|
14. Kelaparan dan Wabah (2/3)
Umar berusaha mengeluarkan Abu Ubaidah
dari bencana wabah
Umar kembali bersama rombongan ke Medinah. Para pemimpin
pasukan itu pun berikut rombongan kembali ke tempat tugas
mereka. Umar masih memikirkan nasib kaum Muslimin di Syam
dan bahaya wabah yang sedang mengancam mereka. Ia khawatir
sekali Abu Ubaidah akan terserang penyakit maut itu dan mati
karenanya. Umar sangat mengharapkan Abu Ubaidah panjang umur
untuk menggantikannya kelak sebagai amirulmukminin. Bukankah
Abu Bakr dulu mengajak orang untuk membaiat salah seorang
dari keduanya: Abu Ubaidah atau Umar. Tetapi orang membaiat
Abu Bakr, setelah itu kemudian membaiat Umar. Maka jika
demikian sudah pantas sekali bila yang akan nggantikannya
nanti adalah Abu Ubaidah dan akan mengajak orang untuk
membaiatnya. Tetapi kalau dia mati karena wabah, siapa
gerangan yang akan menggantikannya? Umar mencintai Abu
Ubaidah dengan sungguh-sungguh, dan mendapat tempat sangat
terhormat dalam hatinya. Ia sedang memikirkan untuk
mengeluarkannya dari Syam agar terhindar dari penyakit
menular itu. Tetapi dia tahu benar, betapa tebal iman orang
ini kepada Allah dan dalam memegang tanggung jawab. Ia tidak
akan membiarkan anak buahnya di Syam dengan lari dari takdir
Allah. Umar menulis surat kepadanya tanpa memperlihatkan apa
yang sedang berkecamuk dalam pikirannya. Ia hanya
menyebutkan: Ada masalah yang ingin saya bicarakan secara
lisan dengan Anda, maka dengan ini saya mengundang Anda.
Jika Anda sudah membaca surat saya ini, kesampingkanlah yang
lain dan datanglah ke mari."
Membaca surat itu Abu Ubaidah sudah dapat menangkap
maksud Umar. Dia ingin sekali melepaskannya dari bahaya
wabah. Ia berkata: Semoga Allah mengampuni Amirulmukminin!
Kemudian ia membalas dengan menulis: "Saya sudah tahu tujuan
Anda kepada saya. Saya berada di tengah-tengah pasukan
Muslimin, saya tidak ingin menjauhi mereka dan berpisah
dengan mereka sampai nanti Allah menentukan keputusan-Nya
untuk saya dan untuk mereka. Lepaskanlah saya dari kehendak
Anda, wahai Amirulmukminin dan biarkanlah saya
bersamasama dengan prajurit saya."
Sesudah membaca surat itu Umar menangis. Orang-orang yang
berada di sekitarnya menanyakan: Sudah meninggalkah Abu
Ubaidah? Umar menjawab dengan suara tersekat dan air mata
yang masih berlinang: ''Tidak! Dan seolah sudah."
Rasanya ingin sekali saya merenungkan percakapan Umar
ketika maksudnya hendak kembali ke Medinah ditentang oleh
Abu Ubaidah dengan kata-katanya: Akan lari dari takdir
Allah. Ya, rasanya ingin sekarang saya merenungkan
surat-menyurat antara Umar dengan Abu Ubaidah itu.
Percakapan Umar dan isi kedua surat itu mengungkapkan kepada
kita lembaran sejarah kehidupan masa itu, unsur-unsur
kekuatannya dan luasnya kedaulatan Islam yang terkandung di
dalamnya. Tetapi saya lebih cenderung menceritakan apa yang
telah terjadi sampai pada waktu Allah sudah mengangkat
bencana itu dan kehidupan di Syam berjalan seperti biasa.
Dengan begitu, lembaran sejarah itu akan tampak lebih jelas,
akan memperlihatkan pemikiran kaum Muslimin yang mula-mula
dulu, sahabat-sahabat Rasulullah, dan tentang kebebasan
berpikir masa itu tanpa ada ikatan selain kebenaran yang
mendasari hati nurani mereka serta bimbingan Allah kepada
mereka atas dasar ilmu yang ada.
