|
||
|
|
Umar memangku jabatan Amirulmukminin selama sepuluh tahun sekian bulan, mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah dan agama Allah, dengan melupakan diri dan keluarganya samasekali. Pikiran, kalbu dan segenap jiwa raganya dikerahkan semata-mata hanya untuk memikul tanggung jawab yang begitu besar yang diletakkan di bahunya. Dialah panglima tertinggi angkatan bersenjata, dia fakih terbesar di antara semua ahli fikih dan mujtahid yang menggunakan segalanya berdasarkan pendapatnya, dan semua orang mengakui hasil ijtihadnya. Dia hakim yang bersih dan adil dalam memutuskan perkara dan mengambilkan hak si lemah dari si kuat. Dia seorang bapa yang penuh kasih sayang terhadap semua kaum Muslimin, yang kecil dan yang besar, yang lemah dan yang kuat, yang miskin dan yang kaya. Dia seorang mukmin yang benar-benar beriman kepada Allah dan kepada RasulNya, dan yang telah pula memperbesar percaya dirinya dan merasa yakin akan pendapatnya. Dia politikus yang berpengalaman, yang tahu apa yang dikehendakinya, dan segala yang dikehendakinya disesuaikan dengan kemampuannya. Kalau melebihi kemampuannya, keinginannya dibatalkan. Dia administrator yang bijaksana dan kebijaksanaannya memudahkannya mengemudikan berbagai macam bangsa, ras, bahasa dan agama; dia mengurus segala persoalan itu, dan semua patuh dan bertambah cinta kepadanya.
Dengan keadaan yang demikian, tidak heran jika orang Arab kemudian menjadi pusat perhatian dunia, dari ujung barat sampai ke ujung timur. Sebelum Islam, mereka merupakan masyarakat pedalaman yang hidup hanya untuk dirinya dan tunduk kepada pengaruh pihak lain.
Alangkah besarnya jerih-payah Umar yang selama sepuluh tahun dicurahkan untuk memikul beban tanggung jawab yang begitu berat itu! Dalam pelbagai lukisan dalam buku ini kita sudah melihat dan tampak jelas jerih-payahnya. Sungguhpun begitu semua lukisan itu belum mengungkapkan semua jerih-payahnya itu. Ketika melukiskan kehidupan orang besar, dapatkah seorang penulis dengan begitu cermat dan teliti mengungkapkan semua itu? Seorang penulis melihat kehidupan itu hanya dari salah satu seginya, dan dari segi itu saja sudah cukup bila ia dapat mengungkapkan apa yang hendak dikemukakannya itu dengan jelas dan terang. Dalam buku ini pun tujuan saya tidak berbeda dari apa yang sudah saya tulis tentang Abu Bakr: Akan menulis untuk sejarah Kedaulatan Islam. Oleh karena itu, dalam biografi kedua tokoh ini tekanan saya hanya pada segala yang berhubungan dengan berdirinya kedaulatan itu serta perluasan kawasannya.
Berapa umur Umar sesudah menempuh sepuluh tahun sebagai Amirulmukminin? Di atas sudah saya singgung tentang adanya perbedaan pendapat kalangan sejarawan. Ibn Asir mengatakan: "Ia dilahirkan empat tahun sebelum perang Fijar, dan umurnya ketika itu lima puluh lima tahun, ada yang mengatakan enam puluh tahun, juga dikatakan enam puluh tiga tahun dan beberapa bulan - dan ini yang benar - atau dikatakan juga enam puluh satu tahun." Dalam sebuah sumber disebutkan ia berusia enam puluh lima tahun. Dari semua sumber ini tampak bahwa umurnya antara lima puluh lima dengan enam puluh lima tahun. Besar sekali dugaan bahwa umurnya sudah melampaui enam puluh tahun. Bahwa dia hidup telah menyiksa diri dan lebih suka hidup sengsara sepanjang ia menjadi Khalifah sampai-sampai orang khawatir ia akan menemui ajalnya saat terjadi musim kelaparan, maka wajar sekali bila dalam usia itu terasa sangat berat, terutama bagi orang yang sudah pernah mengenal hidup senang dan mewah, ditambah lagi dengan tanggung jawabnya yang begitu besar. Beban itu juga yang terasa lebih berat. Di samping itu ia mendapat kesempatan beristirahat atau bersenang-senang atau akan meringankan segala beban dalam memikul tanggung jawab itu, dari persoalan negara yang besar pada masanya sampai kepada yang sekecil-kecilnya.
