Usman bin Affan

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

3. Langkah-langkah Pembebasan di Masa Usman (3/4)

Anasir-anasir fitnah di kawasan Kedaulatan - 57; Pembebasan Azerbaijan - 58; Armenia - 61; Persia dan Rumawi di belakang pemberontakan Azerbaijan dan Armenia - 62; Perselisihan Kufah dengan Syam sekitar rampasan perang - 65; Orang-orang Rumawi di Iskandariah meminta bantuan Bizantium - 65; Upaya Rumawi merebut kembali kota Iskandariah dan Mesir - 68; Pasukan Rumawi mendarat di Iskandariah - 69; Peranan Amr - 70; Haumal, syahid membawa kemenangan - 72; Amr dan Sa’d - 75; Muslimin mempersiapkan armada lautnya - 82; Armada yang pertama dalam sejarah Islam - 83; Perang dengan Rumawi di Siprus - 85; Abdullah bin Qais, Laksamana pertama dalam Islam - 86; Kematian Abdullah bin Qais - 87; Pertempuran Laut - 88; Konstantin dibunuh orang-orang Sisilia - 90; Perang Sawari - 91; Beberapa wilayah Persia memberontak - 91; Irak, Syam dan Mesir stabil - 92; Rumawi tak berhasil kembali ke daerah-daerah jajahannya - 93; Kabilah-kabilah di Basrah dan Kufah - 94; Pelanggaran Khurasan, Jurjan dan Tabaristan - 98; Pembangkangan Istakhr dan Khurasan - 101; Yazdigird berusaha merebut kembali mahkotanya - 101; Kegigihan Yazdigird - 102; Pelarian dan matinya Yazdigird - 105; Hari-hari terakhir Yazdigird - 106; Berakhirnya Perlawanan Persia - 109; Kalah dan menang serta sebab-sebabnya - 110; Jasa terbesar berdirinya Kedaulatan Islam karena kuatnya iman - 112

Perang dengan Rumawi di Siprus

Mu'awiyah bin Abi Sufyan mengarungi lautan dengan membawa istrinya Fakhitah binti Qarazah dan beberapa sahabat yang sudah tinggal di Syam yang berasal dari Mekah dan Medinah. Kapal yang ditumpangi Mu'awiyah ini berada di garis depan diikuti oleh kapal-kapal lain di belakangnya, yang terdiri dari para sukarelawan Muslimin.

Setelah sampai di Siprus dan mendarat di tepi pantai, mereka tidak melihat seorang penguasa pun atau penduduk yang mencegat mereka. Untuk apa pasukannya memerangi mereka sementara pulau itu berada di bawah kekuasaan Rumawi. Kalau bukan Rumawi yang akan membela pulau itu rakyatnya tak ada yang akan membela diri. Kenyataannya sekarang tak satu pun kapal Rumawi yang merintangi pasukan Muslimin dan tidak pula berusaha hendak mencegah kedatangan mereka. Kedua belah pihak memilih jalan damai dengan berunding. Pihak Siprus berpendapat, persetujuan yang telah mereka capai dengan pihak Muslimin jangan sampai menimbulkan pertentangan dengan pihak Rumawi, yang mungkin akan mengganggu mereka - hal yang tidak akan mampu dapat mereka cegah. Oleh karena itu mereka mengadakan persetujuan damai dengan pihak Muslimin atas dasar jizyah 7200 dinar yang dibayarkan setiap tahun, dengan syarat jumlah yang sama juga harus dibayarkan kepada pihak Rumawi.

Atas dasar persetujuan ganda dengan pihak Rumawi dan pihak Muslimin ini, pihak Muslimin tidak akan melindungi dan tidak akan berperang untuk melindungi mereka jika itu terjadi sesuatu terhadap mereka. Orang Siprus akan menjadi mata-mata pihak Muslimin dengan memberitahukan kepergian orang-orang Rumawi musuh mereka itu.

Ini menurut sumber Balazuri tentang pembebasan Siprus. Disebutkannya bahwa perang itu terjadi dalam tahun ke-28 atau tahun ke-29 Hijri, dan bahwa Siprus tetap setia pada perjanjian itu sampai tahun 32. Dalam tahun itu "Pihak Rumawi membantu para penyerang di laut itu dengan memberikan beberapa kapal kepada mereka. Mu'awiyah menyerang mereka dengan lima ratus kapal dalam tahun 33 dan Siprus dibebaskan dengan jalan paksa setelah terjadi pembunuhan dan penawanan. Setelah itu mereka kembali mengakui perjanjian itu dengan mengirimkan 12.000 orang ke sana, semua orang pemerintahan. Di tempat itu beberapa mesjid, juga sekelompok orang dipindahkan ke sana dari Baalbak (Heliopolis), yang selanjutnya dibangun pula di sana sebuah kota. Ketika Mu'awiyah meninggal dan anaknya Yazid menggantikannya, pengiriman itu dihentikan dan ia memerintahkan penghancuran kota tersebut. Ada beberapa narasumber yang mengira bahwa serangan Mu'awiyah yang kedua kalinya ke Siprus itu terjadi dalam tahun 35."

