|
||
|
|
Kaum Muslimin di Medinah dan di segenap pelosok Semenanjung Arab dapat menikmati berita-berita kemenangan yang selalu mengiringi pasukan Muslimin di Irak dan di Syam, dan seperlima rampasan perang yang dikirimkan kepada Khalifah dan kemudian dibagikan kepada mereka sehingga hidup mereka bertambah nyaman. Mereka dapat beralih dari kehidupan badui yang serba sulit dan kekurangan ke dalam semacam kehidupan kota yang lebih baik. Pembagian ini membuat mereka lebih mampu untuk membeli barang-barang dagangan dari- Yaman dan Syam sekehendak mereka. Mereka dapat mendatangkan barang-barang dari Mesir yang diangkut dengan kapal, yang sebelum itu tak pernah mereka kenal. Ini membuat hidup mereka makin cerah dan mereka lebih bersemangat untuk terus berjuang, lebih kuat berpegang kepada ajaran agama yang lurus ini, yang akan membukakan pintu dunia dan akhirat bagi mereka.
Sementara mereka sedang dalam kenikmatan serupa itu, tiba-tiba dikejutkan oleh dua peristiwa besar yang mengerikan. Pada akhir tahun 17 itu dan sepanjang tahun-tahun berikutnya satu peristiwa menimpa mereka di tanah Semenanjung dan yang satu lagi menimpa saudara-saudara mereka yang sedang berjuang di medan perang. Yang pertama. karena bencana kelaparan yang meluas di negeri-negeri Arab dari ujung selatan sampai ke ujung utara, berlangsung selama sembilan bulan, menghancurkan segala usaha pertanian dan peternakan, dan manusia mengalami beban hidup yang sangat berat. Sedang bencana kedua adalah wabah Amawas yang meluas dari Syam sampai ke Irak, sehingga menewaskan ribuan tokoh Muslimin terbaik, laki-laki dan perempuan, militer dan sipil, sehingga Umar merasa khawatir sekali, begitu juga semua orang.
Penyebab terjadinya kelaparan ini karena di seluruh Semenanjung itu samasekali tidak turun hujan selama sembilan bulan, dan lapisan-lapisan gunung berapi mulai bergerak dari dasar dan membakar permukaan dan semua tanaman di atasnya, sehingga lapisan tanah itu menjadi hitam, gersang dan penuh abu, yang bila datang angin bertiup makin luas bertebaran. Oleh karena itu tahun ini dinamai "Tahun Abu" (Amar Ramadah). Akibat tak ada hujan dan tiupan angin serta hancurnya segala usaha pertanian dan peternakan itu, timbul kelaparan yang menelan banyak korban manusia dan binatang ternak. Hewan-hewan yang masih ada sudah kurus kering, tetapi karena lapar orang menyembelih ternaknya dengan rasa jijik karena sudah begitu buruk. Dengan demikian keadaan pasar jadi sepi, karena sudah tak ada lagi yang akan diperjualbelikan, uang di tangan pun sudah tidak berarti apa-apa, sebab tak ada yang dapat dibeli untuk sekadar menyambung hidupnya. Perjuangan ini cukup lama dan bencana pun makin berat. Orang sudah menggali lubang-lubang tikus untuk memburunya.
Pada permulaan musim kelaparan itu keadaan penduduk Medinah masih lebih baik. Medinah merupakan sebuah kota yang di waktu lapang penduduknya biasa menyimpan makanan, seperti yang biasa dilakukan oleh penduduk kota. Bila sudah mulai musim kemarau simpanan itu dikeluarkan untuk dimakan. Sebaliknya penduduk pedalaman, tak ada yang dapat mereka simpan sehingga sejak permulaan mereka sudah menderita. Mereka malah ramai-ramai datang ke Medinah meminta bantuan Amirulmukminin dengan menyampaikan keluhan. mengharapkan remah makanan yang dapat mereka makan. Sekarang mereka yang datang mengungsi sudah makin banyak jumlahnya sehingga kota Medinah menjadi penuh sesak, penduduk merasa makin tertekan, kegersangan dan kelaparan yang menimpa mereka pun sama seperti yang menimpa penduduk pedalaman.