Seperti sudah kita sebutkan, Umar menunaikan ibadah haji tiap tahun dan mengundang para wakil dan para pejabat. Pada musim haji di Mekah itu mereka datang untuk dimintai pertanggungjawaban mengenai segala tugas mereka dan bersama-sama ia mengatur segala kepentingan wilayah mereka. Seperti biasa, pada tahun ke-23 Hijri ini ia melaksanakan ibadah haji, dan kembali bersama-sama dengan para istri Rasulullah Sallallahu alaihi wa sallam. Selesai melakukan manasik dan bertolak dari Mina cepat-cepat, ia tinggal di tempat yang datar, menimbun seonggok pasir lalu ujung bajunya dihamparkan dan ia terlentang sambil mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata: "Allahumma ya Allah, umurku kini sudah bertambah, tulangku sudah rapuh, kekuatanku pun sudah banyak berkurang dan rakyatku tersebar di mana-mana, maka kembalikanlah aku kepada-Mu tidak dalam keadaan lemah ataupun bersalah." Doa ini tidak diucapkan orang sebelum mencapai umur enam puluh tahun, terutama jika dalam keadaan jasmani yang tegap dan kuat seperti halnya dengan Umar.
Barangkali ia sudah mulai merasakan gejala-gejala kelemahan jasmaninya maka ingin segera berjumpa dengan Tuhannya. Dalam soal ini ia sering bertafakur lama sekali. Dalam kitabnya at-Tabaqat Ibn Sa'd menceritakan bahwa tak lama setelah ia sampai di Medinah sekembalinya dari ibadah haji, dalam khutbah Jumatnya ia teringat kepada Rasulullah dan kepada Abu Bakr, kemudian katanya: "Saudara-saudara! Saya bermimpi, yang menurut hemat saya menandakan ajal saya sudah dekat. Saya bermimpi melihat seekor ayam jantan mematuk saya dua kali." Dan katanya lagi: "Saudara-saudara, saya sudah membuat ketentuanketentuan buat kalian dan sudah saya tinggalkan untuk kalian serba jelas, kecuali jika hendak menyesatkan orang ke kanan dan ke kiri."1 Ungkapan terakhir itu lebih menyerupai wasiat penyair yang sudah mendekati ajal daripada nasihat yang dikhususkan untuk amal kebaikan.
Khutbah itu yang lebih menyerupai wasiat dalam kata-katanya: "Bagi saya tak ada yang lebih penting yang saya tinggalkan daripada soal kalalah,2 dan tak pernah ada persoalan yang pernah saya ajukan kepada Rasulullah seperti ketika saya mengajukan soal kalalah ini. Dan Rasulullah tak pernah berkata keras kepada saya dalam soal apa pun sejak saya mendampinginya, seperti dalam soal kalalah ini juga, sehingga ia meninju saya di perut dengan jarinya sambil berkata: 'Umar, buat Anda cukuplah ayat yang di akhir surah an-Nisa.' Kalau saya masih akan hidup saya akan melaksanakan itu seperti yang ditentukan bagi siapa pun yang membaca dan tidak membaca Qur'an." Kemudian katanya: "Ya Allah, aku akan menjadi saksi atas para pembesar kota-kota itu! Aku mengirim mereka untuk mengajar orang tentang agama dan sunah Nabi, untuk berlaku adil terhadap mereka, membagikan rampasan perang dan melaporkan kepadaku kesulitan dalam persoalan yang mereka hadapi." Juwairiah bin Qudamah dari Banu Tamim berkata: "Saya menunaikan ibadah haji pada tahun ketika Umar wafat, dan ketika sampai di Medinah ia berkhotbah: Saya bermimpi seolah ada seekor ayam jantan mematuk saya. Dia hidup hanya sampai pada musim haji itu, kemudian ia ditikam orang."
Perasaan Umar bahwa ajalnya sudah dekat, tanpa sakit, selain merasakan tenaganya yang makin lemah dan badan letih, memaksanya sering berpikir dan merenung. Tak banyak orang selama ia dalam sehat afiat yang berbicara dalam hatinya, seperti yang dialami Umar, kendati ada sebagian orang yang merasakan dekatnya ajal pada permulaan sakitnya yang terakhir. Adakah Umar termasuk orang yang merasakan akan terjadinya sesuatu sebelum terjadi?3 Atau karena usia yang sudah makin lanjut dan tenaga yang sudah berkurang dengan rakyatnya yang sudah begitu luas membuatnya berpikir tentang ajalnya yang sudah dekat, dan berdoa kepada Allah agar ia dipanggil kembali kepada-Nya? Kita bebas menjawab sendiri. Tetapi kalangan sejarawan Muslimin mengutip sumber-sumber seperti akan saya ceritakan nanti sesudah saya menguraikan terbunuhnya Amirulmukminin.
