3. Langkah-langkah Pembebasan di Masa Usman
(3/4)
-
Perang dengan Rumawi di Siprus
Mu'awiyah bin Abi Sufyan mengarungi lautan dengan membawa
istrinya Fakhitah binti Qarazah dan beberapa sahabat yang
sudah tinggal di Syam yang berasal dari Mekah dan Medinah.
Kapal yang ditumpangi Mu'awiyah ini berada di garis depan
diikuti oleh kapal-kapal lain di belakangnya, yang terdiri
dari para sukarelawan Muslimin.
Setelah sampai di Siprus dan mendarat di tepi pantai,
mereka tidak melihat seorang penguasa pun atau penduduk yang
mencegat mereka. Untuk apa pasukannya memerangi mereka
sementara pulau itu berada di bawah kekuasaan Rumawi. Kalau
bukan Rumawi yang akan membela pulau itu rakyatnya tak ada
yang akan membela diri. Kenyataannya sekarang tak satu pun
kapal Rumawi yang merintangi pasukan Muslimin dan tidak pula
berusaha hendak mencegah kedatangan mereka. Kedua belah
pihak memilih jalan damai dengan berunding. Pihak Siprus
berpendapat, persetujuan yang telah mereka capai dengan
pihak Muslimin jangan sampai menimbulkan pertentangan dengan
pihak Rumawi, yang mungkin akan mengganggu mereka - hal yang
tidak akan mampu dapat mereka cegah. Oleh karena itu mereka
mengadakan persetujuan damai dengan pihak Muslimin atas
dasar jizyah 7200 dinar yang dibayarkan setiap tahun, dengan
syarat jumlah yang sama juga harus dibayarkan kepada pihak
Rumawi.
Atas dasar persetujuan ganda dengan pihak Rumawi dan
pihak Muslimin ini, pihak Muslimin tidak akan melindungi dan
tidak akan berperang untuk melindungi mereka jika itu
terjadi sesuatu terhadap mereka. Orang Siprus akan menjadi
mata-mata pihak Muslimin dengan memberitahukan kepergian
orang-orang Rumawi musuh mereka itu.
Ini menurut sumber Balazuri tentang pembebasan Siprus.
Disebutkannya bahwa perang itu terjadi dalam tahun ke-28
atau tahun ke-29 Hijri, dan bahwa Siprus tetap setia pada
perjanjian itu sampai tahun 32. Dalam tahun itu "Pihak
Rumawi membantu para penyerang di laut itu dengan memberikan
beberapa kapal kepada mereka. Mu'awiyah menyerang mereka
dengan lima ratus kapal dalam tahun 33 dan Siprus dibebaskan
dengan jalan paksa setelah terjadi pembunuhan dan penawanan.
Setelah itu mereka kembali mengakui perjanjian itu dengan
mengirimkan 12.000 orang ke sana, semua orang pemerintahan.
Di tempat itu beberapa mesjid, juga sekelompok orang
dipindahkan ke sana dari Baalbak (Heliopolis), yang
selanjutnya dibangun pula di sana sebuah kota. Ketika
Mu'awiyah meninggal dan anaknya Yazid menggantikannya,
pengiriman itu dihentikan dan ia memerintahkan penghancuran
kota tersebut. Ada beberapa narasumber yang mengira bahwa
serangan Mu'awiyah yang kedua kalinya ke Siprus itu terjadi
dalam tahun 35."
Sumber Balazuri ini menyebutkan bahwa Mu'awiyah
membebaskan Siprus itu seorang diri. Sementara Tabari dan
Ibn Asir, dan para sejarawan yang penulisannya sejalan
dengan pola kedua sejarawan itu menyebutkan bahwa armada
Syam dan armada Mesir yang dipimpin oleh Abdullah bin Sa'd
bin Abi Sarh, masing-masing berangkat menuju Siprus. Mereka
yang membawa sumber ini tidak menyebutkan bahwa Mu'awiyah
sendirilah yang memimpin armada itu ke Siprus, tetapi kata
mereka Mu'awiyah menugaskan Abdullah bin Qais al-Harisi.
Tidaklah mudah untuk memastikan mana yang sahih dan mana
yang palsu dari kedua sumber itu.
Abdullah bin Qais, Laksamana
pertama dalam Sejarah Islam
Saya yakin mula-mula Mu'awiyah hendak membebaskan Siprus
dengan jalan damai, yaitu ketika pihak Rumawi sedang
sibuk-sibuknya menghadapi malapetaka di Mesir dan di Afrika,
dan Abdullah bin Qais al-Harisi bersama-sama dengan dia
dalam pembebasan yang tidak membawa pertumpahan darah dan
tidak sampai terjadi perternpuran itu.
Sesudah pihak Siprus melanggar perjanjian dan dibantu
pula oleh Rumawi, armada Syam dan Mesir berangkat ke Siprus,
yang kemudian mereka taklukkan dengan jalan kekerasan,
dengan segala akibatnya sampai terjadi penawanan dan
pembunuhan penduduk. Dalam pertempuran itu Abdullah bin Qais
dan Abdullah bin Sa'd adalah dua orang laksamana kedua
armada tersebut dalam serangan yang kedua kalinya itu.
