Sunni yang Sunni
Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ah-nya al-Musawi

Mahmud az-Za'by

Sanggahan terhadap Dialog 27-28

(1) Yang dimaksud dengan hadits Manzilah ialah perkataan Nabi kepada 'Ali berikut ini: "Engkau di sisiku seperti halnya Harun di sisi Musa".

Hadits ini terdapat dalam kitab Sahih Bukhari dan Muslim, juga terdapat dalam kitab-kitab hadits yang lainnya tanpa diragukan lagi. Nabi mengucapkan hadits ini pada perang Tabuk ketika beliau mengangkat 'Ali sebagai penggantinya di Madinah. Hal seperti ini biasa dilakukan Nabi kepada sebagian sahabatnya untuk menggantikan beliau di Madinah ketika beliau pergi berperang, umrah atau melakukan ibadah haji. Hadits ini jika tidak sahih sebagaimana kata al-Amidi, maka jelas tidak dapat dijadikan hujjah.

Jika hadits tersebut sahih sebagaimana diakui oleh para imam hadits dan terdapat dalam kitab Bukhari-Muslim, juga tidak dapat dijadikan dalil atas madzhab al-Musawi. Bahkan hadits ini berlawanan dengan madzhabnya ditinjau dari beberapa segi:

  1. Hadits ini menyamakan kedudukan 'Ali di sisi Nabi dengan kedudukan Harun di sisi Musa dalam hal sebagai pengganti semata, bukan dari segi yang sifatnya umum. Sebab menganggap umum atas penyerupaan tersebut mengharuskan tetapnya nubuwwah (kenabian) pada 'Ali sebagaimana pada Harun as. Dan tidak ada seorang pun Muslim yang berakal berpendapat demikian. Bagaimana bisa, sedangkan Nabi sendiri menetapkannya demikian dengan penegasannya dipenghujung hadits tersebut: "Hanya saja tidak ada nabi setelahku!
  2. Jika penyerupaan tersebut hanya dari segi penggantiannya saja, maka hadits itu tidak hanya dikhususkan untuk 'Ali saja. Sebab Nabi juga mengangkat pengganti sahabat lain selain 'Ali, sebelum maupun sesudah perang Tabuk.
  3. Pengangkatan Nabi kepada 'Ali ra pada perang Tabuk tidak menunjuk pada keutamaan 'Ali atas sahabat Nabi yang lain. Sebab dalam hal ini para sahabat yang lain juga memiliki kedudukan yang sama dengan 'Ali. Alasan Nabi membuat pernyataan khusus tersebut untuk 'Ali, tidak lain karena Nabi ingin menyejukkan hati 'Ali ketika dia mengadu kepada Nabi (sambil menangis) mengenai tugasnya itu.
  4. Zhahir hadits ini menetapkan bahwa 'Ali adalah pengganti Nabi selama beliau berada di Tabuk, sebagaimana Harun menjadi pengganti Musa bagi kaumnya selama Musa pergi meninggalkan mereka untuk bermunajat kepada Tuhannya. Inilah yang dimaksud perkataan Musa kepada saudaranya, Harun: "Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku". (QS, al-A'raf, 7:142). Dalam pernyataan ini tidak ada keumuman sama sekali.
  5. Hadits ini menetapkan bahwa Nabi mengangkat 'Ali sebagai pengganti selama beliau berada di Tabuk. Dan ini berlaku di masa hidup Nabi, dan tidak menunjukkan kekhalifahan 'Ali sepeninggal Nabi. Kalau klaim kekhalifahan seperti itu diterima, maka klaim serupa dari setiap sahabat yang pernah ditunjuk Nabi sebagai penggantinya, harus diterima dan dibenarkan pula. Maka bagaimana al-Musawi bisa menganggap klaim mereka itu tidak benar (bathil), sedangkan klaim mereka sama dengan klaim al-Musawi sendiri?