Sebelum matahari terbit hari Rabu itu tanggal empat Zulhijah tahun ke-23 Hijri Umar keluar dari rumahnya hendak mengimami salat subuh. Ia menunjuk beberapa orang di Masjid agar mengatur saf sebelum salat. Kalau barisan mereka sudah rata dan teratur, ia datang dan melihat saf pertama. Kalau ada orang yang berdiri lebih maju atau mundur, diaturnya dengan tongkatnya. Kalau semua sudah teratur di tempat masing-masing, mulai ia bertakbir untuk salat. Saat itu dan hari itu tanda-tanda fajar sudah mulai tampak. Baru saja ia mulai niat salat hendak bertakbir tiba-tiba muncul seorang laki-laki di depannya berhadap-hadapan dan menikamnya dengan khanjar tiga atau enam kali yang sekali mengenai bawah pusar. Umar merasakan panasnya senjata itu dalam dirinya, ia menoleh kepada jemaah yang lain dan membentangkan tangannya seraya berkata: "Kejarlah anjing itu; dia telah membunuhku!" Dan anjing itu Abu Lu'lu'ah Fairuz, budak al-Mugirah. Dia orang Persia yang tertawan di Nahawand, yang kemudian menjadi milik al-Mugirah bin Syu'bah. Kedatangannya ke Masjid itu sengaja hendak membunuh Umar di pagi buta itu. Ia sudah bersembunyi di bawah pakaiannya dengan menggenggam bagian tengahnya khanjar bermata dua yang tajam. Ia bersembunyi di salah satu sudut Masjid. Begitu salat dimulai ia langsung bertindak. Sesudah itu ia menyeruak lari hendak menyelamatkan diri. Orang gempar dan kacau, gelisah mendengar itu. Orang banyak datang hendak menangkap dan menghajar anjing itu. Tetapi Fairuz tidak memberi kesempatan menangkapnya. Malah ia menikam ke kanan kiri hingga ada dua belas orang yang kena tikam, enam orang meninggal kata satu sumber dan menurut sumber yang lain sembilan orang. Dalam pada itu datang seseorang dari belakang dan menyelubungkan bajunya kepada orang itu sambil menghempaskannya ke lantai. Yakin dirinya pasti akan dibunuh, Fairuz bunuh diri dengan khanjar yang digunakannya menikam Amirulmukminin.
Tikaman yang mengenai bawah pusarnya itu telah memutuskan lapisan kulit bagian dalam dan usus lambung yang dapat mematikan. Konon Umar tak dapat berdiri karena rasa perihnya tikaman itu, dan terhempas jatuh. Abdur-Rahman bin Auf segera maju menggantikannya mengimami salat. Ia meneruskan salat itu dengan membaca dua surah terpendek dalam Qur'an: al-Asr dan al-Kausar. Ada juga dikatakan bahwa orang jadi kacau-balau setelah Umar tertikam dan beberapa orang lagi di sekitarnya. Mereka makin gelisah setelah melihat Umar diusung ke rumahnya di dekat Masjid. Orang ramai tetap kacau dan hiruk-pikuk sehingga ada yang berseru: Salat! Matahari sudah terbit! Mereka mendorong Abdur-Rahman bin Auf dan dia maju salat dengan dua surah terpendek tersebut.
Sumber kedua ini sudah tentu lebih dapat diterima. Dalam suasana kacau begitu barisan orang untuk salat kembali sudah tidak akan teratur lagi, sementara Amirulmukminin tergeletak bercucuran darah di depan mereka, dan darah orang-orang yang juga terkena tikam bergelimang di sekitar mereka, dan si pembunuh juga sedang sekarat di tengah-tengah mereka! Andaikata - dengan penderitaan akibat beberapa kali tikaman itu - kita dapat membayangkan Umar sedang berpikir untuk meminta Abdur-Rahman bin Auf menggantikannya dalam salat - suatu hal yang jauh dapat dibayangkan akal - tidaklah kita dapat membayangkan saat itu orang dapat mengatur barisan sementara mereka dalam suasana kegamangan dan ketakutan. Tentunya ketika itu Umar sudah diusung ke rumahnya di dekat Masjid dalam keadaan sadar atau pingsan karena dahsyatnya tikaman itu dan orang sedang mengelilinginya ketika dibawa masuk kepada keluarganya. Orang-orang yang terkena tikam dan dibawa keluar dari Masjid atau dipindahkan ke sekitarnya itu, sudah diberi pertolongan. Mayat Fairuz juga dikeluarkan dan dibawa ke Butaiha. Setelah itu orang kembali ke Masjid dan membicarakan kejadian itu sampai kemudian ada orang yang mengingatkan mereka akan waktu salat. Ketika itulah mereka meminta Abdur-Rahman bin Auf untuk mengimami salat.
