|
14. Kelaparan dan Wabah (3/3)
Masalah takdir, dalam pandangan Umar dan
pandangan Abu Ubaidah
Selesai kita membicarakan kota Amawas dan wabahnya serta
sikap Umar tentang hal ini, baiklah sekarang kita bicara
tentang apa yang terjadi dengan kebebasan intelektual di
kalangan Muslimin waktu itu dan faktor-faktor kekuatan yang
terkandung di dalamnya. Pintu Kedaulatan yang besar ini
membuka jalan buat mereka, yang makin lama bertambah luas
dan bertambah besar juga, sampai kemudian kaum Muslimin
sendiri yang mengubah nasib mereka, maka Allah pun mengubah
nasib mereka.
Setelah Umar berangkat menuju Syam dan dijemput oleh
panglima-panglima militernya di Sarg (Sar'), dan mereka
mengatakan bahwa daerah sedang dilanda penyakit menular,
Umar memerintahkan mereka segera kembali ke Medinah. Tetapi
Abu Ubaidah bin Jarrah menentangnya dengan mengatakan:
"Umar, Anda akan lari dari takdir Allah?!'' yang dijawab
oleh Umar: "Ya, lari dari takdir Allah ke takdir Allah
juga." Tantangan dan jawaban itu menggambarkan tentang
pemikiran masalah takdir dan apa yang dipertentangkan orang
yang berjalan sampai masa kita sekarang ini. Kita kira
kata-kata Umar itu merupakan gambaran yang sungguh jelas
mengenai pengertian takdir menurut Islam. Abu Ubaidah dan
sahabat-sahabatnya yang menyarankan kepada Umar agar datang
ke Syam dengan mengatakan: Perjalanan kita demi di jalan
Allah dengan segala akibatnya. Kita berpendapat bahaya apa
pun bukan halangan - tidak bisa lain berarti mereka itu
percaya bahwa segala yang akan menimpa kita sudah
ditakdirkan Allah kepada kita dan segalanya itu sudah
ditentukan dan bila waktunya sudah tiba sesaat pun mereka
tak dapat memajukan atau menundanya. Mereka menganggap bahwa
cara berpikir kita begitu pendek sehingga kita tak dapat
menolak nasib buruk. Kalau kita sudah memutuskan sesuatu
kita harus menutup mata dari segala yang lain, dan kita
harus terus maju, tak ada bencana atau halangan apa pun yang
akan merintangi kita. Pandangan yang menjadi keyakinan
pemimpin-pemimpin militer itu telah menjadi sumber kekuatan
yang luar biasa. Seorang prajurit yang sungguh-sungguh
beriman kepada Allah yakin sekali bahwa kemenangannya sudah
terjamin. Pertama sekali iman yang benar-benar kuat itu akan
memberikan dorongan, bahwa seorang prajurit tak akan takut
mati, dan akan terus maju dengan hati gembira. Kalau dia
mati, mati syahid demi Allah, demi tanah air dan demi
perkara yang dibelanya. Kalau ia mendapat kemenangan, ia
akan hidup bangga untuk selamanya. Keimanan prajurit dengan
pandangan demikian, itulah yang memberikan kemenangan kepada
pasukan Muslimin di berbagai medan perang, karena mereka
yang memilih mati syahid demi Allah itu, justru Allah
memberikan kehidupan terhormat dan mulia kepada mereka.
