|
Sanggahan terhadap Dialog 27-28
(1) Yang dimaksud dengan hadits Manzilah ialah perkataan
Nabi kepada 'Ali berikut ini: "Engkau di sisiku seperti
halnya Harun di sisi Musa".
Hadits ini terdapat dalam kitab Sahih Bukhari dan Muslim,
juga terdapat dalam kitab-kitab hadits yang lainnya tanpa
diragukan lagi. Nabi mengucapkan hadits ini pada perang
Tabuk ketika beliau mengangkat 'Ali sebagai penggantinya di
Madinah. Hal seperti ini biasa dilakukan Nabi kepada
sebagian sahabatnya untuk menggantikan beliau di Madinah
ketika beliau pergi berperang, umrah atau melakukan ibadah
haji. Hadits ini jika tidak sahih sebagaimana kata al-Amidi,
maka jelas tidak dapat dijadikan hujjah.
Jika hadits tersebut sahih sebagaimana diakui oleh para
imam hadits dan terdapat dalam kitab Bukhari-Muslim, juga
tidak dapat dijadikan dalil atas madzhab al-Musawi. Bahkan
hadits ini berlawanan dengan madzhabnya ditinjau dari
beberapa segi:
- Hadits ini menyamakan kedudukan 'Ali di sisi Nabi
dengan kedudukan Harun di sisi Musa dalam hal sebagai
pengganti semata, bukan dari segi yang sifatnya umum.
Sebab menganggap umum atas penyerupaan tersebut
mengharuskan tetapnya nubuwwah (kenabian) pada 'Ali
sebagaimana pada Harun as. Dan tidak ada seorang pun
Muslim yang berakal berpendapat demikian. Bagaimana bisa,
sedangkan Nabi sendiri menetapkannya demikian dengan
penegasannya dipenghujung hadits tersebut: "Hanya saja
tidak ada nabi setelahku!
- Jika penyerupaan tersebut hanya dari segi
penggantiannya saja, maka hadits itu tidak hanya
dikhususkan untuk 'Ali saja. Sebab Nabi juga mengangkat
pengganti sahabat lain selain 'Ali, sebelum maupun
sesudah perang Tabuk.
- Pengangkatan Nabi kepada 'Ali ra pada perang Tabuk
tidak menunjuk pada keutamaan 'Ali atas sahabat Nabi yang
lain. Sebab dalam hal ini para sahabat yang lain juga
memiliki kedudukan yang sama dengan 'Ali. Alasan Nabi
membuat pernyataan khusus tersebut untuk 'Ali, tidak lain
karena Nabi ingin menyejukkan hati 'Ali ketika dia
mengadu kepada Nabi (sambil menangis) mengenai tugasnya
itu.
- Zhahir hadits ini menetapkan bahwa 'Ali adalah
pengganti Nabi selama beliau berada di Tabuk, sebagaimana
Harun menjadi pengganti Musa bagi kaumnya selama Musa
pergi meninggalkan mereka untuk bermunajat kepada
Tuhannya. Inilah yang dimaksud perkataan Musa kepada
saudaranya, Harun: "Gantikanlah aku dalam (memimpin)
kaumku". (QS, al-A'raf, 7:142). Dalam pernyataan ini
tidak ada keumuman sama sekali.
- Hadits ini menetapkan bahwa Nabi mengangkat 'Ali
sebagai pengganti selama beliau berada di Tabuk. Dan ini
berlaku di masa hidup Nabi, dan tidak menunjukkan
kekhalifahan 'Ali sepeninggal Nabi. Kalau klaim
kekhalifahan seperti itu diterima, maka klaim serupa dari
setiap sahabat yang pernah ditunjuk Nabi sebagai
penggantinya, harus diterima dan dibenarkan pula. Maka
bagaimana al-Musawi bisa menganggap klaim mereka itu
tidak benar (bathil), sedangkan klaim mereka sama dengan
klaim al-Musawi sendiri?
