Sunni yang Sunni
Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ah-nya al-Musawi

Mahmud az-Za'by

Sanggahan terhadap Dialog 29-30

Tidak ada perselisihan dalam kutub as-sittah bahwa hadits manzilah lahir pada perang Tabuk, yaitu ketika nabi mengangkat 'Ali sebagai penggantinya di Madinah. Mengenai sebab lahirnya hadits ini (sababu al-wurud) ialah pengaduan 'Ali kepada nabi mengenai tugas yang diberikan nabi. 'Ali memandang tugas itu (menggantikan nabi di Madinah) merendahkan dirinya lantaran ia tidak dapat berjihad bersama sahabat-sahabat nabi yang lain. Ia harus tinggal di Madinah bersama wanita dan anak-anak serta orang-orang yang mendapat izin absen perang. Sedangkan pada waktu-waktu sebelumnya, nabi menunjuk sahabat lain sebagai penggantinya untuk menyertai orang-orang yang lebih utama dari mereka itu (wanita dan anak-anak), dan ketika Madinah sedang mendapat ancaman dari pihak musuh. Karena itu, nabi mengucapkan kepada 'Ali hadits manzilah itu, supaya 'Ali merasa senang dan menerimanya. Hal ini terlihat jelas dari perkataan nabi: "Apakah kamu tidak senang dengan kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa?" Menurut kesepakatan para ahli hadits, hadits manzilah itu tidak pernah diulang oleh Nabi selain pada perang Tabuk itu.

Ibn Taimiyah berkata: Hadits manzilah hanya diucapkan sekali oleh Rasulullah saw pada perang Tabuk. Nabi tidak pernah mengulanginya pada kesempatan-kesempatan lain. Demikian pula hadits muwalah (perwalian). Para ahli yang meriwayatkan hadits ini mengatakan bahwa Nabi hanya mengucapkannya sekali saja dan tidak pernah mengulanginya pada kesempatan lain sama sekali (Ibn Taimiyah, op.cit., hal. 96, jilid III).

(2) Hadits manzilah tidak menunjukkan keumuman atau kemenyeluruhan. Ini terbukti dari beberapa hal berikut ini:

1. Dilihat dari bentuk kata-katanya. Hadits itu mengandung tasybih, yaitu penyamaan kedudukan 'Ali dengan kedudukan Harun. Penyerupaan sesuatu dengan sesuatu yang lain harus dipahami menurut konteks penyerupaan itu sendiri, dan tidak mengharuskan kesamaan dalam segala bidang.

Ibn Taimiyah menunjukkan hal ini dengan dasar sebuah hadits yang sahih. Ia berkata: Tidakkah anda lihat hadits Nabi yang terdapat dalam Sahih Bukhari dan Muslim mengenai tawanan perang. Ketika Nabi meminta pendapat Abu Bakar, ia mengusulkan tebusan. Ketika Nabi bertanya kepada 'Umar, ia mengusulkan untuk dibunuh saja. Lalu Nabi bersabda: "Akan kuceritakan kepadamu tentang dua orang yang sepadan dengan kamu. Engkau, wahai Abu Bakar, sama dengan Ibrahim ketika ia berkata: Barangsiapa mengikuti aku, ia termasuk golonganku. Barangsiapa durhaka kepadaku, sesungguhnya Tuhan maha pengampun dan maha Pengasih (QS, Ibrahim, 14:36). Engkau juga sama dengan Nabi Isa ketika ia berkata: "Jika Engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu. Dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkau Maha Mulia dan Maha Bijaksana". (QS, al-Ma'idah, 5:118). Adapun engkau, wahai 'Umar, sama seperti Nuh ketika ia berkata: "Ya Tuhanku janganlah Engkau biarkan seorang pun diantara orang-orang kafir tinggal di atas bumi". (QS, Nuh, 71:26). Engkau juga seperti Nabi Musa ketika ia berkata: "Ya Tuhan kami binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, sehingga mereka tidak beriman sampai mereka melihat siksaan yang pedih". (QS, Yunus, 10:88).