Apa yang akan dilakukan Umar terhadap dirinya, dan apa pula yang harus diperbuatnya terhadap mereka yang dalam kelaparan itu? Baitulmal di tangannya, dan para wakilnya di Irak dan di Syam akan mampu mengirimkan kepadanya apa yang masih ada pada mereka menurut kebiasaan hidup mereka sebelum musim kelaparan. Kalaupun itu yang dilakukannya ia beralasan sekali, karena tanggung jawabnya mengharuskannya untuk tidak terlalu memberatkan dirinya dan menyiksa diri sehingga dengan demikian beban yang harus dipikulnya dalam mengurus kepentingan umat akan makin memberatkan. Tetapt tindakannya dalam hal ini sungguh cemerlang, yang harus diketahui dan dijadikan teladan oleh setiap pemimpin umat.
Setelah kelaparan mencapai puncaknya pernah terjadi Umar disuguhi roti yang diremukkan dengan samin. Ia memanggil seorang badui dan roti itu dimakannya bersama-sama. Orang badui itu setiap kali menyuap diikutinya dengan lemak yang terdapat di sisi luarnya. Oleh Umar ia ditanya: Tampaknya Anda tak pernah mengenyam lemak? Ya, jawab orang itu. Saya tak pernah makan dengan samin atau minyak zaitun, juga saya tak melihat ada orang memakannya sejak sekian dan sekian lamanya sampai sekarang. Sejak itu Umar bersumpah untuk tidak lagi makan daging atau samin sampai semua orang hidup seperti biasa. Ia tetap bertahan dengan sumpahnya itu sampai dengan izin Allah hujan turun dan musim paceklik berakhir.
Ia sangat bersungguh-sungguh dengan sumpahnya itu. Di pasar ada orang yang membawa samin dalam satu tabung kulit dan susu, juga dalam satu tabung kulit. Kedua barang itu dibeli oleh seorang anak muda dengan harga empat puluh dirham dan langsung pergi menemui Umar seraya katanya: Allah sudah menerima sumpah Anda dan memperbesar pahala Anda. Ada orang yang membawa setabung susu dan setabung samin saya beli dengan harga empat puluh dirham. Terlalu mahal lalu Anda sedekahkan. Saya tidak suka makan dengan berlebihan. Ia menunduk sebentar lalu katanya lagi: Bagaimana saya akan dapat memperhatikan keadaan rakyat jika saya tidak ikut merasakan apa yang mereka rasakan.
Alangkah agung dan mulianya kebijakan itu! Dan lebih agung lagi jika datangnya dari orang yang ketika itu segala harta milik Kisra dan Kaisar sudah ada di tangannya, dan yang dengan itu pula Muslimin dapat menyaingi Persia, Rumawi dan dunia seluruhnya. Begitu juga harta kekayaan Irak dan Syam. Ketika itu Umar mampu menggunakan sekehendaknya segala kemewahan dan kenikmatan harta Persia dan Rumawi itu. Tetapi ia melihat semua kenikmatan itu menyangkut kehidupan dunia, dan kemewahan dapat membuat orang sesat. Dia lebih agung dari semua itu demi mengharapkan akhirat dan keridaan Allah. Ia melihat - sebagai Amirulmukminin - bahwa tidak mungkin ia dapat memperhatikan kehidupan rakyatnya jika dia sendiri tidak merasakan apa yang dirasakan oleh mereka yang hidup lebih miskin dan lebih sengsara. Dia harus bertindak cepat untuk mengatasi kemiskinan dan kesengsaraan itu. Umar yang warna kulitnya putih kemerahan, pada Tahun Abu itu orang melihatnya sudah berubah menjadi hitam. Dulu ia menyantap samin, susu dan daging. Setelah bencana kekeringan menimpa wilayahnya, ia mengharamkan semua makanan itu untuk dirinya. Ia hanya menyantap minyak zaitun, dan lebih sering mengalami kelaparan, sehingga banyak orang yang mengatakan setelah melihat apa yang menimpanya itu: Jika Allah tidak menolong kami dari Tahun Abu ini kami kira Umar akan mati dalam kesedihan memikirkan nasib Muslimin.
