Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

14. Kelaparan dan Wabah (3/3)

Masalah takdir, dalam pandangan Umar dan pandangan Abu Ubaidah

Selesai kita membicarakan kota Amawas dan wabahnya serta sikap Umar tentang hal ini, baiklah sekarang kita bicara tentang apa yang terjadi dengan kebebasan intelektual di kalangan Muslimin waktu itu dan faktor-faktor kekuatan yang terkandung di dalamnya. Pintu Kedaulatan yang besar ini membuka jalan buat mereka, yang makin lama bertambah luas dan bertambah besar juga, sampai kemudian kaum Muslimin sendiri yang mengubah nasib mereka, maka Allah pun mengubah nasib mereka.

Setelah Umar berangkat menuju Syam dan dijemput oleh panglima-panglima militernya di Sarg (Sar'), dan mereka mengatakan bahwa daerah sedang dilanda penyakit menular, Umar memerintahkan mereka segera kembali ke Medinah. Tetapi Abu Ubaidah bin Jarrah menentangnya dengan mengatakan: "Umar, Anda akan lari dari takdir Allah?!'' yang dijawab oleh Umar: "Ya, lari dari takdir Allah ke takdir Allah juga." Tantangan dan jawaban itu menggambarkan tentang pemikiran masalah takdir dan apa yang dipertentangkan orang yang berjalan sampai masa kita sekarang ini. Kita kira kata-kata Umar itu merupakan gambaran yang sungguh jelas mengenai pengertian takdir menurut Islam. Abu Ubaidah dan sahabat-sahabatnya yang menyarankan kepada Umar agar datang ke Syam dengan mengatakan: Perjalanan kita demi di jalan Allah dengan segala akibatnya. Kita berpendapat bahaya apa pun bukan halangan - tidak bisa lain berarti mereka itu percaya bahwa segala yang akan menimpa kita sudah ditakdirkan Allah kepada kita dan segalanya itu sudah ditentukan dan bila waktunya sudah tiba sesaat pun mereka tak dapat memajukan atau menundanya. Mereka menganggap bahwa cara berpikir kita begitu pendek sehingga kita tak dapat menolak nasib buruk. Kalau kita sudah memutuskan sesuatu kita harus menutup mata dari segala yang lain, dan kita harus terus maju, tak ada bencana atau halangan apa pun yang akan merintangi kita. Pandangan yang menjadi keyakinan pemimpin-pemimpin militer itu telah menjadi sumber kekuatan yang luar biasa. Seorang prajurit yang sungguh-sungguh beriman kepada Allah yakin sekali bahwa kemenangannya sudah terjamin. Pertama sekali iman yang benar-benar kuat itu akan memberikan dorongan, bahwa seorang prajurit tak akan takut mati, dan akan terus maju dengan hati gembira. Kalau dia mati, mati syahid demi Allah, demi tanah air dan demi perkara yang dibelanya. Kalau ia mendapat kemenangan, ia akan hidup bangga untuk selamanya. Keimanan prajurit dengan pandangan demikian, itulah yang memberikan kemenangan kepada pasukan Muslimin di berbagai medan perang, karena mereka yang memilih mati syahid demi Allah itu, justru Allah memberikan kehidupan terhormat dan mulia kepada mereka.

Tetapi percaya kepada takdir dengan pengertian ini, yang pengaruhnya begitu besar dalam kehidupan prajurit, tidak boleh dijadikan kepercayaan dalam pengertian, politik, yang bertanggung jawab atas segala kepentingan dan nasib manusia dalam perang dan dalam damai. Begitu juga dalam pengertian seorang pemikir yang harus melihat segala sesuatunya dari berbagai segi. Memang benar, bahwa setiap umur itu sudah ditentukan, dan bahwa pemikiran kita begitu pendek sehingga kita tak dapat menolak datangnya nasib buruk. Kendatipun demikian perrkara-perkara itu harus kita perhatikan dan kita pertimbangkan dengan matang untuk dapat bertindak dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan pengetahuan dan akal kita yang membawa kita ke sana. Dan yang akan membawa kita kepada akal sehat, kepada pengetahuan dan pemikiran yang baik itulah takdir Allah. Tak bedanya dengan keberanian seorang prajurit dalam menghadapi maut di medan perang, dan musibah apa yang akan menimpanya akibat keberanian itu, itulah takdir. Kewajiban pertama bagi seorang komandan pasukan tentu menjaga jangan sampai prajuritnya terjerumus ke dalam bencana karena pandangannya yang salah, dan jangan menghadapkan mereka ke dalam bahaya maut sebelum pandangannya itu sudah benar-benar dapat dipastikan untuk disesuaikan dengan situasi sebelum terjun ke dalam pertempuran. Kalau sudah terjun ia harus berusaha untuk mendapatkemenangan dengan pengorbanan yang sekecil mungkin. Sedang bagi seorang politikus atau seorang negarawan, kewajiban pertamanya harus menjaga, baik dirinya atau orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya, jangan sampai terjerumus ke dalam bencana yang seharusnya dapat dihindari, tanpa membahayakan kepentingan negara dan politiknya, untuk masa sekarang dan masa depan. Kalau dengan itu apa yang dikehendakinya berhasil, maka keberhasilannya itu sudah merupakan suatu kebanggaan, seperti kebanggaan prajurit dengan kemenangannya tadi. Maka keberhasilan itulah takdir dan rahmat Allah kepada hamba-Nya