Sumber Balazuri ini menyebutkan bahwa Mu'awiyah membebaskan Siprus itu seorang diri. Sementara Tabari dan Ibn Asir, dan para sejarawan yang penulisannya sejalan dengan pola kedua sejarawan itu menyebutkan bahwa armada Syam dan armada Mesir yang dipimpin oleh Abdullah bin Sa'd bin Abi Sarh, masing-masing berangkat menuju Siprus. Mereka yang membawa sumber ini tidak menyebutkan bahwa Mu'awiyah sendirilah yang memimpin armada itu ke Siprus, tetapi kata mereka Mu'awiyah menugaskan Abdullah bin Qais al-Harisi. Tidaklah mudah untuk memastikan mana yang sahih dan mana yang palsu dari kedua sumber itu.

Abdullah bin Qais, Laksamana pertama dalam Sejarah Islam

Saya yakin mula-mula Mu'awiyah hendak membebaskan Siprus dengan jalan damai, yaitu ketika pihak Rumawi sedang sibuk-sibuknya menghadapi malapetaka di Mesir dan di Afrika, dan Abdullah bin Qais al-Harisi bersama-sama dengan dia dalam pembebasan yang tidak membawa pertumpahan darah dan tidak sampai terjadi perternpuran itu.

Sesudah pihak Siprus melanggar perjanjian dan dibantu pula oleh Rumawi, armada Syam dan Mesir berangkat ke Siprus, yang kemudian mereka taklukkan dengan jalan kekerasan, dengan segala akibatnya sampai terjadi penawanan dan pembunuhan penduduk. Dalam pertempuran itu Abdullah bin Qais dan Abdullah bin Sa'd adalah dua orang laksamana kedua armada tersebut dalam serangan yang kedua kalinya itu.

Dari sumber Tabari dan mereka yang rnengutipnya itu tampak sekali bahwa dalam memegang peranan di laut Abdullah bin Qais memang sudah cukup mahir, dan bahwa dia sudah melakukan lima puluh kali serangan selama di laut antara musim dingin dengan musim panas tanpa ada sebuah kapal pun dari pihaknya yang tenggelam atau rusak.

Para narasumber itu menambahkan bahwa Abdullah bin Qais "Berdoa kepada Allah agar anggota-anggota pasukannya diberi keselamatan, dan jangan ada di antara mereka yang mendapat musibah." Doanya ini terkabul. Tetapi kemudian tiba saatnya Allah membuat dia sendiri yang mengalami musibah itu. Dengan sebuah perahu perintis ia pergi ke Marga[37] di Erzerum yang banyak dihuni oleh pengemis-pengemis. Ia memberikan sedekah kepada mereka. Seorang perempuan dari pengemis itu kembali pulang ke desanya dan berkata kepada orang-orang di sana:

"Kalian mencari Abdullah bin Qais?"

Mereka menjawab dengan pertanyaan: Di mana dia? Di Marqa, jawabnya. Lalu kata mereka lagi: "Musuh Tuhan dia! Dari mana Anda tahu bahwa dia Abdullah bin Qais, padahal dia bersembunyi?"

"Kalian tidak mampu menemukan Abdullah yang sedang bersembunyi."

Kematian Abdullah bin Qais

Setelah itu mereka menuju ke tempatnya itu lalu menyerangnya. Maka terjadilah saling serang, dan dia seorang diri yang mengalami bencana itu. Pelaut itu dapat lolos sampai ke tempat teman-temannya. Konon kemudian ada yang mengatakan kepada perempuan itu: Dengan cara apa Anda mengenal dia? Dengan caranya memberi derma. Dia memberi seperti raja-raja, tidak kikir seperti para pedagang."

Mereka yang bercerita tentang peristiwa itu menyebutkan bahwa sesudah Abdullah bin Qais terbunuh, Sufyan bin Adi al-Azdi berangkat hendak memerangi musuh-musuhnya itu, tetapi tak berhasil. Dengan demikian matilah seorang laksamana Muslim pertama, terbunuh tanpa perang. Laki-laki yang tak terkalahkan itu kini mati karena kelalaian sahabat-sahabatnya yang tak mampu menuntut balas dan mengalahkan musuhnya itu.

Setelah pihak Muslimin menguasai Siprus, dan setelah memiliki armada yang dapat mempertahankan pantai-pantai Syam dan Afrika, pihak Rumawi yakin bahwa mereka tidak akan mampu lagi kembali ke Mesir dan ke Afrika. Juga tidak akan mampu melawan pihak Muslimin di Syam selama armada Muslimin itu belum dihancurkan, sebab dengan kehancurannya itu mereka akan kembali merajai lautan, menjadi pemegang kekuasaan yang berwibawa dan dengan tangan besi, absolut. Mereka tak akan mendapat kesempatan berkuasa kalau membiarkan armada Muslimin itu berkembang dan para awak kapalnya makin mahir. Karenanya mereka bermaksud melakukan serangan di laut dan menghancurkan armada Muslimin. Mereka sudah yakin dengan perkiraan itu mereka akan dapat mengalahkan armada itu, sebab jumlah kapal mereka lebih banyak daripada kapal pihak Muslimin dan para awak kapal mereka pun lebih mahir.

