Sanggahan terhadap Dialog 32
Hadits-hadits ini semuanya palsu, tidak ada yang sahih.
Di muka telah dikemukakan bahwa para ahli hadits telah
sepakat bahwa hadits manzilah itu tidak pernah diucapkan
oleh Nabi kecuali sekali saja. Beliau tidak pernah
mengulanginya, sebelum ataupun sesudahnya. Nabi hanya
mengatakannya sekali saja, yaitu pada perang Tabuk. Saya
telah mengecek hadits tersebut dalam semua kitab induk
hadits yang enam yang meriwayatkannya. Dan saya menemukan
kesepakatan mereka mengenai hal itu. Tidak saya temukan satu
riwayat pun yang menerangkan bahwa hadits itu pernah
diucap-ulang oleh Rasulullah. Bahkan sebagian besar dari
mereka justru menerangkan sebab lahirnya hadits itu, yaitu
pengaduan 'Ali dan tangisannya ketika ia ditunjuk
sebagai pengganti Nabi di Madinah untuk mengurus kaum wanita
dan anak-anak serta orang-orang yang mendapat izin absen
dalam perang Tabuk.
Riwayat hadits itu terdapat dalam Sahih Bukhari, Sahih
Muslim, Tirmidzi, Ibn Majah, Thabaqat ibn Sa'ad, Musnad
Imam Ahmad, dan Musnad Abi Daud ath-Thayalisi. Semua riwayat
tersebut bersepakat, seperti dikemukakan tadi, bahwa hadits
tersebut tidak pernah disampaikan Nabi pada kesempatan lain,
kecuali pada perang Tabuk itu. Dan sebab lahirnya hadits itu
juga ada di sekitar perang itu. Hal lain yang memperkuat
keterangan di atas ialah bahwa riwayat-riwayat yang
dikemukakan al-Musawi tidak dikutip dari sumber-sumber yang
kuat tetapi dari sumber-sumber yang lemah menurut pandangan
ulama hadits. Ia mengutip darinya sesuatu yang bathil untuk
menutupi penyelewengan dan kesesatannya. Perbuatannya, dalam
hal ini, tidak berbeda dengan perbuatan kaumnya, orang-orang
Syi'ah Rafidhah. Dan ini juga merupakan kebiasaan
al-Musawi dalam mengemukakan dalil-dalil dalam semua
dialognya.
Adapun hadits "Hai Ummu Sulaim, sesungguhnya
'Ali adalah dari dagingku sendiri" merupakan
hadits palsu. Buktinya adalah bahwa hadits itu diriwayatkan
oleh al-Aqili dari Ibn 'Abbas dalam kumpulan
hadits-hadits dha'if. Penulis al-Muntakhab mengutip
pendapat as-Suyuthi dalam Jam'ul Jawami' sebagai
berikut: "Untuk menjelaskan kedha'ifan hadits itu,
cukup menyandarkannya kepada al-Aqili" (lihat teks
pinggir kitab Musnad Ahmad, 1/8,9).
Adapun hadits yang kedua yang berkenaan dengan peristiwa
putri Hamzah, dan yang al-Musawi dalam komentarnya berkata:
"Hadits ini diriwayatkan oleh an-Nasa'i dalam
al-Khasha'is al-Alawiyah, maka hadits ini juga palsu.
Yang diduga memalsukannya ialah Ubad ibn 'Abdullah dan
Minhal ibn 'Umar. Ibn al-Jauzi telah mengutip dari para
ahli hadits mengenai kedha'ifan kedua perawi
tersebut.
Ibn Taimiyali berkata: Ubad meriwayatkan sesuatu yang
sudah bisa dipastikan kedustaannya melalui sanadnya dari
'Ali ibn Abi Thalib.
Mengenai hadits ketiga yang dikatakannya lahir ketika Abu
Bakar, 'Umar, dan Abu Ubaidah ibn al-Jarrah berada di
sisi Nabi. maka al-Aqili telah meriwayatkan hadits itu dalam
kelompok hadits-hadits dha'if. Sebagaimana dikemukakan
terdahulu, disandarkannya hadits itu kepada al-Aqili sudah
cukup sebagai bukti kedha'ifannya.
Adapun hadits-hadits yang dikatakan al-Musawi lahir
berkenaan dengan pengukuhan hari persaudaraan yang pertama
maka jawaban atasnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Al-Musawi tidak mengutip satu hadits pun yang
berkenaan dengan persaudaraan tersebut. Seandainya ia
menemukan satu hadits saja, pasti ia akan segera mengutipnya
walaupun hadits tersebut dha'if, sebagaimana
biasanya.
