksa; saya berpendapat, lepaskan saja dia. Oleh Umar dia dibebaskan.

Diceritakan bahwa ada sekelompok pemuda pembantu-pembantu Hatib bin Abi Balta'ah mencuri seekor unta milik orang dari Muzainah. Ketika dibawa kepada Umar mereka mengaku. Kusayyir bin as-Salt meminta agar mereka dijatuhi hukuman potong tangan. Setelah pergi ia dipanggil kembali lalu katanya: Sungguh kalau tidak karena saya tahu kalian memanfaatkan mereka dan membuat mereka kelaparan sehingga jika sekiranya ada dari mereka yang memakan makanan yang diharamkan oleh Allah mereka halalkan, niscaya saya potong tangan mereka. Kemudian ia menujukan kata-katanya kepada Abdur-Rahman bin Hatib bin Abi Balta'ah dengan katanya: Demi Allah, kalau saya tidak melakukan itu pasti saya denda kalian dengan denda yang sangat menyakitkan Anda! Setelah itu katanya lagi: Hai orang Muzainah (pemilik unta), berapa Anda hargai unta Anda itu? Empat ratus, jawabnya. Umar berkata kepada Abdur-Rahman: Pergilah dan berikan kepadanya delapan ratus, dan bebaskan anak-anak muda pencuri itu dari tuduhan pencurian, sebab Hatib yang telah memaksa mereka mencuri; mereka dalam kelaparan dan mereka sekadar mencari hidup.

Persamaan di depan hukum

Dari antara prinsip-prinsip yang sudah dibuat oleh Umar itu yang sampai sekarang di kebanyakan negara yang sudah maju masih tetap berlaku ialah prinsip persamaan di depan hukum. Dia menulis hal itu kepada Abu Musa al-Asy'ari dan hakim-hakim yang lain seperti yang sudah kita lihat, dan dia sendiri melaksanakannya dengan sangat teliti sekali. Di atas sudah kami sebutkan beberapa contoh yang sudah dipraktekkannya.

Dalam hal ini contoh yang cukup menonjol kasus Jabalah bin al­Aiham al-Gassani. Sejalan dengan cerita ini ialah yang telah terjadi ketika ada orang Yahudi mengadukan Ali bin Abi Talib kepada Umar, sedang kedudukan Ali terhadap Nabi di mata kaum Muslimin umumnya sudah sama-sama kita ketahui. Tetapi ia berkata kepada Ali: Abul Hasan, duduklah berhadapan dengan lawanmu itu. Atau berkata: Perlakukan samalah lawan Anda itu. Ali menyamakan dirinya dan duduk berhadapan dengan lawannya itu dengan menampakkan muka kesal. Sesudah perkaranya selesai Umar berkata: Ali, rupanya Anda tidak senang duduk berhadapan dengan lawan Anda? Setelah itu ada sumber yang menyebutkan bahwa Ali menjawab: "Tidak! Tetapi saya tidak senang karena Anda tidak mempersamakan ketika Anda memanggil saya dengan Abul-Hasan." Maksudnya sebutan itu memperlihatkan penghormatan kepadanya. Kata-kata Ali ini tidak menafikan bahwa Umar sangat menjaga adanya persamaan semua orang di depan hukum, dan dia melihat bahwa persamaan ini merupakan syarat keadilan yang pertama, lepas dari soal penilaian hakim sendiri suka atau tidak suka terhadap salah satu pihak yang berperkara.

Pengaruh persamaan ini dan masuknya perasaan lega dalam hati orang yang berselisih dapat kita lihat dalam dialog yang dibawakan oleh Ibn Tabataba dalam bukunya al-Fakhri fil Adab as-Sultaniyah ketika Umar berkata kepada seorang laki-laki: Aku mencintaimu. Orang itu bertanya: Lalu ada hak saya yang akan Anda kurangi? Tidak, kata Umar. Orang itu berkata lagi: Yang menyukai cinta begini hanya kaum perempuan.