Ahlus Sunnah wal Jama'ah menetapkan kesahihan hadits di atas sebagaimana mereka menetapkan semua keutamaan 'Ali yang ada dalam Sunnah. Keutamaan itu jumlahnya banyak, dan disebutkan dalam kutub as-sittah. Hadits-hadits yang sahih dan hasan saja sudah cukup untuk menetapkan keutamaan-keutamaan 'Ali, tanpa perlu ditambah propaganda-propaganda murahan yang dibuat kaum Rafidhah dan kedustaan mereka atas nama 'Ali dan Rasulullah, dan tindakan mereka menempatkan 'Ali pada kedudukan yang tidak diridhai oleh beliau sendiri. Seharusnya mereka kembali kepada kitab-kitab hadits standar tersebut agar bisa belajar mengenai keadilan, objektivitas, kejujuran, dan sikap-sikap yang bersih dari rasa fanatisme dan berlebih-lebihan. Agar supaya mereka sadar bahwa mereka terjebak dalam lembah kebodohan dan kesesatan.

Sesungguhnya pengakuan Ahlus Sunnah terhadap hadits ini, yaitu hadits yang menjadi dasar sikap kaum Rafidhah yang berlebih-lebihan, merupakan bukti nyata atas sikap adil kaum Ahlus Sunnah. Juga bukti terbebasnya mereka dari sikap fanatik dan menuruti hawa nafsu, serta terbebasnya mereka dari tuduhan tidak senonoh yang dilontarkan al-Musawi pada dialog sebelum ini (Dialog nomor 22): Berkata al-Musawi: "Dan banyak diantara tokoh-tokoh Ahlus Sunnah berperilaku seperti ini, tidak jujur dan fanatik (semoga Allah mengampuni mereka!). Mereka menyembunyikan setiap keterangan yang sejalan dengan ini, dan untuk itu mereka memiliki cara yang telah umum diketahui …"

Anda lihatkah kezaliman dan kedustaan ini? Seandainya benar tokoh-tokoh Ahlus Sunnah seperti yang dikatakan al-Musawi, maka keterangan pertama yang akan mereka sembunyikan adalah hadits ini, yang menjadi salah satu pokok perselisihan antara kaum Rafidhah dan Ahlus Sunnah. Al-Musawi tidak dapat menahan rasa dengki dan kebenciannya terhadap Ahlus Sunnah, hingga ketika mereka mengakui keabsahan hadits ini dan hadits lain yang berkenaan dengan keutamaan 'Ali, dia lantas meragukan motivasi dan ketulusan Imam Bukhari terhadap Ahlul Bait. Menurutnya apa yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam Kitab Sahihnya itu hanyalah karena terpaksa saja. Lalu ia berkata: "Seseorang telah menggasab atau merampas berbagai keutamaan 'Ali dan Ahlul Bait".

Pertanyaan yang patut kita kemukakan di sini adalah: Apa yang memaksa Bukhari untuk mengeluarkan hadits ini maupun hadits-hadits lainnya yang berkenaan dengan keutamaan 'Ali, jika seandainya hadits-hadits itu tidak sahih atau seandainya Bukhari memusuhi Ahlul Bait, sebagaimana yang digambarkan al-Musawi?

Sesungguhnya perselisihan dan perang yang terjadiantara 'Ali dan Mu'awiyah, tidaklah mempengaruhi sifat adil dan kejujuran salah seorang diantara mereka. Apa lagi masing-masing dari mereka mendengar langsung apa yang dikatakan Nabi mengenai yang lain. Karena itu, Mu'awiyah tidak mengingkari hadits manzilah. Bagaimana ia akan mengingkarinya sedang ia mendengarnya sendiri dari Rasulullah saw. Akan tetapi menurut al-Musawi, pengakuan Muawiyah terhadap hadits itu tidak bisa membebaskannya dari kesalahan, dan dia tetap menyembunyikan rasa dengkinya, atau menundanya.