Dari sumber Tabari dan mereka yang rnengutipnya itu
tampak sekali bahwa dalam memegang peranan di laut Abdullah
bin Qais memang sudah cukup mahir, dan bahwa dia sudah
melakukan lima puluh kali serangan selama di laut antara
musim dingin dengan musim panas tanpa ada sebuah kapal pun
dari pihaknya yang tenggelam atau rusak.
Para narasumber itu menambahkan bahwa Abdullah bin Qais
"Berdoa kepada Allah agar anggota-anggota pasukannya diberi
keselamatan, dan jangan ada di antara mereka yang mendapat
musibah." Doanya ini terkabul. Tetapi kemudian tiba saatnya
Allah membuat dia sendiri yang mengalami musibah itu. Dengan
sebuah perahu perintis ia pergi ke
Marga[37]
di Erzerum yang banyak dihuni oleh pengemis-pengemis. Ia
memberikan sedekah kepada mereka. Seorang perempuan dari
pengemis itu kembali pulang ke desanya dan berkata kepada
orang-orang di sana:
"Kalian mencari Abdullah bin Qais?"
Mereka menjawab dengan pertanyaan: Di mana dia? Di Marqa,
jawabnya. Lalu kata mereka lagi: "Musuh Tuhan dia! Dari mana
Anda tahu bahwa dia Abdullah bin Qais, padahal dia
bersembunyi?"
"Kalian tidak mampu menemukan Abdullah yang sedang
bersembunyi."
Kematian Abdullah bin Qais
Setelah itu mereka menuju ke tempatnya itu lalu
menyerangnya. Maka terjadilah saling serang, dan dia seorang
diri yang mengalami bencana itu. Pelaut itu dapat lolos
sampai ke tempat teman-temannya. Konon kemudian ada yang
mengatakan kepada perempuan itu: Dengan cara apa Anda
mengenal dia? Dengan caranya memberi derma. Dia memberi
seperti raja-raja, tidak kikir seperti para pedagang."
Mereka yang bercerita tentang peristiwa itu menyebutkan
bahwa sesudah Abdullah bin Qais terbunuh, Sufyan bin Adi
al-Azdi berangkat hendak memerangi musuh-musuhnya itu,
tetapi tak berhasil. Dengan demikian matilah seorang
laksamana Muslim pertama, terbunuh tanpa perang. Laki-laki
yang tak terkalahkan itu kini mati karena kelalaian
sahabat-sahabatnya yang tak mampu menuntut balas dan
mengalahkan musuhnya itu.
Setelah pihak Muslimin menguasai Siprus, dan setelah
memiliki armada yang dapat mempertahankan pantai-pantai Syam
dan Afrika, pihak Rumawi yakin bahwa mereka tidak akan mampu
lagi kembali ke Mesir dan ke Afrika. Juga tidak akan mampu
melawan pihak Muslimin di Syam selama armada Muslimin itu
belum dihancurkan, sebab dengan kehancurannya itu mereka
akan kembali merajai lautan, menjadi pemegang kekuasaan yang
berwibawa dan dengan tangan besi, absolut. Mereka tak akan
mendapat kesempatan berkuasa kalau membiarkan armada
Muslimin itu berkembang dan para awak kapalnya makin mahir.
Karenanya mereka bermaksud melakukan serangan di laut dan
menghancurkan armada Muslimin. Mereka sudah yakin dengan
perkiraan itu mereka akan dapat mengalahkan armada itu,
sebab jumlah kapal mereka lebih banyak daripada kapal pihak
Muslimin dan para awak kapal mereka pun lebih mahir.
Pertempuran Laut
Peristiwa itu terjadi dalam tahun 31 Hijri menurut satu
sumber, atau tahun 34 menurut sumber yang lain. Untuk
melaksanakan tekad mereka pihak Rumawi di bawah pimpinan
Konstantin, anak Heraklius, yang memegang komandan 500 atau
600 kapal sudah berlayar mengarungi Laut Tengah menuju
Iskandariah untuk menghadapi armada Muslimin yang
terbesar.[38]
Pihak Muslimin sudah mengetahui berita tentang pasukan
Rumawi dan perjalanan mereka hendak memerangi pasukan
Muslimin itu. Abdullah bin Sa'd bin Abi Sarh, gubernur
Mesir, memegang komando armada Iskandariah dan Afrika yang
terdiri dari 200 kapal dengan mengangkut orang-orang
pemberani, sudah terlatih dan tangkas dalam berperang.
Kapal-kapal itu berlabuh jauh dari Iskandariah dan di
jalan yang akan dilalui Rumawi. Tatkala matahari sudah
hampir terbenam kedua armada itu mulai tampak. Sepanjang
malam itu pasukan Rumawi membunyikan lonceng, dan pasukan
Muslimin melaksanakan salat dan membaca Qur'an.
