|
Sanggahan terhadap Dialog 34
Orang yang meneliti benar-benar sejarah Nabi tidak akan
menemukan pengertian seperti yang dikemukakan al-Musawi,
dalil tidak akan menemukan hadits itu kecuali sekali saja,
pada perang Tabuk, ketika Nabi mengangkat 'Ali sebagai
penggantinya di Madinah. Kepada 'Ali Nabi berkata: "Tidakkah
engkau merasa puas dengan kedudukanmu di sisiku seperti
kedudukan Harun di sisi Musa?". Pembicaraan mengenai hadits
ini sudah dikemukakan pada sanggahan Dialog 28 dan 30.
Hadits pertama Nabi bersabda: Aku menamai mereka
(anak-anak 'Ali) seperti nama-nama putra Harun: Syabir dan
Musybir. Di dalam sanad hadits ini terdapat Yunus ibn Abi
Ishak. Berkata Abu Hatim: Ia jujur, tapi tidak dapat
dijadikan hujjah. Menurut an-Nasa'i, tidak ada kekurangan
padanya. Ibn Kharrasy mengatakan bahwa dalam hadits Yunus
terdapat kelemahan. Ibn Hazm berkata dalam kitab al-Mahally:
Yahya al-Qaththan dan Ahmad ibn Hanbal sangat mendha'ifkan
Yunus. Yahya ibn Sa'id berkata: Ia pelupa. Menurut Ahmad,
haditsnya mudlatharib. Menurut Abi Maryam dan ad-Darimi,
mengutip pendapaf Ibn Ma'in, ia tsiqat (Al-Mizan,
4/482).
Dalam sanadnya juga terdapat Hani ibn Hani'. Ibn
al-Madini berkata: Ia majhul (tidak dikenal). Menurut
Nasa'i, tidak ada kekurangan padanya. Ibn Hibban
memasukkannya dalam kelompok rawi-rawi yang tsiqat.
Dari pendapat-pendapat ulama jarh wat-ta'dil di atas,
nyata bahwa hadits itu dha'if Karena sebagian besar dari
mereka memandang cela perawi-perawi hadits itu, dan mereka
lebih mengetahui keadaan para perawi itu.
Dalam hadits itu tidak ada hal yang menunjukkan persamaan
umum antara 'Ali dan Harun. Ini sudah dikemukakan dalam
komentar atas Dialog nomor 28 dan
30.
2. Mengenai pengukuhan tali persaudaraan, sudah
dikemukakan keterangan dan penjelasannya dalam komentar atas
Dialog nomor 32.
Mengenai perkataan Nabi sambil menepuk bahu 'Ali: "Ini
adalah saudaraku, washiku, dan penggantiku diantara kalian.
Dengarlah kata-katanya dan patuhilah dia!". Pembahasan
mengenai hadits ini sudah dibicarakan pada permulaan bab ini
dan dalam Dialog nomor 20. Dalam hadits ini terdapat perawi
yang bernama Abu Maryam al-Kufi yang disepakati untuk
ditinggalkan haditsnya. Ahmad berkata: Ia tidak tsiqat.
Kebanyakan haditsnya palsu (bathil). Menurut Ibn al-Madini,
ia biasa membuat-buat hadits.
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar
al-Khawarizmi: "Telah datang kepadaku berita yang
manggembirakan dari Tuhanku mengenai saudaraku dan putra
pamanku, serta mengenai putriku, yaitu bahwa Allah telah
menjodohkan 'Ali dengan Fathimah." Hadits ini sama sekali
tidak ada dasarnya, dan tidak diriwayatkan oleh salah
seorang pun dari Ashab as-Sunan. Bahkan sambungan hadits ini
menunjukkan dengan jelas kepalsuannya. Setiap orang yang
mengerti ilmu agama, akan mengetahui kepalsuan ini.
