|
Sanggahan terhadap Dialog 29-30
Tidak ada perselisihan dalam kutub as-sittah bahwa hadits
manzilah lahir pada perang Tabuk, yaitu ketika nabi
mengangkat 'Ali sebagai penggantinya di Madinah. Mengenai
sebab lahirnya hadits ini (sababu al-wurud) ialah pengaduan
'Ali kepada nabi mengenai tugas yang diberikan nabi. 'Ali
memandang tugas itu (menggantikan nabi di Madinah)
merendahkan dirinya lantaran ia tidak dapat berjihad bersama
sahabat-sahabat nabi yang lain. Ia harus tinggal di Madinah
bersama wanita dan anak-anak serta orang-orang yang mendapat
izin absen perang. Sedangkan pada waktu-waktu sebelumnya,
nabi menunjuk sahabat lain sebagai penggantinya untuk
menyertai orang-orang yang lebih utama dari mereka itu
(wanita dan anak-anak), dan ketika Madinah sedang mendapat
ancaman dari pihak musuh. Karena itu, nabi mengucapkan
kepada 'Ali hadits manzilah itu, supaya 'Ali merasa senang
dan menerimanya. Hal ini terlihat jelas dari perkataan nabi:
"Apakah kamu tidak senang dengan kedudukanmu di sisiku
seperti kedudukan Harun di sisi Musa?" Menurut kesepakatan
para ahli hadits, hadits manzilah itu tidak pernah diulang
oleh Nabi selain pada perang Tabuk itu.
Ibn Taimiyah berkata: Hadits manzilah hanya diucapkan
sekali oleh Rasulullah saw pada perang Tabuk. Nabi tidak
pernah mengulanginya pada kesempatan-kesempatan lain.
Demikian pula hadits muwalah (perwalian). Para ahli yang
meriwayatkan hadits ini mengatakan bahwa Nabi hanya
mengucapkannya sekali saja dan tidak pernah mengulanginya
pada kesempatan lain sama sekali (Ibn Taimiyah, op.cit.,
hal. 96, jilid III).
(2) Hadits manzilah tidak menunjukkan keumuman atau
kemenyeluruhan. Ini terbukti dari beberapa hal berikut
ini:
1. Dilihat dari bentuk kata-katanya. Hadits itu
mengandung tasybih, yaitu penyamaan kedudukan 'Ali dengan
kedudukan Harun. Penyerupaan sesuatu dengan sesuatu yang
lain harus dipahami menurut konteks penyerupaan itu sendiri,
dan tidak mengharuskan kesamaan dalam segala bidang.
Ibn Taimiyah menunjukkan hal ini dengan dasar sebuah
hadits yang sahih. Ia berkata: Tidakkah anda lihat hadits
Nabi yang terdapat dalam Sahih Bukhari dan Muslim mengenai
tawanan perang. Ketika Nabi meminta pendapat Abu Bakar, ia
mengusulkan tebusan. Ketika Nabi bertanya kepada 'Umar, ia
mengusulkan untuk dibunuh saja. Lalu Nabi bersabda: "Akan
kuceritakan kepadamu tentang dua orang yang sepadan dengan
kamu. Engkau, wahai Abu Bakar, sama dengan Ibrahim ketika ia
berkata: Barangsiapa mengikuti aku, ia termasuk golonganku.
Barangsiapa durhaka kepadaku, sesungguhnya Tuhan maha
pengampun dan maha Pengasih (QS, Ibrahim, 14:36). Engkau
juga sama dengan Nabi Isa ketika ia berkata: "Jika Engkau
menyiksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu.
Dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkau Maha
Mulia dan Maha Bijaksana". (QS, al-Ma'idah, 5:118). Adapun
engkau, wahai 'Umar, sama seperti Nuh ketika ia berkata: "Ya
Tuhanku janganlah Engkau biarkan seorang pun diantara
orang-orang kafir tinggal di atas bumi". (QS, Nuh, 71:26).
Engkau juga seperti Nabi Musa ketika ia berkata: "Ya Tuhan
kami binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati
mereka, sehingga mereka tidak beriman sampai mereka melihat
siksaan yang pedih". (QS, Yunus, 10:88).