Masing-masing mau menunggu esok hari. Sesudah tiba waktu
pagi, Abdullah bin Sa'd menyusun armadanya dan menyiapkan
anggota-anggota pasukannya, yang kemudian berpangkal di
tempat itu, menunggu kedatangan armada Rumawi itu ke
sana.
Dari pinggir laut angin bertiup kencang membuat armada
Muslimin harus berhati-hati untuk berlabuh di pantai-pantai
itu. Tetapi pihak Rumawi tidak perlu merasa khawatir, karena
angin itu tidak mengganggu letak armada mereka. Sesudah
angin mulai reda Abdullah bin Sa'd mengirim pesan kepada
Konstantin: Kalau kalian setuju, mari kita turun ke darat
agar pertempuran dapat lebih dipercepat. Tetapi pihak Rumawi
menolak tawaran itu, sebab sudah mereka rasakan sendiri.
ketangkasan pasukan Muslimin dalam pertempuran di darat.
Tujuan mereka yang terutama hendak menghancurkan armada
musuh mereka itu. Karenanya mereka membalas dengan
mengatakan: Laut, laut. Tetapi Abdullah bin Sa'd tidak pula
ragu menghadapi mereka di medan yang mereka pilih itu.
Kini armadanya mulai bergerak maju dan armada Rumawi juga
tampil maju. Tak lama setelah itu berkobarlah pertempuran
sengit yang luar biasa. Begitu sengitnya pertempuran itu
sehingga kedua armada itu sudah bercampur baur,
anggota-anggota pasukan masing-masing berlompatan dengan
pedang dan khanjar di tangan, satu sama lain sudah tidak
lagi mengenal belas kasihan. Ketika itu gelombang laut
menggeser kapal-kapal kedua armada itu ke pantai.
Mayat-mayat itu terhempas ke dalam pasir dan digulung luapan
air, kemudian menampakkan mereka kembali, yang sementara itu
sudah bercampur dengan darah sehingga warnanya berubah
menjadi merah kehitam-hitaman. Kedua pihak, pasukan Rumawi
dan pasukan Muslimin bertempur mati-matian demikian
hebatnya, yang belum ada tolok bandingnya, sehingga begitu
banyak korban mati di kedua pihak. Orang yang pernah
menyaksikan peristiwa itu bercerita:
"Saya melihat pantai yang dihantam ombak itu permukaannya
sudah seperti anak bukit yang besar oleh timbunan
mayat-mayat, darah sudah mengalahkan air. Ketika itu orang
menahan diri demikian rupa, yang belum mereka alami di medan
perang mana pun."
Dalam pada itu Konstantin sendiri mengalami luka-luka
sehingga ia sudah tak berdaya lagi, semangatnya pun sudah
makin surut. Setelah dia dan anak buahnya tahu dan melihat
semangat pihak Muslimin yang tidak berkurang, yakinlah dia
bahwa sekarang sudah gilirannya dia akan mengalami
kehancuran. Ia berbalik lari bersama semua armada dan
pasukannya yang masih tersisa. Ia yakin sekarang bahwa
ketangguhan pasukan Muslimin di laut pun ternyata tidak
kurang dari ketangguhannya di darat. Mereka tidak akan dapat
dikalahkan.
Konstantin dibunuh orang-orang
Sisilia
Abdullah bin Sa'd berpendapat, musuh yang sudah lari itu
tak perlu dikejar. Ia memerintahkan armadanya tetap berada
di tempat kejadian peristiwa. Selama beberapa hari itu ia
berada di sana, untuk memberikan kesempatan kepada anak
buahnya beristirahat. Setelah itu baru kemudian ia kembali
ke pelabuhan Iskandariah. Sungguhpun begitu, lawan-lawannya
dan lawan-lawan Usman bin Affan masih juga mengecam
tindakannya itu, dan mengatakan kepada semua orang, bahwa
andaikata armada Rumawi itu terus dikejar, niscaya akan
dapat ditumpas sampai ke akar-akarnya. Sekalipun terbatas,
penumpasan itu niscaya dapat dibenarkan, mengingat segala
kerugian yang telah menimpa anggota-anggota pasukan Muslimin
cukup besar. Tetapi karena hal itu tidak dilakukan, malah
membiarkan musuh lari, maka Usman harus memecatnya. Namun
Usman tidak melakukan itu karena Abdullah bin Sa'd masih
saudara susuannya.
Dulu, di masa pembebasan Mekah, Usman juga yang pernah
memintakan perlindungan kepada Nabi untuk Abdullah bin Sa'd,
setelah Nabi melihat orang ini termasuk dari mereka yang
patut mendapat hukuman
mati.[39]
Mereka tetap mengecam Usman dan mengeluarkan kata-kata yang
tak pernah mereka ucapkan, sehingga Abdullah bin Sa'd
meminta kepada Muhammad bin Huzaifah dan Muhammad bin Abu
Bakr - kedua pemuka gerakan ini - untuk tidak bersama-sama
satu kendaraan dengan dia.