Pertempuran Laut

Peristiwa itu terjadi dalam tahun 31 Hijri menurut satu sumber, atau tahun 34 menurut sumber yang lain. Untuk melaksanakan tekad mereka pihak Rumawi di bawah pimpinan Konstantin, anak Heraklius, yang memegang komandan 500 atau 600 kapal sudah berlayar mengarungi Laut Tengah menuju Iskandariah untuk menghadapi armada Muslimin yang terbesar.[38]

Pihak Muslimin sudah mengetahui berita tentang pasukan Rumawi dan perjalanan mereka hendak memerangi pasukan Muslimin itu. Abdullah bin Sa'd bin Abi Sarh, gubernur Mesir, memegang komando armada Iskandariah dan Afrika yang terdiri dari 200 kapal dengan mengangkut orang-orang pemberani, sudah terlatih dan tangkas dalam berperang.

Kapal-kapal itu berlabuh jauh dari Iskandariah dan di jalan yang akan dilalui Rumawi. Tatkala matahari sudah hampir terbenam kedua armada itu mulai tampak. Sepanjang malam itu pasukan Rumawi membunyikan lonceng, dan pasukan Muslimin melaksanakan salat dan membaca Qur'an. Masing-masing mau menunggu esok hari. Sesudah tiba waktu pagi, Abdullah bin Sa'd menyusun armadanya dan menyiapkan anggota-anggota pasukannya, yang kemudian berpangkal di tempat itu, menunggu kedatangan armada Rumawi itu ke sana.

Dari pinggir laut angin bertiup kencang membuat armada Muslimin harus berhati-hati untuk berlabuh di pantai-pantai itu. Tetapi pihak Rumawi tidak perlu merasa khawatir, karena angin itu tidak mengganggu letak armada mereka. Sesudah angin mulai reda Abdullah bin Sa'd mengirim pesan kepada Konstantin: Kalau kalian setuju, mari kita turun ke darat agar pertempuran dapat lebih dipercepat. Tetapi pihak Rumawi menolak tawaran itu, sebab sudah mereka rasakan sendiri. ketangkasan pasukan Muslimin dalam pertempuran di darat. Tujuan mereka yang terutama hendak menghancurkan armada musuh mereka itu. Karenanya mereka membalas dengan mengatakan: Laut, laut. Tetapi Abdullah bin Sa'd tidak pula ragu menghadapi mereka di medan yang mereka pilih itu.

Kini armadanya mulai bergerak maju dan armada Rumawi juga tampil maju. Tak lama setelah itu berkobarlah pertempuran sengit yang luar biasa. Begitu sengitnya pertempuran itu sehingga kedua armada itu sudah bercampur baur, anggota-anggota pasukan masing-masing berlompatan dengan pedang dan khanjar di tangan, satu sama lain sudah tidak lagi mengenal belas kasihan. Ketika itu gelombang laut menggeser kapal-kapal kedua armada itu ke pantai. Mayat-mayat itu terhempas ke dalam pasir dan digulung luapan air, kemudian menampakkan mereka kembali, yang sementara itu sudah bercampur dengan darah sehingga warnanya berubah menjadi merah kehitam-hitaman. Kedua pihak, pasukan Rumawi dan pasukan Muslimin bertempur mati-matian demikian hebatnya, yang belum ada tolok bandingnya, sehingga begitu banyak korban mati di kedua pihak. Orang yang pernah menyaksikan peristiwa itu bercerita:

"Saya melihat pantai yang dihantam ombak itu permukaannya sudah seperti anak bukit yang besar oleh timbunan mayat-mayat, darah sudah mengalahkan air. Ketika itu orang menahan diri demikian rupa, yang belum mereka alami di medan perang mana pun."

Dalam pada itu Konstantin sendiri mengalami luka-luka sehingga ia sudah tak berdaya lagi, semangatnya pun sudah makin surut. Setelah dia dan anak buahnya tahu dan melihat semangat pihak Muslimin yang tidak berkurang, yakinlah dia bahwa sekarang sudah gilirannya dia akan mengalami kehancuran. Ia berbalik lari bersama semua armada dan pasukannya yang masih tersisa. Ia yakin sekarang bahwa ketangguhan pasukan Muslimin di laut pun ternyata tidak kurang dari ketangguhannya di darat. Mereka tidak akan dapat dikalahkan.