Kematian Abu Ubaidah dan pemuka-pemuka
Muslim lainnya akibat wabah
Sesudah membaca surat itu Umar menangis. Dia memikirkan
cara yang akan dapat menyelamatkan warga Syam dari bencana
yang kini sedang menimpa mereka. Ia bermusyawarah dengan
kalangan cerdik pandai. Setelah itu ia menulis surat lagi
kepada Abu Ubaidah: "Anda menempatkan mereka di tanah yang
tandus. Pindahkanlah mereka ke tanah yang lebih tinggi dan
sehat." Abu Ubaidah sedang memikirkan untuk melaksanakan
perintah itu ketika wabah yang mematikan itu datang
menyambarnya. Kemudian Mu'az bin Jabal bertindak akan
menggantikannya, tetapi dia pun menyusul terserang dan
keduanya meninggal. Mu'az digantikan oleh Amr bin As, yang
dalam pidatonya kemudian ia mengatakan: "Penyakit ini bila
sudah menyerang, menyala seperti nyala api. Baiklah kita
berlindung dari penyakit itu ke gunung-gunung." Setelah itu
ia bersama semua orang pergi ke luar, dan terpencar di
dataran-dataran tinggi. Dengan demikian bencana sampar maut
itu dapat dihindari dan dengan hilangnya wabah itu segalanya
telah berakhir. Pidato Amr itu sampai juga kepada Umar,
tetapi ia tidak mengecamnya, malah ia merasa perintahnya
yang dikirimkan kepada Abu Ubaidah sudah terlaksana.
Wabah dalam pandangan modern dan
dalam pandangan klasik
Apa penyebab penyakit ini? Dan dari mana asalnya? Kita
tidak mempunyai sumber-sumber yang dapat mengungkapkan
segala penyebab itu dan memperlihatkan kepada kita asal
mulanya yang dapat meyakinkan dan memuaskan hati kita.
Sebagian penulis yang datang belakangan berpendapat, bahwa
wabah Amawas itu timbul akibat orang yang mati di medan
perang demikian banyak sehingga sebagian besar mereka tak
sempat dikuburkan lagi. Dari sana kemudian kuman-kuman
tersebar ke udara, dan itulah asal mulanya wabah. Sedang
para sejarawan dahulu mengatakan yang menjadi penyebabnya
adalah kemurkaan Allah kepada penduduk Syam atas permintaan
Abu Ubaidah, karena banyak dari kalangan Muslimin yang
ternyata kemudian hanyut dalam minuman keras. Ia pernah
menulis surat kepada Umar menyebutkan: "Ada beberapa orang
dari kaum Muslimin yang sudah ketagihan minuman keras. Kami
tanyai mereka, dan mereka berdalih dengan mengatakan: Kami
sudah membuat pilihan dan ini yang kami pilih. Allah
berfirman: Tidakkah kalian mau berhenti juga, tetapi ini
bukan suatu perintah kepada kami." Qur'an waktu itu memang
tidak mencantumkan hukuman kepada peminum khamar. Baik
Rasulullah maupun Abu Bakr pernah menjatuhkan hukuman kepada
peminumnya. Oleh karena Umar mengundang para cerdik pandai
Medinah dan isi surat Abu Ubaidah itu dikemukakan kepada
mereka. Mereka berpendapat bahwa ungkapan [huruf
Arab] "Tidakkah kamu mau berhenti juga" (Qur'an, 5:91)
berarti perintah, berhentilah kamu. Dengan suara bulat
mereka menentukan, bahwa orang yang meminumnya harus
dicambuk delapan puluh kali dengan menggolongkannya ke dalam
perbuatan fasik.4 Umar menulis kepada Abu Ubaidah
supaya diumumkan, bahwa orang yang menganggapnya halal,
jatuhilah hukuman mati, dan kalau dianggap haram, maka
hukumannya cambuk delapan puluh kali. Abu Ubaidah mengundang
mereka dan menanyakan masalah itu kepada beberapa tokoh
mereka. Mereka mengatakan bahwa khamar itu haram, maka
mereka (yang meminum khamar) dikenai hukuman cambuk delapan
puluh kali, dan ia berkata: Hai penduduk Syam, akan terjadi
sesuatu terhadap kamu sekalian! Maka wabah itulah yang
terjadi.