Sementara itu Konstantin dengan kapalnya menuju ke
Sisilia. Sesudah diketahui warga, apa yang telah menimpanya,
kata mereka kepadanya: Anda telah menghancurkan agama
Nasrani dan menghabiskan pemimpin-pemimpinnya. Kalau
orang-orang Arab itu ke mari, kita tak punya apa lagi yang
dapat mencegahnya. Kemudian mereka membawanya ke sebuah
kamar mandi dan mereka bunuh, sedang yang lain dibiarkan
kembali ke Konstantinopel.
Perang Sawari
Para sejarawan menamakan perang ini Perang as-Sawari.
Kadang terlintas dalam pikiran bahwa mereka menamakannya
demikian setelah melihat Muslimin ketika sudah siap
bertempur mengikat kapal-kapal mereka satu sama lain, atau
mereka mendekati pihak Rumawi dan mengikatkan kapal-kapal
itu dengan kapal-kapal mereka seperti dikatakan oleh Ibn
Kasir (al-Bidayah wan Nihayah). Atau barangkali dinamakan
demikian karena kejadian itu di tempat yang disebut Zat
as-Sawari. Kalangan sejarawan yang membawakan berita-berita
tentang perang ini semua menyebutkan bahwa Abdullah bin Sa'd
tinggal di Zat as-Sawari selama beberapa hari lagi setelah
pertempuran itu, kemudian ia kembali ke Iskandariah membawa
kemenangan.
Karena Abdullah bin Sa'd tetap tinggal di Zat as-Sawari
itulah - tidak terus mengejar armada Konstantin yang
melarikan diri - yang membuat sebagian mereka mengecamnya.
Kita tak punya data yang lebih terinci mengenai segala
peristiwa yang akan mengharuskan kita ikut melakukan kritik
bersama mereka itu, juga tidak membuat kita harus membela
Abdullah bin Sa'd adanya jumlah besar yang hilang di
kalangan Muslimin dan karena jerih-payah yang begitu berat
dialami oleh yang masih hidup, sehingga ia merasa sudah
cukup dengan kemenangan telak yang diperolehnya dalam
menghadapi musuhnya itu, lalu memilih tinggal di tempat
terjadinya peristiwa untuk memakamkan mayat-mayat serta
memberikan kesempatan kepada pasukannya beristirahat. Tetapi
yang sudah pasti, sesudah pertempuran di laut itu pihak
Rumawi sudah tak berdaya lagi menghadapi mereka, dan setelah
itu pihak Musliminlah yang merajai Laut Tengah dari Laut
Merah. Dengan demikian mereka sudah merasa aman dari musuh
untuk mengarungi lautan ke pantai mereka sendiri yang mana
pun. Itulah yang terjadi. Sesudah itu tak terpikir lagi oleh
Rumawi hendak kembali ke Afrika, ke Mesir atau ke Syam.
***
Beberapa wilayah Persia
memberontak
Sementara Rumawi berusaha hendak menyerang Syam dan
merebut kembali Mesir dan Afrika, mereka berangkat hendak
menghancurkan armada Muslimin, tetapi pihak pasukan Muslimin
sekali lagi berhasil mencegat mereka. Di mana-mana mereka
dapat dipukul mundur dan armada mereka berhasil dihancurkan.
Di beberapa daerah Persia sekali-sekali masih ada
kelompok-kelompok yang mau memberontak, tetapi oleh pasukan
Muslimin mereka dipaksa juga tunduk, dan mereka terus
terdesak mundur ke balik kawasan Asia.
Kita sudah melihat bagaimana Azerbaijan mengadakan
perdamaian dengan pihak Muslimin pada akhir masa
pemerintahan Umar. Sesudah Usman menjadi Khalifah, karena
perdamaian yang sudah disetujui tidak mereka patuhi, maka
Khalid bin Uqbah berangkat ke sana. Mereka ditundukkan dan
kembali seperti pada persetujuan semula. Begitu juga apa
yang sudah kita lihat dengan Armenia, dan bagaimana pihak
Rumawi memberikan bala bantuan kepada mereka. Inilah yang
membuat mereka terlibat dalam kontak senjata dengan pihak
Muslimin, dan akhirnya kemenangan pun berada di tangan
Muslimin lagi.
Pemberontakan di kawasan Persia itu bukanlah disebabkan
oleh kematian Umar dan Usman tampil sebagai penggantinya. Di
masa Umar sendiri pun memang sudah sering terjadi
pembangkangan-pembangkangan di wilayah tersebut dan mereka
membatalkan perjanjian dengan pihak Muslimin. Tetapi pihak
Muslimin dapat mengatasi kembali masalah itu dan mereka
diharuskan tunduk lagi. Hamazan (Ramadan) juga pernah
melanggar perjanjian dengan pihak Muslimin sesudah terjadi
perang Nahawand. Nu'aim bin Muqarrin berangkat ke sana dan
sekaligus menaklukkan daerah-daerah di sekitarnya, kemudian
mengadakan pengepungan. Mereka meminta damai dan permintaan
itu oleh Nu'aim dikabulkan dengan syarat angkatan bersenjata
Muslimin akan ditempatkan di Hamazan, yang kehadirannya di
sana akan mengingatkan mereka pada adanya perjanjian itu dan
akan menerima jizyah dari mereka.