Ahlus Sunnah wal Jama'ah menetapkan kesahihan hadits di
atas sebagaimana mereka menetapkan semua keutamaan 'Ali yang
ada dalam Sunnah. Keutamaan itu jumlahnya banyak, dan
disebutkan dalam kutub as-sittah. Hadits-hadits yang sahih
dan hasan saja sudah cukup untuk menetapkan
keutamaan-keutamaan 'Ali, tanpa perlu ditambah
propaganda-propaganda murahan yang dibuat kaum Rafidhah dan
kedustaan mereka atas nama 'Ali dan Rasulullah, dan tindakan
mereka menempatkan 'Ali pada kedudukan yang tidak diridhai
oleh beliau sendiri. Seharusnya mereka kembali kepada
kitab-kitab hadits standar tersebut agar bisa belajar
mengenai keadilan, objektivitas, kejujuran, dan sikap-sikap
yang bersih dari rasa fanatisme dan berlebih-lebihan. Agar
supaya mereka sadar bahwa mereka terjebak dalam lembah
kebodohan dan kesesatan.
Sesungguhnya pengakuan Ahlus Sunnah terhadap hadits ini,
yaitu hadits yang menjadi dasar sikap kaum Rafidhah yang
berlebih-lebihan, merupakan bukti nyata atas sikap adil kaum
Ahlus Sunnah. Juga bukti terbebasnya mereka dari sikap
fanatik dan menuruti hawa nafsu, serta terbebasnya mereka
dari tuduhan tidak senonoh yang dilontarkan al-Musawi pada
dialog sebelum ini (Dialog nomor 22): Berkata al-Musawi:
"Dan banyak diantara tokoh-tokoh Ahlus Sunnah berperilaku
seperti ini, tidak jujur dan fanatik (semoga Allah
mengampuni mereka!). Mereka menyembunyikan setiap keterangan
yang sejalan dengan ini, dan untuk itu mereka memiliki cara
yang telah umum diketahui
"
Anda lihatkah kezaliman dan kedustaan ini? Seandainya
benar tokoh-tokoh Ahlus Sunnah seperti yang dikatakan
al-Musawi, maka keterangan pertama yang akan mereka
sembunyikan adalah hadits ini, yang menjadi salah satu pokok
perselisihan antara kaum Rafidhah dan Ahlus Sunnah.
Al-Musawi tidak dapat menahan rasa dengki dan kebenciannya
terhadap Ahlus Sunnah, hingga ketika mereka mengakui
keabsahan hadits ini dan hadits lain yang berkenaan dengan
keutamaan 'Ali, dia lantas meragukan motivasi dan ketulusan
Imam Bukhari terhadap Ahlul Bait. Menurutnya apa yang
diriwayatkan Imam Bukhari dalam Kitab Sahihnya itu hanyalah
karena terpaksa saja. Lalu ia berkata: "Seseorang telah
menggasab atau merampas berbagai keutamaan 'Ali dan Ahlul
Bait".
Pertanyaan yang patut kita kemukakan di sini adalah: Apa
yang memaksa Bukhari untuk mengeluarkan hadits ini maupun
hadits-hadits lainnya yang berkenaan dengan keutamaan 'Ali,
jika seandainya hadits-hadits itu tidak sahih atau
seandainya Bukhari memusuhi Ahlul Bait, sebagaimana yang
digambarkan al-Musawi?
Sesungguhnya perselisihan dan perang yang terjadiantara
'Ali dan Mu'awiyah, tidaklah mempengaruhi sifat adil dan
kejujuran salah seorang diantara mereka. Apa lagi
masing-masing dari mereka mendengar langsung apa yang
dikatakan Nabi mengenai yang lain. Karena itu, Mu'awiyah
tidak mengingkari hadits manzilah. Bagaimana ia akan
mengingkarinya sedang ia mendengarnya sendiri dari
Rasulullah saw. Akan tetapi menurut al-Musawi, pengakuan
Muawiyah terhadap hadits itu tidak bisa membebaskannya dari
kesalahan, dan dia tetap menyembunyikan rasa dengkinya, atau
menundanya.