Perkataan Nabi kepada Abu Bakar, "Engkau seperti Ibrahim
dan Isa", dan perkataan Nabi kepada 'Umar, "Engkau seperti
Nuh dan Musa", sesungguhnya lebih besar bobotnya dibanding
perkataan Nabi: Engkau ('Ali) sebagaimana kedudukan Harun di
sisi Musa". Sebab Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa, lebih agung
dibanding Harun. Nabi menjadikan Abu Bakar dan 'Umar seperti
mereka. Namun Nabi tidak memaksudkan kedua sahabat itu sama
seperti mereka dalam segala hal. Persamaan itu sebatas
konteks yang ditunjukkan oleh pernyataan itu, yaitu sifat
keras (asy-syiddah) dari lembut (al-layyin) kepada
musuh-musuh Allah. Demikian pula, kesamaan kedudukan 'Ali
dengan Harun adalah sebatas yang ditunjukkan oleh konteks
perkataan itu, yaitu menjadi pengganti Nabi dikala beliau
tidak ada, sebagaimana Musa mengangkat Harun sebagai
penggantinya (Ibid., 4/88).
2. Menyerupakan kedudukan 'Ali dengan kedudukan
Harun dari sudut istikhlaf mengharuskan berakhirnya khilafah
'Ali sekembalinya Nabi ke Madinah dari perang Tabuk,
sebagaimana berakhirnya khilafah Harun setelah Musa kembali
dari munajatnya kepada Allah.
Ibn Taimiyah berkata: Setelah Rasulullah pulang, maka
lepaslah khilafah 'Ali secara otomatis, sebagaimana lepasnya
khilafah sahabat lainnya ketika Nabi sudah kembali ke
Madinah. Setelah itu, Nabi mengutus 'Ali ke Yaman sampai
tiba musim haji pada haji wada'. Adapun pengganti Nabi di
Madinah pada haji wada' adalah sahabat Nabi yang lain, bukan
'Ali (Ibid., hal. 94, jilid IV).
3. Pendapat yang mengumumkan makna hadits
manzilah, mengharuskan lestarinya kekuasaan 'Ali sepanjang
hidup Nabi. Pendapat ini, jelas tidak dapat dibenarkan sama
sekali. Sebab ini berarti Nabi harus berada dibawah
kekuasaan 'Ali setelah beliau datang ke Madinah dari perang
Tabuk.
Ibn Taimiyah dengan tegas membantah pendapat di atas. Ia
berkata: "Apakah anda berpendapat bahwa Nabi berada di
Madinah, sedang 'Ali berada di Yaman, sambil tetap menjadi
khalifah di Madinah? Tak syak lagi pendapat mereka (kaum
Rafidhah) adalah pendapat orang yang bodoh, jahil, yang
tidak mengerti hal ihwal Rasulullah. Seakan-akan mereka
mengira bahwa 'Ali tetap menjadi Khalifah di Madinah sampai
Nabi wafat. Mereka tidak tahu bahwa Nabi mengutus 'Ali dan
Abu Bakar untuk membatalkan beberapa perjanjian pada tahun
ke 9 Hijriyah. Dalam hal ini Nabi mengangkat Abu Bakar
sebagai pemimpinnya. Setelah 'Ali pulang bersama Abu Bakar,
Nabi mengutus 'Ali ke Yaman, sebagaimana beliau juga
mengutus Mu'adz dan Abu Musa. Kemudian ketika Nabi melakukan
haji wada', pengganti Nabi di Madinah bukanlah 'Ali. 'Ali
menemui Nabi di Makkah. Ketika itu Nabi berkurban 100 unta.
2/3 dari jumlah itu dipotong sendiri oleh beliau, sedang l
/3nya dipotong oleh 'Ali. Semua kenyataan ini diakui oleh
para ahli tanpa perselisihan. Dan hadits-hadits pun banyak
sekali yang menerangkannya, sehingga anda seakan-akan
melihatnya dengan mata kepala sendiri. Barangsiapa tidak
memperoleh 'inayah (bantuan Tuhan) mengenai hal ihwal Rasul
--maksudnya kaum Rafidhah-- maka ia tidak akan dapat
berbicara mengenai soal-soal yang prinsipil ini.
Muhibuddin al-Khatib dalam mengomentari topik pembicaraan
ini berkata: "Salah satu keharusan dari terus lestarinya
khilafah 'Ali ialah bahwa Rasulullah hidup di Madinah
sekembalinya dari perang Tabuk di bawah kekuasaan 'Ali.
Dengan begitu Nabi' menjadi rakyat atau bawahan 'Ali ibn Abi
Thalib (Muhibuddin al-Khathib, al-Murataqa, hal. 470).