Itulah pendapat mereka mengenai wabah bahwa itu adalah suatu bencana dan kepunahan, dan mereka menyarankan kepada Umar agar ia menerima pendapat itu dan kembali ke Medinah. Penerimaan dan persetujuan Umar itu adalah hikmah yang luar biasa. Andaikata ia pergi juga ke Syam kemudian terserang wabah dan meninggal, niscaya kaum Muslimin akan menderita kerugian yang bukan kepalang besarnya, dan bukan tak mungkin akan timbul huru-hara. Andaikata ia pergi juga ke Syam lalu beberapa orang dari anggota rombongannya ada yang terserang wabah dan yang lain kembali lalu penyakit menular itu terbawa ke Semenanjung Arab, niscaya penduduk akan menjadi sasaran bencana itu. Maka kewajiban Amirulmukminin yang pertama mencegahnya. Ketika ia lari dari maut dan menghindari penularan wabah itu ke Semenanjung, ia lari dari takdir Allah untuk menjauhkan diri dan menjauhkan Semenanjung itu dari malapetaka yang tidak dikehendaki Allah akan menimpa mereka.

Contoh yang diberikan Umar kepada Abu Ubaidah dalam peristiwa ini sungguh bagus sekali dalam menafsirkan pandangannya mengenai takdir. Jika seorang gembala melihat sebuah lembah dengan dua lereng, yang satu subur dan yang satu lagi tandus, maka bila dia menggembalakan di tempat yang tandus, itu adalah takdir Allah; kalau ia menggembalakan di tempat yang subur, juga takdir Allah. Soalnya, baik dia mengetahui lalu itulah ikhtiarnya atau yang dipilihnya, maka pilihannya itu pun takdir Allah, sebab pikiran yang diberikan Allah kepadanya mengantarkannya ke sana; atau dia tidak tahu lalu menggembalakan di tempat mana saja yang ada di depannya itu pun takdir Allah, sebab yang ini juga buat dia masih gaib, artinya dia tidak berikhtiar dengan yang lain dari kedua lereng itu. Mengenai soal Syam dan wabahnya itu, ibarat kedua lereng tadi Umar sudah tahu, maka ia wajib memilih (berikhtiar) di antara keduanya. Setelah bermusyawarah ia berikhtiar, maka hasilnya ia lari dari takdir Allah yang satu kepada takdir Allah yang lain.

Dengan ikhtiarnya itu ia merasa lebih diperkuat dengan adanya hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abdur-Rahman bin Auf yang mengatakan: "Jika ada wabah di suatu kota, janganlah kalian masuk. Kalau kalian sedang ada di dalamnya janganlah kalian lari ke luar." Hadis ini mengharuskan adanya karantina seperti yang kita kenal sekarang, yang harus mengisolasi kota yang dijangkiti penyakit menular dari kota-kota lain, dan penduduk yang sehat dipisahkan dari orang-orang yang sakit. Mereka yang sehat tidak diperbolehkan bergaul dengan orang lain di kota atau negeri lain karena dikhawatirkan akan menyebarkan bibit penyakit ke tempat lain dan menyebabkan penularan walaupun akibatnya pada yang lain tidak tampak. Berjaga-jaga untuk kemungkinan seperti ini sudah suatu keharusan. Usaha berjaga-jaga seperti yang dilakukan oleh Amirulmukminin inilah yang mengharuskan ia kembali ke Medinah.