Sambungan hadits ini sebagai disebut dalam kitab
ash-Shawa'iq al-Muhriqah adalah sebagai berikut:
"
Allah memerintahkan kepada Malaikat Ridhwan penjaga
surga. Maka dia lalu menyiapkan sebuah pohon keberuntungan
(syajarah tuba) yang penuh dedaunan, berupa
lembaran-lembaran kertas sejumlah orang-orang yang cinta
kepada Ahlul Bait: Di bawah pohon itu berdiri para malaikat
yang berasal dari cahaya, dan kepada masing-masing dari
mereka diberikan selembar kertas. Setelah proses kiamat
selesai, maka para malaikat mengundang atau memanggil semua
makhluk. Lalu kepada setiap orang yang mencintai Ahlul Bait
diberikan selembar kertas yang berisi pembebasan dari api
neraka. Dengan begitu, maka saudaraku, anak pamanku, dan
putriku menjadi pembebas setiap orang, lelaki maupun
perempuan, dari ummatku dari api neraka". Jika anda
memperhatikan hadits ini, pasti anda menemukan
kedha'ifannya, baik dari segi suSunan katanya yang jauh
berbeda dengan uslub sabda nabi, maupun dari segi maknanya
yang bertentangan dengan ketetapan yang ada dalam al-Kitab
dan Sunnah, yaitu bahwa orang-orang mu'min yang durhaka akan
masuk neraka dan mereka akan disiksa sesuai dengan kadar
kedurhakaan mereka. Hadits di atas memang sesuai dengan
kepercayaan kaum Rafidhah yang berpandangan bahwa tindak
kemaksiatan tidak berdampak apa-apa bagi orang yang
mencintai Ahlul Bait. Sebaliknya tindak kepatuhan tidak
mempunyai nilai sama sekali bagi orang yang benci kepada
Ahlul Bait. Al-Khatib berkata: Perawi-perawi hadits ini
antara Bilal dan 'Umar ibn Muhammad. Mereka semua tidak
dikenal (majhul) (Riyadh al-Jannah, hal. 186).
Adapun sabda Nabi: "Ini adalah saudaraku, putra pamanku,
menantuku dan ayah dari anak cucuku adalah berasal dari
Thabrani dalam kitab al-Kabir dari Hubsyi ibn Janazah.
(al-Muntakhab 5/32). Bukhari berkata: Isnad hadits Hubsyi
bisa dipertimbangkan. Ibn Adi berkata: Aku berharap tidak
ada kelemahan padanya. (al-Khutashah, hal. 97).
Adapun hadits "Engkau adalah saudaraku dan temanku di
surga" diriwayatkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam
tarikhnya. Sudah dimaklumi bahwa hadits yang disandarkan
pada sumber tersebut dha'if, sebagaimana dijelaskan oleh
penulis al-Muntaqa.
Menurut al-Albani, hadits itu maudhu', diriwayatkan oleh
al-Khathib 12/368. Al-Albani berkata: 'Utsman ibn 'Abdul
Rahman adalah orang Quraisy yang suka berdusta. Syaikh
al-Islam Ibn Taimiyah berkata: Semua hadits mengenai
pengukuhan tali persaudaraan adalah dusta. Adz-Dzahabi
menyatakan hal serupa dalam ringkasan kitab Minhaj. (Riyadh
al-Jannah, hal. 187).
Mengenai sabda Nabi kepada 'Ali dalam suatu peristiwa
antara 'Ali dan saudaranya Ja'far dan Zayid ibn Haritsah,
terdapat dalam Kitab Musnad Ahmad dari 'Ali. Ia berkata:
Ketika kami keluar dari kota Makkah. Putri Hamzah menyusul
di belakang kami seraya berseru: Wahai paman! wahai paman!
'Ali berkata: Aku pegang tangannya dan aku serahkan kepada
Fathimah. Aku katakan kepadanya: Menjadi tanggung jawabmu
putri pamanmu! Setelah kami sampai di Madinah, kami
berselisih paham (bertengkar), yaitu antara aku, Ja'far dan
Zayid ibn Haritsah. Ja'far berkata: Ia putri pamanku dan
saudari ibunya (bibi) bersamaku, yaitu Asma' putri Humais.
Zayid berkata: Ia putri saudaraku. Aku berkata: Aku harus
mengambilnya, sebab dia putri pamanku. Lalu Rasulullah saw
bersabda: Adapun engkau, wahai Ja'far, menyerupai perawakan
dan perangaiku. Sedang engkau 'Ali, berasal dari dagingku
dan aku dari dagingmu. Adapun engkau Zayid, adalah saudara
dan kekasihku. Anak gadis itu harus bersama bibinya, sebab
bibi itu sama dengan orang tua. Aku bertanya kepada nabi:
Adakah engkau hendak mengawininya? "Tidak", jawab nabi, ia
adalah putri saudaraku satu susuan!