Mungkin kita masih akan mengira bahwa prinsip persamaan di depan undang-undang itu bukan suatu ijtihad dalam hukum (yurisprudensi), dan menyebutkan hal ini dalam membicarakan ijtihad Umar merupakan hal yang tidak perlu. Sebenarnya itu adalah suatu ijtihad yang luar biasa, dan sampai sekarang masih banyak di antara bangsa-bangsa yang berusaha hendak mewujudkan prinsip ini, yang pada bangsa-bangsa lain baru terwujud pada waktu-waktu belakang ini saja. Rasanya cukup kalau saya sebutkan beberapa keistimewaan yang diberikan kepada orang-orang asing dalam legislasi dan hukum dalam Imperium Usmani sampai waktu belakangan ini, dan apa yang masih berlaku di Mesir sampai akhirnya habis samasekali - agar dapat kita lihat apa yang dilakukan Umar itu sepenuhnya adalah yurisprudensi, dan sepenuhnya ijtihad. Jika di samping itu kita sebutkan beberapa revolusi yang terjadi di Eropa, dalam abad ke-18 dan ke-19, tak lain tujuan pertamanya adalah hendak mewujudkan adanya persamaan di mata undang-undang dan di pengadilan, dan bahwa prinsip persamaan itu merupakan prinsip pertama yang ditetapkan oleh revolusi Prancis dan diperkuat oleh piagam hak asasi manusia. Tentu kita sudah tidak ragu lagi bahwa prinsip inilah yang diusahakan oleh Umar dari dasar hukum Islam itu. Dan Umar memang sudah menghadapi perkembangan orang-orang Arab dari keadaan kesukuan di pedalaman yang memang sudah tidak lagi mengenal administrasi pemerintahan dan pengadilan masyarakat, kepada keadaan madani serta sistem Islam yang berdiri di atas dasar persamaan di depan undang-undang dan di depan pihak yang melaksanakan undang-undang itu.

Yang tak terdapat nasnya dalam Qur'an Umar berijtihad sendiri

Perkembangan baru dalam kehidupan orang Arab yang termasuk dasar hukum yang dihadapi Umar ialah ijtihadnya dalam menguraikan segala yang tidak terdapat nasnya yang jelas dalam Qur'an. Qur'an sudah menentukan suatu sistem waris yang tak pernah dikenal sebelum Islam, dan bagi yang mendapat waris sudah ditentukan pula haknya. Tetapi perinciannya dalam nas itu tidak diuraikan. Kita sudah melihat sikap Abu Bakr mengenai warisan nenek dari pihak ibu. Ada beberapa soal lain yang diajukan kepada Umar, yang tidak terdapat nasnya dalam Qur'an ataupun dalam sunah, tetapi harus dipecahkan dengan jalan ijtihad berdasarkan pendapat dan pikiran, di antaranya ialah masalah yang terkenal dengan sebutan al-mas'alah al-'umuriyah atau al­mas'alah al-hajriyah yang memperoleh bagian adalah saudara laki-laki pewaris dari pihak ibu, sedang saudara kandung pewaris tidak memperolehnya. Sesudah hal ini disampaikan kepada Umar, ia memberikan fatwa bahwa saudara kandung, saudara dari pihak ibu dan saudara dari pihak ayah sama-sama mendapat. Tidaklah adil karena saudara kandung lalu tak mendapat bagian. Karenanya ia berkata: Anggaplah ayahnya itu batu - sumber lain menyebutkan keledai - ia mewarisinya dari peninggalan sebagai saudara dari pihak ibu bersama-sama dengan saudara­saudara seibu yang lain.

Umar telah menghadapi berbagai rnasalah waris yang tidak ringan sesudah terjadi wabah Amawas di Syam yang telah menelan korban ribuan jiwa. Masalah waris ini menjadi kusut masai yang selama bertahun-tahun proses pengadilannya menimbulkan kesulitan besar pada semua bangsa. Sesudah keadaan kembali seperti biasa Umar sendiri pergi ke Syam. Ia mengatur dan mengurus segala masalah yang dipandang perlu. Salah satu pekerjaan yang harus diselesaikannya, mengatur soal pembagian waris kepada para ahli waris dan memisahkannya pula kepada kabilah-kabilah dari masing-masing ahli waris itu. Kita dapat membayangkan betapa cermatnya hal itu dikerjakan serta kemungkinan akan timbulnya perselisihan karenanya. Tetapi bukan maksud saya hendak menguraikan semua ini; saya hanya ingin menyinggung selintas ijtihad yang dilakukan oleh Umar dalam menghadapi segala kesulitan yang begitu pelik itu; namun semua dapat diselesaikannya hanya dalam beberapa minggu saja dan dapat diterima oleh semua kaum Muslimin. padahal mereka masing-masing dengan kepentingannya sendiri. Ini suatu bukti yang nyata sekali bahwa semua orang merasa puas dengan ijtihad yang dilakukan atas dasar keadilan itu.