2. Pengukuhan tali persaudaraan (al-Mu'akhah) antara
sebagian kaum Muhajirin dengan sebagian yang lain di satu
pihak, dan antara sebagian kaum Anshar dengan sebagian
mereka yang lainnya di lain pihak, tidak ditetapkan adanya
oleh kitab-kitab hadits yang sahih. Tak satu pun hadits
mengenainya yang diriwayatkan oleh kitab-kitab sahih
tersebut. Hadits itu hanya dijumpai dalam buku-buku sejarah
dan buku-buku mengenai peperangan (al-Maghazi) melalui jalan
Muhammad ibn Ishak ibn Yasar. Sedangkan ulama hadits, ahlul
jarh wat-ta'dil, berbeda pendapat mengenai kehujjahan
Muhammad ibn Ishak. Sebagian mereka memandangnya tsiqat,
sebagian mereka yang lain memandangnya dha'if. Mereka
yang memandangnya dha'if mempertimbangkan
riwayat-riwayatnya yang berkaitan dengan sejarah. Sedang
mereka yang memandangnya tsiqat melihat pada
hadits-haditsnya yang tidak menyangkut sejarah. Berkata
adz-Dzahabi: "Ia baik haditsnya. Menurutku, dia tidak
punya dosa, hanya saja hadits-haditsnya yang bertalian
dengan sejarah lebih mendekati pada kemungkaran dan
dusta." (Mizal al-I'tidal, 3/469).
Mengingat hal di atas, para ulama berselisih paham
mengenai peristiwa persaudaraan yang pertama itu. Ibn
Taimiyah berkata:
"Sebagian orang, mengira bahwa persaudaraan itu
terjadiantara sebagian kaum Muhajirin dengan sebagian yang
lain. Sebab mengenai hal itu banyak diriwayatkan
hadits-hadits. Namun yang benar dan pasti, peristiwa
persaudaraan itu tidak ada. Hadits-hadits yang diriwayatkan
dalam kaitan ini, sama sekali bathil, baik karena
diriwayatkan oleh orang yang sengaja berbohong, atau karena
ia tersalah. Karena itu, para pakar hadits sahih tidak
meriwayatkan hadits di atas. Kenyataan demikian dapat
diketahui oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan
mengenai hadits-hadits sahih, sejarah yang mutawatir, dan
hal ihwal Nabi. Juga mengenai sebab dan tujuan pengukuhan
tali persaudaraan. Orang-orang yang terikat persaudaraan itu
saling mewarisi, sampai Allah menurunkan ayat:
"Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang
bukan kerabat) ". (QS, al-Anfal, 8:75). Ayat ini
berlawanan dengan ayat yang diturunkan Allah mengenai
pewarisan itu, yaitu ayat: "Dan jika (ada) orang-orang
yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah
kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan
segala sesuatu" (QS, an-Nisa', 4:97) (Minhaj
as-Sunnah, 4/97).
Ibn Hajar al-Asqalani membantah pendapat Ibn Taimiyah di
atas. Menurutnya, peristiwa persaudaraan antara sebagian
kaum Muhajirin dengan sebagian yang lain itu benar adanya
dan sahih. Berkata Ibn Hajar al-Asqalani: Di dalam buku
ar-Rad'ala ibn al-Muthahhar ar-Rafidhah, Ibn Taimiyah
menolak adanya peristiwa persaudaraan di kalangan kaum
Muhajirin, terutama persaudaraan Nabi dengan 'Ali ra.
Sebab, demikian Ibn Taimiyah, persaudaraan itu
disyari'atkan untuk meningkatkan kasih sayang diantara
sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Dengan begitu,
maka tidak ada artinya pengukuhan tali persaudaraan Nabi
dengan salah seorang dari mereka (kaum Muhajirin), juga
pengukuhan antara seorang Muhajir dengan Muhajir lainnya.
Pendapat ini, menurut Ibn Hajar, menentang nash dengan qias
(Fathul Bari, 7 /271).
Ibn Hajar keterlaluan terhadap Ibn Taimiyah, ketika ia
menuduh Ibn Taimiyah menentang nash dengan qias. Sebab Ibn
Taimiyah adalah salah seorang ulama yang paling kuat
berpegang pada nash. Ibn Taimiyah begitu dikenal mengenai
sikapnya yang demikian ini. Sehingga hal itu menjadi
indikator yang paling nyata dalam perjuangan hidup dan
dakwah Ibn Taimiyah. Setiap orang yang mempelajari riwayat
hidup dan pemikiran Ibn Taimiyah, akan mengakui kenyataan
ini. Bahkan satu hal yang mendorong Ibn Taimiyah untuk tidak
mengakui keabsahan peristiwa persaudaraan di kalangan Kaum
Muhajirin itu ialah karena kuatnya ia berpegang pada dalil.
Ketika ia tidak menemukan dalil yang sahih mengenai hal itu
dari buku-buku sejarah hidup Nabi, maka ia menentang dan
tidak mengakui keabsahannya. jika memang tidak ditemukan
dalil dalam masalah ini, bagaimana ia bisa dituduh menentang
nash dengan qias?
3. Jika dalil yang menyatakan adanya peristiwa
persaudaraan antara sebagian kaum Muhajirin dengan sebagian
yang lain sudah dipastikan tidak sahih, maka tidak sahih
pula dalil yang menceritakan adanya peristiwa persaudaraan
antara Nabi dengan 'Ali ibn Abi Thalib. Sebab
persaudaraan Nabi dan 'Ali merupakan cabang dari
persaudaraan yang pokok, yaitu persaudaraan di kalangan kaum
Muhajirin. Kesimpulannya, jika dalil pada masalah yang pokok
tidak sahih, maka dalil pada masalah cabang harus dinyatakan
tidak sahih pula. Wallahu a'lam.