Konstantin dibunuh orang-orang Sisilia

Abdullah bin Sa'd berpendapat, musuh yang sudah lari itu tak perlu dikejar. Ia memerintahkan armadanya tetap berada di tempat kejadian peristiwa. Selama beberapa hari itu ia berada di sana, untuk memberikan kesempatan kepada anak buahnya beristirahat. Setelah itu baru kemudian ia kembali ke pelabuhan Iskandariah. Sungguhpun begitu, lawan-lawannya dan lawan-lawan Usman bin Affan masih juga mengecam tindakannya itu, dan mengatakan kepada semua orang, bahwa andaikata armada Rumawi itu terus dikejar, niscaya akan dapat ditumpas sampai ke akar-akarnya. Sekalipun terbatas, penumpasan itu niscaya dapat dibenarkan, mengingat segala kerugian yang telah menimpa anggota-anggota pasukan Muslimin cukup besar. Tetapi karena hal itu tidak dilakukan, malah membiarkan musuh lari, maka Usman harus memecatnya. Namun Usman tidak melakukan itu karena Abdullah bin Sa'd masih saudara susuannya.

Dulu, di masa pembebasan Mekah, Usman juga yang pernah memintakan perlindungan kepada Nabi untuk Abdullah bin Sa'd, setelah Nabi melihat orang ini termasuk dari mereka yang patut mendapat hukuman mati.[39] Mereka tetap mengecam Usman dan mengeluarkan kata-kata yang tak pernah mereka ucapkan, sehingga Abdullah bin Sa'd meminta kepada Muhammad bin Huzaifah dan Muhammad bin Abu Bakr - kedua pemuka gerakan ini - untuk tidak bersama-sama satu kendaraan dengan dia.

Sementara itu Konstantin dengan kapalnya menuju ke Sisilia. Sesudah diketahui warga, apa yang telah menimpanya, kata mereka kepadanya: Anda telah menghancurkan agama Nasrani dan menghabiskan pemimpin-pemimpinnya. Kalau orang-orang Arab itu ke mari, kita tak punya apa lagi yang dapat mencegahnya. Kemudian mereka membawanya ke sebuah kamar mandi dan mereka bunuh, sedang yang lain dibiarkan kembali ke Konstantinopel.

Perang Sawari

Para sejarawan menamakan perang ini Perang as-Sawari. Kadang terlintas dalam pikiran bahwa mereka menamakannya demikian setelah melihat Muslimin ketika sudah siap bertempur mengikat kapal-kapal mereka satu sama lain, atau mereka mendekati pihak Rumawi dan mengikatkan kapal-kapal itu dengan kapal-kapal mereka seperti dikatakan oleh Ibn Kasir (al-Bidayah wan Nihayah). Atau barangkali dinamakan demikian karena kejadian itu di tempat yang disebut Zat as-Sawari. Kalangan sejarawan yang membawakan berita-berita tentang perang ini semua menyebutkan bahwa Abdullah bin Sa'd tinggal di Zat as-Sawari selama beberapa hari lagi setelah pertempuran itu, kemudian ia kembali ke Iskandariah membawa kemenangan.

Karena Abdullah bin Sa'd tetap tinggal di Zat as-Sawari itulah - tidak terus mengejar armada Konstantin yang melarikan diri - yang membuat sebagian mereka mengecamnya. Kita tak punya data yang lebih terinci mengenai segala peristiwa yang akan mengharuskan kita ikut melakukan kritik bersama mereka itu, juga tidak membuat kita harus membela Abdullah bin Sa'd adanya jumlah besar yang hilang di kalangan Muslimin dan karena jerih-payah yang begitu berat dialami oleh yang masih hidup, sehingga ia merasa sudah cukup dengan kemenangan telak yang diperolehnya dalam menghadapi musuhnya itu, lalu memilih tinggal di tempat terjadinya peristiwa untuk memakamkan mayat-mayat serta memberikan kesempatan kepada pasukannya beristirahat. Tetapi yang sudah pasti, sesudah pertempuran di laut itu pihak Rumawi sudah tak berdaya lagi menghadapi mereka, dan setelah itu pihak Musliminlah yang merajai Laut Tengah dari Laut Merah. Dengan demikian mereka sudah merasa aman dari musuh untuk mengarungi lautan ke pantai mereka sendiri yang mana pun. Itulah yang terjadi. Sesudah itu tak terpikir lagi oleh Rumawi hendak kembali ke Afrika, ke Mesir atau ke Syam.

***

Beberapa wilayah Persia memberontak

Sementara Rumawi berusaha hendak menyerang Syam dan merebut kembali Mesir dan Afrika, mereka berangkat hendak menghancurkan armada Muslimin, tetapi pihak pasukan Muslimin sekali lagi berhasil mencegat mereka. Di mana-mana mereka dapat dipukul mundur dan armada mereka berhasil dihancurkan. Di beberapa daerah Persia sekali-sekali masih ada kelompok-kelompok yang mau memberontak, tetapi oleh pasukan Muslimin mereka dipaksa juga tunduk, dan mereka terus terdesak mundur ke balik kawasan Asia.

Kita sudah melihat bagaimana Azerbaijan mengadakan perdamaian dengan pihak Muslimin pada akhir masa pemerintahan Umar. Sesudah Usman menjadi Khalifah, karena perdamaian yang sudah disetujui tidak mereka patuhi, maka Khalid bin Uqbah berangkat ke sana. Mereka ditundukkan dan kembali seperti pada persetujuan semula. Begitu juga apa yang sudah kita lihat dengan Armenia, dan bagaimana pihak Rumawi memberikan bala bantuan kepada mereka. Inilah yang membuat mereka terlibat dalam kontak senjata dengan pihak Muslimin, dan akhirnya kemenangan pun berada di tangan Muslimin lagi.