Dalam kenyataannya ia memang sangat prihatin, dan demi kepentingan mereka ia sudah berusaha sekuat tenaga. Ia menulis surat kepada wakil-wakilnya di Irak dan di Syam meminta pertolongan agar membantu penduduk Semenanjung. Kata-katanya kepada mereka itu keluar dari hati yang tulus, yang memperlihatkan betapa besar rasa tanggung jawabnya. Perasaannya begitu peka, bahwa mengenai setiap pribadi dari rakyatnya dia bertanggung jawab di depan Allah dan di depan hati nuraninya sendiri. Kepada Amr bin As di Palestina ia menulis: "Salam sejahtera bagi Anda. Anda melihat kami sudah akan binasa, sedang Anda dan rakyat Anda masih hidup. Kami sangat memerlukan pertolongan, sekali lagi pertolongan!" Dalam jawabannya Amr mengatakan: "Segera akan saya kirimkan kepada Anda kafilah unta, yang terdepan di tempat Anda dan yang terakhir di tempat saya." Surat serupa dikirimkan juga oleh Umar kepada Mu'awiah bin Abi Sufyan dan Abu Ubaidah bin Jarrah di Syam, juga kepada Sa'd bin Abi Waqqas di Irak. Semua mereka menjawab yang kira-kira sama dengan jawaban Amr bin As.
Abu Ubaidah bin Jarrah paling cepat memenuhi seruan Umar dan segera memberi pertolongan kepada Semenanjung, mendahului yang lain. Empat ribu unta dengan muatan makanan segera dikirimkan. Umar pun segera membagikannya kepada penduduk sekitar Medinah. Selesai mengerjakan itu Umar memerintahkan agar mengirimkan uang 4000 dirham kepadanya. Tetapi Abu Ubaidah membalas: Amirulmukminin, saya tidak memerlukan itu! Saya mengharapkan Allah akan menerima amal saya. Janganlah sampai saya terpengaruh oleh dunia. Tetapi Umar menjawab: Terimalah. Tidak apa selama Anda tidak memintanya. Saya sudah pernah melakukan yang semacam ini dengan Rasulullah, lalu ia memberi saya sesudah saya katakan kepadanya seperti yang Anda katakan kepada saya. Uang itu diterima oleh Abu Ubaidah, setelah itu ia kembali ke tempat pekerjaannya.
Dari Palestina Amr bin As mengirimkan makanan dengan unta dan kapal melalui pelabuhan Ailah (Elat).1 Yang dikirim melalui laut dua puluh kapal bermuatan tepung dan lemak, yang melalui darat terdiri atas seribu ekor unta dengan muatan tepung. Dari Syam Mu'awiah bin Abi Sufyan mengirim tiga ribu unta, sedang Sa'd bin Abi Waqqas mengirim dari Irak seribu unta, semua membawa tepung. Di samping itu Amr mengirim lima ribu pakaian dan Mu'awiah mengirim tiga ribu mantel.
Umar mengangkat beberapa orang untuk membagikan makanan dan pakaian ke kota-kota dan pedalaman kawasan itu, dan dia sendiri bertugas mengurus makanan penduduk Medinah dan orang-orang yang datang mengungsi ke sana. Utusan-utusan Umar itu segera berangkat ke segenap penjuru Semenanjung untuk meringankan penderitaan penduduk. Para wakil yang ditugasi membagi-bagikan makanan yang dikirim Sa'd bin Abi Waqqas itu bertemu di pintu masuk ke Irak. Mereka menyembelih hewan kemudian membagikannya kepada warga, begitu juga tepung dan pakaian. Maka dengan pertolongan Allah sekarang mereka terangkat dari bencana yang selama ini menimpa mereka. Begitu juga yang dikerjakan oleh utusan-utusan yang bertugas sepanjang Mekah dan Medinah. Umar berkata kepada utusannya yang dikirim untuk menemui kafilah dari Syam: "Mengenai makanan yang Anda terima bagikanlah kepada penduduk pedalaman, pembungkusnya dapat dijadikan selimut, begitu juga unta agar disembelih, dagingnya untuk makanan mereka dan lemaknya dapat mereka bawa dan jangan menunggu sampai mereka mengatakan, dengan itulah kami mengharapkan kelapangan hidup. Mengenai tepung dapat mereka olah dan mereka simpan sampai nanti Allah memberikan jalan keluar kepada kita."