Tetapi percaya kepada takdir dengan pengertian ini, yang
pengaruhnya begitu besar dalam kehidupan prajurit, tidak
boleh dijadikan kepercayaan dalam pengertian, politik, yang
bertanggung jawab atas segala kepentingan dan nasib manusia
dalam perang dan dalam damai. Begitu juga dalam pengertian
seorang pemikir yang harus melihat segala sesuatunya dari
berbagai segi. Memang benar, bahwa setiap umur itu sudah
ditentukan, dan bahwa pemikiran kita begitu pendek sehingga
kita tak dapat menolak datangnya nasib buruk. Kendatipun
demikian perrkara-perkara itu harus kita perhatikan dan kita
pertimbangkan dengan matang untuk dapat bertindak dengan
sebaik-baiknya, sesuai dengan pengetahuan dan akal kita yang
membawa kita ke sana. Dan yang akan membawa kita kepada akal
sehat, kepada pengetahuan dan pemikiran yang baik itulah
takdir Allah. Tak bedanya dengan keberanian seorang prajurit
dalam menghadapi maut di medan perang, dan musibah apa yang
akan menimpanya akibat keberanian itu, itulah takdir.
Kewajiban pertama bagi seorang komandan pasukan tentu
menjaga jangan sampai prajuritnya terjerumus ke dalam
bencana karena pandangannya yang salah, dan jangan
menghadapkan mereka ke dalam bahaya maut sebelum
pandangannya itu sudah benar-benar dapat dipastikan untuk
disesuaikan dengan situasi sebelum terjun ke dalam
pertempuran. Kalau sudah terjun ia harus berusaha untuk
mendapatkemenangan dengan pengorbanan yang sekecil mungkin.
Sedang bagi seorang politikus atau seorang negarawan,
kewajiban pertamanya harus menjaga, baik dirinya atau
orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya, jangan
sampai terjerumus ke dalam bencana yang seharusnya dapat
dihindari, tanpa membahayakan kepentingan negara dan
politiknya, untuk masa sekarang dan masa depan. Kalau dengan
itu apa yang dikehendakinya berhasil, maka keberhasilannya
itu sudah merupakan suatu kebanggaan, seperti kebanggaan
prajurit dengan kemenangannya tadi. Maka keberhasilan itulah
takdir dan rahmat Allah kepada hamba-Nya
Itulah pendapat mereka mengenai wabah bahwa itu adalah
suatu bencana dan kepunahan, dan mereka menyarankan kepada
Umar agar ia menerima pendapat itu dan kembali ke Medinah.
Penerimaan dan persetujuan Umar itu adalah hikmah yang luar
biasa. Andaikata ia pergi juga ke Syam kemudian terserang
wabah dan meninggal, niscaya kaum Muslimin akan menderita
kerugian yang bukan kepalang besarnya, dan bukan tak mungkin
akan timbul huru-hara. Andaikata ia pergi juga ke Syam lalu
beberapa orang dari anggota rombongannya ada yang terserang
wabah dan yang lain kembali lalu penyakit menular itu
terbawa ke Semenanjung Arab, niscaya penduduk akan menjadi
sasaran bencana itu. Maka kewajiban Amirulmukminin yang
pertama mencegahnya. Ketika ia lari dari maut dan
menghindari penularan wabah itu ke Semenanjung, ia lari dari
takdir Allah untuk menjauhkan diri dan menjauhkan
Semenanjung itu dari malapetaka yang tidak dikehendaki Allah
akan menimpa mereka.
Contoh yang diberikan Umar kepada Abu Ubaidah dalam
peristiwa ini sungguh bagus sekali dalam menafsirkan
pandangannya mengenai takdir. Jika seorang gembala melihat
sebuah lembah dengan dua lereng, yang satu subur dan yang
satu lagi tandus, maka bila dia menggembalakan di tempat
yang tandus, itu adalah takdir Allah; kalau ia
menggembalakan di tempat yang subur, juga takdir Allah.
Soalnya, baik dia mengetahui lalu itulah ikhtiarnya atau
yang dipilihnya, maka pilihannya itu pun takdir Allah, sebab
pikiran yang diberikan Allah kepadanya mengantarkannya ke
sana; atau dia tidak tahu lalu menggembalakan di tempat mana
saja yang ada di depannya itu pun takdir Allah, sebab yang
ini juga buat dia masih gaib, artinya dia tidak berikhtiar
dengan yang lain dari kedua lereng itu. Mengenai soal Syam
dan wabahnya itu, ibarat kedua lereng tadi Umar sudah tahu,
maka ia wajib memilih (berikhtiar) di antara keduanya.