Pemberontakan di kawasan Persia itu bukanlah disebabkan oleh kematian Umar dan Usman tampil sebagai penggantinya. Di masa Umar sendiri pun memang sudah sering terjadi pembangkangan-pembangkangan di wilayah tersebut dan mereka membatalkan perjanjian dengan pihak Muslimin. Tetapi pihak Muslimin dapat mengatasi kembali masalah itu dan mereka diharuskan tunduk lagi. Hamazan (Ramadan) juga pernah melanggar perjanjian dengan pihak Muslimin sesudah terjadi perang Nahawand. Nu'aim bin Muqarrin berangkat ke sana dan sekaligus menaklukkan daerah-daerah di sekitarnya, kemudian mengadakan pengepungan. Mereka meminta damai dan permintaan itu oleh Nu'aim dikabulkan dengan syarat angkatan bersenjata Muslimin akan ditempatkan di Hamazan, yang kehadirannya di sana akan mengingatkan mereka pada adanya perjanjian itu dan akan menerima jizyah dari mereka.

Dalam pada itu pihak Istakhr juga ikut mengadakan pelanggaran dan semua kawasan Persia, yang mampu memberontak mereka memberontak. Al-Hakam bin al-As segera berangkat ke sana, dan Syahrak, Raja kawasan itu masih bertakhta. Di sana pasukan Muslimin mendapat kemenangan yang cukup besar. Dengan terbunuhnya Raja itu dan anaknya, seluruh kawasan Persia kini setuju mengadakan perdamaian, yang dulu sudah diadakan dengan pihak Muslimin. Selain Istakhr dan Hamazan, masih ada daerah-daerah lain yang memberontak. Pihak Muslimin kembali meyakinkan mereka bahwa perlawanan mereka itu sudah dipatahkan, dan setiap mereka mengadakan pemberontakan akan berbalik menjadi bencana buat mereka sendiri.

Irak, Syam dan Mesir stabil

Tidak heran bahwa Mesir dan Syam sudah kembali tenang, tetapi daerah-daerah Persia dari waktu ke waktu masih bergolak. Sebelum dibebaskan oleh pihak Arab, Syam dan Mesir merupakan dua wilayah Rumawi yang tunduk pada kekuasaan Bizantium, dan harus membayar pajak begitu besar kepada Konstantinopel. Sesudah dibebaskan oleh Muslimin tak seorang pun penduduk yang dipaksa harus masuk Islam, dan urusan administrasi pemerintahan diserahkan kepada penduduk negeri selama mereka merasa puas dengan pemerintahan Islam itu. Pihak Muslimin juga meringankan beban pajak kepada mereka. Dengan demikian rakyat merasa senang sekali dengan pemerintahan yang sekarang, dan dengan sendirinya mereka samasekali tidak menyukai lagi kekuasaan Rumawi.

Selama pihak Arab itu sudah dapat menguasai keadaan negeri itu, seperti Rumawi dulu, tak ada alasan yang akan mendorong rakyat Syam atau Mesir untuk memberontak kepada para penakluk Arab itu. Dibandingkan dengan Rumawi, mereka lebih adil dan lebih punya rasa kemanusiaan. Itu sebabnya, pemerintahan mereka lebih disenangi dan lebih dekat di hati rakyat, hal yang tidak dimiliki oleh pihak Rumawi, yang dengan kekuatannya seharusnya mampu mempertahankan dan melindungi rakyat dari serangan luar.

Di samping itu masih ada faktor lain yang membuat rakyat Syam dan Irak itu merasa puas. Kabilah-kabilah Arab yang banyak bermigrasi ke negeri-negeri itu, mereka menetap di sana dan membentuk koloni-koloni Keluarga Gassan di Syam dan Keluarga Lakhm di Hirah. Hal ini terjadi dan berkembang sampai sekian banyak generasi sebelum lahirnya Islam. Karenanya, sering sekali kabilah-kabilah itu begitu cepat bergabung dengan saudara-saudaranya sesama Arab dalam perang melawan Rumawi dan Persia, yang pada mulanya kabilah-kabilah itu tetap berpegang pada agama mereka.

Rumawi tak berhasil kembali ke daerah-daerah jajahannya

Sesudah Arab membawa kemenangan nyata di Syam dan di Irak, tidak sedikit orang Arab yang tinggal di kedua kawasan itu yang masuk agama baru ini, dan mereka pun bersanak semenda dengan sesama mereka yang masih sedarah dan bersama-sama menjadi satu umat, yaitu umat Islam. Itulah faktor-faktor yang sangat kuat mempengaruhi terpentalnya Rumawi tatkala berusaha hendak kembali menyerang Syam, dan tatkala membantu pihak Armenia supaya negeri itu dijadikan jalur pihak Rumawi untuk menerobos jalan ke Irak.