Selesai salat berjamaah mereka segera terpencar ke samping Masjid dan ke Butaiha. Pembicaraan mereka terpusat hanya pada peristiwa yang mengerikan yang terjadi di depan mata mereka itu. Secepat kilat berita itu pun tersebar ke seluruh Medinah. Penduduk yang belum bangun segera terbangun dari tidur, laki-laki, perempuan dan anak-anak. Mereka semua cepat-cepat keluar ingin mengetahui berita yang lebih jelas mengenai peristiwa yang luar biasa ini. Yang lain, yang mengalami cedera di bawa ke rumah masing-masing, ada yang menghembuskan atau hampir menghembuskan nafas terakhir, ada pula mengerang kesakitan karena luka-lukanya. Kalangan terkemuka juga datang meminta penjelasan. Abdullah bin Abbas berkata: "Saya masih di tempat Umar dan dia masih juga dalam keadaan tidak sadarkan diri sampai terbit pagi. Pagi itu ketika sadar ia melihat ke dalam wajah kami, lalu bertanya: 'Orang-orang sudah salat?' Sudah, kata saya. Lalu katanya lagi: 'Bukan Islam orang yang meninggalkan salat."' Setelah itu Ibn Abbas keluar memenuhi keinginan Umar. Ia berseru kepada orang banyak: Saudara-saudara, Amirulmukminin bertanya: Adakah peristiwa ini dari hasil musyawarah pemuka-pemuka kalian? Orang merasa ketakutan mendengar kata-kata ditujukan kepada mereka itu. Dengan suara serentak mereka semua berkata: Semoga Allah melindungi kita, kami tidak tahu. Mana mungkin itu akan terjadi. Kalau mereka tahu niscaya mereka bersedia menebus Umar dengan anak-anak mereka dan nyawa mereka sendiri! Ibn Abbas bertanya lagi: Lalu siapa yang menikam Amirulmukminin? Jawab mereka: Ia ditikam oleh musuh Allah, Abu Lu'lu'ah budak Mugirah bin Syu'bah.
Umar sedang membujur di tempat tidur menunggu Ibn Abbas kembali membawa jawaban atas pertanyaannya itu, sambil menunggu kedatangan seorang tabib yang diminta oleh keluarganya. Setelah Ibn Abbas kembali dan menyampaikan apa yang dikatakan orang banyak itu, dan disebutnya juga bahwa yang menikamnya Abu Lu'lu'ah dan yang juga menikam beberapa orang kemudian menikam dirinya, Umar berkata: "Alhamdulillah bahwa saya tidak dibunuh oleh Muslim. Tidak mungkin orang Arab akan membunuh saya!"
Setelah datang seorang tabib dari Arab pedalaman ia menuangkan minuman anggur kepada Umar. Minuman anggur itu sama dengan darah waktu keluar dari bekas luka yang di bawah pusar. Abdullah bin Umar memanggil seorang tabib dari Ansar dan yang lain dari Banu Mu'awiah. Ia menuangkan susu kepada Umar, dan yang keluar dari bekas lukanya itu susu juga, putih, warnanya tak berubah. Lalu katanya: Amirulmukminin, berwasiatlah! Maksudnya sudah dapat dipastikan Umar akan meninggal. Kata Umar: Anda meyakinkan saya, orang Banu Mu'awiah. Kalau bukan itu yang Anda katakan, niscaya saya katakan Anda berdusta. Mendengar kata-kata tabib itu mereka yang hadir menangis, karena sudah merasa cemas. Tetapi Umar berkata: "Jangan menangisi kami. Barang siapa mau menangis keluarlah. Tidakkah kalian mendengar kata Rasulullah Sallallahu alaihi wa sallam: Mayat itu akan mendapat azab karena ditangisi keluarganya!"