Setelah bermusyawarah ia berikhtiar, maka hasilnya ia lari
dari takdir Allah yang satu kepada takdir Allah yang
lain.
Dengan ikhtiarnya itu ia merasa lebih diperkuat dengan
adanya hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abdur-Rahman
bin Auf yang mengatakan: "Jika ada wabah di suatu kota,
janganlah kalian masuk. Kalau kalian sedang ada di dalamnya
janganlah kalian lari ke luar." Hadis ini mengharuskan
adanya karantina seperti yang kita kenal sekarang, yang
harus mengisolasi kota yang dijangkiti penyakit menular dari
kota-kota lain, dan penduduk yang sehat dipisahkan dari
orang-orang yang sakit. Mereka yang sehat tidak
diperbolehkan bergaul dengan orang lain di kota atau negeri
lain karena dikhawatirkan akan menyebarkan bibit penyakit ke
tempat lain dan menyebabkan penularan walaupun akibatnya
pada yang lain tidak tampak. Berjaga-jaga untuk kemungkinan
seperti ini sudah suatu keharusan. Usaha berjaga-jaga
seperti yang dilakukan oleh Amirulmukminin inilah yang
mengharuskan ia kembali ke Medinah.
Karantina tidak akan melarang orang mencari tempat
perlindungan dalam batas-batas kotanya yang dipandang lebih
dapat menjauhkan penyakit itu dari mereka, seperti yang
ditulis oleh Umar kepada Abu Ubaidah: "Anda menempatkan
mereka di tanah yang tandus. Pindahlah mereka ke tanah yang
lebih tinggi dan sehat." Ia menunjuk tempat seperti yang
kemudian diisyaratkan oleh Amr bin As yang meminta orang
menjauhkan diri ke gunung-gunung untuk menghindari wabah.
Umar tidak menolak pendapat Amr bin As itu karena ia
berpendapat lari dari takdir Allah kepada takdir Allah juga.
Kearifan memang mengharuskan begitu disertai pikiran sehat
dan pertimbangan yang cukup dalam. Ini berarti bahwa apa
yang kita peroleh dalam hidup ini, kita peroleh dengan
ketentuan takdir. Orang yang berpikir bijaksana oleh Allah
akan dibimbing kepada nasib yang lebih baik, dan inilah yang
ditakdirkan Allah baginya. Jika pikiran seseorang sudah
tidak berhasil dan dia terkena musibah, maka musibah
tersebut adalah takdir Allah -"Ikhtiar menjalani, takdir
menyudahi."
Kebebasan intelektual dan Islam
Kedua teori ini kita lihat dalam pengertian takdir. Yang
satu didukung oleh Abu Ubaidah dan sekelompok Muslimin yang
sependapat dengan dia, dan yang satu lagi didukung oleh Umar
bin Khattab dan sekelompok Muslimin yang sependapat pula
dengan dia. Kedua pihak, masing-masing dengan keyakinannya,
bahwa ia mempunyai kebebasan penuh untuk tetap berpegang
pada pendapatnya, dan dalam waktu yang sama ia menghormati
pendapat orang lain. Di samping itu tidak pula masing-masing
mau saling mengecam dalam keyakinannya itu. Keimanan dan
keislaman mereka yang sudah begitu kuat tidak akan berubah
nanya!
Adapun Umar Amirulmukminin, pendapatnya itulah yang
dilaksanakan. Abu Ubaidah dan kawan-kawan pun tetap dengan
pendapatnya, tidak berubah dan tidak pula meninggalkannya.
Umar tetap menghormati mereka dan menghormati pendapat
mereka, begitu juga sebaliknya, saling menghormati pribadi
masing-masing dan pendapatnya.