Pembagian tanah pada Muslimin yang membebaskannya

Sekarang saya ingin berpindah ke masalah ijtihad Umar yang terpengaruh oleh kebijakannya secara umum dalam soal-soal kedaulatan yang baru tumbuh itu serta kecenderungannya dalam menghadapi tahap­tahap baru. Dalam memperluas daerahnya itu besar pula pengaruhnya, yakni ijtihadnya sehubungan dengan kawasan yang dibebaskannya secara paksa di Irak dan di Syam.

Kita sudah melihat pihak Muslimin yang telah mendapat kemenangan di Kadisiah, kemudian menaklukkan Mada'in, Jalula, Hims, Halab (Aleppo) dan kota-kota lain dengan segala rampasan perangnya. Setiap rampasan perang seperlimanya dikirimkan kepada Amirulmukminin dan empat perlimanya dibagikan di antara anggota pasukan yang menang perang. Hal ini sesuai dengan firman Allah: "Dan ketahuilah, segala yang kamu peroleh dari rampasan perang, seperlima untuk Allah dan untuk Rasul, untuk kerabat dan anak yatim, untuk orang miskin dan yang terlantar dalam perjalanan..." (Qur'an 8: 41). Setelah membebaskan tanah Sawad di Irak mereka bermaksud mengadakan pembagian dengan cara itu, seperlimanya untuk baitulmal, dan yang selebihnya dibagikan kepada para anggota pasukan yang terlibat dalam pembebasan itu. Tetapi Umar berbeda pendapat dengan mereka mengenai pembagian tanah itu dengan mengatakan: Bagaimana dengan kaum Muslimin yang datang dan mendapati tanah dengan orang-orang Persia kafirnya12 sudah dibagi dan diwarisi dari nenek moyang dan menjadi milik mereka. Ini tak dapat diterima. Abdur-Rahman bin Auf dalam hal ini berkata: Tanah dan orang-orang Persia kafir itu tidak lain adalah yang sudah diberikan Allah kepada mereka, yakni kepada para prajurit yang menang. Dijawab oleh Umar: Itulah yang Anda katakan, tetapi saya tidak sependapat. Sesudah saya ini tak akan ada negeri yang dibebaskan lalu memberi hasil yang besar. Bahkan jangan-jangan menjadi beban bagi kaum Muslimin. Kalau kita bagikan tanah Irak dengan orang­orang asing kafirnya, tanah Syam dengan orang-orang asing kafirnya, lalu dengan apa kesenjangan itu ditutup dan apa lagi buat anak-anak dan para janda di negeri ini dan tempat-tempat lain di Syam dan Irak!