Saya rasa kebanyakan orang sekarang lebih cenderung pada
pendapat para penulis yang datang belakangan itu atau yang
serupa itu. Mereka tidak berpendapat bahwa doa Abu Ubaidah
terhadap penduduk itulah penyebab datangnya wabah. Sudah
saya kutip kata-kata yang dihubungkan kepada Abu Ubaidah
itu. Tetapi saya masih meragukan bahwa datangnya kata-kata
itu dari Abu Ubaidah. Ia tidak akan mengharapkan bencana
maut itu akan menimpa semua penduduk tanpa suatu alasan
hanya karena sebagian mereka meminum khamar. Berapa banyak
orang yang sudah melakukan perbuatan dosa yang lebih berat
daripada segala dosa besar, tetapi Allah tidaklah
menjatuhkan malapetaka kepada mereka dengan memukul rata
sehingga menimpa semua yang berdosa dan tak berdosa. Abu
Ubaidah orang yang berperasaan halus dan teguh iman. Dia
begitu setia kepada mereka yang dipimpinnya sehingga tidak
akan ia mengeluarkan kata-kata semacam itu. Apalagi di
antara mereka yang berada di bawah pimpinannya itu dari
kalangan militer. Kesetiaannya kepada mereka sudah kita
lihat, seperti yang terbukti dari suratnya kepada Umar
ketika ia dipanggil ke Medinah agar ia menjauh dari wabah
Tetapi keraguan kita terhadap kata-kata yang keluar dari Abu
Ubaidah itu tidak menafikan bahwa memang ada sekelompok
orang yang suka meminum khamar. Setelah ditanya mereka
berdalih pada firman Allah tadi: Tidakkah kamu mau berhenti
juga dan dia membawa perkara mereka itu kepada Umar,
seterusnya hukuman dijatuhkan kepada mereka sesuai dengan
perintah Khalifah. Maka sumber yang sudah disepakati secara
berturut-turut mengenai peristiwa ini dan pelaksanaan
hukumannya pada masa Umar dan sesudahnya, dapatlah
dipastikan kebenarannya. Ini sesuai dengan suatu peristiwa
di waktu Nabi masih hidup, Umar berdoa kepada Allah mengenai
masalah khamar itu dan meminta dijelaskan yang
sejelas-jelasnya kepada mereka, karena khamar dapat
menghilangkan pikiran dan harta. Tidak heran jika ia
bertindak keras terhadap peminumnya dengan menjatuhkan
sanksi dan sanksi dilaksanakan pada masa kekhalifahannya,
begitu juga sesudahnya bahwa itu adalah sanksi dari
Allah.
Apa pun penyebab wabah itu, sekarang kaum Muslimin telah
terpencar-pencar di dataran tinggi, memenuhi seruan Amr bin
As, sejak dari memuncaknya sampai hilangnya wabahnya itu,
setelah menelan korban 25.000 Muslim di Syam, dan sesudah
wabah berpindah dari Syam ke Irak, korban terbanyak adalah
di Basrah, melebihi tempat-tempat lain. Sedang pasukan
Muslimin terbaik adanya justru di Basrah. Namun waktu itu
tak terpikir oleh Yazdigird akan merebutnya kembali seperti
halnya dengan Heraklius yang ingin merebut kembali Palestina
atau Syam. Seperti Heraklius, ia juga khawatir pasukannya
akan tertular wabah dan akan menjalar sampai ke Persia, maka
akan terjadilah malapetaka besar yang akibatnya akan lebih
parah daripada perang.