Kebebasan intelektual dan apa yang mereka praktekkan
dengan saling menghormati antara umat Muslimin dahulu itu
merupakan unsur kekuatan mereka dan sebab kemenangan mereka
menghadapi dan mengalahkan musuh sampai berhasil membebaskan
kota-kota dan negeri-negeri itu. Mereka waktu itu yakin
bahwa setiap orang dapat menyampaikan pendapatnya dengan
tujuan demi kebaikan orang banyak, dan yang mereka cari
ialah kebenaran demi Allah Subhanahu wa ta'ala. Perbedaan
pendapat yang sudah menjadi kodrat manusia sangat kuat
sepanjang dinyatakan dengan bebas. Tetapi pendapat itu
dengan sah boleh dikalahkan selama masyarakat melihatnya
dengan kekalahan itu kepentingan masyarakat dapat
diselesaikan. Kepentingan masyarakat selalu terpengaruh oleh
keadaan, sesuai dengan perubahan ruang dan waktu. Tak ada
salahnya masyarakat mengalahkan pendapat yang dilihatnya sah
pada ruang dan waktu itu, dan membiarkan mereka yang berbeda
pendapat bebas selama yang menjadi tujuan mereka kebaikan,
dan dengan pendapat itu yang mereka cari hanyalah kebenaran
semata.
Sudah saya kemukakan bahwa pendapat Umar menurut hemat
saya memperlihatkan gambaran yang tepat sekali mengenai
ajaran qadariah menurut Islam. Juga itu sesuai dengan ajaran
determinisme ilmiah seperti yang kita ketahui dewasa ini,
dan sudah diketahui oleh filsuf Yunani sejak lebih dari dua
ribu tahun silam.7 Ajaran ini mengatakan bahwa
mengenai suatu pendapat atau perbuatan, kita tak dapat
memilih, dan pilihan tentang pendapat ini atau pendapat itu,
tentang soal ini atau soal itu terpengaruh oleh sekian
banyak faktor di luar kemampuan kita untuk mengatasinya,
seperti faktor lingkungan, turunan, latar belakang
pendidikan, kesehatan, juga naluri kita sebagai manusia
serta kecenderungan-kecenderungan kita secara pribadi. Tidak
jarang kehidupan kita, pemikiran dan pekerjaan kita terbawa
oleh suatu peristiwa yang terjadi tiba-tiba di luar
perhitungan kita atau perhitungan siapa pun. Lingkungan,
turunan, latar belakang budaya, naluri, kecenderungan dan
hal-hal lain yang tak terduga, .semua itu adalah takdir
Allah; kita sendiri tak mampu melakukan penyimpangan dan
perubahan. Oleh karena itu, orang yang lari ke takdir Allah,
ialah orang yang lari dari takdir Allah.
Kebebasan intelektual antara kaum Muslimin dahulu itu
telah membuat mereka saling menghormati satu sama lain.
Terjadinya perbedaan pendapat antara Umar dengan Abu Ubaidah
tidak mengurangi usaha Umar untuk mengeluarkan sahabatnya
itu dari daerah wabah, demi kebaikannya dan kebaikan kaum
Muslimin. Surat-menyurat antara kedua tokoh itu dalam
masalah ini sama dalam penalaran kita dan sama-sama
menimbulkan berbagai macam pikiran. Kalau keduanya kita
lihat dari segi perasaan, akan kita lihat suatu teladan yang
tak ada taranya dalam kesetiaan: kesetiaan Umar kepada Abu
Ubaidah - Kepercayaan Umat - dan temannya dalam peristiwa
Saqifah serta jenderal politikus, yang kebijakannya diterima
dengan senang hati oleh rakyat Syam, di samping kesetiaan
Abu Ubaidah kepada anak buahnya yang bersama-sama terjun
dalam beberapa pertempuran, mempertaruhkan nyawa mereka di
jalan Allah dan dalam perang Rumawi yang telah memberinya
kemenangan besar. Kalau kita lihat kedua mereka dari segi
kesejahteraan bersama untuk negara yang baru tumbuh itu,
kita lihat dalam hal ini kedua pemimpin itu berbeda
pendapat, tetapi sekaligus pendapat mereka di situ bertemu.