4. Seorang pengganti hanya bisa menjadi pengganti
ketika yang digantikan sedang tidak ada atau telah
meninggal. Karena itu, setiap pengganti Nabi di kala beliau
masih hidup, penggantiannya (khilafah) berakhir begitu Nabi
kembali ke Madinah.
Pendapat yang menyatakan bahwa istikhlaf 'Ali di Madinah
menunjukkan bahwa 'Ali adalah Khalifah setelah wafat Nabi,
atau bahwa 'Ali juga Khalifah di luar Madinah sebagaimana ia
menjadi Khalifah di Madinah, adalah pendapat yang bathil,
sebagaimana dijelaskan terdahulu, dan merupakan hujjah yang
lemah yang tidak didukung oleh dalil. Bahkan dalil yang
sahih menentangnya. Sesungguhnya hadits-hadits yang sahih
tidak menunjuk pada kekhalifahan selain Abu Bakar. Di
samping itu, tidak ada kewajiban bagi para Nabi untuk
mengangkat pengganti setelah mereka meninggal. Dan tidak ada
catatan sejarah bahwa seorang Nabi menunjuk orang lain
sebagai pengganti setelah dia meninggal.
Ibn Taimiyah berkata: Karena di masa hidupnya, seorang
Rasul adalah saksi atas ummatnya. Ia diperintah untuk
memimpin ummatnya, baik melalui kepemimpinan dirinya sendiri
atau wakilnya. Setelah ia meninggal, maka tugas itu terlepas
darinya. Sebagaimana dikatakan oleh 'Isa al-Masih: "Maka
setelah engkau wafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi
mereka. Dan Engkau Maha menyaksikan atas segala sesuatu".
(QS, al-Ma'idah, 5:117). Di sini 'Isa tidak mengatakan:
"Penggantiku akan mengawasi mereka". Ini menunjukkan
bahwa'Isa tidak menunjuk seorang pengganti. Dengan demikian
jelaslah bahwa para nabi tidak berkewajiban menunjuk
penggantinya setelah mereka meninggal. Demikian pula Nabi
bersabda: Aku mengatakan seperti 'Isa berkata: "Aku adalah
saksi atas mereka selagi aku berada di tengah-tengah mereka
" (QS, al-Ma'idah, 5:120).
Dari keterangan di atas nyatalah bahwa hadits manzilah
tidak memiliki arti yang umum. Juga tidak menunjukkan,
kecuali atas kepemimpinan 'Ali yang khusus di Madinah
diwaktu Nabi tidak ada. Dan habislah kekuasaan kepemimpinan
itu sebagaimana kekuasaan lainnya, setelah Rasulullah
kembali ke Madinah. Dan Nabi menyatakan yang seperti itu
(hadits manzilah) setelah 'Ali mengadu mengenai tugasnya
itu.
Setelah terbukti bahwa hadits manzilah itu tidak memberi
anti yang umum dan menyeluruh, maka kalaupun kita terima
anggapan bahwa hadits itu meng-umum-kan semua kedudukan,
maka umum di sini adalah umum yang sudah dikhususkan, yang
kehujjahannya ditolak oleh para ahli ushul. Segi
pengkhususan yang ada di sini adalah bahwa kedudukan Harun
di sisi Musa adalah sebagai saudara dan nabi. Sedangkan 'Ali
tidak memiliki kedudukan seperti itu di sisi Rasul. 'Ali
bukan saudara Nabi seperti halnya Harun dan Musa. Dan 'Ali
juga bukan nabi seperti dijelaskan oleh hadits itu sendiri:
hanya saja tidak ada nabi setelahku".
Ibn Hajar al-Haitsami berkata: "Kalaulah kita terima
bahwa hadits itu berlaku umum untuk semua kedudukan, maka
umum di sini adalah umum yang sudah ditakhshis, sebab
sebagian kedudukan Harun adalah saudara dan nabi. Dan umum
yang sudah ditakhshis tidak dapat menjadi hujjah untuk hal
yang lain, atau merupakan hujjah yang lemah untuk hal yang
lain dari yang ditentukan. Mengenai pelaksanaan tugas Harun
setelah Musa meninggal, hal itu semata-mata merupakan tugas
kenabian, bukan tugas sebagai pengganti Musa. Karena sifat
kenabian (nubuwah) telah ditiadakan, karena tidak mungkin
'Ali menjadi nabi, maka harus dinegasikan pula sesuatu yang
menjadi konsekuensi darinya, yaitu hak untuk dipatuhi dan
pelaksanaan tugas atau perintah. Dari sini kita tahu bahwa
sesungguhnya yang dimaksud oleh hadits manzilah itu adalah
menetapkan sebagian kedudukan yang ada pada Harun di sisi
Musa. Konteks dan sebab lahirnya hadits tersebut menjelaskan
dan mendukung pengertian di atas (Ash-Shawa'iq al-Muhriqah
hal. 49).