Dalam pada itu pihak Istakhr juga ikut mengadakan
pelanggaran dan semua kawasan Persia, yang mampu memberontak
mereka memberontak. Al-Hakam bin al-As segera berangkat ke
sana, dan Syahrak, Raja kawasan itu masih bertakhta. Di sana
pasukan Muslimin mendapat kemenangan yang cukup besar.
Dengan terbunuhnya Raja itu dan anaknya, seluruh kawasan
Persia kini setuju mengadakan perdamaian, yang dulu sudah
diadakan dengan pihak Muslimin. Selain Istakhr dan Hamazan,
masih ada daerah-daerah lain yang memberontak. Pihak
Muslimin kembali meyakinkan mereka bahwa perlawanan mereka
itu sudah dipatahkan, dan setiap mereka mengadakan
pemberontakan akan berbalik menjadi bencana buat mereka
sendiri.
Irak, Syam dan Mesir stabil
Tidak heran bahwa Mesir dan Syam sudah kembali tenang,
tetapi daerah-daerah Persia dari waktu ke waktu masih
bergolak. Sebelum dibebaskan oleh pihak Arab, Syam dan Mesir
merupakan dua wilayah Rumawi yang tunduk pada kekuasaan
Bizantium, dan harus membayar pajak begitu besar kepada
Konstantinopel. Sesudah dibebaskan oleh Muslimin tak seorang
pun penduduk yang dipaksa harus masuk Islam, dan urusan
administrasi pemerintahan diserahkan kepada penduduk negeri
selama mereka merasa puas dengan pemerintahan Islam itu.
Pihak Muslimin juga meringankan beban pajak kepada mereka.
Dengan demikian rakyat merasa senang sekali dengan
pemerintahan yang sekarang, dan dengan sendirinya mereka
samasekali tidak menyukai lagi kekuasaan Rumawi.
Selama pihak Arab itu sudah dapat menguasai keadaan
negeri itu, seperti Rumawi dulu, tak ada alasan yang akan
mendorong rakyat Syam atau Mesir untuk memberontak kepada
para penakluk Arab itu. Dibandingkan dengan Rumawi, mereka
lebih adil dan lebih punya rasa kemanusiaan. Itu sebabnya,
pemerintahan mereka lebih disenangi dan lebih dekat di hati
rakyat, hal yang tidak dimiliki oleh pihak Rumawi, yang
dengan kekuatannya seharusnya mampu mempertahankan dan
melindungi rakyat dari serangan luar.
Di samping itu masih ada faktor lain yang membuat rakyat
Syam dan Irak itu merasa puas. Kabilah-kabilah Arab yang
banyak bermigrasi ke negeri-negeri itu, mereka menetap di
sana dan membentuk koloni-koloni Keluarga Gassan di Syam dan
Keluarga Lakhm di Hirah. Hal ini terjadi dan berkembang
sampai sekian banyak generasi sebelum lahirnya Islam.
Karenanya, sering sekali kabilah-kabilah itu begitu cepat
bergabung dengan saudara-saudaranya sesama Arab dalam perang
melawan Rumawi dan Persia, yang pada mulanya kabilah-kabilah
itu tetap berpegang pada agama mereka.
Rumawi tak berhasil kembali ke
daerah-daerah jajahannya
Sesudah Arab membawa kemenangan nyata di Syam dan di
Irak, tidak sedikit orang Arab yang tinggal di kedua kawasan
itu yang masuk agama baru ini, dan mereka pun bersanak
semenda dengan sesama mereka yang masih sedarah dan
bersama-sama menjadi satu umat, yaitu umat Islam. Itulah
faktor-faktor yang sangat kuat mempengaruhi terpentalnya
Rumawi tatkala berusaha hendak kembali menyerang Syam, dan
tatkala membantu pihak Armenia supaya negeri itu dijadikan
jalur pihak Rumawi untuk menerobos jalan ke Irak.
Letak Mada'in (Ctesiphon), ibu kota Kisra yang hampir
berdekatan dengan kota-kota mereka itu tidak mengubah
kepercayaan rakyat Irak kepada pemerintah baru ini. Kekuatan
angkatan bersenjata Persia sekarang sudah angkat kaki semua
dari Mada'in dan dari Irak ke seluruh pelosok Iran, sehingga
Mada'in sepenuhnya berada di tangan pihak Arab penakluknya
dan di tangan orang-orang Irak yang memang sudah tinggal di
sana sejak ratusan tahun. Tak ada cerita sejarah kepada kita
tentang adanya pemberontakan di Irak sesudah dibebaskan,
baik di masa Umar ataupun di masa Usman. Dibangunnya kota
Basrah dan Kufah di Irak dan keberadaan pasukan Muslimin di
sana yang kuat dan bertindak tegas, barangkali ada
pengaruhnya terhadap stabilitas dan tenangnya keadaan di
seluruh kawasan Irak itu.