Umar tahu kedudukan Abu Ubaidah harus dipertahankan dan demi
kepentingan umat. Ia melihat perlunya ia diselamatkan dari
bahaya wabah mematikan itu, yang tidak akan menjadi
kebanggaan jika orang mati karenanya. Abu Ubaidah pun tahu
kewajibannya terhadap anak buahnya dan ia berpendapat
kepergiannya meninggalkan mereka untuk menyelamatkan diri
merupakan suatu teladan yang tidak baik untuk diberikan
kepada mereka dan pemimpin-pemimpin militer bawahannya yang
lain. Tetapi kedua tokoh itu berpegangan pada pendapat
masing-masing dalam surat itu. Umar berpendapat manusia
boleh lari dari takdir Allah ke takdir Allah yang lain, dan
dia mengajak Abu Ubaidah mengikuti pendapatnya. Tetapi
sebaliknya Abu Ubaidah, ia tidak akan lari dari suratan yang
sudah ditentukan Allah kendati ia melihat maut itu sudah
menghadang di depannya. Ia bertahan Syam, dan ia pun mati
dengan hati rela atas keputusan dan takdir Allah. Umar
membaca surat Abu Ubaidah itu, dan ia melihatnya berpendapat
dan tidak menaati perintahnya. Umar pun tidak marah, dan ia
tidak menganggap perbedaannya itu melanggar disiplin. Malah
merasa kasihan kepada sahabatnya itu, sehingga ia menangis
saat membaca suratnya, seolah ia sudah mati.
Saling percaya antara Amirulmukminin dengan
pemimpin-pemimpin Muslimin, dengan menghargai dan
menghormati pendapat mereka, itulah salah satu faktor
kekuatan yang telah memberikan kemenangan kepada mereka.
Dalam beberapa hal keberhasilannya yang begitu cepat dan
cemerlang yang kita lihat di Kadisiah dan di utara Syam
merupakan suatu bukti betapa berani dan tangkasnya kaum
Muslimin berkat keimanan mereka kepada Allah yang begitu
dalam itu. Faktor-faktor ini menambah ketabahan dan kekuatan
kepada mereka. Tidak heran, kebebasan yang sangat dihormati
dan saling percaya itu merupakan sendi kedaulatan besar yang
telah menjelajahi dunia dalam berbagai zaman, dan
mengarahkan kebijakannya dan menegakkan suatu peradaban dan
memelopori langkah-langkah demi mencapai kesempurnaan.
Saya tidak ingin menutup bab ini tanpa menyinggung
pengaruh langkah Umar memecat Syurahbil bin Hasanah di
Yordania dan mengangkat Mu'awiah bin Abi Sufyan untuk
seluruh Syam, yang kemudian berakibat berdirinya kedaulatan
Banu Umayyah dan berpindahnya ibu kota Islam dari Medinah ke
Damsyik serta berbaurnya unsur Arab dengan unsur-unsur lain
yang telah masuk Islam demikian rupa, sehingga dalam
perkembangan selanjutnya Kedaulatan yang baru tumbuh ini
lebih bercorak Islam daripada bercorak Arab. Karena
penghormatannya kepada Banu Hasyim Umar tidak mengangkat
mereka untuk negeri-negeri yang baru dibebaskan, tetapi
dibiarkan mereka tetap tinggal di Medinah bersama
sahabat-sahabat besar lainnya untuk mendampinginya dan
memberikan nasihat dan pendapat. Ketika ada yang mengatakan
kepadanya mengenai hal ini, maka pada suatu hari ia berkata
kepada Ibn Abbas: "Saya melihat Rasulullah Sallallahu
'alaihi wa sallam mengangkat orang lain dan meninggalkan
kalian ... Saya tidak tahu, dengan begitu berarti
menghormati Anda sekalian dan membebaskan kalian dari
pekerjaan kendati kalian berhak untuk itu, ataukah ia
khawatir mereka tidak akan memperhatikan karena kedudukan
kalian yang dekat kepadanya lalu kalian dikecam, dan kecaman
itu sudah pasti ada.