Para prajurit itu tidak puas dengan kata-kata Umar. Banyak mereka yang mengecamnya dengan mengatakan: Anda hendak mewakafkan apa yang diberikan Allah kepada kami yang kami peroleh dengan pedang kami untuk golongan orang yang tidak ikut hadir! Tetapi Umar tetap bertahan dengan pendapatnya dengan hanya mengatakan: Itulah pendapat saya. Setelah mereka melihat Umar begitu bersikeras, mereka berkata: Musyawarahkanlah. Sesudah kaum Muhajirin yang mula-mula dikumpulkan mereka berbeda pendapat. Tinggal Abdur-Rahman bin Auf yang masih bertahan dengan pendapatnya agar hak-hak mereka itu dibagikan. Tetapi Usman, Ali dan Talhah sependapat dengan Umar. Umar mengundang sepuluh orang pemuka-pemuka Ansar, lima orang dari Aus dan lima orang dari Khazraj dan ia berkata kepada mereka: "Saya tidak ingin mempersulit kalian selain meminta kalian ikut bersama-sama memikul amanat mengenai persoalan kita ini. Saya hanya salah seorang seperti kalian, dan sekarang kalian mau mengakui atas dasar kebenaran; siapa yang tidak setuju dan siapa yang setuju dengan saya, silakan. Saya tidak ingin kalian mengikuti apa yang saya kehendaki. Di depan kalian ada Kitabullah yang hanya mengatakan yang benar. Sungguh, apa yang saya katakan, yang saya inginkan hanyalah yang benar!" Mereka berkata: "Katakanlah Amirulmukminin, kami akan mendengarkan!" Umar berkata lagi: "Kalian sudah mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang itu, yang mengira bahwa saya telah memperkosa hak-hak mereka, dan saya berlindung kepada Allah bahwa saya hendak melakukan perbuatan yang merugikan. Kalau saya sampai merugikan mereka sedikit sekalipun yang seharusnya menjadi hak mereka dan saya berikan kepada yang lain maka saya telah menganiaya diri saya sendiri. Tetapi saya berpendapat, tak ada lagi yang akan dapat dibebaskan sesudah negeri Kisra ini. Allah telah memberikan kepada kita sebagai rampasan perang harta mereka, tanah mereka dan orang­orang mereka. Harta yang mereka peroleh sebagai rampasan perang sudah saya bagikan kepada yang berhak, dan saya keluarkan seperlimanya dan sudah saya salurkan sebagaimana mestinya, dan saya sendiri yang membimbingnya. Saya berpendapat akan menahan kedua negeri itu dengan orang-orang kafir asingnya dan akan saya kenakan kharaj serta jizyah yang harus mereka bayar. Itulah yang akan menjadi rampasan perang bagian pihak Muslimin yang berperang dan anak-anaknya dan mereka yang datang kemudian. Kalian lihat tempat-tempat perbatasan dengan musuh yang masih rawan itu? Harus ada orang-orang yang menjaganya. Kalian lihat kota-kota besar itu? Semua itu harus diisi oleh angkatan bersenjata, dan kita harus memberikan bekal yang cukup banyak kepada mereka! Apa yang akan dapat diberikan kepada mereka kalau semua tanah dan orang-orang asing kafir itu dibagikan?!"

Kita sudah melihat dialog dengan segala argumennya ini, dan ini membuktikan bahwa perdebatan antara Umar dengan mereka yang mendakwakan diri berhak atas tanah Irak itu terjadi begitu sengit, sehingga karena sengitnya sampai mereka menuduh Amirulmukminin telah melakukan perbuatan zalim, kendati Amirulmukminin tetap bersikeras dengan pendapatnya, yang dalam pendapatnya itu ia tidak berpegang pada nas Qur'an atau sunah yang sudah ada contohnya dari Rasulullah, tetapi kemaslahatan umum bagi negara dan politiknya itulah yang dijadikan dasar. Jadi itu semata-mata pendapat Umar, dari hasil ijtihadnya, dan untuk memperkuatnya ia mengemukakan argumen-argumen yang membuat Usman, Ali dan Talhah merasa puas, dan kesepuluh orang Ansar yang mendengar argumennya itu pun mengatakan: "Terserah kepada pendapat Anda. Pendapat Anda dan apa yang Anda katakan itu memang bagus sekali ! Kalau anggota-anggota pasukan tidak ditempatkan di daerah-daerah perbatasan yang rawan dan dalam kota-kota untuk memperkuatnya, niscaya orang-orang kafir itu kembali lagi ke dalam kota."

Umar sudah merasa puas dengan pendapatnya itu, dan tak ada lagi pihak oposisi yang akan membatalkannya. Dalam hal ini ia berkata: "Sekarang jelas buat saya, siapa orang yang berpikir sehat, yang akan menempatkan tanah ini di tempatnya, dan membiarkan orang-orang Persia kafir itu apa yang dapat mereka lakukan?" Mereka sependapat akan meminta Usman bin Hanif dengan mengatakan: "Utuslah dia ke tempat yang lebih penting. Pandangan dan pikirannya baik sekali dan dia sudah berpengalaman." Umar kemudian mengangkatnya untuk daerah Sawad. Karena kebijakannya yang baik, dari Kufah saja - setahun Umar terbunuh - ia sudah dapat mengumpulkan seratus juta dirham, dan berat dirham ketika itu sama dengan berat satu miskal.