Wabah hilang, Umar meninggalkan Medinah
menuju Syam
Bagaimana Umar menghadapi situasi itu selepas bencana
wabah? Jika Syam dibiarkan seperti apa adanya setelah
menelan banyak korban dari kalangan Muslimin dan tidak
sedikit pula dari anggota pasukannya, maka kemenangannya itu
akan terancam oleh segala akibat yang tidak diinginkannya.
Mungkin saja Rumawi akan datang lagi dan berusaha merebutnya
kembali. Di samping itu perekonomian akan mengalami
kekacauan karena masalah harta peninggalan orang-orang yang
sudah meninggal. Ia tidak menjamin bahwa pembagian waris
tidak akan menimbulkan kekacauan di antara umat Islam
sendiri. Buat dia, tak ada jalan lain kecuali harus datang
sendiri dan melihat semua itu dan meletakkan segala
sesuatunya di tempatnya. Oleh karena itu ia berangkat dari
Medinah dengan serombongan sahabat dan urusan Medinah
diserahkan kepada Ali, dengan tujuan Ailah (Elath). Begitu
sampai ia menyerahkan sebuah baju kamis (kemeja) - yang
bagian belakang dan depanya sudah sobek karena lama dalam
perjalanan - kepada Uskup itu dengan mengatakan supaya
dicuci dan ditambal. Oleh Uskup kemeja itu dicuci dan
ditambal serta dijahitkan sebuah kemeja lagi yang serupa,
lalu kedua baju itu dikembalikan kepada Umar seraya katanya:
Ini baju Anda sudah saya cuci dan saya tambal, sedang yang
ini adalah baju dari saya untuk Anda. Kemeja itu dipakai
oleh Umar dan yang sebuah lagi dikembalikan dengan
mengatakan: Ini lebih dapat mengeringkan keringat.
Umar berangkat dari Ailah dan berhenti di Jabiah yang
kemudian dijadikannya tempat tinggalnya. Wakilnya yang di
Syam dan Palestina melaporkan kepadanya mengenai keadaan
kaum Muslimin dan segala yang terjadi terhadap mereka. Umar
mengunjungi seluruh Suria, memeriksa keadaan kaum Muslimin
sampai ke pelosok-pelosok. Mati-matian ia bekerja untuk
mereka, mengatur tempat-tempat tinggal mereka di Damsyik,
Hims dan kota-kota lain yang mengalami bencana wabah itu.
Sesudah itu ia mengatur keadaan daerah-daerah
rawan5 dan barak-barak tentara di Syam. Pembagian
angkatan bersenjatanya dikembalikan ke tempat-tempat semula
dan menunjuk orang-orang yang ditentukan untuk itu. Selesai
semua itu, kemudian ia mengurus soal waris. Sebagian ahli
waris mewarisi yang lain, lalu diberikan kepada para ahli
waris masih hidup. Dengan demikian semuanya kembali normal
dan teratur. Setelah lama menghadapi ketakutan sekarang
rakyat sudah merasa aman kembali. Pihak Rumawi pun sudah
tidak lagi berpikir kembali ke Syam.
Tatkala Umar menerima berita mengenai kematian Abu
Ubaidah dan Yazid bin Abi Sufyan ia sudah mengangkat
Syurahbil bin Hasanah dan Mu'awiah bin Abi Sufyan untuk
menggantikan mereka. Tetap sesampainya di Jabiah Syurahbil
dipecat dari jabatannya. Syurahbil menanyakan kepada Umar
alasan pemecatannya: karena tidak disukai? Umar menjawab:
Tidak! Saya mencintaimu. Tetapi saya ingin orang yang lebih
kuat. Syurahbil berkata lagi: Kalau begitu kemukakan alasan
mengenai saya itu di depan umum supaya tidak diartikan bahwa
saya melakukan suatu kesalahan. Ketika itu Umar lalu
berpidato kepada mereka: "Saudara-saudara! Saya tidak
memecat Syurahbil karena benci Tetapi saya menginginkan
orang yang kuat." Sebenarnya Syurahbil seorang jenderal yang
pandai mengatur strategi dan menjebak musuh, tetapi dia
bukan seorang politikus yang tahu bagaimana mengatur rakyat
sesuai dengan tujuan. Kebalikannya Mu'awiah, dengan usianya
yang masih muda, dia adalah politikus berpengalaman, dia
tahu segala liku-liku persoalan.