Perkataan Nabi kepada Abu Bakar, "Engkau seperti Ibrahim dan Isa", dan perkataan Nabi kepada 'Umar, "Engkau seperti Nuh dan Musa", sesungguhnya lebih besar bobotnya dibanding perkataan Nabi: Engkau ('Ali) sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa". Sebab Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa, lebih agung dibanding Harun. Nabi menjadikan Abu Bakar dan 'Umar seperti mereka. Namun Nabi tidak memaksudkan kedua sahabat itu sama seperti mereka dalam segala hal. Persamaan itu sebatas konteks yang ditunjukkan oleh pernyataan itu, yaitu sifat keras (asy-syiddah) dari lembut (al-layyin) kepada musuh-musuh Allah. Demikian pula, kesamaan kedudukan 'Ali dengan Harun adalah sebatas yang ditunjukkan oleh konteks perkataan itu, yaitu menjadi pengganti Nabi dikala beliau tidak ada, sebagaimana Musa mengangkat Harun sebagai penggantinya (Ibid., 4/88).

2. Menyerupakan kedudukan 'Ali dengan kedudukan Harun dari sudut istikhlaf mengharuskan berakhirnya khilafah 'Ali sekembalinya Nabi ke Madinah dari perang Tabuk, sebagaimana berakhirnya khilafah Harun setelah Musa kembali dari munajatnya kepada Allah.

Ibn Taimiyah berkata: Setelah Rasulullah pulang, maka lepaslah khilafah 'Ali secara otomatis, sebagaimana lepasnya khilafah sahabat lainnya ketika Nabi sudah kembali ke Madinah. Setelah itu, Nabi mengutus 'Ali ke Yaman sampai tiba musim haji pada haji wada'. Adapun pengganti Nabi di Madinah pada haji wada' adalah sahabat Nabi yang lain, bukan 'Ali (Ibid., hal. 94, jilid IV).

3. Pendapat yang mengumumkan makna hadits manzilah, mengharuskan lestarinya kekuasaan 'Ali sepanjang hidup Nabi. Pendapat ini, jelas tidak dapat dibenarkan sama sekali. Sebab ini berarti Nabi harus berada dibawah kekuasaan 'Ali setelah beliau datang ke Madinah dari perang Tabuk.

Ibn Taimiyah dengan tegas membantah pendapat di atas. Ia berkata: "Apakah anda berpendapat bahwa Nabi berada di Madinah, sedang 'Ali berada di Yaman, sambil tetap menjadi khalifah di Madinah? Tak syak lagi pendapat mereka (kaum Rafidhah) adalah pendapat orang yang bodoh, jahil, yang tidak mengerti hal ihwal Rasulullah. Seakan-akan mereka mengira bahwa 'Ali tetap menjadi Khalifah di Madinah sampai Nabi wafat. Mereka tidak tahu bahwa Nabi mengutus 'Ali dan Abu Bakar untuk membatalkan beberapa perjanjian pada tahun ke 9 Hijriyah. Dalam hal ini Nabi mengangkat Abu Bakar sebagai pemimpinnya. Setelah 'Ali pulang bersama Abu Bakar, Nabi mengutus 'Ali ke Yaman, sebagaimana beliau juga mengutus Mu'adz dan Abu Musa. Kemudian ketika Nabi melakukan haji wada', pengganti Nabi di Madinah bukanlah 'Ali. 'Ali menemui Nabi di Makkah. Ketika itu Nabi berkurban 100 unta. 2/3 dari jumlah itu dipotong sendiri oleh beliau, sedang l /3nya dipotong oleh 'Ali. Semua kenyataan ini diakui oleh para ahli tanpa perselisihan. Dan hadits-hadits pun banyak sekali yang menerangkannya, sehingga anda seakan-akan melihatnya dengan mata kepala sendiri. Barangsiapa tidak memperoleh 'inayah (bantuan Tuhan) mengenai hal ihwal Rasul --maksudnya kaum Rafidhah-- maka ia tidak akan dapat berbicara mengenai soal-soal yang prinsipil ini.

Muhibuddin al-Khatib dalam mengomentari topik pembicaraan ini berkata: "Salah satu keharusan dari terus lestarinya khilafah 'Ali ialah bahwa Rasulullah hidup di Madinah sekembalinya dari perang Tabuk di bawah kekuasaan 'Ali. Dengan begitu Nabi' menjadi rakyat atau bawahan 'Ali ibn Abi Thalib (Muhibuddin al-Khathib, al-Murataqa, hal. 470).

4. Seorang pengganti hanya bisa menjadi pengganti ketika yang digantikan sedang tidak ada atau telah meninggal. Karena itu, setiap pengganti Nabi di kala beliau masih hidup, penggantiannya (khilafah) berakhir begitu Nabi kembali ke Madinah.