Karantina tidak akan melarang orang mencari tempat perlindungan dalam batas-batas kotanya yang dipandang lebih dapat menjauhkan penyakit itu dari mereka, seperti yang ditulis oleh Umar kepada Abu Ubaidah: "Anda menempatkan mereka di tanah yang tandus. Pindahlah mereka ke tanah yang lebih tinggi dan sehat." Ia menunjuk tempat seperti yang kemudian diisyaratkan oleh Amr bin As yang meminta orang menjauhkan diri ke gunung-gunung untuk menghindari wabah. Umar tidak menolak pendapat Amr bin As itu karena ia berpendapat lari dari takdir Allah kepada takdir Allah juga. Kearifan memang mengharuskan begitu disertai pikiran sehat dan pertimbangan yang cukup dalam. Ini berarti bahwa apa yang kita peroleh dalam hidup ini, kita peroleh dengan ketentuan takdir. Orang yang berpikir bijaksana oleh Allah akan dibimbing kepada nasib yang lebih baik, dan inilah yang ditakdirkan Allah baginya. Jika pikiran seseorang sudah tidak berhasil dan dia terkena musibah, maka musibah tersebut adalah takdir Allah -"Ikhtiar menjalani, takdir menyudahi."

Kebebasan intelektual dan Islam

Kedua teori ini kita lihat dalam pengertian takdir. Yang satu didukung oleh Abu Ubaidah dan sekelompok Muslimin yang sependapat dengan dia, dan yang satu lagi didukung oleh Umar bin Khattab dan sekelompok Muslimin yang sependapat pula dengan dia. Kedua pihak, masing-masing dengan keyakinannya, bahwa ia mempunyai kebebasan penuh untuk tetap berpegang pada pendapatnya, dan dalam waktu yang sama ia menghormati pendapat orang lain. Di samping itu tidak pula masing-masing mau saling mengecam dalam keyakinannya itu. Keimanan dan keislaman mereka yang sudah begitu kuat tidak akan berubah nanya!

Adapun Umar Amirulmukminin, pendapatnya itulah yang dilaksanakan. Abu Ubaidah dan kawan-kawan pun tetap dengan pendapatnya, tidak berubah dan tidak pula meninggalkannya. Umar tetap menghormati mereka dan menghormati pendapat mereka, begitu juga sebaliknya, saling menghormati pribadi masing-masing dan pendapatnya.

Kebebasan intelektual dan apa yang mereka praktekkan dengan saling menghormati antara umat Muslimin dahulu itu merupakan unsur kekuatan mereka dan sebab kemenangan mereka menghadapi dan mengalahkan musuh sampai berhasil membebaskan kota-kota dan negeri-negeri itu. Mereka waktu itu yakin bahwa setiap orang dapat menyampaikan pendapatnya dengan tujuan demi kebaikan orang banyak, dan yang mereka cari ialah kebenaran demi Allah Subhanahu wa ta'ala. Perbedaan pendapat yang sudah menjadi kodrat manusia sangat kuat sepanjang dinyatakan dengan bebas. Tetapi pendapat itu dengan sah boleh dikalahkan selama masyarakat melihatnya dengan kekalahan itu kepentingan masyarakat dapat diselesaikan. Kepentingan masyarakat selalu terpengaruh oleh keadaan, sesuai dengan perubahan ruang dan waktu. Tak ada salahnya masyarakat mengalahkan pendapat yang dilihatnya sah pada ruang dan waktu itu, dan membiarkan mereka yang berbeda pendapat bebas selama yang menjadi tujuan mereka kebaikan, dan dengan pendapat itu yang mereka cari hanyalah kebenaran semata.

Sudah saya kemukakan bahwa pendapat Umar menurut hemat saya memperlihatkan gambaran yang tepat sekali mengenai ajaran qadariah menurut Islam. Juga itu sesuai dengan ajaran determinisme ilmiah seperti yang kita ketahui dewasa ini, dan sudah diketahui oleh filsuf Yunani sejak lebih dari dua ribu tahun silam.7 Ajaran ini mengatakan bahwa mengenai suatu pendapat atau perbuatan, kita tak dapat memilih, dan pilihan tentang pendapat ini atau pendapat itu, tentang soal ini atau soal itu terpengaruh oleh sekian banyak faktor di luar kemampuan kita untuk mengatasinya, seperti faktor lingkungan, turunan, latar belakang pendidikan, kesehatan, juga naluri kita sebagai manusia serta kecenderungan-kecenderungan kita secara pribadi. Tidak jarang kehidupan kita, pemikiran dan pekerjaan kita terbawa oleh suatu peristiwa yang terjadi tiba-tiba di luar perhitungan kita atau perhitungan siapa pun. Lingkungan, turunan, latar belakang budaya, naluri, kecenderungan dan hal-hal lain yang tak terduga, .semua itu adalah takdir Allah; kita sendiri tak mampu melakukan penyimpangan dan perubahan. Oleh karena itu, orang yang lari ke takdir Allah, ialah orang yang lari dari takdir Allah.