Setelah dalam perjalanannya kembali dari Syam ke Jabiah
menuju Medinah Umar berpidato, dengan lebih dulu membaca
hamdalah dan puji-pujian kepada Allah: "Saya sudah terpilih
untuk memimpin kamu sekalian, dan saya sudah menjalankan
kewajiban yang harus saya laksanakan sesuai dengan yang
diamanatkan Allah kepada saya untuk urusan kalian, insya
Allah. Rampasan perang dan tempat-tempat tinggal kalian
sudah saya bagikan secara adil, begitu juga perjalanan
pasukan kalian. Kami sudah menyampaikan apa yang ada pada
kalian, kami sudah memobilisasi tentara untuk kalian dan
untuk daerah-daerah yang rawan. Kami telah menempatkan
kalian dan kami perbanyak segala harta rampasan yang kalian
terima dan apa yang kalian perjuangkan untuk kamu sekalian
dan kami sudah menentukan keinginan kalian. Telah kami
perintahkan pemberian. dan penghasilan untuk kalian. Barang
siapa mengetahui ada yang harus dikerjakan sudah
disampaikan, insya Allah akan kami kerjakan."
Ketika waktu salat tiba Umar sudah siap akan berangkat.
Ada di antara mereka yang berkata: "Baik juga kalau kita
minta Bilal yang azan." Sejak Rasulullah wafat, Bilal memang
sudah tidak lagi menyerukan azan. Orang-orang sudah rindu
ingin mendengarkan ia menyerukan azan - sesudah malapetaka
sekarang berlalu - untuk mengingat nikmat Allah, ketika
mengutus Rasul-Nya kepada mereka dan membimbing mereka
kepada Islam dan mewariskan bumi ini, kemudian memperkuatnya
dan berhasil menundukkan Persia dan Rumawi. Sesudah musibah
yang menimpa mereka berlalu, Bilal sekarang menyerukan azan
lagi dengan suaranya yang begitu merdu, yang selama
bertahun-tahun tidak berubah. Semua itu hidup kembali dalam
hati mereka, yang dulu pernah mereka alami bersama-sama
dengan Rasulullah. Terkenang saat mereka berdiri di belakang
Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam, berbaris teratur
dalam salat yang diimami oleh Rasulullah sendiri. Kemudian
ia berbincang-bincang dengan mereka, hal yang memabuat iman
mereka makin teguh. Tak seorang pun dari mereka yang tidak
menangis, air mata bercucuran membasahi janggut. Orang-orang
yang tidak mengalami hidup bersama Rasulullah juga menangis,
terharu oleh tangisan mereka. Umarlah yang paling keras
menangis di antara mereka, karena dia yang paling kuat
teringat pada nikmat Allah dan Rasul-Nya itu. Inilah azan
untuk salat yang pertama dan terakhir yang dikumandangkan
muazin Nabi di udara Syam, tak jauh dari Baitulkadas. Ini
merupakan pertanda dalam sejarah tentang kemenangan
Muslimin, tentang kekukuhan Islam di sana, sampai akhir
zaman. Oleh karena itu seorang sejarawan tidak akan lupa
mengenangnya, karena itu adalah pertolongan Allah, dan
kemenangan yang nyata.
Umar mengucapkan selamat tinggal kepada penduduk Syam dan
kembali ke Medinah, dengan niat yang sudah mantap hendak
mengunjungi Irak. Tetapi Allah belum menakdirkan ia datang
berkunjung ke sana. Ada yang mengatakan bahwa ia memutuskan
akan pergi ke Irak sebelum perjalanannya ke Syam. Jika sudah
memasuki bagian utaranya ia akan menyusur terus ke Halab,
Damsyik dan Firad, tetapi tujuannya oleh Ka'b al-Ahbar
dialihkan dengan memulai dari Syam. Itulah perannya yang
terakhir di luar Semenanjung Arab.6
|