Letak Mada'in (Ctesiphon), ibu kota Kisra yang hampir berdekatan dengan kota-kota mereka itu tidak mengubah kepercayaan rakyat Irak kepada pemerintah baru ini. Kekuatan angkatan bersenjata Persia sekarang sudah angkat kaki semua dari Mada'in dan dari Irak ke seluruh pelosok Iran, sehingga Mada'in sepenuhnya berada di tangan pihak Arab penakluknya dan di tangan orang-orang Irak yang memang sudah tinggal di sana sejak ratusan tahun. Tak ada cerita sejarah kepada kita tentang adanya pemberontakan di Irak sesudah dibebaskan, baik di masa Umar ataupun di masa Usman. Dibangunnya kota Basrah dan Kufah di Irak dan keberadaan pasukan Muslimin di sana yang kuat dan bertindak tegas, barangkali ada pengaruhnya terhadap stabilitas dan tenangnya keadaan di seluruh kawasan Irak itu.

Adanya perluasan ke Irak Arab bagian timur ke pelosok Persia itu menyebabkan pemberontakan tetap terpendam dalam hati penduduk, dan hanya sedikit saja harapan Kisra Yazdigird akan kembali kepada mereka dari pengasingannya di Turki untuk mengembalikan kejayaan negerinya dan kejayaan Dinasti Sasani leluhurnya. Yang menggerakkan harapan dalam hati mereka bukanlah keyakinan agama yang mereka percayai, yang seharusnya akan mereka pertahankan dan bersedia berkorban untuk itu, tetapi yang menggerakkan mereka adalah rasa kebangsaan yang mereka banggakan dan sekarang diinjak-injak oleh kaki-kaki orang Arab dan oleh kuda mereka. Namun rasa kebanggaan yang hina ini belum sampai kepada pengorbanan nyawa dan mempertaruhkan hidup untuk itu sebagai tebusannya.

Kabilah-kabilah di Basrah dan Kufah

Dari pihak Arab sendiri barangkali membiarkan harapan kecil ini tetap hidup dalam hati orang-orang Persia. Kaum Muslimin yang tinggal di Basrah dan di Kufah merupakan suatu pola hidup yang tidak sama dengan Muslimin yang tinggal di Syam dan di Mesir. Muslimin yang mendukung Mu'awiyah di Syam dan Muslimin yang mendukung Amr bin As dan Abdullah bin Sa'd bin Abi Sarh di Mesir kebanyakan adalah kaum Muhajirin dan Ansar di Mekah dan Medinah, dan banyak di antara mereka para sahabat Rasulullah, patuh menjalankan ajaran-ajarannya dan berjuang di jalan Allah. Di antara mereka, sampai selama sekian tahun di masa Usman, tak terjadi perselisihan dan tidak pula ada pengobaran fitnah. Oleh karena itu, baik Umar maupun Usman tidak merasa perlu dari waktu ke waktu akan mengganti wakil-wakilnya. Bahkan Mu'awiyah tetap stabil di Syam sejak diangkat oleh Umar sampai kemudian Banu Umayyah menjadi raja dan Damsyik dijadikan ibu kotanya. Amr bin As yang berada di Mesir tetap stabil, begitu juga Abdullah bin Sa'd bin Abi Sarh sesudahnya, sampai pada akhir masa Usman.

Tetapi penduduk Basrah dan Kufah, mereka dari kabilah-kabilah Arab yang jauh dari Mekah dan dari Medinah. Sedikit di antara mereka yang pernah menjadi sahabat Nabi, pernah belajar kepadanya atau berjuang bersama Nabi. Oleh karena itu, fanatisme kesukuan atau kekabilahan sering terjadi di antara mereka, dan Amirulmukminin terpaksa sering mengganti para wakil itu. Segala perselisihan dan ketidakpuasan mereka dengan para wakil itulah yang mendorong Umar bin Khattab sampai berkata: "Kemukakanlah masalahnya supaya dengan demikian saya dapat memperbaiki keadaan mereka dengan jalan mengganti seorang pejabat dengan pejabat yang lain."

Di samping itu, kabilah-kabilah yang tinggal di Basrah dan Kufah mulai pula memperlihatkan ketidaksenangannya pada kekuasaan Kuraisy. Mereka mengatakan bahwa kemenangan di Persia itu di tangan mereka. Kuraisy tidak berhak berkuasa di sana. Berita-berita ini tentu saja sampai kepada orang-orang Persia di berbagai daerah, dengan akibat semangat mereka mendapat angin agar dari waktu ke waktu mengadakan pemberontakan. Berita-berita demikian itu juga sampai kepada Yazdigird di tempat pengasingannya. Secercah harapan timbul lagi dalam hatinya untuk melawan Arab dan membebaskan takhtanya dari tangan mereka. Di banyak wilayah ia masih mendapat pengikut-pengikut, yang sebagian mereka percaya akan hak sucinya untuk kembali kepada takhta leluhurnya. Mereka berhasil menanamkan dalam hati mereka rasa dendam kepada para penakluk yang telah merebut kekuasaan mereka itu. Mereka semua sama-sama berusaha untuk menyebarkan ketidakstabilan dan kegelisahan dalam pikiran orang dan mendorong mereka untuk memberontak dan membangkang.