Kebebasan intelektual antara kaum Muslimin dahulu itu telah membuat mereka saling menghormati satu sama lain. Terjadinya perbedaan pendapat antara Umar dengan Abu Ubaidah tidak mengurangi usaha Umar untuk mengeluarkan sahabatnya itu dari daerah wabah, demi kebaikannya dan kebaikan kaum Muslimin. Surat-menyurat antara kedua tokoh itu dalam masalah ini sama dalam penalaran kita dan sama-sama menimbulkan berbagai macam pikiran. Kalau keduanya kita lihat dari segi perasaan, akan kita lihat suatu teladan yang tak ada taranya dalam kesetiaan: kesetiaan Umar kepada Abu Ubaidah - Kepercayaan Umat - dan temannya dalam peristiwa Saqifah serta jenderal politikus, yang kebijakannya diterima dengan senang hati oleh rakyat Syam, di samping kesetiaan Abu Ubaidah kepada anak buahnya yang bersama-sama terjun dalam beberapa pertempuran, mempertaruhkan nyawa mereka di jalan Allah dan dalam perang Rumawi yang telah memberinya kemenangan besar. Kalau kita lihat kedua mereka dari segi kesejahteraan bersama untuk negara yang baru tumbuh itu, kita lihat dalam hal ini kedua pemimpin itu berbeda pendapat, tetapi sekaligus pendapat mereka di situ bertemu. Umar tahu kedudukan Abu Ubaidah harus dipertahankan dan demi kepentingan umat. Ia melihat perlunya ia diselamatkan dari bahaya wabah mematikan itu, yang tidak akan menjadi kebanggaan jika orang mati karenanya. Abu Ubaidah pun tahu kewajibannya terhadap anak buahnya dan ia berpendapat kepergiannya meninggalkan mereka untuk menyelamatkan diri merupakan suatu teladan yang tidak baik untuk diberikan kepada mereka dan pemimpin-pemimpin militer bawahannya yang lain. Tetapi kedua tokoh itu berpegangan pada pendapat masing-masing dalam surat itu. Umar berpendapat manusia boleh lari dari takdir Allah ke takdir Allah yang lain, dan dia mengajak Abu Ubaidah mengikuti pendapatnya. Tetapi sebaliknya Abu Ubaidah, ia tidak akan lari dari suratan yang sudah ditentukan Allah kendati ia melihat maut itu sudah menghadang di depannya. Ia bertahan Syam, dan ia pun mati dengan hati rela atas keputusan dan takdir Allah. Umar membaca surat Abu Ubaidah itu, dan ia melihatnya berpendapat dan tidak menaati perintahnya. Umar pun tidak marah, dan ia tidak menganggap perbedaannya itu melanggar disiplin. Malah merasa kasihan kepada sahabatnya itu, sehingga ia menangis saat membaca suratnya, seolah ia sudah mati.

Saling percaya antara Amirulmukminin dengan pemimpin-pemimpin Muslimin, dengan menghargai dan menghormati pendapat mereka, itulah salah satu faktor kekuatan yang telah memberikan kemenangan kepada mereka. Dalam beberapa hal keberhasilannya yang begitu cepat dan cemerlang yang kita lihat di Kadisiah dan di utara Syam merupakan suatu bukti betapa berani dan tangkasnya kaum Muslimin berkat keimanan mereka kepada Allah yang begitu dalam itu. Faktor-faktor ini menambah ketabahan dan kekuatan kepada mereka. Tidak heran, kebebasan yang sangat dihormati dan saling percaya itu merupakan sendi kedaulatan besar yang telah menjelajahi dunia dalam berbagai zaman, dan mengarahkan kebijakannya dan menegakkan suatu peradaban dan memelopori langkah-langkah demi mencapai kesempurnaan.