4. Menurut al-Musawi, hadits yang menerangkan
peristiwa persaudaraan di kalangan kaum Muhajirin itu
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadits Zaid ibn Abi Aufa.
Pernyataan ini sesungguhnya dusta belaka Dan mendiskreditkan
Kitab Musnad dan penyusunnya. Hadits tersebut diambil dari
al-Ziyadat suSunan al-Qathi'i, yang, sudah disepakati
oleh para ahli hadits bahwa hadits-hadits dalam kitab
tersebut palsu.
Ibn Taimiyah berkata: Hadits itu tidak terdapat dalam
Kitab Musnad Imam Ahmad. Ia tidak meriwayatkannya, baik
dalam Musnad maupun dalam hadits-hadits yang menerangkan
keutamaan-keutamaan 'Ali (al-Fudha'il). Ia juga
tidak memandang hadits itu sahih. Adapun perkataan al-Musawi
bahwa hadits itu dari Musnad Ahmad, adalah perkataan yang
dusta dan memanipulir Kitab Musnad. Sesungguhnya ia
mengambilnya dari Ziyadat-nya al-Qathi'i yang
didalamnya terdapat banyak hadits yang sudah disepakati
kepalsuannya oleh para ahli hadits Al-Qathi'i
meriwayatkannya dari 'Abdullah ibn Muhammad ibn
'Abdil al-Azis al-Baghawi dari Husain ibn Muhammad
ad-Dari' dari 'Abdu al-Mu'min ibn 'Ibad
dari Yazid ibn Ma'an dari 'Abdullah ibn Syurakhbil
dari Zaid ibn Abi Aufa (Al-Minhaj, 4/75).
5. Mengenai perkataan Nabi dalam hadits: "Apa
yang diwarisi oleh para nabi sebelum aku adalah Kitab Suci
mereka dan sunnah nabi mereka", maka isi yang
terkandung dalam pernyataan ini tidak khusus untuk 'Ali
saja. Semua sahabat ikut mewarisi al-Kitab dan Sunnah dari
Nabi saw. Dalam hal ini keadaan mereka sama dengan keadaan
'Ali. Kalau pernyataan nabi itu bisa jadi dalil imamah,
maka hal itu bisa jadi dalil imamah pula untuk semua sahabat
nabi.
Ibn Taimiyah berkata: Adapun Ahlus Sunnah, mereka
meyakini bahwa ilmu yang diwariskan Nabi tidak hanya khusus
untuk 'Ali saja; tetapi untuk semua sahabat. Setiap
orang dari mereka mendapat bagian darinya. Tidaklah ilmu itu
seperti harta. ilmu yang di terima oleh seseorang dapat
diterima pula oleh yang lainnya, Dan kedua orang ini bisa
menerima tanpa berebutan, Sebab tidak halangan bagi
seseorang untuk mengetahui ilmu yang telah diketahui oleh
orang lainnya. Berbeda dengan harta, apa yang telah menjadi
milik seseorang, tidak bisa diambil oleh orang lain
(Al-Minhaj, 4/76).
Adapun hadits-hadits yang dikemukakan al-Musawi mengenai
peristiwa persaudaraan yang kedua, maka dapat ditanggapi
sebagai berikut:
1. Keterangan yang berkenaan dengan pengukuhan
tali persaudaraan yang kedua ini terdapat dalam
hadits-hadits yang sahih. Bukhari meriwayatkan dalam
sahihnya, Kitab 63, Bab 3 dan 50. Imam Muslim dalam Kitab
44, hal. 203-206. Abu Daud, Kitab 18, Bab 18. Ahmad ibn
Hambal, Juz III, hal: 111, Juz VI, hal. 436.
2. Dalam riwayat-riwayat yang sahih tersebut tidak
disebutkan mengenai pengukuhan persaudaraan Nabi dengan
'Ali. Keterangan mengenai pengukuhan persaudaraan ini
datang dari riwayat Muhammad ibn Ishak. Saya sudah
membicarakan riwayat ini panjang lebar ketika kami
membicarakan peristiwa persaudaraan antara sebagian kaum
Muhajirin dengan sebagian yang lain.
Muhammad ibn Ishak berkata: Rasulullah mengukuhkan tali
persaudaraan diantara sahabat-sahabatnya, baik Kaum
Muhajirin maupun Anshar. Nabi bersabda --kami berlindung
kepada Allah dari mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan
oleh Rasulullah--: Kukuhkan persaudaraan kamu di jalan
Allah, dua-dua! Lalu nabi memegang tangan 'Ali ibn Abi
Thalib, seraya berkata: "Ini saudaraku"!