Kalaulah kita terima pula keumuman hadits manzilah, maka
telah kita kemukakan beberapa dalil, baik aqli maupun naqli,
yang menjelaskan bahwa maksud hadits tersebut adalah khusus,
maksudnya khusus istikhlaf di Madinah saja. Dengan demikian
hadits tersebut tergolong umum, namun yang dikehendakinya
adalah khusus. Hal ini karena adanya bukti-bukti dan konteks
yang menegasikan keumuman hadits dimaksud, serta menjelaskan
bahwa yang dimaksud dari yang umum itu adalah sebagian
unsurnya.
Bahkan penyebutan 'Ali secara khusus dalam hadits
tersebut hanya menunjuk pada pengertian yang ditunjuk oleh
pernyataannya (mafhum al-laqab). Ia tidak mengandung
pengertian kebalikannya (mafhum mukhalaf). Jadi perkataan
Nabi kepada 'Ali: "Engkau di sisiku seperti kedudukan Harun
di sisi Musa", tidak berarti bahwa sahabat-sahabat Nabi yang
lain yang pernah menjadi pengganti Nabi di Madinah tidak
mempunyai kedudukan seperti itu.
Ibn Taimiyah berkata: "Penyebutan 'Ali secara khusus di
situ termasuk mafhum al-laqab. Mafhum al-laqab ada dua
macam, yaitu laqab jins (laqab jenis) dan laqab 'alam (laqab
nama), seperti nama Zaid, lafadz anta dan lain-lain. Mafhum
ini merupakan mafhum yang paling lemah. Karena itu jumhur
ulama ushul dan fiqh tidak berhujjah dengan mafhum ini. Jika
dikatakan: "Muhammad adalah Rasul Allah", pernyataan ini
tidak berarti menegasikan kerasulan orang-orang yang selain
Muhammad. Tetapi jika dalam konteks pembicaraan itu terdapat
sesuatu yang mengharuskan takhshish, maka ia dapat dijadikan
hujjah menurut pendapat yang sahih. Sebagaimana firman
Allah: "Maka kami telah memberikan pengertian kepada
Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat". (QS, al-Anbiya',
21:79). Dan firman Allah: "Sekali-kali tidak (demikian),
sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari
(rahmat) Allah". (QS, al-Muthaffifin, 83:15). Sebaliknya
jika pengkhususan itu dikarenakan adanya suatu sebab yang
mengharuskannya, maka pengkhususan demikian tidak dapat
dijadikan hujjah menurut kesepakatan banyak orang. Hadits
manzilah termasuk pengkhususan seperti ini. Nabi
mengkhususkan penyebutan nama 'Ali, karena dia mengadu
kepada Nabi, sambil menangis, mengenai ditunjuknya dia
sebagai pengganti Nabi untuk menjaga kaum wanita dan
anak-anak. Pengkhususan dalam penyebutan lantaran ada suatu
sebab, tidak mengharuskan ada pengkhususan pula dalam hukum.
Karena itu, pada hadits manzilah itu tidak ada dilalah bahwa
orang lain di luar 'Ali tidak memiliki kedudukan di sisi
Nabi sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa.
Mengenai perkataan al-Musawi, kepada Syeikh al-Bisyri
jika benar ada dialog antara keduanya: "Tidak! Dan sungguh
tidak akan terlintas dalam pikiran bahwa seseorang seperti
anda akan meragukan kenyataan bahwa bentuk kalimat seperti
itu memiliki makna umum yang meliputi semua pengertian yang
terkandung didalamnya". Al-Musawi menyatakan demikian untuk
menggambarkan bahwa seakan-akan hal seperti itu telah
disepakati oleh para ahli ushul dan fiqh, dan ahli tata
bahasa Arab. Padahal mereka justru sepakat bahwa nama jenis
(ism jins) yang dimudhafkan pada 'alam (nama diri) tidak
termasuk lafazh yang, mengandung makna umum. Mereka
menjelaskan bahwa lafazh-lafazh yang memiliki makna umum
adalah sebagai berikut:
- Lafazh Kullun (setiap) dan Jami'un
(seluruh).