Saya tidak ingin menutup bab ini tanpa menyinggung pengaruh langkah Umar memecat Syurahbil bin Hasanah di Yordania dan mengangkat Mu'awiah bin Abi Sufyan untuk seluruh Syam, yang kemudian berakibat berdirinya kedaulatan Banu Umayyah dan berpindahnya ibu kota Islam dari Medinah ke Damsyik serta berbaurnya unsur Arab dengan unsur-unsur lain yang telah masuk Islam demikian rupa, sehingga dalam perkembangan selanjutnya Kedaulatan yang baru tumbuh ini lebih bercorak Islam daripada bercorak Arab. Karena penghormatannya kepada Banu Hasyim Umar tidak mengangkat mereka untuk negeri-negeri yang baru dibebaskan, tetapi dibiarkan mereka tetap tinggal di Medinah bersama sahabat-sahabat besar lainnya untuk mendampinginya dan memberikan nasihat dan pendapat. Ketika ada yang mengatakan kepadanya mengenai hal ini, maka pada suatu hari ia berkata kepada Ibn Abbas: "Saya melihat Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat orang lain dan meninggalkan kalian ... Saya tidak tahu, dengan begitu berarti menghormati Anda sekalian dan membebaskan kalian dari pekerjaan kendati kalian berhak untuk itu, ataukah ia khawatir mereka tidak akan memperhatikan karena kedudukan kalian yang dekat kepadanya lalu kalian dikecam, dan kecaman itu sudah pasti ada.

Mu'awiah adalah seorang tokoh yang cukup arif, kearifannya telah menolongnya untuk tidak membuat ambisinya sampai menutupi akal pikirannya; berwatak sabar, dan kesabarannya itu telah melindunginya dari tindakan berbuat sewenang-wenang; berpandangan tajam, dapat membujuk orang dengan kekuasaannya, dan dengan kata-katanya yang menarik dan pandai bersiasat ia dapat menarik mereka kepadanya. Ia lama bertugas di Syam sampai akhir pemerintahan Umar, dan pada masa Usman ia sebagai wakilnya. Peranan politiknya di Syam sampai dapat memikat penduduk Syam kepadanya; mereka berada di belakangnya dan memberikan dukungan sampai kepada mereka yang terdekat dari keluarga Rasulullah. Yang demikian ini besar pengaruhnya terhadap kehidupan Kedaulatan Islam ketika itu.

Kejadian masa itu sudah tentu di luar perkiraan Umar. Segala persaingan Keluarga Abdu-Syams dengan Keluarga Abdu-Manaf sejak Abu Sufyan dan golongannya masuk Islam setelah pembebasan Mekah sudah reda. Kita sudah melihat ketulusan Abu Sufyan dan anak-anaknya yang sungguh-sungguh selama masa pembebasan. Oleh karena orang pun sudah melupakan segala dendam lamanya. Kedudukan Mu'awiah pemimpin Syam samasekali tidak menimbulkan kecurigaan, juga tak terpikir oleh siapa pun akibat apa yang kemudian akan terjadi. Adakah ketika itu akan terpikir bahwa pergolakan-pergolakan besar yang seperti badai itu akan tercetus dan meninggalkan bekas yang demikian rupa, setelah itu tetap menjadi bahaya terpendam dalam tanah, untuk kemudian setelah badai berlalu bibit lama itu akan tumbuh lagi dalam bentuk sesuai dengan iklim baru pula?

Sesudah Umar menertibkan keadaan di Syam, ia kembali ke Medinah dengan hati tenang melihat kedua bencana besar yang menimpa kaum Muslimin itu kini sudah tak ada Iagi. Setelah selama beberapa waktu ia tinggal di Medinah, kemudian pergi ke Mekah memimpin jemaah menunaikan ibadah haji seperti yang sudah menjadi kebiasaan setiap tahun. Sesudah selesai ia pun kembali ke Medinah mengikuti berita-berita mengenai Persia dan keadaan Rumawi di Mesir untuk mengatur suatu siasat baru dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan akan terjadi. Sebaiknya kita pun bersama Umar mengikuti berita-berita itu, dan untuk melihat dampaknya terhadap politik Islam dan Muslimin dengan meluasnya kawasan Kedaulatan ini sampai perbatasan Tiongkok di timur dan ke perbatasan Tunis di barat.