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits serupa dari
Barra' ibn 'Azib. Hadits ini menceritakan kisah putri Hamzah
ketika 'Ali, Ja'far dan Zayid berselisih paham tentang
dirinya. Rasulullah memutuskan putri Hamzah harus bersama
bibinya. Dengan begitu ia berada di bawah asuhan Ja'far.
Rasulullah berkata kepada 'Ali: "Engkau dari darah dagingku
dan aku dari darah dagingmu." Perkataan Nabi kepada 'Ali ini
bukanlah suatu kekhususan, juga tidak menunjuk pada
keutamaan maupun imamah. Sebab hal serupa juga diucapkan
Nabi kepada selain 'Ali. Di dalam Sahih Bukhari dan Muslim
diceritakan bahwa Nabi berkata tentang kaum Asy'ariyin:
"Mereka dari aku dan aku dari mereka." Demikian pula
perkataan Nabi tentang Julaib: "Ia dari aku dan aku dari
dia."
Akan tetapi dalam hadits yang dikemukakan oleh al-Musawi
terdapat Hani ibn Hani dalam sanadnya. Menurut ibn
al-Madini, ia majhul. Juga terdapat Hubairah ibn Maryam.
Menurut an-Nasa'i, ia tidak kuat (lemah). Ibn Kharasy
berkata: Ia menganiaya korban-korban perang Siffin. Menurut
al-Jauzjani, ia sengaja menganiaya orang-orang yang terbunuh
pada perang Siffin (yaumal Jazar) (Al-Mizan, 4/291,
293).
Adapun hadits yang dikemukakan al-Musawi mengenai janji
nabi kepada 'Ali, yaitu "Engkau adalah saudaraku, wazirku,
yang membayar hutang-hutangku, memenuhi janjiku, dan
melepaskan aku dari amanat yang menjadi bebanku", adalah
cuplikan yang dilakukan al-Musawi dari sebuah hadits yang
panjang yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dari Ibn 'Umar
dalam kitab al-Kabir.
Bagian hadits tersebut yang tidak dikemukakan oleh
al-Musawi lantaran kelemahannya, yaitu berlawanan dengan
ayat-ayat al-Qur'an dan sunnah nabi yang sahih. Adapun
kesempurnaan hadits tersebut sebagaimana dikemukakan oleh
penulis al-Muntakhab adalah sebagai berikut:
"
Barangsiapa mencintaimu ('Ali) di masa hidupku,
berarti telah memenuhi janjinya (kepada Allah). Barangsiapa
mencintaimu di masa hidupmu, maka Allah akan mencabut
nyawanya dengan aman dan membawa iman. Dan barangsiapa
mencintaimu setelah hidupku dan hidupmu, maka Allah akan
mencabut nyawanya dengan aman dan membawa iman, dan ia akan
sentosa pada hari kiamat. Dan barangsiapa meninggal dunia,
sedang dia benci kepadamu, wahai 'Ali, maka matilah dia
dalam keadaan jahiliyah dan Allah akan menghisab segala
perbuatan yang dilakukannya di dalam Islam."
Kelemahan hadits ini akan diketahui oleh orang yang
memiliki sedikit saja ilmu tentang Islam. Ia akan menyatakan
dengan tegas bahwa Rasulullah saw tidak akan berkata
demikian, sebab bertentangan dengan prinsip-prinsip, agama
Islam, yang baku.
Ibn Taimiyah berkata: Sesungguhnya cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya jauh lebih mulia dibanding cinta kepada 'Ali saja.
Sekalipun demikian, perbuatan buruk tetap berakibat buruk
kepada orang yang bersangkutan. Rasulullah tetap memukul
'Abdullah ibn Hammad yang mabuk (minum khamr). Rasulullah
bersabda: "'Abdullah mencintai Allah dan Rasul-Nya." Setiap
mu'min memang harus mencintai keduanya, namun semua
perbuatan buruk tetap berdampak negatif terhadapnya. Semua
orang Islam sepakat dan tahu dengan sendirinya dari agama
Islam bahwa syirik adalah berbahaya kepada pelakunya
meskipun ia mencintai 'Ali ibn Abi Thalib. Ayah 'Ali, Abu
Thalib sangat mencintai 'Ali. Akan tetapi kemusyrikannya
merugikan dirinya, sehingga ia masuk ke dalam api neraka.