Pendapat yang menyatakan bahwa istikhlaf 'Ali di Madinah menunjukkan bahwa 'Ali adalah Khalifah setelah wafat Nabi, atau bahwa 'Ali juga Khalifah di luar Madinah sebagaimana ia menjadi Khalifah di Madinah, adalah pendapat yang bathil, sebagaimana dijelaskan terdahulu, dan merupakan hujjah yang lemah yang tidak didukung oleh dalil. Bahkan dalil yang sahih menentangnya. Sesungguhnya hadits-hadits yang sahih tidak menunjuk pada kekhalifahan selain Abu Bakar. Di samping itu, tidak ada kewajiban bagi para Nabi untuk mengangkat pengganti setelah mereka meninggal. Dan tidak ada catatan sejarah bahwa seorang Nabi menunjuk orang lain sebagai pengganti setelah dia meninggal.

Ibn Taimiyah berkata: Karena di masa hidupnya, seorang Rasul adalah saksi atas ummatnya. Ia diperintah untuk memimpin ummatnya, baik melalui kepemimpinan dirinya sendiri atau wakilnya. Setelah ia meninggal, maka tugas itu terlepas darinya. Sebagaimana dikatakan oleh 'Isa al-Masih: "Maka setelah engkau wafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkau Maha menyaksikan atas segala sesuatu". (QS, al-Ma'idah, 5:117). Di sini 'Isa tidak mengatakan: "Penggantiku akan mengawasi mereka". Ini menunjukkan bahwa'Isa tidak menunjuk seorang pengganti. Dengan demikian jelaslah bahwa para nabi tidak berkewajiban menunjuk penggantinya setelah mereka meninggal. Demikian pula Nabi bersabda: Aku mengatakan seperti 'Isa berkata: "Aku adalah saksi atas mereka selagi aku berada di tengah-tengah mereka …" (QS, al-Ma'idah, 5:120).

Dari keterangan di atas nyatalah bahwa hadits manzilah tidak memiliki arti yang umum. Juga tidak menunjukkan, kecuali atas kepemimpinan 'Ali yang khusus di Madinah diwaktu Nabi tidak ada. Dan habislah kekuasaan kepemimpinan itu sebagaimana kekuasaan lainnya, setelah Rasulullah kembali ke Madinah. Dan Nabi menyatakan yang seperti itu (hadits manzilah) setelah 'Ali mengadu mengenai tugasnya itu.

Setelah terbukti bahwa hadits manzilah itu tidak memberi anti yang umum dan menyeluruh, maka kalaupun kita terima anggapan bahwa hadits itu meng-umum-kan semua kedudukan, maka umum di sini adalah umum yang sudah dikhususkan, yang kehujjahannya ditolak oleh para ahli ushul. Segi pengkhususan yang ada di sini adalah bahwa kedudukan Harun di sisi Musa adalah sebagai saudara dan nabi. Sedangkan 'Ali tidak memiliki kedudukan seperti itu di sisi Rasul. 'Ali bukan saudara Nabi seperti halnya Harun dan Musa. Dan 'Ali juga bukan nabi seperti dijelaskan oleh hadits itu sendiri: … hanya saja tidak ada nabi setelahku".

Ibn Hajar al-Haitsami berkata: "Kalaulah kita terima bahwa hadits itu berlaku umum untuk semua kedudukan, maka umum di sini adalah umum yang sudah ditakhshis, sebab sebagian kedudukan Harun adalah saudara dan nabi. Dan umum yang sudah ditakhshis tidak dapat menjadi hujjah untuk hal yang lain, atau merupakan hujjah yang lemah untuk hal yang lain dari yang ditentukan. Mengenai pelaksanaan tugas Harun setelah Musa meninggal, hal itu semata-mata merupakan tugas kenabian, bukan tugas sebagai pengganti Musa. Karena sifat kenabian (nubuwah) telah ditiadakan, karena tidak mungkin 'Ali menjadi nabi, maka harus dinegasikan pula sesuatu yang menjadi konsekuensi darinya, yaitu hak untuk dipatuhi dan pelaksanaan tugas atau perintah. Dari sini kita tahu bahwa sesungguhnya yang dimaksud oleh hadits manzilah itu adalah menetapkan sebagian kedudukan yang ada pada Harun di sisi Musa. Konteks dan sebab lahirnya hadits tersebut menjelaskan dan mendukung pengertian di atas (Ash-Shawa'iq al-Muhriqah hal. 49).