Catatan Kaki:

  1. Ailah, yakni Aqabah sekarang.
  2. Penganan sejenis dodol biasanya terbuat dari tepung gandum, gula, jintan dan samin. -Pnj.
  3. Dalam at-Tabaqat Ibn Sa'd rnengutip sekian banyak sumber rnengenai perhatian Umar terhadap semua orang serta ketatnya terhadap diri dan anak-anaknya sendiri. Sebagai contoh, ia disuguhi daging dengan samin, tetapi ia tidak mau memakannya dengan mengatakan: Masing-masingnya untuk hidup sehari. Dimintanya seseorang membawakan air, tetapi orang itu membawakan kepadanya madu. Dia menolak dengan katanya: Janganlah karena ini saya disoal nanti pada hari kiamat. Ketika ia melihat sebuah sernangka di tangan salah seorang anaknya, ia berkata: Wah, wah, oh anak Arnirulrnukrninin. Kamu makan buah-buahan sedang umat Muhammad kurus kering dan lemah! Anak itu berlari ke luar sambil menangis. Kemudian Umar diam - setelah diketahui bahwa anak itu membelinya dengan segenggam biji-bijian. Dalam Tahun Abu itu ketika ia lewat melihat seorang perempuan sedang mengolah tepung untuk membuat as'idah, Umar berkata: Bukan begitu. Diambilnya alat pengaduk itu dan diperagakannya. Abu Hurairah pernah melihatnya ia membawa dua kantong kulit dan sebuah tabung minyak, maka ketika dilihatnya ada orang-orang lanjut usia ia memasakkannya untuk mereka sampai mereka makan kenyang, dst. dst.
  4. Beberapa sumber menyebutkan, bahwa Umar bin Khattab membawa masalah orang meminum khamar ini ke dalam suatu musyawarah. Ali bin Abi Talib menyarankan Jatuhi hukuman fitnah yang harus dicambuk delapan puluh kali. Argumentasinya: Orang meminumnya akan mabuk dan kalau sudah mabuk akan mengigau, kalau sudah mengigau keluar fitnah. Umar setuju dengan pendapat ini, dan diterapkanlah hukuman cambuk delapan puluh kali itu. Lihat al-Muwatta' h. 311.
  5. Yakni sagr, jamak sugur, daerah perbatasan yang rawan (di waktu perang) antara kawasan Islam dengan kawasan kafir (N). Lihat h. 299. - Pnj.
  6. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Ka'b al-Ahbar menentang Ali bin Abi Talib mengenai Irak. Dikatakan bahwa Umar mengumpulkan orang dan mengatakan kepada mereka bahwa dia akan mengajak kaum Muslimin berkeliling di kota-kota mereka dan melihat peninggalan-peninggalannya dan akan bermusyawarah dengan mereka mengenai hal itu. Ka'b al-Ahbar menanyakan dari mana akan dimulai. Kata Umar Irak. Tetapi Ka'b al-Ahbar berkata jangan, karena bencana itu ada sepuluh, sembilan di antaranya di timur dan satu di barat. Yang di timur itu pengikut setan dan segala macam penyakit kronis. Ali bin Abi Talib berkata: Amirulmukminin, Kufah itu tempat yang menjadi tujuan sesudah ditinggalkan dan itulah Kubah Islam. Akan tiba saatnya suatu hari setiap Muslim merindukannya. Umar berkata: Segala warisan penduduk Amawas itu sudah hilang. Maka mulailah dengan Syam untuk membagikan warisan dan saya sampaikan kepada mereka apa yang ada dalam hati saya. Setelah itu saya berbalik dan kembali ke kota-kota itu dan saya ungkapkan kepada mereka persoalan saya. Beberapa kritikawan berpendapat bahwa kata-kata yang dihubungkan kepada Ali bin Abi Talib itu untuk disesuaikan dengan apa yang terjadi kemudian, sesudah Kufah ia jadikan ibu kotanya, dan dia tidak membeda-bedakan Syam dengan Irak. Begitu juga sumber yang mengacu kepada Ka'b al-Ahbar itu baru dibuat orang belakangan.
  7. Seperti misalnya tragedi Oedipus dalam drama Sofokles (pujangga Yunani hidup sekitar abad ke-5 PM.), yang berusaha hendak menghindari ramalan Apollo bahwa dia akan membunuh ayahnya dan mengawini ibu kandungnya sendiri, tetapi usahanya hendak menghindari itu tanpa setahunya justru menuju ke sana. - Pnj.

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team