Para ahli hadits sependapat mengenai validitas peristiwa
pengukuhan tali persaudaraan yang terjadiantara Kaum
Muhajirin dan Anshar ini. Mereka berbeda paham dalam hal
pengukuhan persaudaraan Nabi dan 'Ali. Sebab berita
mengenai persaudaraan yang terakhir ini berasal dari riwayat
Muhammad ibn Ishak. Dan sudah kami kemukakan sebelumnya
mengenai perselisihan ulama hadits menanggapi riwayat
Muhammad ibn Ishak.
Ibn Katsir punya komentar yang sangat bagus perihal
pengukuhan persaudaraan Nabi dengan 'Ali ibn Abi
Thalib. Ia sampaikan komentar tersebut setelah melihat
sebagian ulama menolak riwayat Muhammad ibn Ishak. Riwayat
itu menurut mereka perlu ditinjau kembali. Ibn Katsir
berkata: Adapun pengukuhan tali persaudaraan Nabi dan
'Ali, sebagian ulama mengingkari terjadinya peristiwa
itu.
Mereka juga menolak kesahihannya. Dasar yang mereka
gunakan ialah bahwa pengukuhan tali persaudaraan itu
disyari'atkan untuk meningkatkan loyalitas diantara
mereka. Kalau demikian, maka tidak ada artinya pengukuhan
persaudaraan Nabi dengan salah seorang dari mereka, atau
antara seorang Muhajir dengan Muhajir yang lainnya, seperti
pengukuhan tali persaudaraan Hamzah dengan Zaid ibn
Haritsah.
Ibn Katsir juga memberi tanggapan atas riwayat Muhammad
ibn Ishak berikut ini: Nabi tidak pernah menyerahkan
kepentingan 'Ali kepada orang lain. 'Ali termasuk
orang yang dibiayai hidupnya oleh Rasulullah sejak masih
kecil semasa hidup ayahnya, Abi Thalib. Demikian seperti
dikemukakan sebelumnya dari Mujahid dan lainnya. Hamzah juga
mengurus kepentingan bekas budak-budaknya, seperti Zaid ibn
Haritsah, maka Hamzah mengukuhkan tali persaudaraan
dengannya. Wallahu a'lam.
Demikian pula penuturannya mengenai pengukuhan
persaudaraan Ja'far dengan Mu'adz ibn Jabal.
Peristiwa ini perlu dikaji ulang, sebagaimana diisyaratkan
oleh 'Abdul Malik ibn Hisyam. Sebab Ja'far ibn Abi
Thalib datang ke Madinah pada penaklukan Khaibar atau tahun
ke-7 Hijriyah. Bagaimana mungkin ia dikukuhkan
persaudaraannya dengan Mu'adz ibn Jabal pada permulaan
Nabi datang ke Madinah?
Ibn Katsir juga berkata: Adapun perkataan Muhammad ibn
Ishak bahwa Abu Ubaidah dan Sa'ad ibn Mu'adz
dipersaudarakan, adalah berlawanan dengan apa yang
diriwayatkan Imam Ahmad yang bersumber dari Anas ibn Malik.
Dalam riwayat ini diceritakan bahwa Rasulullah mengukuhkan
persaudaraan Abu Ubaidah dengan Abu Thalhah. Hal serupa juga
diriwayatkan oleh Imam Muslim, Bahkan Muslim berkata:
Riwayat ini jauh lebih sahih dari riwayat Ibn ishak, yang
menceritakan pengukuhan persaudaraan Abi Ubaidah dan
Sa'ad ibn Muadz.1
Untuk menolak kebenaran pengukuhan persaudaraan Nabi dan
'Ali, Syaihul Islam ibn Taimiyah berkata: 'Akan
tetapi Nabi mempersaudarakan 'Ali dengan Sahal ibn
Hanif. Dari sini dapat diketahui bahwa Nabi tidak
mengukuhkan persaudaraan dengan 'Ali. Hal seperti ini
sesuai dengan hadits yang terdapat dalam Sahih Bukhari dan
Muslim. Di sini diterangkan bahwa pengukuhan persaudaraan
itu antara Kaum Muhajirin dengan Kaum Anshar, bukan antara
sebagian Kaum-Muhajirin dengan sebagian mereka yang
lain.
3. Hadits-hadits yang dikemukakan al-Musawi
mengenai pengukuhan persaudaraan yang kedua tidak lain
adalah hadits-hadits palsu, yang tidak ada dasarnya sama
sekali dalam buku induk hadits yang enam kutub as-sittah.
Semua hadits tersebut tidak dikenal di kalangan ahli hadits.
Karena itu, al-Musawi mengembalikan dalil-dalil itu pada
buku-buku yang tidak dapat dijadikan hujjah, seperti Tarikh
ibn 'Ady, al-Bawardi, Ibn Asakir dan buku-buku sejarah
lainnya. Hal ini dijelakan oleh al-Musawi dalam komentarnya
pada Dialog nomor 32. Ia berkata: "Keterangan yang
lebih terinci dapat dilihat pada buku-buku sejarah dan
hadits".
Adapun perkataan Nabi kepada 'Ali yang dikemukakan
al-Musawi: "Apakah engkau marah kepadaku ketika aku
mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar
al-Musawi tidak menyebutkan hadits ini hingga tuntas
sebagaimana yang terdapat dalam al-Muntakhab al-Kanz,
sehingga tidak nampak kelemahan hadits ini yang kandungannya
bertentangan dengan nash-nash al-Qur'an dan hadits.