Faktor-faktor ini selalu bergerak membayangi pemerintahan Umar, tetapi lebih menonjol lagi pada masa Usman. Di atas sudah disebutkan, bahwa pada tahun 24 Hijri itu untuk daerah Kufah Usman mempertahankan Mugirah bin Syu'bah, sesuai dengan pesan Umar agar Khalifah yang sesudahnya tidak memecat wakil yang bertugas di kawasannya itu sebelum habis masa setahun sesudah ia meninggal. Ketika Umar membentuk Majelis Syura di antaranya ia mencalonkan Sa'd bin Abi Waqqas. Pernah ia berkata: "Kalau jatuh pada Sa'd memang itulah yang diharapkan; atau siapa saja yang nanti menjadi pengganti, hendaklah meminta bantuannya, sebab saya memecatnya bukan karena ia tidak mampu atau karena berkhianat." Bahwa Sa'd itu memang pahlawan perang Kadisiah, penakluk Mada'in dan pendiri kota-kota Kufah dan Basrah, tidak heran jika kemudian Usman mengangkatnya untuk Kufah menggantikan Mugirah bin Syu'bah. Begitu Sa'd mengemban tanggung jawab di sana orang segera teringat pada kepemimpinannya dan segala peranannya yang amat terpuji di seluruh Irak. Sungguhpun begitu, hati orang-orang Persia tetap bergejolak, karena tindakannya yang tegas itu di negeri sendiri tak mereka rasakan, dan hati mereka pun tak pernah bergetar ketika mendengar namanya. Al-Balazuri mengatakan: "Ketika Sa'd bin Abi Waqqas berdinas di Kufah di bawah Usman bin Affan, Ala bin Wahb ditugaskan di Mah dan di Hamazan. Tetapi pihak Hamazan berkhianat dan memberontak. Sesudah diambil tindakan keras, baru mereka tunduk, kemudian diadakan persetujuan bahwa mereka mau menunaikan pajak tanah dan jizyah dengan membayar 100.000 dirham kepada pihak Muslimin. Hak pribadi mereka, harta dan anak-anak mereka semua dijamin."

Bukan Hamazan saja yang memberontak di masa Umar dan di masa Usman, tetapi juga kota-kota dan daerah-daerah lain. Yang juga banyak bergolak adalah kota Ray sejak dibebaskan oleh Nu'aim bin Muqarrin di masa Umar. Kata Balazuri lagi: "Sesudah Sa'd bin Abi Waqqas bertugas di Kufah untuk kedua kalinya ia mengunjungi Ray yang sudah centang-perenang, kemudian diperbaikinya. Pada permulaan tahun 25 ia menyerang Dailam, kemudian ia pergi. Abu Bakr bin Haisam menuturkan kepada saya dari Bakr bin Daris, kadi Ray dengan mengatakan: Sesudah dibebaskan di masa Huzaifah kota Ray masih terus memberontak dan bergolak. Sesudah kemudian datang Qarazah bin Ka'b al-Ansari membebaskannya barulah keadaan kembali aman, yaitu saat Kufah di bawah Abu Musa di masa Usman."[40]

Usman tidak puas dengan peranan Sa'd. Memang pejabat di Kufah yang berdinas lebih dari setahun atau beberapa tahun saja dibebastugaskan. Begitu juga halnya dengan Sa'd, yang kemudian diganti dengan mengangkat Walid bin Uqbah. Penyebab pemecatan itu menurut beberapa sumber, ia meminjam uang dari baitulmal yang ketika itu dipegang oleh Abdullah bin Mas'ud. Abdullah menuntut pengembalian uang yang dipinjamnya itu, tapi rupanya Sa'd tidak mudah untuk melunasinya. Ia meminta bantuan beberapa orang agar Abdullah bin Mas'ud mau menangguhkan sampai ia mendapat kelapangan, tetapi permintaan itu ditolak dan perkara harta baitulmal yang di tangan penguasa Kufah itu tetap dituntutnya. Setelah itu ketika Abdullah dan Sa'd bertemu, Abdullah berkata: "Selesaikanlah harta yang ada pada Anda itu." Sa'd menjawab: "Rupanya Anda hanya mau membuat malapetaka. Bukankah Anda hanya anak Mas'ud, budak Huzail?" Abdullah bin Mas'ud menjawab lagi: "Dan Anda hanya anak Humainah!"