Didalam sebuah hadits sahih, Rasulullah saw bersabda:
"Seandainya Fathimah putri Muhammad mencuri, pasti aku
potong tangannya". Sudah menjadi kemakluman setiap orang
bahwa dalam agama Islam seseorang yang mencuri dipotong
tangannya, walaupun ia mencintai 'Ali. Kalau ia berzina, ia
akan dijatuhi hukuman (had) meskipun ia mencintai 'Ali. Dan
kalau ia membunuh, ia akan dihukum qisas walaupun ia cinta
kepada 'Ali. Cinta kepada nabi jauh lebih agung dibanding
cinta kepada 'Ali. Sekalipun demikian, seorang yang cinta
kepada nabi, manakala ia meninggalkan shalat, zakat atau
berbuat dosa besar lainnya, maka perbuatannya akan
berpengaruh (negatif) kepadanya. Bagaimana mungkin perbuatan
seperti itu tidak berpengaruh kepada orang dengan yang
mencintai 'Ali? (Minhaj as-Sunnah, 3/17).
Lebih lanjut Ibn Taimiyah berkata: Hadits itu tidak
dijumpai dalam kitab-kitab hadits yang dapat dijadikan
hujjah, dikarenakan isnadnya. Juga tidak ada seorang pemuka
hadits yang mensahihkan hadits tersebut. Hadits itu palsu
dan maudhu' menurut kesepakatan para ahli hadits, dengan
mengutip pendapat Ibn Hazm yang mendha'ifkan hadits itu, dan
mereka menyetujui pendapat itu. Ibn Hazm berkata: "Karena
itu, tidak seorang pun dari para ahli hadits yang
meriwayatkannya dalam kitab-kitab hadits yang dapat
dijadikan hujjah. Hadits ini hanya diketemukan dalam
buku-buku yang didalamnya bercampur antara hadits-hadits
yang lemah dengan yang kuat." Ibn Hazm juga mengutip
pendapat Ibn al-Jauzi yang mendha'ifkan hadits di atas
lantaran dalam sanadnya ada Mathar Ibn Maimun. Ia ini
pendusta. Tak seorang pun dari ulama Kufah yang bersedia
meriwayatkan hadits darinya. Abu Hatim berkata: Mathar Ibn
Maimun hanya meriwayatkan hadits-hadits palsu. Orang tidak
dibenarkan meriwayatkan hadits darinya.
Sebagian alasan yang digunakan Ibn Taimiyah untuk menolak
hadits ini ialah bahwa 'Ali tidak melunasi hutang Nabi.
Dalam hadits sahih diceritakan bahwa Rasulullah wafat dan
meninggalkan barang gadaian pada orang Yahudi sebagai
jaminan atas pinjaman 30 wasq gandum untuk keperluan
keluarga beliau. Inilah hutang Nabi, yaitu gadai barang yang
perlu ditebus. Dan tidak diketahui ada hutang lain pada
Nabi. (Minhaj, 4/90).
Adapun hadits yang menceritakan bahwa Rasulullah wafat di
pangkuan 'Ali, sehingga sebagian ludahnya yang suci memercik
kepada 'Ali, maka hadits ini dapat ditanggapi dari beberapa
segi:
- Hadits ini dan hadits-hadits lain yang menceritakan
bahwa nabi wafat di pangkuan 'Ali, adalah hadits palsu,
tidak ada yang sahih sama sekali. Bahkan hadits-hadits
itu merupakan buatan kaum Rafidhah untuk menentang kaum
Ahlus Sunnah.
- Hadits-hadits itu tidak ditemukan dalam kitab-kitab
sahih maupun dalam kitab-kitab Sunan. Yang ada di sana
justru hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah saw wafat
di pangkuan 'A'isyah ra.
Di dalam kitab Sahih Bukhari dan Muslim dari hadits
'A'isyah diceritakan bahwa nabi di waktu sakit yang membawa
wafatnya itu bertanya-tanya: "Di mana aku besok, di mana aku
besok?" Beliau menginginkan (giliran) di rumah 'A'isyah.