Umar sendiri menguruskan makanan periduduk Medinah dan mereka yang mengungsi ke sana. Ia mengolah roti dengan zaitun untuk dijadikan roti kuah. Beberapa hari sekali ia menyembelih hewan untuk lauk pauk roti kuah, lalu dimakan bersama-sama dengan orang banyak.
Sesudah unta yang dari Irak dan Syam datang setiap hari disembelih dua puluh ekor untuk makan mereka. Setiap malam mereka berkumpul dan melaporkan kepadanya segala yang mereka alami siangnya. Selesai salat isya ia menyuruh orang menghitung jumlah mereka yang makan di sana dalam beberapa hidangan. Jumlah mereka mencapai tujuh ribu orang. Anggota keluarga yang tidak ikut serta, mereka yang sakit dan anak-anak mencapai jumlah 40.000. Dari hari ke hari jumlah mereka bertambah. Jumlah mereka yang makan malam di tempatnya itu sebanyak 10.000 dan dengan yang lain sampai 50.000 orang. Orang-orang yang bekerja datang menjelang subuh ke tempat Umar dan mereka bekerja sampai pagi. Setelah itu hidangan asidah2 dan daging dibagikan kepada orang-orang yang sakit, anak-anak dan anggota keluarga yang tidak sempat makan bersama dengan Amirulmukminin. Umar memberikan pelayanan sendiri kepada mereka dan menyertai mereka semua, dengan tujuan memberikan ketenangan bahwa dalam menghadapi bahaya kelaparan itu ada yang akan dapat mereka atasi. Ia mengirimkan tepung, kurma dan rempah-rempah ke rumah-rumah orang yang masih mampu menghidangkan makanan mereka sendiri setiap bulan, membagikannya kepada mereka dengan sistem seperti "kartu jatah" di masa perang zaman kita sekarang. Kurang atau lebih disesuaikan dengan keadaan orang itu. Dalam hal ini ia berkata: "Andaikata untuk meringankan beban orang saya harus membawakan perlengkapan mereka kepada keluarga di setiap rumah lalu mereka saling membagi makanan mereka sampai Allah memberi kelapangan, akan saya lakukan. Mereka tidak akan binasa karena makanan yang dibagi-bagikan."3
Kendati sudah begitu besar perhatian Umar terhadap semua orang Arab, namun penyakit tetap tersebar luas, sehingga banyak di antara mereka yang mati. Ia memperhatikan orang-orang sakit, mengirimkan kain kafan buat orang-orang mati dan menyembahyangkan. Selama sembilan bulan saat orang sedang ditimpa bencana yang begitu berat itL. di Medinah, ia mampu meringankan penderitaan itu dengan sekadar mendapat bantuan dari pemuka-pemuka Ansar. Sesudah penerimaan mereka berkurang, penyakit dan maut serta ketakutan di Semenanjung sudah sampai di puncaknya. Tak ada tempat berlindung lagi buat Umar selain kepada Allah. Selama sembilan bulan itu ia mengimami salat isya dan setelah pulang ke rumah ia masih melanjutkan dengan salat sampai larut malam, memohon kepada Allah jangan sampai kehancuran umat berada di tangannya. Setelah doanya belum juga dikabulkan oleh Allah, dan belum juga turun hujan, ia bermaksud hendak melakukan salat istisqa'. Dimintanya kepada wakil-wakilnya agar mereka keluar pada hari yang ditentukannya untuk bermohon kepada Allah supaya musim kemarau itu segera diakhiri. Dia sendiri hari itu keluar rumah bersama orang banyak, dengan mengenakan mantel Rasulullah. Sesudah sampai di al-Musalla orang bermohon dan berdoa dengan sepenuh hati. Umar ketika itu menangis lama sekali sehingga janggutnya basah. Al-Abbas bin Abdul-Muttalib berdiri di sampingnya. Dipegangnya tangannya dan ia mengangkat muka ke atas seraya berkata: "Allahumma ya Allah, kami memohon pertolongan-Mu dengan mengajak [syafaat] paman Rasul-Mu." Abbas juga berdoa kepada Allah dengan air mata bercucuran. Semua orang berdoa kepada Tuhan dengan khusyuk dan rasa takut. Mereka yakin sekali akan mati jika Allah tidak membantu mereka dengan air hujan. Tetapi Allah rupanya telah mengabulkan permohonan hamba-hamba-Nya yang benar-benar beriman dan percaya pada apa yang telah dijanjikan Allah. Allah Maha Penyantun dan Maha Pemurah kepada hamba-hamba-Nya.