Gambaran yang paling baik yang menjadi keputusan Umar sekitar pembagian rampasan perang itu ialah suratnya yang dikirimkan kepada Sa'd bin Abi Waqqas, sesudah ia bermusyawarah dengan sahabat­sahabatnya dan menjelaskan segala masalahnya. Dalam surat itu ia mengatakan: "Surat Anda yang menyebutkan bahwa banyak orang yarig menanyakan kepada Anda tentang pembagian rampasan perang di kalangan mereka, sudah saya terima. Begitu surat saya ini Anda terima lihatlah perlengkapan dan harta yang diserahkan orang kepada Anda untuk diberikan kepada tentara. Maka bagikanlah kepada Muslimin yang hadir, dan tinggalkanlah dua lahan tanah dan sungai-sungai untuk mereka yang menggarapnya, agar dengan begitu menjadi pemberian kaum Muslimin. Kalau Anda sudah membagikannya di kalangan mereka yang hadir, mereka yang datang kemudian tidak lagi mendapat bagian."

Dialog semacam ini telah terjadi antara Umar dengan sahabat­sahabatnya seusai pembebasan Syam. Sahabat-sahabatnya mengajaknya beradu argumen selama kurang lebih dua atau tiga hari. Sekelompok jemaah Muslimin menghendaki agar Umar membagikan tanah Syam itu kepada mereka seperti ketika Rasulullah membagi Khaibar. Orang yang paling gigih dalam hal ini Zubair bin Awwam dan Bilal bin Rabbah. Tetapi jawaban Umar kepada mereka seperti ketika menjawab orang mendebatnya mengenai tanah di Irak: Jadi kaum Muslimin yang sesudah kalian tidak mendapat bagian. Tanah itu tidak dibagikan tetapi dibiarkan untuk mereka yang menggarapnya agar dengan begitu menjadi pemberian kaum Muslimin.

Inilah ijtihad Umar mengenai tanah yang diperoleh Muslimin dari rampasan perang. Ijtihad ini, meminjam ungkapan Abu Yusuf dalam kitab al-Kharaj: "Merupakan keberhasilan yang diberikan Allah atas segala yang telah dilakukan Umar dan itulah yang terbaik yang telah diberikannya kepada kaum Muslimin. Segala yang menurut pendapatnya dengan pengumpulan kharaj itu dan pembagiannya kepada kaum Muslimin, sudah sesuai dengan kepentingan mereka umumnya. Tanpa adanya ketentuan demikian dalam pemberian dan pembayaran, daerah­daerah perbatasan dengan musuh yang berbahaya itu tidak akan dapat diatasi dan dalam meneruskan perjuangan angkatan bersenjata tidak pula mampu mengadakan perjalanan dan mengusir kembali orang-orang kafir musuh ke kota mereka setelah selesai pertempuran. Di mana pun yang terbaik itu Allah juga lebih tahu."

***

Ini sekadar beberapa contoh dari ijtihad Umar mengenai beberapa hal penting, terutama yang berhubungan dengan kepentingan negara. Di balik itu ijtihadnya sekitar legislasi (perundang-undangan) dan fikih sudah banyak diungkapkan dalam kitab-kitab fatwa dan dijadikan pegangan utama oleh keempat imam mazhab dan kalangan ahli fikih sunni dan yang lain. Bukan maksud saya hendak menelaah fatwa-fatwa itu sampai sedalam-dalamnya atau mencatat semua ijtihadnya. Sudah tentu penjabarannya tidak termasuk dalam ruang lingkup pembahasan sekitar kedaulatan Islam dan kebangkitannya itu. Tetapi yang ingin saya ungkapkan dalam bab ini pengaruh Umar yang begitµ besar dalam perkembangan kehidupan umum di negeri Arab dan negeri-negeri yang dibebaskan orang-orang Arab itu, baik dari segi politik dan ekonomi maupun dari segi sosial.

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team