Lalu istri-istri nabi yang lain mengizinkan di mana saja
Rasulullah berkehendak. Maka beliau dibawa ke rumah
'A'isyah, sehingga ia wafat di sisinya. 'A'isyah' berkata:
Nabi meninggal pada hari di mana beliau tinggal (menggilir)
di rumahku. Lalu Allah mencabut nyawanya ketika kepala
beliau berada di pangkuanku.
Di dalam kitab Sahih Bukhari dan Muslim juga diceritakan
bahwa 'A'isyah mendengarkan dan memperhatikan benar-benar
(apa yang dikatakan nabi) sebelum wafat. "Rasulullah",
demikian 'A'isyah, merebahkan dirinya ke pangkuanku sambil
berkata: "Ya Allah, ampunilah dan kasihanilah daku, dan
pertemukan aku dengan kawan-kawanku"!
Dalam kitab yang sama diceritakan pula bahwa 'A'isyah
berkata: Rasulullah pernah mengatakan sewaktu beliau masih
sehat "Seorang nabi tidak akan meninggal sampai ia
mengetahui tempat tinggalnya di surga, kemudian ia
diperkenankan untuk memilih."
Sewaktu beliau mengeluh sakit dan kepalanya berada di
paha 'A'isyah, beliau tidak sadarkan diri (pingsan). Setelah
sadar, beliau melayangkan pandangannya ke atap rumah sambil,
berdoa: Allahumma fi ar-rafiqi al-a'la. 'A'isyah berkata:
Maka tahulah aku bahwa beliau tidak akan meninggalkan kami.
Aku juga sadar bahwa itu adalah kata-kata yang pernah
diucapkan nabi sebelumnya, dan benarlah dia. (al-Lulu' wa
al-Marjan 3/142).
Adapun hadits-hadits yang menceritakan bahwa nabi wafat
di pangkuan 'Ali diriwayatkan oleh Hakim dan Ibn Sa'ad.
Berkata Ibn Hajar al-Asqalani: "Semua sanad dari sanad-sanad
hadits itu tidak terlepas dari orang Syi'Ah". Seseorang
tidak perlu mempedulikannya. Di dalam sanadnya terdapat
al-Waqidi, salah, seorang perawi yang ditinggalkan haditsnya
(matruk al-hadits). (Fath al-Bari 8/ 139).
Adapun hadits yang dikemukakan al-Musawi, di dalam
sanadnya terdapat al-Waqidi. Ia seorang perawi yang
ditinggalkan haditsnya. Juga terdapat nama 'Abdullah ibn
Muhammad ibn 'Umar, yang dianggapnya lemah, juga terdapat
inqitha' (terputus) didalamnya. (Fathul Bari, 8/139).
Mengenai hadits yang dikemukakan al-Musawi: "Tertulis di
pintu surga: Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan
Allah, dan 'Ali saudara Rasulullah", tidak lain adalah
hadits palsu. Ibn al-Jauzi mengelompokkan hadits itu ke
dalam hadits-hadits palsu, yang bersumber dari Jabir.
(Al-Muntakhab Hasyiah, 5/35). Ibn Asakir juga
meriwayatkannya dalam pinggiran kitab al-Muntakhab 5/45.
Sudah menjadi kemakluman bahwa hadits yang bersumber pada
kitab tersebut adalah lemah (dha'if), sebagaimana penulis
al-Muntakhab menerangkan dalam pendahuluannya. Di dalam
al-Fawaid al-Majmu'ah, karya asy-Syaukani, dikatakan bahwa
hadits itu bathil dan palsu.
Mengenai hadits: Pada malam ketika 'Ali menggantikan
Rasulullah di tempat tidur (malam hijrah), Allah mewahyukan
melalui Jibril dan Mika'il: "Bahwasanya Aku telah
mempersaudarakan antara kalian berdua, dan kujadikan usia
salah seorang diantara kalian lebih panjang dari usia
saudaranya
" Hadits ini bisa di tanggapi dari berbagai
segi:
- Hadits ini dituntut kesahihan sanadnya. Al-Musawi
menisbatkannya pada kitab-kitab Sunan, namun ia tidak
menyebutkan kepada kita satu kitab pun darinya yang
meriwayatkan hadits dimaksud.