Adapun bunyi hadits tersebut selanjutnya yang tidak
disebutkan oleh al-Musawi adalah sebagai berikut:
"Ingatlah barangsiapa mencintaimu ia akan mati membawa
iman. Dan barangsiapa membencimu, Allah akan mematikan dia
dalam keadaan jahiliyah dan Allah akan menghisab semua
perbuatannya". Hadits ini jelas bertentangan dengan
al-Qur'an dan Sunnah yang menetapkan bahwa setiap orang
mu'min akan dihisab segala perbuatannya, baik ia
mencintai 'Ali ataupun membencinya. Sedang hadits itu
mengkhususkan perhitungan amal (hisab) hanya untuk
orang-orang yang benci kepada 'Ali ibn Abi Thalib saja.
Hal seperti ini memang sejalan dengan keyakinan kaum
Rafidhah, bahwa perbuatan maksiat tidak berdampak apa apa
bagi orang yang mencintai 'Ali. Sebaliknya, tindak
kepatuhan tidak mempunyai nilai apa-apa bagi orang yang
membenci 'Ali ibn Abi Thalib.
4. Di muka sudah disebutkan bahwa hadits manzilah
itu diucapkan Nabi pada perang Tabuk, dan hanya sekali itu
saja, tanpa pernah mengulanginya lagi, baik pada peristiwa
pengukuhan tali persaudaraan maupun pada peristiwa lain.
Keterangan demikian sudah menjadi kesepakatan semua ahli
hadits.
5. Andaikata pengukuhan tali persaudaraan antara
Nabi dan 'Ali itu benar-benar ada, hal itu juga tidak
mengimplikasikan keutamaan dan keimaman 'Ali. Sebab Abu
Bakar juga memiliki banyak keutamaan. yang tidak dimiliki
oleh sahabat yang lain. Misalnya ketika nabi memberitahukan
bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling beliau cintai. Dan
semua sahabat menyaksikan pernyataan Nabi itu, termasuk
'Ali ibn Abi Thalib.
Rasulullah sendiri mengukuhkan persaudaraannya dengan
orang lain, bukan 'Ali, sebagaimana disebutkan dalam
Sahih Bukhari dan Muslim bahwa Nabi berkata kepada Zaid:
"Kamu adalah saudaraku dan kekasihku." Ketika Nabi
melamar 'A'isyah, Abu Bakar berkata kepada Nabi:
"Tidakkah aku saudaramu, ya Rasulullah?" Jawab
Nabi: "Aku saudaramu, tapi putrimu halal untukku."
Nabi juga berkata kepadanya: "Tetapi saudara
seagama." Demikian juga Nabi memberikan predikat kepada
orang-orang mu'min sesudahnya sebagai saudara. Suatu
ketika nabi berkata: "Aku ingin sekiranya aku melihat
saudara-saudaraku." Para sahabat bertanya:
"Bukankah kami adalah saudaramu, hai Rasulullah?"
"Bukan", jawab Nabi. "Kalian semua adalah
sahabat-sahabatku. Saudara-saudaraku adalah orang-orang yang
datang sesudahku; mereka beriman kepadaku padahal mereka
tidak pernah melihatku
"2
Di dalam Kitab Sahih Bukhari diceritakan dari Ibn
'Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda: "Sekiranya
aku boleh mengambil kekasih (selain Tuhanku), pasti aku akan
mengambil Abu Bakar sebagai kekasihku."
Adapun hadits-hadits yang dikemukakan al-Musawi mengenai
perintah penutupan pintu-pintu, dan bahwa Nabi memerintahkan
menutup semua pintu rumah sahabat yang menghadap ke masjid
kecuali pintu rumah 'Ali ibn Abi Thalib, dan bahwa Nabi
memperbolehkan 'Ali untuk berada di masjid dalam
keadaan junub dan hadits-hadits lain yang serupa, maka untuk
menanggapinya, hadits-hadits tersebut perlu ditinjau dari
berbagai segi:
1. Hadits yang dikemukakan al-Musawi yang
bersumber dari Jabir ibn Abdullah yang berbunyi: "Wahai
'Ali, dihalalkan bagimu di dalam Masjid apa yang
dihalalkan bagiku dan sesungguhnya kedudukanmu di sisiku
sama dengan kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak
ada nabi setelahku". Sesungguhnya hadits ini adalah
hadits palsu. Untuk melihat kepalsuannya anda cukup melihat
kitab rujukan di mana hadits itu dimuat, yaitu kitab
Fadha'il Ahlu al-'Bait, karya Akhthab Khawarizmi.
Tahukah anda, siapa Akhthab Khawarizmi itu? ia adalah
seorang pujangga Syi'ah, murid az-Zamakhsyari. Nama
Akhthab yang sebenarnya adalah Muwafik ibn Ahmad ibn Ishak.
Biografinya tertulis dalam buku Baghiyah al-Wu'at, hal.
401, Raudhatul Jannat, hal. 722, dan buku-buku lainnya.