Al-Musawi berkata: "Mu'awiyah adalah pemimpin kelompok
pembangkang (al-fi'ah al-baghiyah)". Pernyataan ini
didasarkan kepada hadits sahih, yaitu perkataan Nabi, kepada
'Ammar bin Yasir: "Kamu akan dibunuh oleh kelompok
pembangkang". Dan ternyata 'Ammar terbunuh sebagai tentara
'Ali (dalam pertempuran melawan Mu'awiyah). Dengan demikian,
banyak orang, terutama kaum Rafidhah, memahami hadits itu
sebagai bukti bahwa kelompok Mu'awiyah adalah kaum
pembangkang. Akan tetapi ulama-ulama salaf berpendapat lain
dari itu. Mereka tidak menyebut kelompok Mu'awiyah sebagai
kelompok pembangkang, sebab belum terpenuhi
syarat-syaratnya.
Berkata Ibn Taimiyah: Kebanyakan tokoh-tokoh dan
pemuka-pemuka ulama salaf, seperti Abu Hanifah, Ahmad dan
lain-lainnya, berpendapat bahwa tidak dijumpai suatu syarat
memerangi kelompok pembangkang. Sebab Allah tidak menyuruh
memerangi mereka terlebih dulu. Allah memerintahkan untuk
mendamaikan dua kelompok yang sedang bertikai. Jika salah
satu ada yang membangkang, maka ia wajib diperangi. Kelompok
Mu'awiyah diserang lebih dahulu, bukan yang mula-mula
menyerang. Karena itu, menurut Imam Ahmad dan Malik, perang
antara Mu'awiyah dan 'Ali merupakan fitnah (huru-hara).
Menurut Abu Hanifah, tidak dibenarkan memerangi kelompok
pembangkang sampai mereka menyerang imam lebih dahulu. Dan
mereka (kelompok Mu'awiyah) bukan yang lebih dahulu memulai
perang. Adapun kaum Khawarij, mereka lebih dahulu memulai
perang. Karena itu, kewajiban memerangi mereka ditetapkan
oleh nash dan ijma'. Jika pendukung 'Ali berkata: " 'Ali
berijtihad dalam perang itu", maka lawannya pun akan berkata
pula: "Mu'awiyah juga berijtihad dalam hal itu" (Ibn
Taimiyah, Manhaj as-Sunnah, 4/205).
Orang Rafidhah berkata: "Mu'awiyah melaknat 'Ali di atas
mimbar-mimbar kaum Muslimin". Pernyataan ini dusta belaka,
bahkan bertentangan dengan kenyataan yang ada pada Muawiyah,
bahwa dia menangis pada saat terbunuhnya 'Ali, dan bahwa dia
mengasihi 'Ali dan mengakui kelebihannya, sebagaimana
tertulis dalam buku-buku sejarah.
Pendek kata ummat Islam selalu akan berselisih paham
dalam masalah syari'at mana kala mereka sedang berselisih
antara yang satu dengan yang lainnya dengan cara berperang,
saling mengecam, saling mengkafirkan, dan bentuk-bentuk
perselisihan lainnya. Hal demikian sebagaimana dikuatkan
oleh contoh dalam Kitab Bukhari-Muslim, mengenai hadits
al-ifki. Nabi bersabda: "Siapakah yang mau membebaskan aku
dari gangguan seorang laki-laki yang telah menyakiti aku
dalam soal keluargaku?" Demi Allah, aku tidak pernah melihat
dalam keluargaku, kecuali kebaikan. Orang-orang telah
menjelek-jelekkan seorang laki-laki yang demi Allah, aku
tidak pernah melihat pada dirinya kecuali kebaikan. Dan dia
tidak pernah datang menemui keluargaku, kecuali bersamaku".
Sa'ad ibn Mu'adz berkata: "Saya akan membebaskan Tuan dari
orang itu. Jika dia dari suku 'Aus, akan saya penggal
lehernya. Dan jika dia dari saudara kami suku Khazraj
perintahkanlah kepada kami, dan kami akan membereskan urusan
Tuan dengannya." Sa'ad ibn Ubadah --yang dikenal baik, tapi
terbawa emosi-- berkata: "Bohong kamu! Demi Tuhan, engkau
tidak akan membunuhnya dan tidak akan mampu membunuhnya.