- Pada umumnya para ahli tafsir sependapat bahwa ayat:
"Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya
karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun
kepada hamba-hambanya." (QS, al-Baqarah, 2:207),
diturunkan berkenaan dengan Suhaib, ar-Rumi ketika ia
memeluk Islam di Makkah dan bermaksud untuk hijrah.
Orang-orang melarang dia hijrah membawa hartanya. Mereka
tidak keberatan jika dia hijrah tanpa membawa hartanya.
Suhaib pun menyerahkan semua hartanya kepada mereka.
Sehubungan dengan kasus Suhaib ini, Allah menurunkan ayat
tersebut. Berita itu sampai kepada Nabi, lalu Nabi
berkata:. "Beruntung Suhaib, beruntung Suhaib."
Dari sini terlihat bahwa hadits itu palsu dan berdustalah
al-Musawi ketika ia menyatakan bahwa Ashab al-Masanid wa
as-Sunan meriwayatkan hadits tersebut. Dan terlihat pula
bahwa al-Musawi hendak melawan kesepakatan para ahli hadits
bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Suhaib
ar-Rumi.
Adapun perkataan 'Ali yang, dikutip oleh al-Musawi: "Aku
adalah hamba Allah dan saudara Rasulullah" adalah berasal
dari riwayat Ibad ibn 'Abdillah al-Asadi dari 'Ali ra.
Bukhari berkata: "Hadits ini bisa dipertimbangkan." Menurut
ibn al-Madini, haditsnya dha'if. Hafidz adz-Dzahabi berkata:
'Ala' meriwayatkan dari Minhal dari Ibad ibn 'Abdillah dari
'Ali ra. Ia berkata: "Aku adalah hamba Allah dan saudara
Rasul-Nya. Dan aku adalah ash-Shiddiq yang terbesar. Tak
seorang pun sebelumku berkata demikian, dan tak seorang pun
berkata demikian kecuali pendusta. Aku sudah Islam dan
melakukan shalat tujuh tahun sebelum orang lain. Adz-Dzahabi
berkata: "Hadits ini berdusta atas nama 'Ali". Di dalam
sanadnya terdapat. Minhal, maka Syu'bah ibn Hujaj
meninggalkannya. Berkata Abu Bakar al-Atsram: Aku bertanya
kepada Abu 'Abdullah mengenai hadits 'Ali (Aku adalah hamba
Allah dan saudara Rasul-Nya). Jawabnya: Tinggalkan olehmu,
sebab itu hadits mungkar! Ibn Taimiyah berkata: Ibad melalui
salurannya meriwayatkan dari 'Ali sebuah hadits yang sudah
bisa dipastikan kebohongannya, seperti hadits di atas.
(Minhaj, 4/119).
Mengenai hadits-hadits lain yang dikemukakan al-Musawi
untuk menetapkan adanya pengukuhan tali persaudaraan antara
nabi dan 'Ali, semuanya adalah hadits dha'if yang tidak
terdapat dalam sanad yang sahih. Pembicaraan mengenai
pengukuhan tali persaudaraan ini sudah dikemukakan panjang
lebar pada tanggapan atas Dialog nomor 32.
Adapun hadits yang menerangkan bahwa 'Umar mempersilakan
kepada 'Ali untuk duduk di atas selendangnya, sesungguhnya
al-Musawi telah memanipulasi pengutipannya dari kitab
ash-Shawa'iq a-Muhriqah. Cerita sesungguhnya dalam
ash-Shawa'iq adalah sebagai berikut: Suatu ketika 'Umar
menanyakan 'Ali ibn Abi Thalib. Lalu dikatakan kepadanya
bahwa 'Ali pergi ke kebunnya. 'Umar pun mengajak orang-orang
pergi menemui 'Ali. Mereka menemui 'Ali sedang bekerja, lalu
mereka turut bekerja beberapa saat bersama 'Ali. Kemudian
mereka duduk berbincang-bincang. 'Ali berkata: "Wahai Amirul
Mu'minin, bagaimana sekiranya datang kepada anda suatu
kelompok dari Bani Isra'il, dan salah seorang dari mereka
berkata: "Aku adalah saudara sepupu Musa". Apakah anda akan
memberinya keistimewaan lebih dari kawan-kawannya yang lain?