Bukunya yang memuat keutamaan-keutamaan Ahlu al-Bait itu
penuh dengan kebohongan.3
Menurut Ibn Taimiyah, Akhthab Khawarizmi bukan seorang
ahli hadits, juga bukan orang yang bisa dimintai pendapatnya
dalam soal ini.4
2. Menurut kesepakatan para ahli hadits, pintu
yang diperkenankan oleh Nabi untuk tetap terbuka ketika
beliau menyuruh menutup semua pintu yang berhubungan
langsung dengan masjid adalah pintu rumah Abu Bakar
as-Siddiq. Hal ini diterangkan dan ditetapkan dalam Kitab
Sahih Bukhari dan Muslim.
Bukhari menceritakan dari Ibn 'Abbas bahwa
Rasulullah saw bersabda: "Tutuplah semua pintu selain
pintu Abu Bakar". Bukhari juga meriwayatkan dari Abi
Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw berpidato di depan umum.
Beliau mengatakan: "Sesungguhnya Allah telah menawarkan
kepada seorang hamba untuk memilih antara dunia dan apa yang
ada di sisi-Nya. Maka si hamba memilih apa yang ada di
sisi-Nya." Berkata Abu Sa'id: Abu Bakar kemudian
menangis, dan kami pun heran, mengapa Abu Bakar menangis
mendengar apa yang dikatakan Rasulullah itu. Ternyata si
hamba itu adalah Rasulullah sendiri dan Abu Bakar adalah
orang yang paling tahu diantara kita. Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya orang yang paling terpercaya bagiku, baik
dalam persahabatan maupun dalam hartanya, adalah Abu Bakar.
Seandainya aku boleh mengambil seorang kekasih selain
Tuhanku, pasti aku mengambil Abu Bakar sebagai kekasihku.
Akan tetapi cukuplah menjadi saudara seagama (Islam) dan
berkasih sayang didalamnya. Janganlah ada pintu terbuka di
dalam masjid selain pintu Abu Bakar.".
Hadits di atas diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab 5
hadits nomor. 23, kitab 4 hadits nomor 2-7. Thirmidzi, kitab
46 bab 14 dan 15; Ibn Majah, Mukaddimah. Bab 11, Ahmad ibn
Hambal jilid I hal. 270, 377, 389, 408, 412, jilid III, hal.
18, 77, jilid IV, hal. 4, 5, dan 211. Ad-Darimi, kitab 21,
bab 11, Ibn Sa'ad jilid 11, hal. 25,jilid 111, hal.
124.
3. Adapun hadits yang mengandung perintah untuk
menutup semua pintu selain pintu 'Ali, tidaklah
terdapat sama sekali dalam Kitab Sahih Bukhari dan Muslim .
Adalah Imam Tirmidzi dan Ahmad yang meriwayatkan hadits
itu.
Mengenai hadits Thirmidzi, riwayatnya berasal dari
Muhammad ibn Humaid dari Ibrahim ibn al-Mukhtar dari
Syu'bah dari Abi Yahya dari Amr Ibn Maimun dari Ibn
'Abbas, bahwa Rasulullah saw menyuruh menutup semua
pintu kecuali pintu 'Ali ibn Abi Thalib.
Ath-Thirmidzi berkata: "Hadits ini gharib. Aku tidak
mengetahuinya dari Syu'bah melalui isnad ini kecuali
seginya yang gharib itu." Ini berarti Tirmidzi
mendha'ifkan hadits tersebut. Pada umumnya hadits yang
gharib itu memang dha'if.
Dalam kitab at-Taqrib, an-Nawawi berkata: "Hadits
gharib itu ada dua macam, yaitu sahih dan dha'if Namun
umumnya hadits gharib itu dha'if. Dalam syarah bukunya
as-Suyuthi berkata: Biasanya kedha'ifan itu ada pada
hadits-hadits yang gharib. Ahmad ibn Hanbal berkata:
Janganlah kamu menulis hadits-hadits gharib, karena
hadits-hadits itu mungkar dan biasanya dha'if. Berkata
'Abdul Razzaq: Saya kira hadits gharib itu baik,
ternyata buruk"!) (Mizan al-I'tidal, jilid IV,
hal. 398).
Ibn Rajab berkata: Ketahuilah bahwa Tirmidzi meriwayatkan
didalam kitabnya hadits-hadits yang sahih, hasan dan gharib.
Hadits-hadits gharib yang ia riwayatkan, sebagian darinya
adalah hadits mungkar, terutama dalam kitab al-Fadhail
) (Minhaj as-Sunnah, jilid 111, hal. 9 ).
Adapun hadits yang diriwayatkan Ahmad, hadits itu
terdapat dalam jilid 1, hal. 175, 330, jilid II, hal. 26,
jilid IV, hal. 369. 'Abdullah berkata: Ayahku bercerita
kepadaku, dari Hujaj dari Fathar dari 'Abdullah ibn
Syarik dari 'Abdullah ibn ar-Raqim al-Kanany. Katanya:
Kami pergi ke Madinah pada masa Perang al-Jamal, lalu kami
berjumpa Sa'ad ibn Malik. Ia mengatakan bahwa
Rasulullah saw (dahulu) menyuruh menutup semua pintu yang
berhubungan langsung ke masjid, tapi beliau tidak menyuruh
menutup pintu 'Ali.