Kalaulah kita terima pula keumuman hadits manzilah, maka telah kita kemukakan beberapa dalil, baik aqli maupun naqli, yang menjelaskan bahwa maksud hadits tersebut adalah khusus, maksudnya khusus istikhlaf di Madinah saja. Dengan demikian hadits tersebut tergolong umum, namun yang dikehendakinya adalah khusus. Hal ini karena adanya bukti-bukti dan konteks yang menegasikan keumuman hadits dimaksud, serta menjelaskan bahwa yang dimaksud dari yang umum itu adalah sebagian unsurnya.

Bahkan penyebutan 'Ali secara khusus dalam hadits tersebut hanya menunjuk pada pengertian yang ditunjuk oleh pernyataannya (mafhum al-laqab). Ia tidak mengandung pengertian kebalikannya (mafhum mukhalaf). Jadi perkataan Nabi kepada 'Ali: "Engkau di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa", tidak berarti bahwa sahabat-sahabat Nabi yang lain yang pernah menjadi pengganti Nabi di Madinah tidak mempunyai kedudukan seperti itu.

Ibn Taimiyah berkata: "Penyebutan 'Ali secara khusus di situ termasuk mafhum al-laqab. Mafhum al-laqab ada dua macam, yaitu laqab jins (laqab jenis) dan laqab 'alam (laqab nama), seperti nama Zaid, lafadz anta dan lain-lain. Mafhum ini merupakan mafhum yang paling lemah. Karena itu jumhur ulama ushul dan fiqh tidak berhujjah dengan mafhum ini. Jika dikatakan: "Muhammad adalah Rasul Allah", pernyataan ini tidak berarti menegasikan kerasulan orang-orang yang selain Muhammad. Tetapi jika dalam konteks pembicaraan itu terdapat sesuatu yang mengharuskan takhshish, maka ia dapat dijadikan hujjah menurut pendapat yang sahih. Sebagaimana firman Allah: "Maka kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat". (QS, al-Anbiya', 21:79). Dan firman Allah: "Sekali-kali tidak (demikian), sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari (rahmat) Allah". (QS, al-Muthaffifin, 83:15). Sebaliknya jika pengkhususan itu dikarenakan adanya suatu sebab yang mengharuskannya, maka pengkhususan demikian tidak dapat dijadikan hujjah menurut kesepakatan banyak orang. Hadits manzilah termasuk pengkhususan seperti ini. Nabi mengkhususkan penyebutan nama 'Ali, karena dia mengadu kepada Nabi, sambil menangis, mengenai ditunjuknya dia sebagai pengganti Nabi untuk menjaga kaum wanita dan anak-anak. Pengkhususan dalam penyebutan lantaran ada suatu sebab, tidak mengharuskan ada pengkhususan pula dalam hukum. Karena itu, pada hadits manzilah itu tidak ada dilalah bahwa orang lain di luar 'Ali tidak memiliki kedudukan di sisi Nabi sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa.

Mengenai perkataan al-Musawi, kepada Syeikh al-Bisyri jika benar ada dialog antara keduanya: "Tidak! Dan sungguh tidak akan terlintas dalam pikiran bahwa seseorang seperti anda akan meragukan kenyataan bahwa bentuk kalimat seperti itu memiliki makna umum yang meliputi semua pengertian yang terkandung didalamnya". Al-Musawi menyatakan demikian untuk menggambarkan bahwa seakan-akan hal seperti itu telah disepakati oleh para ahli ushul dan fiqh, dan ahli tata bahasa Arab. Padahal mereka justru sepakat bahwa nama jenis (ism jins) yang dimudhafkan pada 'alam (nama diri) tidak termasuk lafazh yang, mengandung makna umum. Mereka menjelaskan bahwa lafazh-lafazh yang memiliki makna umum adalah sebagai berikut:

  1. Lafazh Kullun (setiap) dan Jami'un (seluruh).
  2. Lafazh mufrad (tunggal) yang dima'rifatkan dengan al-ta'rif jenis
  3. Lafazh jamak yang dima'rifatkan dengan al ta'rif jenis
  4. Isim maushul (kata penghubung)
  5. Isim syarat (al-Asma'al-Syuruth).
  6. Isim nakirah (kata benda tak tentu) dalam suSunan-kata yang menegasikan (Ushul al-Fiqh, Abul Wahhab Khallaf, 180).