Perdebatan itu semakin sengit sehingga salah seorang yang hadir di majelis itu mencoba menengahinya dengan mengatakan: "Ingatlah kalian berdua ini sahabat-sahabat Rasulullah." Tetapi kata-kata ini tidak membuat reda, juga kata-kata semacamnya yang dikatakan oleh yang lain tidak mengurangi sengitnya perselisihan mereka itu. Sa'd kemudian keluar sambil mengangkat tangannya yang hampir saja memohonkan kutukan untuk Abdullah, dan mengadukan peristiwa itu kepada Usman. Usman marah kepada kedua orang itu dan hampir saja ia memecat keduanya. Kemudian ia mengoreksi dirinya dan menurut hematnya Sa'd-lah yang patut dicela. Karena ia tidak mau menunaikan kewajibannya maka timbul perselisihan demikian, dan kesalahan Sa'd dalam hal ini lebih besar. Itu sebabnya ia memecatnya dari kedudukannya di Kufah, dan mempertahankan Abdullah bin Mas'ud tetap memegang baitulmal. Selanjutnya jabatan Sa'd diserahkan kepada Walid bin Uqbah.

Walid bin Uqbah adalah juga dari Banu Umayyah seperti Usman. Di samping itu ia saudara seibu dengan Usman. Ia dicurigai sebagai peminum khamar, tetapi dia pemberani. Tentang peranannya sudah kita sebutkan ketika Azerbaijan memberontak dan bagaimana sampai kembali patuh, bagaimana ia memimpin mereka yang memerangi pemberontakan di Armenia. Di samping itu ia tegas dan mampu mengatur administrasi dengan memanfaatkan kecenderungan dan ambisi orang-orang tertentu serta mengambil hati mereka dengan berbagai pemberian. Disebutkan bahwa "Walid telah membawa kesejahteraan kepada rakyat, membagibagikan pemberian kepada bayi-bayi dari hamba sahaya."[41] Kata Tabari: "Ada dua golongan mengenai Walid, kaum awam di pihak dia dan kaum elit lawan dia. Karenanya ia disenangi orang dan dekat di hati mereka. Selama lima tahun ia berdinas di Kufah rumahnya tidak berpintu, tetapi tak ada yang mengganggu, karena ia dicintai dan dekat di hati rakyat." Oleh karena itu militer di Kufah sangat setia kepadanya dan mereka selalu siap menumpas setiap kerusuhan yang terjadi di wilayah Persia, yang berada di bawah kekuasaannya itu.

Tetapi kaum elit yang diperlakukan keras, akhirnya berhasil mengadakan persekongkolan dan pengintaian sampai mereka mendapat kesempatan mengadukannya sebagai peminum kepada Usman. Sesudah dihadapkan kepada Usman dan dijatuhi hukuman, ia dipecat. Ia digantikan oleh Sa'id bin As bin Umayyah.

Kita akan kembali membicarakan pemerintahan Usman ini lebih terinci sekitar sebab-sebab terjadinya persekongkolan terhadap Walid bin Uqbah dan bagaimana mereka berhasil meyakinkan Khalifah sampai ia dijatuhi hukuman dan akhirnya dipecat.

Sa'id bin As ini dari Banu Umayyah juga yang masih kerabat dekat dengan Usman dan dibesarkan dalam asuhan Usman. Sesudah Syam dibebaskan ia pergi ke sana dan tinggal bersama Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Ia ikut berjuang bersama Mu'awiyah, perjuangan dan jasanya sudah cukup dikenal. Mendengar tentang orang ini Umar bin Khattab pernah memintanya datang ke Medinah. Sesudah itu ia kemudian memberi tugas dan memperlihatkan simpatinya kepadanya. Tatkala Umar meninggal ia sudah termasuk orang yang tidak banyak jumlahnya di kalangan Kuraisy. Ketika diangkat oleh Usman sebagai penanggung jawab Kufah ia berangkat ke sana dan sudah mengetahui bagaimana semangat kesukuan itu bersemarak di kawasan itu, sehingga ia lebih bersikap keras kepada penduduk. Tak lama sesampainya ke tempat itu dan lelahnya perjalanan sudah hilang, dari mimbar ia berpidato kepada orang ramai dengan mengatakan: "Saya dikirim ke tempat kalian ini dengan perasaan berat hati. Tetapi sudah tidak bisa lain ketika saya mendapat perintah untuk bertugas di sini. Ya, fitnah kini mulai menunjukkan gigi. Tetapi saya tidak akan memberi ampun sebelum kembali ia bertekuk lutut. Sekarang saya adalah pelopor saya sendiri."

Catatan kaki:

37. Tampaknya ini nama tempat menurut ejaan bahasa Arab. Belum saya temukan ejaannya yang persis. - Pnj.

38. Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa ia pergi ke Afrika, dan yang memegang komando armada Muslimin ketika itu Abdullah bin Sa'd, gubernur Mesir. Tetapi sumber yang menyebutkan bahwa pasukan Rumawi pergi ke Iskandariah rasanya lebih tepat.

39. Lihat h. 42.

40. Balazuri, Futuh al-Buldan, h. 315 (at-Tijariyah, 1932).

41. At-Tabari, 3/330 (Maktabah at-Tijariyah, 1939).

(sebelum, sesudah)


Usman bin Affan
Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan
 
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
Penerbit P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel./Fax. (0251) 330505, Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 978-979-8100-40-6
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak dan dijilid oleh P.T. Mitra Kerjaya Indonesia.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team