Mu'awiah adalah seorang tokoh yang cukup arif,
kearifannya telah menolongnya untuk tidak membuat ambisinya
sampai menutupi akal pikirannya; berwatak sabar, dan
kesabarannya itu telah melindunginya dari tindakan berbuat
sewenang-wenang; berpandangan tajam, dapat membujuk orang
dengan kekuasaannya, dan dengan kata-katanya yang menarik
dan pandai bersiasat ia dapat menarik mereka kepadanya. Ia
lama bertugas di Syam sampai akhir pemerintahan Umar, dan
pada masa Usman ia sebagai wakilnya. Peranan politiknya di
Syam sampai dapat memikat penduduk Syam kepadanya; mereka
berada di belakangnya dan memberikan dukungan sampai kepada
mereka yang terdekat dari keluarga Rasulullah. Yang demikian
ini besar pengaruhnya terhadap kehidupan Kedaulatan Islam
ketika itu.
Kejadian masa itu sudah tentu di luar perkiraan Umar.
Segala persaingan Keluarga Abdu-Syams dengan Keluarga
Abdu-Manaf sejak Abu Sufyan dan golongannya masuk Islam
setelah pembebasan Mekah sudah reda. Kita sudah melihat
ketulusan Abu Sufyan dan anak-anaknya yang sungguh-sungguh
selama masa pembebasan. Oleh karena orang pun sudah
melupakan segala dendam lamanya. Kedudukan Mu'awiah pemimpin
Syam samasekali tidak menimbulkan kecurigaan, juga tak
terpikir oleh siapa pun akibat apa yang kemudian akan
terjadi. Adakah ketika itu akan terpikir bahwa
pergolakan-pergolakan besar yang seperti badai itu akan
tercetus dan meninggalkan bekas yang demikian rupa, setelah
itu tetap menjadi bahaya terpendam dalam tanah, untuk
kemudian setelah badai berlalu bibit lama itu akan tumbuh
lagi dalam bentuk sesuai dengan iklim baru pula?
Sesudah Umar menertibkan keadaan di Syam, ia kembali ke
Medinah dengan hati tenang melihat kedua bencana besar yang
menimpa kaum Muslimin itu kini sudah tak ada Iagi. Setelah
selama beberapa waktu ia tinggal di Medinah, kemudian pergi
ke Mekah memimpin jemaah menunaikan ibadah haji seperti yang
sudah menjadi kebiasaan setiap tahun. Sesudah selesai ia pun
kembali ke Medinah mengikuti berita-berita mengenai Persia
dan keadaan Rumawi di Mesir untuk mengatur suatu siasat baru
dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan
akan terjadi. Sebaiknya kita pun bersama Umar mengikuti
berita-berita itu, dan untuk melihat dampaknya terhadap
politik Islam dan Muslimin dengan meluasnya kawasan
Kedaulatan ini sampai perbatasan Tiongkok di timur dan ke
perbatasan Tunis di barat.
Catatan Kaki:
- Ailah, yakni Aqabah sekarang.
- Penganan sejenis dodol biasanya terbuat dari tepung
gandum, gula, jintan dan samin. -Pnj.
- Dalam at-Tabaqat Ibn Sa'd rnengutip sekian banyak
sumber rnengenai perhatian Umar terhadap semua orang
serta ketatnya terhadap diri dan anak-anaknya sendiri.
Sebagai contoh, ia disuguhi daging dengan samin, tetapi
ia tidak mau memakannya dengan mengatakan:
Masing-masingnya untuk hidup sehari. Dimintanya seseorang
membawakan air, tetapi orang itu membawakan kepadanya
madu. Dia menolak dengan katanya: Janganlah karena ini
saya disoal nanti pada hari kiamat. Ketika ia melihat
sebuah sernangka di tangan salah seorang anaknya, ia
berkata: Wah, wah, oh anak Arnirulrnukrninin. Kamu makan
buah-buahan sedang umat Muhammad kurus kering dan lemah!