Adanya perluasan ke Irak Arab bagian timur ke pelosok
Persia itu menyebabkan pemberontakan tetap terpendam dalam
hati penduduk, dan hanya sedikit saja harapan Kisra
Yazdigird akan kembali kepada mereka dari pengasingannya di
Turki untuk mengembalikan kejayaan negerinya dan kejayaan
Dinasti Sasani leluhurnya. Yang menggerakkan harapan dalam
hati mereka bukanlah keyakinan agama yang mereka percayai,
yang seharusnya akan mereka pertahankan dan bersedia
berkorban untuk itu, tetapi yang menggerakkan mereka adalah
rasa kebangsaan yang mereka banggakan dan sekarang
diinjak-injak oleh kaki-kaki orang Arab dan oleh kuda
mereka. Namun rasa kebanggaan yang hina ini belum sampai
kepada pengorbanan nyawa dan mempertaruhkan hidup untuk itu
sebagai tebusannya.
Kabilah-kabilah di Basrah dan
Kufah
Dari pihak Arab sendiri barangkali membiarkan harapan
kecil ini tetap hidup dalam hati orang-orang Persia. Kaum
Muslimin yang tinggal di Basrah dan di Kufah merupakan suatu
pola hidup yang tidak sama dengan Muslimin yang tinggal di
Syam dan di Mesir. Muslimin yang mendukung Mu'awiyah di Syam
dan Muslimin yang mendukung Amr bin As dan Abdullah bin Sa'd
bin Abi Sarh di Mesir kebanyakan adalah kaum Muhajirin dan
Ansar di Mekah dan Medinah, dan banyak di antara mereka para
sahabat Rasulullah, patuh menjalankan ajaran-ajarannya dan
berjuang di jalan Allah. Di antara mereka, sampai selama
sekian tahun di masa Usman, tak terjadi perselisihan dan
tidak pula ada pengobaran fitnah. Oleh karena itu, baik Umar
maupun Usman tidak merasa perlu dari waktu ke waktu akan
mengganti wakil-wakilnya. Bahkan Mu'awiyah tetap stabil di
Syam sejak diangkat oleh Umar sampai kemudian Banu Umayyah
menjadi raja dan Damsyik dijadikan ibu kotanya. Amr bin As
yang berada di Mesir tetap stabil, begitu juga Abdullah bin
Sa'd bin Abi Sarh sesudahnya, sampai pada akhir masa
Usman.
Tetapi penduduk Basrah dan Kufah, mereka dari
kabilah-kabilah Arab yang jauh dari Mekah dan dari Medinah.
Sedikit di antara mereka yang pernah menjadi sahabat Nabi,
pernah belajar kepadanya atau berjuang bersama Nabi. Oleh
karena itu, fanatisme kesukuan atau kekabilahan sering
terjadi di antara mereka, dan Amirulmukminin terpaksa sering
mengganti para wakil itu. Segala perselisihan dan
ketidakpuasan mereka dengan para wakil itulah yang mendorong
Umar bin Khattab sampai berkata: "Kemukakanlah masalahnya
supaya dengan demikian saya dapat memperbaiki keadaan mereka
dengan jalan mengganti seorang pejabat dengan pejabat yang
lain."
Di samping itu, kabilah-kabilah yang tinggal di Basrah
dan Kufah mulai pula memperlihatkan ketidaksenangannya pada
kekuasaan Kuraisy. Mereka mengatakan bahwa kemenangan di
Persia itu di tangan mereka. Kuraisy tidak berhak berkuasa
di sana. Berita-berita ini tentu saja sampai kepada
orang-orang Persia di berbagai daerah, dengan akibat
semangat mereka mendapat angin agar dari waktu ke waktu
mengadakan pemberontakan. Berita-berita demikian itu juga
sampai kepada Yazdigird di tempat pengasingannya. Secercah
harapan timbul lagi dalam hatinya untuk melawan Arab dan
membebaskan takhtanya dari tangan mereka. Di banyak wilayah
ia masih mendapat pengikut-pengikut, yang sebagian mereka
percaya akan hak sucinya untuk kembali kepada takhta
leluhurnya. Mereka berhasil menanamkan dalam hati mereka
rasa dendam kepada para penakluk yang telah merebut
kekuasaan mereka itu. Mereka semua sama-sama berusaha untuk
menyebarkan ketidakstabilan dan kegelisahan dalam pikiran
orang dan mendorong mereka untuk memberontak dan
membangkang.