"Ya!", jawab 'Umar. Maka 'Ali melanjutkan: "Kalau begitu
demi Allah, aku adalah saudara Rasulullah dan anak
pamannya". Seketika itu 'Umar melepaskan selendangnya dan
menghamparkannya lalu berkata: "Demi Allah, tiada tempat
duduk bagimu kecuali ini sampai saat kita berpisah". Maka
'Ali pun duduk di atas selendang itu, sampai mereka
bubar.
Penulis ash-Shawa'iq mengemukakan riwayat ini dari ad-Dar
al-Quthni untuk menjelaskan betapa besar penghormatan
orang-orang dahulu, terutama Abu Bakar dan 'Umar, kepada
Ahlul Bait.
Dalam bukunya ash-Shawa'iq, Ibn Hajar berkata: "Penuturan
'Ali kepada 'Umar itu untuk menjelaskan bahwa apa yang
dilakukan 'Umar, yaitu datang dan membantu 'Ali bekerja di
kebunnya, sedangkan ia adalah Amirul Mu'minin, adalah
semata-mata karena 'Ali saudara dekat Rasulullah: 'Umar pun
menambah penghormatannya kepada 'Ali dengan mempersilakan
'Ali untuk duduk di hamparan selendangnya."
Di sini kami tidak akan membicarakan mengenai pengukuhan
tali persaudaraan antara nabi dan 'Ali. Sebab hal ini sudah
kami bicarakan panjang lebar pada tanggapan Dialog nomor 32.
Tetapi kami ingin mengungkap ketidakjujuran al-Musawi dalam
mengutip dalil dan niat jahatnya serta kebenciannya kepada
sahabat-sahabat nabi, terutama Abu Bakar dan 'Umar. Ia
mengemukakan kepada kita bahwa 'Ali yang menanyakan 'Umar.
Padahal sesungguhnya 'Umar-lah yang merasa kehilangan Ahlul
Bait, lalu menanyakan mereka. Ia merasa kehilangan 'Ali,
lalu mencarinya dan membantu pekerjaannya
dan
seterusnya.
Al-Musawi bermaksud dengan kutipan seperti itu untuk
menutupi hakikat yang sesungguhnya. Sebagaimana di sini ia
tidak menyebutkan perkataan 'Ali kepada 'Umar, "Wahai Amirul
Mu'minin!", lantaran ia menentang kepemimpinan 'Umar. Dan ia
takut kutipan ucapan 'Ali itu akan menjadi hujjah yang
menentang argumentasinya. Ia juga tidak menyebutkan tentang
bekerjanya 'Umar membantu 'Ali di kebunnya, sebab hal ini
menunjukkan keutamaan 'Umar dan sikap tawadhu' serta
perhatiannya yang besar kepada sahabatnya 'Ali ibn Abi
Thalib.
Mengenai hadits-hadits yang berkenaan dengan perintah
menutup, semua pintu selain pintu 'Ali, sudah kami bahas
panjang lebar dalam menanggapi Dialog nomor 32.
Adapun doa nabi kepada Allah agar menjadikan 'Ali sebagai
wazir dan saudara, sebagaimana doa Musa kepada Harun,
sesungguhnya adalah hadits palsu yang tidak mempunyai dasar
sama sekali. Ats-Tsa'labi mengemukakan hadits itu dalam
menafsirkan ayat Innama waliyyukumullahu wa rasuluhu
walladzina 'amanu
(QS, al-Ma'idah, 5:55). Semua ahli
hadits sepakat bahwa ats-Tsa'labi banyak meriwayatkan
hadits-hadits palsu (al-maudhu'at). Karena itu mereka
menyerupakan ats-Tsa'labi sebagai pencari kayu di tengah
malam (maksudnya: orang yang banyak teledor perkataannya,
pent.). Ia seorang yang memiliki kebaikan dan agama, tetapi
ia tidak bisa membedakan antara hadits yang sahih dan yang
lemah, juga tidak dapat membedakan dalam banyak hal mengenai
sunnah dan bid'ah. (Lihat Minhaj, 4/4).
|