Sementara Umar mendengarkan apa yang dikatakan orang yang disampaikan oleh Ibn Abbas, dan meminta pendapat tabib serta mendengarkan segala peringatannya, kaum Muslimin di Masjid dan di sekitarnya dalam kelompok-kelompok masih membicarakan apa gerangan yang mendorong Abu Lu'lu'ah sampai melakukan perbuatan kejinya itu. Mengenai hal ini kalangan sejarawan mengutip beberapa sumber, yang sebagian barangkali berhubungan dengan pembicaraan kelompok-kelompok itu, dan ada pula yang agaknya mendiskusikan sumber-sumber itu. Ada yang menerima, ada pula yang menolak, dan sebagian lagi menganggapnya hanya cerita dongeng. Semua ini akan saya kemukakan kepada pembaca supaya menjadi bahan pemikiran, walaupun - sebelum menceritakan lebih lanjut - saya rasa sudah menjadi kewajiban saya untuk menyatakan keyakinan saya bahwa pembunuhan terhadap Umar itu berlatar belakang suatu persekongkolan yang perencanaannya sudah memakan waktu lama sebelum kejadian. Bagi jemaah yang hadir di Masjid tidak mudah untuk melacak jejaknya dalam usaha mendapatkan bukti, yang selanjutnya bukti tersebut dapat dijadikan pegangan Selanjutnya jejak yang dijadikan pegangan inilah yang sebentar lagi akan saya ceritakan.
Dalam at-Tabaqat Ibn Sa'd menceritakan sebuah peristiwa yang didasarkan kepada Jubair bin Mut'im, bahwa ketika dalam ibadah hajinya yang terakhir itu Umar sedang berdiri di pegunungan Arafah, tiba-tiba ia mendengar ada orang berteriak: Hai Khalifah! Khalifah! Orang lain juga ada yang mendengar, dan mereka sedang meramal dengan burung4 menyiapkan bekal untuk perjalanan. Maka katanya: Mengapa? Celakalah Anda! Jubair marah kepada orang itu seraya berkata: Jangan menghina dia! Keesokannya Umar sedang berdiri di Aqabah melontar jumrah dan Jubair juga menyertainya tiba-tiba kepala Umar terkena lemparan batu kerikil hingga berdarah. Jubair mendengar orang berkata dari gunung itu: "Demi yang punya Ka'bah, biar tahu, sesudah tahun ini Umar tidak akan pernah lagi dalam keadaan begini !" Suara ini juga yang kemarin meneriakkan: "Hai Khalifah! Khalifah!" Juga Ibn Sa'd mengutip sumber dari Umm Kulsum putri Abu Bakr, dari adiknya Aisyah Ummulmukminin yang mengatakan: Waktu kami kembali dari Arafah melalui Muhassab, pada musim haji yang terakhir kali dilaksanakan oleh Umar itu bersama para Ummulmukminin, kami mendengar seseorang dari atas kendaraannya berkata: Mana Umar Amirulmukminin? Dan saya dengar yang lain berkata: Amirulmukminin ada di sini. Setelah itu ia menderumkan untanya dan mengangkat suaranya:
Penunggang unta itu tidak bergerak juga tidak dikenal siapa dia. Dalam percakapan kami bahwa dia dari jenis jin. Setelah Umar kembali dari menunaikan ibadah haji ia ditikam dan meninggal.
Rasanya tidak perlu saya mengomentari cerita-cerita semacam itu. Sukar sekali kita akan dapat memperkirakan bahwa inilah yang dikatakan dari jenis jin, dan yang mengatakan: Sesudah tahun ini Umar tidak akan pernah lagi dalam keadaan begini, dan katanya konon dia seorang peramal dengan burung. Siapa yang tahu, apa yang berkecamuk dalam pikiran Fairuz dan orang yang bersekongkol dengan dia. Tetapi berita-berita yang disebutkan apa yang telah terjadi sepulang Umar ke Medinah tak lama sebelum ia terbunuh, perlu sekali diteliti, kalau-kalau terungkap kenyataan yang belum terpecahkan oleh para sejarawan dahulu.