Allah telah mengabulkan permohonan hamba-hamba-Nya dengan menurunkan air hujan yang lebat sekali. Tanah menjadi basah dan kehijauan mulai tampak. Orang-orang Arab pedalam!ln yang datang ke Medinah sudah tidak perlu lagi tinggal di sana. Kepada mereka Umar berkata: Kembalilah kalian ke daerah asal masing-masing! Ia khawatir di antara mereka akan menetap di Medinah karena dikira hidup di kota lebih nyaman. Bahkan dia percayakan kepada orang-orang Arab pedalaman yang kembali ke daerah mereka itu dengan memberi bekal makanan dan hadiah-hadiah yang akan diangkut kendaraan sampai keperkampungan mereka. Kemudian mereka yang memerlukan bantuan dia sendiri yang akan menangani. Setelah sampai ke tempat-tempat tinggal mereka, kembali mereka seperti kehidupan biasa, meskipun dari pemberian hasil rampasan perang itu tak ada yang dapat membuat mereka hidup lebih nyaman. Umar memang sudah begitu sibuk menghadapi kelaparan di Semenanjung Arab. Kepada semua pasukannya ia memperketat perintah-perintahnya untuk tidak memerangi musuh kecuali jika terpaksa untuk membela diri.
Selama Tahun Abu itu Umar tidak mengirim petugas-petugasnya memungut zakat; tetapi diundurkan sampai musim kemarau berlalu. Setelah orang kembali tenteram dalam kehidupannya dan bahan keperluan hidup kembali melimpah, baru ia memerintahkan pemungut-pemungut zakat itu untuk menjalankan tugasnya lagi dan kepada yang mampu dipungut dua kali bagian: bagian pertama untuk musim Tahun Abu dan bagian kedua untuk tahun berikutnya. Salah satu bagian itu diberikan kepada mereka yang tidak mampu, dan yang didahulukan yang kedua . Dengan demikian akan makin meringankan beban kaum fakir miskin, dan tidak terlalu memberatkan dan memaksa pihak wajib zakat yang mampu.
Rasanya pantas di bagian ini kita merenung agak sejenak, melihat bagaimana kebijakan politik Umar seperti yang terlihat dalam segala tindakannya selama musim paceklik yang sangat berat itu menimpanya dan menimpa masyarakat itu. Dengan merenungkan ini bukan maksud kita ingin mengungkapkan bagaimana kekaguman dan penghormatan kita kepada segala tindakannya itu. Tetapi yang ingin kita ungkapkan dari tindakan-tindakannya itu suatu gagasan secara ringkas mengenai pola pemerintahan dalam pikiran seorang laki-laki yang ditakdirkan menjadi orang pertama menyusun suatu sistem hukum dalam masya.rakat Islam.