- Lafazh mufrad (tunggal) yang dima'rifatkan dengan
al-ta'rif jenis
- Lafazh jamak yang dima'rifatkan dengan al ta'rif
jenis
- Isim maushul (kata penghubung)
- Isim syarat (al-Asma'al-Syuruth).
- Isim nakirah (kata benda tak tentu) dalam
suSunan-kata yang menegasikan (Ushul al-Fiqh, Abul Wahhab
Khallaf, 180).
Yang dimaksud al-Musawi dengan isim jinis ialah kata
Manzilah yang dimudhafkan (disandarkan) pada isim alam
(nama) berupa "Harun" dalam hadits tersebut. Dengan begitu,
kedudukan itu menjadi umum lantaran sahihnya istitsna'
(pengecualian). Jadi, jika dikecualikan pangkat kenabian,
maka semua kedudukan yang ada pada Harun juga ada pada 'Ali.
Termasuk didalamnya keabsahan 'Ali sebagai pemimpin
(imamah). Pendapat demikian tidak dapat dibenarkan menurut
kesepakatan para ulama ushul. Kita sudah memaklumi bahwa
isim jinis yang diidhafahkan pada 'alam itu tidak tergolong
lafazh yang memiliki arti umum.
Ad-Dihlawi berkata: Sesungguhnya isim jinis yang
diidhafahkan pada isim 'alam tidak tergolong lafazh umum
menurut kesepakatan ahli ushul. Bahkan mereka menjelaskan
bahwa kata tersebut memiliki pengertian "menjelaskan"
seperti misalnya kata Anak laki-laki Zaid atau kata lain
yang semacam. Sebab pengertian semacam itu merupakan
pengertian asal untuk setiap kata yang dima'rifatkan dengan
idhafah. Sedangkan kata yang kita bicarakan di sini
mempunyai konteks yang menunjuk pada pengertian tersebut,
yaitu perkataan 'Ali: "Apakah engkau mengangkatku sebagai
khalifah untuk kaum wanita dan anak-anak?" Artinya,
sebagaimana Harun menjadi khalifah (pengganti) Musa, disaat
ia pergi ke Bukit Tursina, maka demikian pula 'Ali ia
menjadi pengganti Nabi diwaktu Nabi pergi ke perang Tabuk.
Jabatan kekhalifahan yang dibatasi oleh kepergian Nabi ke
Tabuk, tidak bisa lestari setelah habisnya masa kepergian
Nabi itu, sebagaimana tidak bisa lestarinya kekhalifahan
pada Harun.
Lebih lanjut, al-Dihlawi berkata: Sahihnya istitsna'
tidaklah menunjukkan pengertian yang umum, kecuali jika
istitsna' itu muttasil (bersambung dengan mustatsna minhu).
Sedangkan istitsna' jelas di sini tidak bersambung
(munqathi'). Sebab perkataan nabi: "Tidak ada nabi
setelahku" merupakan jumlah khabariyah (kalimat affirmatif).
Dan jumlah ini, setelah dialihkan jadi kata yang tunggal
akan menjadi "kecuali tiadanya kenabian". Sedangkan tiadanya
kenabian tidak termasuk salah satu kedudukan Harun sehingga
dibenarkan ada istitsna'. Sebab istitsna' yang muttasil
termasuk ke dalam jenis mustatsna minhu. Sedangkan
kebalikannya tidak termasuk kebalikan. Dengan begitu,
mustatsna di sini tidak bersambung alias munqathi'
(Mukhtashar at-Tuhfah al-Itsna Asyariyah, 163).
Adapun perkataan al-Musawi kepada Syeikh al-Bisyri: "Aku
yakin bahwa anda akan berpendapat bahwa kedudukan yang
dimaksud oleh Rasulullah itu bersifat umum. Hal ini bisa
diqiaskan dengan hal-hal yang semisal dengan itu, baik dari
segi 'uruf (tradisi), maupun dalam segi ilmu bahasa", maka
jawaban atas perkataan itu adalah berikut ini: "Perkataan
anda ini berarti menggunakan qias sebagai hujjah, sedangkan
madzhab anda tidak mengakui qias dan tidak menggunakannya
sebagai hujjah".
|