Anak itu berlari ke luar sambil menangis. Kemudian Umar
diam - setelah diketahui bahwa anak itu membelinya dengan
segenggam biji-bijian. Dalam Tahun Abu itu ketika ia
lewat melihat seorang perempuan sedang mengolah tepung
untuk membuat as'idah, Umar berkata: Bukan begitu.
Diambilnya alat pengaduk itu dan diperagakannya. Abu
Hurairah pernah melihatnya ia membawa dua kantong kulit
dan sebuah tabung minyak, maka ketika dilihatnya ada
orang-orang lanjut usia ia memasakkannya untuk mereka
sampai mereka makan kenyang, dst. dst.
- Beberapa sumber menyebutkan, bahwa Umar bin Khattab
membawa masalah orang meminum khamar ini ke dalam suatu
musyawarah. Ali bin Abi Talib menyarankan Jatuhi hukuman
fitnah yang harus dicambuk delapan puluh kali.
Argumentasinya: Orang meminumnya akan mabuk dan kalau
sudah mabuk akan mengigau, kalau sudah mengigau keluar
fitnah. Umar setuju dengan pendapat ini, dan
diterapkanlah hukuman cambuk delapan puluh kali itu.
Lihat al-Muwatta' h. 311.
- Yakni sagr, jamak sugur, daerah perbatasan yang rawan
(di waktu perang) antara kawasan Islam dengan kawasan
kafir (N). Lihat h. 299. - Pnj.
- Beberapa sumber menyebutkan bahwa Ka'b al-Ahbar
menentang Ali bin Abi Talib mengenai Irak. Dikatakan
bahwa Umar mengumpulkan orang dan mengatakan kepada
mereka bahwa dia akan mengajak kaum Muslimin berkeliling
di kota-kota mereka dan melihat
peninggalan-peninggalannya dan akan bermusyawarah dengan
mereka mengenai hal itu. Ka'b al-Ahbar menanyakan dari
mana akan dimulai. Kata Umar Irak. Tetapi Ka'b al-Ahbar
berkata jangan, karena bencana itu ada sepuluh, sembilan
di antaranya di timur dan satu di barat. Yang di timur
itu pengikut setan dan segala macam penyakit kronis. Ali
bin Abi Talib berkata: Amirulmukminin, Kufah itu tempat
yang menjadi tujuan sesudah ditinggalkan dan itulah Kubah
Islam. Akan tiba saatnya suatu hari setiap Muslim
merindukannya. Umar berkata: Segala warisan penduduk
Amawas itu sudah hilang. Maka mulailah dengan Syam untuk
membagikan warisan dan saya sampaikan kepada mereka apa
yang ada dalam hati saya. Setelah itu saya berbalik dan
kembali ke kota-kota itu dan saya ungkapkan kepada mereka
persoalan saya. Beberapa kritikawan berpendapat bahwa
kata-kata yang dihubungkan kepada Ali bin Abi Talib itu
untuk disesuaikan dengan apa yang terjadi kemudian,
sesudah Kufah ia jadikan ibu kotanya, dan dia tidak
membeda-bedakan Syam dengan Irak. Begitu juga sumber yang
mengacu kepada Ka'b al-Ahbar itu baru dibuat orang
belakangan.
- Seperti misalnya tragedi Oedipus dalam drama Sofokles
(pujangga Yunani hidup sekitar abad ke-5 PM.), yang
berusaha hendak menghindari ramalan Apollo bahwa dia akan
membunuh ayahnya dan mengawini ibu kandungnya sendiri,
tetapi usahanya hendak menghindari itu tanpa setahunya
justru menuju ke sana. - Pnj.
|