Tindakan yang sangat menonjol dalam hal ini sikap Umar dan disiplinnya yang begitu keras terhadap dirinya. Dia samasekali tidak tertarik untuk menikmati segala kemudahan yang ada, padahal Islam tidak menyuruh orang berlaku demikian. Dia melakukan itu untuk merasakan apa yang dirasakan kaum duafa dan orang-orang tidak mampu. Untuk ia berkata: "Bagaimana saya akan dapat memperhatikan keadaan rakyat jika saya tidak ikut merasakan apa yang mereka rasakan." Karena itulah ia menurunkan taraf hidupnya ke tingkat hidup orang-orang miskin yang makan hanya dari hidangan yang tersedia, duduk bersama-sama dengan ribuan orang yang kelaparan untuk sekadar menyambung hidup. Ia makan bersama-sama mereka dan tidak mau makan di rumahnya supaya jangan ada yang mengira bahwa ia mengutamakan dirinya dengan makanan yang tak terjangkau oleh masyarakatnya yang masih dalam kekurangan. Dengan tindakannya itu ia telah membuktikan tujuan yang sungguh mulia: Pertama, merasakan penderitaan orang lain sehingga ia terdorong untuk melipatgandakan perjuangannya dalam memperhatikan nasib mereka dan bekerja untuk mengatasinya; Kedua, untuk menenteramkan hati kebanyakan orang bahwa Amirulmukminin bersama-sama mereka dalam suka dan duka. Hati mereka tidak memberontak, bahkan dengan senang hati mereka menerima segala yang telah menimpa mereka itu, sebab orang terpenting dalam negara itu bersama-sama senasib sepenanggungan dengan mereka. Umar telah mencapai dua tujuan itu begitu cemerlang, hal yang belum pernah dicapai oleh seorang kepala negara dan bangsa mana pun.
Umar melihat bahwa kewajiban pertama seorang kepala negara membuat hidupnya sendiri setingkat dengan kehidupan kebanyakan rakyat bangsanya. Sungguhpun begitu ia membiarkan orang yang mampu untuk mengembangkan modalnya serta mengeksploitasi tanah untuk memanfaatkan hasilnya yang terbaik, untuk menambah dengan itu hasil komoditi dengan mengandalkan pada kecermatan kerja agar produksi dan hasil bumi berlipat ganda. Akibatnya, rakyat jelata umumnya makin cinta kepada kepala negaranya, makin tertarik pada kebijakannya. Mereka bersedia berkorban demi kebijakan yang semacam itu. Kedudukan kepala negara terasa makin agung di mata mereka yang mampu dan berkedudukan, karena mereka melihat bagaimana ia begitu dekat di hati rakyat dan sangat mencintai mereka. Tak terlintas dalam pikiran siapa pun hendak menentangnya atau mengadakan perlawanan. Hubungannya dengan segenap lapisan masyarakat yang beraneka ragam itu bertambah erat juga adanya, sebab hubungan kepala negara dengan semua lapisan seperti hubungan jantung dengan badan, membagi aliran keperluan hidup dengan sangat adil, dan semuanya diarahkan ke suatu tujuan demi kebaikan bersama.
Belum lagi bencana kelaparan dapat diatasi secara tuntas dan Allah mengangkat umat dari bahaya itu, tiba-tiba datang berita yang cukup mengerikan dengan timbulnya wabah di Syam dan menjalar terus ke Irak. Wabah itu berkecamuk di Amawas di bilangan Palestina, kemudian menjalar ke Syam, yang menewaskan setiap orang yang tertular dengan mengerikan sekali. Setiap orang yang terserang wabah itu pasti disusul dengan kematian. Alangkah banyaknya mereka yang terjangkiti penyakit ini! Wabah yang berlangsung selama sebulan itu telah menelan korban Muslimin sebanyak 25.000 orang, orang-orang penting dan terkemuka tidak sedikit di antara mereka, termasuk Abu Ubaidah bin Jarrah, Mu'az bin Jabal, Yazid bin Abi Sufyan, Haris bin Hisyam, Suhail bin Amr, Utbah bin Suhail dan banyak lagi yang lain yang setingkat mereka. Haris bin Hisyam yang berangkat dari Medinah ke Syam dengan tujuh puluh orang anggota keluarganya semua tewas, kecuali empat orang yang selamat. Disebutkan konon, keempat puluh orang anak Khalid bin Walid tewas semua oleh wabah yang menyebar di kalangan tentara, begitu juga di kalangan penduduk sipil. Semua orang dalam ketakutan, khawatir juga akan akibat-akibatnya. Andaikata pihak musuh mencoba kembali menyerang mereka niscaya mereka sudah tidak akan berdaya lagi mengadakan perlawanan. Tetapi pihak Rumawi memang sudah sangat takut wabah itu akan menimpa mereka seperti yang sudah menimpa kaum Muslimin. Dan memang sudah tidak terpikir akan kembali lagi, karena takut oleh bencana yang sekarang sedang menimpa musuh mereka.