Hadits ini dha'if karena tidak dikenalnya
'Abdullah ibn Raqim al-Kunani. Penulis al-Khulashah
berkata: 'Abdullah ibn Raqim adalah perawi yang majhul.
'Abdullah ibn Syarik menerima hadits itu darinya. Dan
dia sendiri menerimanya dari 'Ali.
Pada jilid 1, hal. 330, Imam Ahmad meriwayatkan dari
'Umar Ibn Maimun sebuah hadits yang panjang dimana
didalamnya terdapat sabda Rasul "
Tutuplah semua
pintu yang berhubungan langsung ke masjid kecuali pintu
'Ali
" Ibn Ma'in memandang 'Umar
ibn Maimun sebagai orang yang tsiqat. Ibn Adi berkata:
'Umar ibn Maimun banyak meriwayatkan hadits-hadits
mungkar dari sekelompok perawi hadits yang dha'if. Aku
tidak mengetahui yang dha'if dari hadits-hadits itu.
Menurut Ibn Taimiyah, hadits itu bukan hadits musnad,
melainkan mursal jika benar dari 'Umar Ibn Maimun.
Muhibuddin al-Khatib menjelaskan sebab kemursalan hadits
tersebut dengan menyatakan bahwa 'Umar Ibn Maimun
memeluk Islam di tangan Muadz ibn Jabal, dan ia belum pernah
bertemu dengan Rasulullah saw.
Dalam sanad hadits itu terdapat Abu Balaj Yahya ibn
Sulaim. Ibn Ma'in memandangnya sebagai orang yang
tsiqat. Demikian pula lbn Sa'Ad dan an-Nasa'i.
Sedang Ubaidillah ibn 'Umar Ibn Maimun tidak mereka
pandang tsiqat. Abu Hatim berkata: Ia jujur, tetapi tidak
hafidz. Ia tidak dapat dijadikan hujjah. Menurut Bukhari, ia
bisa dipertimbangkan. Menurut Ahmad, 'Umar Ibn Maimun
sering meriwayatkan hadits-hadits mungkar. Ibn Hibban
memandangnya sebagai orang yang sering keliru. Al-Jauzjani
menilainya tidak tsiqat. Al-Hafidz adz-Dzahabi berkata:.
"Diantara hadits-hadits mungkar yang diceritakan dari
'Umar Ibn Maimun dari Ibn 'Abbas adalah bahwa
Rasulullah saw menyuruh menutup semua pintu kecuali pintu
'Ali ibn Abi Thalib.
Dalam Musnad, jilid 11, hal. 62 di dalam sanadnya
terdapat Maimun Maula'Abdul Rahman ibn Samarah Abi
'Abdullah. Ia adalah perawi yang dha'if. Ahmad
berkata: Yahya al-Qathan tidak meriwayatkan hadits dari
Maimun Abi 'Abdillah. Menurut Ahmad, hadits-hadits
Maimun mungkar. Ibn Ma'in berkata: Tidak ada sesuatu
(yang berarti) padanya. Syu'bah justru menduga
hadits-hadits yang diriwayatkan Maimun itu lemah dan tidak
bernilai (radzil). Al-'Aqili, dalam komentarnya
terhadap hadits "Tutuplah semua pintu kecuali pintu
'Ali" berkata: Sesunguhnya terdapat sanad lain
yang lebih bagus dari sanad ini. Akan tetapi didalamnya juga
terdapat kelemahan (Mizan al-I'tidal, 4/235).
4. Di muka sudah dikemukakan hadits-hadits yang
menerangkan perintah penutupan semua pintu selain pintu
'Ali. Juga sudah dikemukakan hadits-hadits yang
mengandung perintah nabi untuk menutup semua pintu kecuali
pintu Abu Bakar as-Siddiq. Dari sini kita dapat mengambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Para 'Ahli hadits sepakat mengenai kesahihan
hadits-hadits yang mengandung perintah penutupan semua
pintu, kecuali pintu Abu Bakar. Tidak seorang pun yang
berselisih paham dalam soal ini. Di lain pihak, kita melihat
perbedaan pendapat mengenai kesahihan hadits-hadits yang
menerangkan penutupan pintu kecuali pintu 'Ali. Bahkan
mereka menjelaskan bahwa hadits-hadits ini mungkar dan
dha'if, sebagaimana telah dijelaskan terdahulu.
Hadits-hadits itu benar-benar dha'if dan mungkar dan
berlawanan dengan hadits-hadits sahih yang terdapat dalam
Sahih Bukhari Muslim dan kitab-kitab hadits lainnya. Juga
berlawanan dengan hadits yang mengandung perintah nabi untuk
menutup semua pintu kecuali pintu Abu Bakar. Karena itu,
para ahli hadits menggugurkan kekuatan hadits-hadits itu
sebagai hujjah. Bahkan sebagian mereka memandang sebagai
hadits-hadits buatan (al-maudhu'at), seperti Ibn
al-Jauzi dan Ibn Taimiyah, dan lain-lainnya.