Al-Musawi berkata: "Mu'awiyah adalah pemimpin kelompok pembangkang (al-fi'ah al-baghiyah)". Pernyataan ini didasarkan kepada hadits sahih, yaitu perkataan Nabi, kepada 'Ammar bin Yasir: "Kamu akan dibunuh oleh kelompok pembangkang". Dan ternyata 'Ammar terbunuh sebagai tentara 'Ali (dalam pertempuran melawan Mu'awiyah). Dengan demikian, banyak orang, terutama kaum Rafidhah, memahami hadits itu sebagai bukti bahwa kelompok Mu'awiyah adalah kaum pembangkang. Akan tetapi ulama-ulama salaf berpendapat lain dari itu. Mereka tidak menyebut kelompok Mu'awiyah sebagai kelompok pembangkang, sebab belum terpenuhi syarat-syaratnya.

Berkata Ibn Taimiyah: Kebanyakan tokoh-tokoh dan pemuka-pemuka ulama salaf, seperti Abu Hanifah, Ahmad dan lain-lainnya, berpendapat bahwa tidak dijumpai suatu syarat memerangi kelompok pembangkang. Sebab Allah tidak menyuruh memerangi mereka terlebih dulu. Allah memerintahkan untuk mendamaikan dua kelompok yang sedang bertikai. Jika salah satu ada yang membangkang, maka ia wajib diperangi. Kelompok Mu'awiyah diserang lebih dahulu, bukan yang mula-mula menyerang. Karena itu, menurut Imam Ahmad dan Malik, perang antara Mu'awiyah dan 'Ali merupakan fitnah (huru-hara). Menurut Abu Hanifah, tidak dibenarkan memerangi kelompok pembangkang sampai mereka menyerang imam lebih dahulu. Dan mereka (kelompok Mu'awiyah) bukan yang lebih dahulu memulai perang. Adapun kaum Khawarij, mereka lebih dahulu memulai perang. Karena itu, kewajiban memerangi mereka ditetapkan oleh nash dan ijma'. Jika pendukung 'Ali berkata: " 'Ali berijtihad dalam perang itu", maka lawannya pun akan berkata pula: "Mu'awiyah juga berijtihad dalam hal itu" (Ibn Taimiyah, Manhaj as-Sunnah, 4/205).

Orang Rafidhah berkata: "Mu'awiyah melaknat 'Ali di atas mimbar-mimbar kaum Muslimin". Pernyataan ini dusta belaka, bahkan bertentangan dengan kenyataan yang ada pada Muawiyah, bahwa dia menangis pada saat terbunuhnya 'Ali, dan bahwa dia mengasihi 'Ali dan mengakui kelebihannya, sebagaimana tertulis dalam buku-buku sejarah.

Pendek kata ummat Islam selalu akan berselisih paham dalam masalah syari'at mana kala mereka sedang berselisih antara yang satu dengan yang lainnya dengan cara berperang, saling mengecam, saling mengkafirkan, dan bentuk-bentuk perselisihan lainnya. Hal demikian sebagaimana dikuatkan oleh contoh dalam Kitab Bukhari-Muslim, mengenai hadits al-ifki. Nabi bersabda: "Siapakah yang mau membebaskan aku dari gangguan seorang laki-laki yang telah menyakiti aku dalam soal keluargaku?" Demi Allah, aku tidak pernah melihat dalam keluargaku, kecuali kebaikan. Orang-orang telah menjelek-jelekkan seorang laki-laki yang demi Allah, aku tidak pernah melihat pada dirinya kecuali kebaikan. Dan dia tidak pernah datang menemui keluargaku, kecuali bersamaku". Sa'ad ibn Mu'adz berkata: "Saya akan membebaskan Tuan dari orang itu. Jika dia dari suku 'Aus, akan saya penggal lehernya. Dan jika dia dari saudara kami suku Khazraj perintahkanlah kepada kami, dan kami akan membereskan urusan Tuan dengannya." Sa'ad ibn Ubadah --yang dikenal baik, tapi terbawa emosi-- berkata: "Bohong kamu! Demi Tuhan, engkau tidak akan membunuhnya dan tidak akan mampu membunuhnya. Maka Usaid ibn Hadhir berdiri sambil berkata: "Bohong kamu! Demi Allah, kami akan membunuhnya. Engkau seorang munafik dan berdebat untuk membela orang-orang munafik. Situasi yang panas dan runyam ini terus berlanjut, sampai Rasulullah meredakan mereka …"