Yang dimaksud al-Musawi dengan isim jinis ialah kata Manzilah yang dimudhafkan (disandarkan) pada isim alam (nama) berupa "Harun" dalam hadits tersebut. Dengan begitu, kedudukan itu menjadi umum lantaran sahihnya istitsna' (pengecualian). Jadi, jika dikecualikan pangkat kenabian, maka semua kedudukan yang ada pada Harun juga ada pada 'Ali. Termasuk didalamnya keabsahan 'Ali sebagai pemimpin (imamah). Pendapat demikian tidak dapat dibenarkan menurut kesepakatan para ulama ushul. Kita sudah memaklumi bahwa isim jinis yang diidhafahkan pada 'alam itu tidak tergolong lafazh yang memiliki arti umum.

Ad-Dihlawi berkata: Sesungguhnya isim jinis yang diidhafahkan pada isim 'alam tidak tergolong lafazh umum menurut kesepakatan ahli ushul. Bahkan mereka menjelaskan bahwa kata tersebut memiliki pengertian "menjelaskan" seperti misalnya kata Anak laki-laki Zaid atau kata lain yang semacam. Sebab pengertian semacam itu merupakan pengertian asal untuk setiap kata yang dima'rifatkan dengan idhafah. Sedangkan kata yang kita bicarakan di sini mempunyai konteks yang menunjuk pada pengertian tersebut, yaitu perkataan 'Ali: "Apakah engkau mengangkatku sebagai khalifah untuk kaum wanita dan anak-anak?" Artinya, sebagaimana Harun menjadi khalifah (pengganti) Musa, disaat ia pergi ke Bukit Tursina, maka demikian pula 'Ali ia menjadi pengganti Nabi diwaktu Nabi pergi ke perang Tabuk. Jabatan kekhalifahan yang dibatasi oleh kepergian Nabi ke Tabuk, tidak bisa lestari setelah habisnya masa kepergian Nabi itu, sebagaimana tidak bisa lestarinya kekhalifahan pada Harun.

Lebih lanjut, al-Dihlawi berkata: Sahihnya istitsna' tidaklah menunjukkan pengertian yang umum, kecuali jika istitsna' itu muttasil (bersambung dengan mustatsna minhu). Sedangkan istitsna' jelas di sini tidak bersambung (munqathi'). Sebab perkataan nabi: "Tidak ada nabi setelahku" merupakan jumlah khabariyah (kalimat affirmatif). Dan jumlah ini, setelah dialihkan jadi kata yang tunggal akan menjadi "kecuali tiadanya kenabian". Sedangkan tiadanya kenabian tidak termasuk salah satu kedudukan Harun sehingga dibenarkan ada istitsna'. Sebab istitsna' yang muttasil termasuk ke dalam jenis mustatsna minhu. Sedangkan kebalikannya tidak termasuk kebalikan. Dengan begitu, mustatsna di sini tidak bersambung alias munqathi' (Mukhtashar at-Tuhfah al-Itsna Asyariyah, 163).

Adapun perkataan al-Musawi kepada Syeikh al-Bisyri: "Aku yakin bahwa anda akan berpendapat bahwa kedudukan yang dimaksud oleh Rasulullah itu bersifat umum. Hal ini bisa diqiaskan dengan hal-hal yang semisal dengan itu, baik dari segi 'uruf (tradisi), maupun dalam segi ilmu bahasa", maka jawaban atas perkataan itu adalah berikut ini: "Perkataan anda ini berarti menggunakan qias sebagai hujjah, sedangkan madzhab anda tidak mengakui qias dan tidak menggunakannya sebagai hujjah".


Sunni yang Sunni -- Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi oleh Mahmud az-Zaby
Diterjemahkan dari Al-Bayyinat, fi ar-Radd' ala Abatil al-Muraja'at
karangan Mahmud az-Za'bi, (t.p), (t.t). © Mahmud az-Za'bi.
Penerjemah: Ahmadi Thaha dan Ilyas Ismail
Penyunting: Ahsin Mohammad
Diterbitkan oleh Penerbit PUSTAKA
Jalan Ganesha 7, Tilp. 84186
Bandung, 40132
Cetakan I : 1410H-1989M

Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.