Menolak pandangan Ibn al-Muthahhar, Ibn Taimiyah berkata:
"Demikian pula perkataan Nabi "Tutuplah semua
pintu; kecuali pintu 'Ali ibn Abi Thalib". Hadits
ini buatan orang Syi'Ah sebagai perbandingan. Ia
kemudian mengemukakan satu hadits sahih dari riwayat Abi
Sa'id yang menceritakan bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Semua pintu-pintu yang berhubungan langsung ke masjid
harus ditutup, kecuali pintu Abu Bakar". Hadits ini
terdapat dalam Kitab Sahih Bukhari dan Muslim dari riwayat
'Abdullah ibn 'Abbas (Minhaj as-Sunnah, 3/9).
Saya tidak mengerti mengapa Ibn Hajar al-Asqalani
menyalahkan pendapat ini, dan memandangnya sebagai
dilandaskan pada anggapan adanya kontradiksi (ta'arudh)
antara hadits-hadits yang mengecualikan pintu 'Ali
dengan hadits-hadits yang mengecualikan pintu Abu Bakar.
Tampaknya Ibn Hajar memandang hadits-hadits yang
mengecualikan pintu 'Ali sebagai tanpa cacat atau
kelemahan. Bahkan ia memandang hadits-hadits itu sederajat
dengan hadits-hadits yang mengecualikan pintu Abu Bakar.
Karena itu, Ibn Hajar mencoba mengkompromikan kedua macam
hadits itu. Padahal tindakan kompromi hanya bisa dilakukan
manakala dalil-dalil kedua pendapat itu setingkat, baik dari
segi kekuatan maupun kelemahannya. Sementara kenyataannya
tidaklah demikian, sebagaimana kita lihat dari pendapat para
ahli hadits mengenai hadits-hadits yang mengecualikan pintu
'Ali. Sedangkan hadits-hadits yang mengecualikan itu
Abu Bakar disepakati keabsahannya, dan tak ada satu pun yang
dha'if. Karena itu yang mesti dijadikan hujjah adalah
hadits-hadits yang pertama (hadits-hadits yang mengecualikan
pintu Abu Bakar), bukan hadits Yang kedua (hadits-hadist
yang mengecualikan pintu 'Ali). Tidak ada alasan sama
sekali untuk melakukan kompromi. Wallahu a'lam.
Ibn Hajar berkata: "Ibn al-Jauzi mengemukakan hadits
itu (hadits yang mengecualikan pintu 'Ali) dalam
kelompok hadits-hadits palsu (al-maudhu'at)". Ia
meriwayatkannya dari hadits Sa'ad ibn Abi Waqqash,
Zayid ibn Arqam, dan Ibn 'Umar, dengan membatasi diri
pada sanad dari mereka saja. Ia memandang lemah hadits
tersebut lantaran apa yang dikatakan orang mengenai sebagian
perawinya, padahal hal itu tidaklah menjadikan kelemahan,
sebab hadits itu mempunyai banyak jalan. Ia juga
menganggapnya lemah karena bertentangan dengan hadits-hadits
sahih yang mengecualikan pintu Abu Bakar
Dan berkata
Ibn Hajar: Di sinilah kesalahan Ibn al-Jauzi. Ia menolak
hadits-hadits sahih dengan tuduhan ada kontradiksi. Padahal
mengkompromikan dua versi hadits itu masih mungkin
Misalnya dengan memahami bahwa perintah Nabi untuk menutup
pintu-pintu itu terjadi dua kali (Al-Fath, 7/15).
5. Kalaulah kita menetapkan adanya hadits-hadits
yang berkenaan dengan pintu 'Ali, dalam hadits ini juga
tidak ada perkataan Nabi kepada 'Ali "Engkau di
sisiku sama dengan Harun di sisi Musa" berdasarkan
kesepakatan ulama hadits. Sudah menjadi kemakluman bahwa
pernyataan Nabi yang terakhir ini hanya diucapkan sekali
saja dalam perang Tabuk. Beliau tidak pernah
mengulanginya.
6. Kalaupun kita menetapkan adanya hadits-hadits
itu, maka hal itu juga tidak menunjukkan keutamaan dan
kepemimpinan 'Ali. Sebab kalau kita menerima logika
pemikiran seperti itu, maka Abu Bakar akan memiliki
keutamaan yang lebih tinggi dari 'Ali, dan lebih berhak
untuk menjadi pemimpin, sebab hadits-hadits yang berkenaan
dengan penetapan pintu Abu Bakar lebih sahih dibanding
hadits-hadits yang berkenaan dengan penetapan pintu
'Ali ibn Abi Thalib.
Catatan kaki:
1 As-Sirat an-Nabawiyah,
jilid IV, hal. 326.
2 Ibn Taimiyah, Op.Cit.
Jilid IV, hal. 76.
3 Al-Muntaqi, hal.
312
4 Manhaj as-Sunnah, jilid
III, hal. 10.
|