Kenyataan di atas maupun kenyataan lainnya terjadi diantara ummat Islam karena adanya ta'wil (penafsiran). Peperangan dan pertumpahan darah yang terjadiantara 'Ali dan Mu'awiyah juga karena ta'wil yang berbeda. Caci maki antara kedua kubu mereka juga karena masing-masing pihak melakukan salah ta'wil mengenai pihak lainnya. Apakah ini suatu dosa atau ijtihad yang salah ataupun benar, yang pasti ampunan atau maghfirah Allah dan rahmat-Nya selalu terbuka dengan taubat, kebaikan dan kebenaran. Wallahu a'lam! (Ibid, hal. 2/221).

Dari keterangan di atas, pembaca boleh heran akan sikap al-Musawi yang tidak punya rasa malu, dan kesombongannya terhadap sahabat-sahabat Nabi, yaitu orang-orang yang dilarang keras oleh Rasulullah untuk dicerca, sebagaimana diterangkan dalam beberapa hadits sahih. Kesombongan al-Musawi dapat dilihat ketika ia memandang Mu'awiyah sebagai orang yang tidak punya malu. Adapun riwayat yang dikemukakan al-Musawi bahwa Mu'awiyah bertanya kepada Sa'ad ibn Abi Waqqash: "Mengapa-engkau tidak mencerca Abu Turab ('Ali)? …" Riwayat ini memang sahih, diriwayatkan oleh imam Muslim, berkenaan dengan beberapa keutamaan 'Ali. Akan tetapi dari hadits ini tidak dapat disimpulkan bahwa Mu'awiyah mencaci-maki 'Ali di mimbar-mimbar kaum Muslimin. Juga tidak dapat disimpulkan bahwa Mu'awiyah menyuruh Sa'ad mencerca 'Ali.

Imam Nawawi ra dalam mengomentari hadits di atas berkata: Menurut para ulama, semua hadits yang pada zhahirnya mengandung serangan terhadap pribadi salah seorang sahabat, maka hadits itu harus ditakwilkan. Mereka berpendapat, semua hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi yang tsiqat pasti dapat ditakwilkan. Karena itu, perkataan Mu'awiyah di atas, tidak harus berarti dia menyuruh Sa'ad mencerca 'Ali. Dia hanya bertanya faktor apa yang menyebabkan Sa'ad tidak melakukan cercaan itu. Seakan-akan Mu'awiyah berkata: "Apakah engkau tidak melakukan itu karena wira'i (khawatir berbuat dosa), takut atau sebab lain? "jika kamu tidak mencerca 'Ali lantaran wira'i atau karena mengagungkan dia, maka kamu termasuk orang yang baik dan benar. Kalau bukan karena itu, tentu kamu punya alasan lain." Barangkali juga Sa'ad ketika itu berada di tengah-tengah suatu kelompok yang mencaci 'Ali, tetapi dia tidak turut mencaci bersama mereka. Dia mungkin tidak sanggup menentang mereka, tapi juga tidak setuju dengan mereka. Lalu Mu'awiyah mengajukan pertanyaan seperti itu kepada Sa'ad. Menurut mereka, hadits itu dapat juga ditakwilkan begini: "Mengapa kamu tidak menyalahkan pendapat dan ijtihad 'Ali, dan memperlihatkan kepada semua orang bahwa pendapat dan ijtihad kami benar, sedang ijtihad 'Ali salah?" (Imam Nawawi, Syarah Muslim, 15/175-176).


Sunni yang Sunni -- Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi oleh Mahmud az-Zaby
Diterjemahkan dari Al-Bayyinat, fi ar-Radd' ala Abatil al-Muraja'at
karangan Mahmud az-Za'bi, (t.p), (t.t). © Mahmud az-Za'bi.
Penerjemah: Ahmadi Thaha dan Ilyas Ismail
Penyunting: Ahsin Mohammad
Diterbitkan oleh Penerbit PUSTAKA
Jalan Ganesha 7, Tilp. 84186
Bandung, 40132
Cetakan I : 1410H-1989M

Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.