Faktor-faktor ini selalu bergerak membayangi pemerintahan
Umar, tetapi lebih menonjol lagi pada masa Usman. Di atas
sudah disebutkan, bahwa pada tahun 24 Hijri itu untuk daerah
Kufah Usman mempertahankan Mugirah bin Syu'bah, sesuai
dengan pesan Umar agar Khalifah yang sesudahnya tidak
memecat wakil yang bertugas di kawasannya itu sebelum habis
masa setahun sesudah ia meninggal. Ketika Umar membentuk
Majelis Syura di antaranya ia mencalonkan Sa'd bin Abi
Waqqas. Pernah ia berkata: "Kalau jatuh pada Sa'd memang
itulah yang diharapkan; atau siapa saja yang nanti menjadi
pengganti, hendaklah meminta bantuannya, sebab saya
memecatnya bukan karena ia tidak mampu atau karena
berkhianat." Bahwa Sa'd itu memang pahlawan perang Kadisiah,
penakluk Mada'in dan pendiri kota-kota Kufah dan Basrah,
tidak heran jika kemudian Usman mengangkatnya untuk Kufah
menggantikan Mugirah bin Syu'bah. Begitu Sa'd mengemban
tanggung jawab di sana orang segera teringat pada
kepemimpinannya dan segala peranannya yang amat terpuji di
seluruh Irak. Sungguhpun begitu, hati orang-orang Persia
tetap bergejolak, karena tindakannya yang tegas itu di
negeri sendiri tak mereka rasakan, dan hati mereka pun tak
pernah bergetar ketika mendengar namanya. Al-Balazuri
mengatakan: "Ketika Sa'd bin Abi Waqqas berdinas di Kufah di
bawah Usman bin Affan, Ala bin Wahb ditugaskan di Mah dan di
Hamazan. Tetapi pihak Hamazan berkhianat dan memberontak.
Sesudah diambil tindakan keras, baru mereka tunduk, kemudian
diadakan persetujuan bahwa mereka mau menunaikan pajak tanah
dan jizyah dengan membayar 100.000 dirham kepada pihak
Muslimin. Hak pribadi mereka, harta dan anak-anak mereka
semua dijamin."
Bukan Hamazan saja yang memberontak di masa Umar dan di
masa Usman, tetapi juga kota-kota dan daerah-daerah lain.
Yang juga banyak bergolak adalah kota Ray sejak dibebaskan
oleh Nu'aim bin Muqarrin di masa Umar. Kata Balazuri lagi:
"Sesudah Sa'd bin Abi Waqqas bertugas di Kufah untuk kedua
kalinya ia mengunjungi Ray yang sudah centang-perenang,
kemudian diperbaikinya. Pada permulaan tahun 25 ia menyerang
Dailam, kemudian ia pergi. Abu Bakr bin Haisam menuturkan
kepada saya dari Bakr bin Daris, kadi Ray dengan mengatakan:
Sesudah dibebaskan di masa Huzaifah kota Ray masih terus
memberontak dan bergolak. Sesudah kemudian datang Qarazah
bin Ka'b al-Ansari membebaskannya barulah keadaan kembali
aman, yaitu saat Kufah di bawah Abu Musa di masa
Usman."[40]
Usman tidak puas dengan peranan Sa'd. Memang pejabat di
Kufah yang berdinas lebih dari setahun atau beberapa tahun
saja dibebastugaskan. Begitu juga halnya dengan Sa'd, yang
kemudian diganti dengan mengangkat Walid bin Uqbah. Penyebab
pemecatan itu menurut beberapa sumber, ia meminjam uang dari
baitulmal yang ketika itu dipegang oleh Abdullah bin Mas'ud.
Abdullah menuntut pengembalian uang yang dipinjamnya itu,
tapi rupanya Sa'd tidak mudah untuk melunasinya. Ia meminta
bantuan beberapa orang agar Abdullah bin Mas'ud mau
menangguhkan sampai ia mendapat kelapangan, tetapi
permintaan itu ditolak dan perkara harta baitulmal yang di
tangan penguasa Kufah itu tetap dituntutnya. Setelah itu
ketika Abdullah dan Sa'd bertemu, Abdullah berkata:
"Selesaikanlah harta yang ada pada Anda itu." Sa'd menjawab:
"Rupanya Anda hanya mau membuat malapetaka. Bukankah Anda
hanya anak Mas'ud, budak Huzail?" Abdullah bin Mas'ud
menjawab lagi: "Dan Anda hanya anak Humainah!"
Perdebatan itu semakin sengit sehingga salah seorang yang
hadir di majelis itu mencoba menengahinya dengan mengatakan:
"Ingatlah kalian berdua ini sahabat-sahabat Rasulullah."