Tatkala baru mulai tersebar berita tentang wabah ini tidak begitu mengejutkan. Umar sudah berniat akan pergi ke Syam untuk mengurus segala yang diperlukan setelah kawasan itu dibebaskan. Ia sudah berangkat dari Medinah hingga mencapai Sar' di dekat Tabuk. Ia dijemput oleh pemimpin-pemimpin militer seperti Abu Ubaidah bin Jarrah, Yazid bin Abi Sufyan dan Syurahbil bin Hasanah. Mereka memberitahukan bahwa daerah itu sedang dilanda penyakit menular, dengan menyampaian juga berita-berita sekitar wabah yang sangat ganas itu. Umar merasa ngeri mendengarnya. Sorenya kaum Muhajirin yang mula-mula berkumpul dan bermusyawarah: Akan meneruskan perjalanan ke Syam dengan adanya penyakit menular demikian, atau akan kembali ke Medinah? Mereka bersilang pendapat. Ada yang mengatakan: Perjalanan kita demi di jalan Allah dengan segala akibatnya. Kita berpendapat bahaya apa pun bukan halangan. Yang lain berkata: Itu suatu bencana dan kepunahan. Kita kira tak perlu kita meneruskan perjalanan. Di kalangan Ansar juga terdapat perbedaan pendapat seperti pada Muhajirin, seolah mereka mengulangi apa yang sudah mereka dengar. Ketika itu Umar mengumpulkan kaum Muhajirin Kuraisy yang pernah membebaskan Mekah dan ia meminta pendapat mereka. Tak ada yang berbeda pendapat, semua mengatakan: Lebih baik kita kembali; itu adalah suatu bencana dan kepunahan. Dengan perintah Umar, Ibn Abbas berseru agar mereka menyiapkan kendaraan. Selesai salat subuh Umar menoleh kepada mereka dan berkata: "Saya akan pulang, maka pulanglah kalian."
Abu Ubaidah tidak hadir tatkala Umar mengadakan rapat dan sudah mengambil keputusan. Setelah, kemudian mengetahui ia berkata: "Umar, kita akan lari dari takdir Allah!" Sanggahan ini sangat mengejutkan Khalifah. Ia lama menatap Abu Ubaidah, kemudian katanya: "Ya, lari dari takdir Allah menuju takdir Allah juga." Ia menunduk sebentar kemudian sambungnya: "Bagaimana pendapat Anda kalau ada orang turun ke sebuah wadi yang terdiri dari dua lereng, yang satu subur dan yang satu lagi tandus, bukankah yang menggembalakan di tempat tandus itu dengan takdir Allah, dan yang menggembalakan di daerah subur juga dengan takdir Allah?"
Setelah percakapan itu Umar berdua dengan Abu Ubaidah membahas masalah Syam dan apa yang harus dilakukan menghadapi wabah itu. Sementara keduanya sedang dalam pembicaraan tiba-tiba datang Abdur-Rahman bin Auf. Melihat orang sedang kacau demikian ia bertanya apa yang terjadi. Setelah diberitahukan duduk perkaranya ia berkata: Mengenai soal ini ada yang saya ketahui. Rasulullah Sallalla hu 'alaihi wa sallam berkat: [huruf Arab] "Jika ada wabah di suatu kota, janganlah kalian masuk. Kalau kalian sedang ada di dalamnya janganlah kalian lari ke luar."
Mendengar hadis itu dibacakan Umar merasa tenteram, lalu katanya: Alhamdulillah. Sekarang marilah kita bubar!
Please direct any suggestion to Media Team