Maka Usaid ibn Hadhir berdiri sambil berkata: "Bohong kamu!
Demi Allah, kami akan membunuhnya. Engkau seorang munafik
dan berdebat untuk membela orang-orang munafik. Situasi yang
panas dan runyam ini terus berlanjut, sampai Rasulullah
meredakan mereka
"
Kenyataan di atas maupun kenyataan lainnya terjadi
diantara ummat Islam karena adanya ta'wil (penafsiran).
Peperangan dan pertumpahan darah yang terjadiantara 'Ali dan
Mu'awiyah juga karena ta'wil yang berbeda. Caci maki antara
kedua kubu mereka juga karena masing-masing pihak melakukan
salah ta'wil mengenai pihak lainnya. Apakah ini suatu dosa
atau ijtihad yang salah ataupun benar, yang pasti ampunan
atau maghfirah Allah dan rahmat-Nya selalu terbuka dengan
taubat, kebaikan dan kebenaran. Wallahu a'lam! (Ibid, hal.
2/221).
Dari keterangan di atas, pembaca boleh heran akan sikap
al-Musawi yang tidak punya rasa malu, dan kesombongannya
terhadap sahabat-sahabat Nabi, yaitu orang-orang yang
dilarang keras oleh Rasulullah untuk dicerca, sebagaimana
diterangkan dalam beberapa hadits sahih. Kesombongan
al-Musawi dapat dilihat ketika ia memandang Mu'awiyah
sebagai orang yang tidak punya malu. Adapun riwayat yang
dikemukakan al-Musawi bahwa Mu'awiyah bertanya kepada Sa'ad
ibn Abi Waqqash: "Mengapa-engkau tidak mencerca Abu Turab
('Ali)?
" Riwayat ini memang sahih, diriwayatkan oleh
imam Muslim, berkenaan dengan beberapa keutamaan 'Ali. Akan
tetapi dari hadits ini tidak dapat disimpulkan bahwa
Mu'awiyah mencaci-maki 'Ali di mimbar-mimbar kaum Muslimin.
Juga tidak dapat disimpulkan bahwa Mu'awiyah menyuruh Sa'ad
mencerca 'Ali.
Imam Nawawi ra dalam mengomentari hadits di atas berkata:
Menurut para ulama, semua hadits yang pada zhahirnya
mengandung serangan terhadap pribadi salah seorang sahabat,
maka hadits itu harus ditakwilkan. Mereka berpendapat, semua
hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi yang tsiqat
pasti dapat ditakwilkan. Karena itu, perkataan Mu'awiyah di
atas, tidak harus berarti dia menyuruh Sa'ad mencerca 'Ali.
Dia hanya bertanya faktor apa yang menyebabkan Sa'ad tidak
melakukan cercaan itu. Seakan-akan Mu'awiyah berkata:
"Apakah engkau tidak melakukan itu karena wira'i (khawatir
berbuat dosa), takut atau sebab lain? "jika kamu tidak
mencerca 'Ali lantaran wira'i atau karena mengagungkan dia,
maka kamu termasuk orang yang baik dan benar. Kalau bukan
karena itu, tentu kamu punya alasan lain." Barangkali juga
Sa'ad ketika itu berada di tengah-tengah suatu kelompok yang
mencaci 'Ali, tetapi dia tidak turut mencaci bersama mereka.
Dia mungkin tidak sanggup menentang mereka, tapi juga tidak
setuju dengan mereka. Lalu Mu'awiyah mengajukan pertanyaan
seperti itu kepada Sa'ad. Menurut mereka, hadits itu dapat
juga ditakwilkan begini: "Mengapa kamu tidak menyalahkan
pendapat dan ijtihad 'Ali, dan memperlihatkan kepada semua
orang bahwa pendapat dan ijtihad kami benar, sedang ijtihad
'Ali salah?" (Imam Nawawi, Syarah Muslim, 15/175-176).
|