Tetapi kata-kata ini tidak membuat reda, juga kata-kata
semacamnya yang dikatakan oleh yang lain tidak mengurangi
sengitnya perselisihan mereka itu. Sa'd kemudian keluar
sambil mengangkat tangannya yang hampir saja memohonkan
kutukan untuk Abdullah, dan mengadukan peristiwa itu kepada
Usman. Usman marah kepada kedua orang itu dan hampir saja ia
memecat keduanya. Kemudian ia mengoreksi dirinya dan menurut
hematnya Sa'd-lah yang patut dicela. Karena ia tidak mau
menunaikan kewajibannya maka timbul perselisihan demikian,
dan kesalahan Sa'd dalam hal ini lebih besar. Itu sebabnya
ia memecatnya dari kedudukannya di Kufah, dan mempertahankan
Abdullah bin Mas'ud tetap memegang baitulmal. Selanjutnya
jabatan Sa'd diserahkan kepada Walid bin Uqbah.
Walid bin Uqbah adalah juga dari Banu Umayyah seperti
Usman. Di samping itu ia saudara seibu dengan Usman. Ia
dicurigai sebagai peminum khamar, tetapi dia pemberani.
Tentang peranannya sudah kita sebutkan ketika Azerbaijan
memberontak dan bagaimana sampai kembali patuh, bagaimana ia
memimpin mereka yang memerangi pemberontakan di Armenia. Di
samping itu ia tegas dan mampu mengatur administrasi dengan
memanfaatkan kecenderungan dan ambisi orang-orang tertentu
serta mengambil hati mereka dengan berbagai pemberian.
Disebutkan bahwa "Walid telah membawa kesejahteraan kepada
rakyat, membagibagikan pemberian kepada bayi-bayi dari hamba
sahaya."[41]
Kata Tabari: "Ada dua golongan mengenai Walid, kaum awam di
pihak dia dan kaum elit lawan dia. Karenanya ia disenangi
orang dan dekat di hati mereka. Selama lima tahun ia
berdinas di Kufah rumahnya tidak berpintu, tetapi tak ada
yang mengganggu, karena ia dicintai dan dekat di hati
rakyat." Oleh karena itu militer di Kufah sangat setia
kepadanya dan mereka selalu siap menumpas setiap kerusuhan
yang terjadi di wilayah Persia, yang berada di bawah
kekuasaannya itu.
Tetapi kaum elit yang diperlakukan keras, akhirnya
berhasil mengadakan persekongkolan dan pengintaian sampai
mereka mendapat kesempatan mengadukannya sebagai peminum
kepada Usman. Sesudah dihadapkan kepada Usman dan dijatuhi
hukuman, ia dipecat. Ia digantikan oleh Sa'id bin As bin
Umayyah.
Kita akan kembali membicarakan pemerintahan Usman ini
lebih terinci sekitar sebab-sebab terjadinya persekongkolan
terhadap Walid bin Uqbah dan bagaimana mereka berhasil
meyakinkan Khalifah sampai ia dijatuhi hukuman dan akhirnya
dipecat.
Sa'id bin As ini dari Banu Umayyah juga yang masih
kerabat dekat dengan Usman dan dibesarkan dalam asuhan
Usman. Sesudah Syam dibebaskan ia pergi ke sana dan tinggal
bersama Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Ia ikut berjuang bersama
Mu'awiyah, perjuangan dan jasanya sudah cukup dikenal.
Mendengar tentang orang ini Umar bin Khattab pernah
memintanya datang ke Medinah. Sesudah itu ia kemudian
memberi tugas dan memperlihatkan simpatinya kepadanya.
Tatkala Umar meninggal ia sudah termasuk orang yang tidak
banyak jumlahnya di kalangan Kuraisy. Ketika diangkat oleh
Usman sebagai penanggung jawab Kufah ia berangkat ke sana
dan sudah mengetahui bagaimana semangat kesukuan itu
bersemarak di kawasan itu, sehingga ia lebih bersikap keras
kepada penduduk. Tak lama sesampainya ke tempat itu dan
lelahnya perjalanan sudah hilang, dari mimbar ia berpidato
kepada orang ramai dengan mengatakan: "Saya dikirim ke
tempat kalian ini dengan perasaan berat hati. Tetapi sudah
tidak bisa lain ketika saya mendapat perintah untuk bertugas
di sini. Ya, fitnah kini mulai menunjukkan gigi. Tetapi saya
tidak akan memberi ampun sebelum kembali ia bertekuk lutut.
Sekarang saya adalah pelopor saya sendiri."
Catatan kaki:
37. Tampaknya ini nama
tempat menurut ejaan bahasa Arab. Belum saya temukan
ejaannya yang persis. - Pnj.
38. Dalam beberapa
sumber disebutkan bahwa ia pergi ke Afrika, dan yang
memegang komando armada Muslimin ketika itu Abdullah bin
Sa'd, gubernur Mesir. Tetapi sumber yang menyebutkan bahwa
pasukan Rumawi pergi ke Iskandariah rasanya lebih tepat.
39. Lihat h. 42.
40. Balazuri, Futuh
al-Buldan, h. 315 (at-Tijariyah, 1932).
41. At-Tabari, 3/330
(Maktabah at-Tijariyah, 1939).
|