At-Tabari, Ibn al-Asir dan yang lain menceritakan, bahwa sepulang dari haji pada suatu hari ketika Umar sedang berkeliling di pasar Abu Lu'lu'ah menemuinya dan berkata kepadanya: Amirulmukminin, bicarakan soal saya dengan Mugirah bin Syu'bah, sebab pajak yang dikenakan kepada saya terlalu tinggi. Berapa pajak yang dikenakan kepada Anda? tanya Umar. Dua dirham tiap hari, jawab orang itu. Pekerjaan Anda apa? tanya Umar lagi, yang dijawabnya: Saya tukang kayu, pemahat dan pandai besi. Melihat pekerjaan semacam itu, pajak itu menurut hemat saya tidak banyak. Saya dengar Anda mengatakan: Kalau saya mau saya dapat membuat penggilingan dengan tenaga angin? Ya, jawab orang itu. Buatkan sebuah buat saya, kata Umar. Kalau saya dapat diselamatkan, pasti saya buatkan sebuah penggilingan yang akan menjadi bahan pembicaraan orang di timur dan di barat! Kemudian ia pergi meninggalkan Umar. Umar berkata: Budak itu tadi telah mengancamku!
Setelah itu Umar pulang. Keesokan harinya datang Ka'b al-Ahbar dan mengatakan kepada Umar: Amirulmukminin, ketahuilah bahwa dalam tiga hari ini Anda akan meninggal. Ka'b ini adalah salah seorang pemuka pendeta agama Yahudi pada masa Nabi Sallallahu alaihi wa sallam, dan ia sering mengunjungi Nabi untuk memperlihatkan kecenderungannya kepada Islam, dengan menunda pengumuman keislamannya itu sampai dapat memastikan semua tanda-tanda yang terdapat dalam kitab suci masyarakatnya tentang Nabi dan sahabat-sahabatnya itu. Sampai kekhalifahan sudah di tangan Usman baru ia mengumumkan keislamannya. Merasa heran dengan peringatan Ka'b itu, Umar menanyakan: Dari mana Anda tahu? Saya melihatnya dalam Kitab Suci Taurat, jawabnya. Umar terkejut dengan kata-katanya itu dan katanya: Masya Allah! Anda melihat nama Umar bin Khattab dalam Taurat?! Tidak, kata Ka'b, bukan nama Anda tetapi sifat-sifat dan sosok Anda yang menandakan bahwa ajal Anda sudah sampai. Karena Umar tidak merasa sakit dan mengalami gangguan kesehatan ia makin heran dengan kata-katanya itu. Sesudah itu ia tak pernah menaruh perhatian secara khusus.
Hari berikutnya Ka 'b datang lagi berkata: Amirulmukminin, sudah berlalu sehari, tinggal dua hari. Keesokan harinya setelah itu katanya lagi: Sudah berlalu dua hari, tinggal lagi sehari semalam, yakni buat Anda masih ada waktu sampai besok pagi. Keesokan harinya waktu subuh Abu Lu'lu'ah menikam Umar dengan tikaman yang mematikan. Sesudah kaum Muslimin berdatangan menengok Umar Ka'b juga ikut masuk, dan sesudah melihatnya Umar berkata:
Sir William Muir menguraikan panjang lebar cerita Ka'b ini dalam Annals of the Early Caliphate, yang dilanjutkan dengan katanya: "Sukar sekali kita mengetahui bagaimana mula timbulnya cerita yang aneh ini. Barangkali Ka'b memperingatkan Umar setelah ia melihat tanda-tanda pada Abu Lu'lu'ah yang hendak menantang dan mengancam itu." Dan yang dapat kita simpulkan dari pembicaraan Abu Lu'lu'ah dengan Umar dan dari cerita Ka'b sendiri, bahwa orang Persia itu mengancam Umar, dan orang Yahudi itu menunjukkan waktu akan terjadinya pembunuhan tiga hari sebelum dilaksanakan. Tak ada bayangan pada seseorang dengan dugaan bahwa kitab-kitab suci akan menentukan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi terhadap seseorang sampai terinci seperti itu. Kitab-kitab suci itu semua mengembalikan segala yang gaib kepada Allah. Kalau begitu, segala rahasia yang akan terjadi itu tentu sudah diketahui oleh Ka'b, lalu ia menyampaikan peringatan kepada Umar. Tetapi sesudah ada ancaman dari Abu Lu'lu'ah Umar tidak menghiraukannya, maka terjadilah apa yang terjadi. Peringatan Ka'b dan tikaman Abu Lu'lu'ah menunjukkan bahwa dalam hal ini ada rahasia yang ketika terjadi peristiwa kejahatan itu tidak tampak, tetapi baru terlihat sesudah kejadian. Pada waktunya nanti hal ini akan saya jelaskan.
Please direct any suggestion to Media Team