Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

25. Terbunuhnya Umar (2/4)

Muslimin minta Umar menunjuk pengganti

Jemaah di Masjid bertanya-tanya gerangan apa yang mendorong Abu Lu'lu'ah melakukan kejahatan itu. Umar sedang membujur di tempat tidur di rumahnya sementara tabib mengatakan kepadanya supaya ia berpesan. Pemuka-pemuka Muslimin berbicara kepadanya mengenai apa yang telah menimpa dan menimpa kaum Muslimin, dan apa yang akan terjadi jika ajal Khalifah yang agung itu sudah ditentukan oleh Allah sampai di situ. Tentang siapa yang akan menggantikan Umar, itulah yang lebih banyak menyita pikiran mereka dan pikiran Umar sendiri. Adakah kita lihat dia melakukan seperti yang sudah dilakukan oleh Abu Bakr lalu memilih orang yang akan menggantikannya, atau membiarkan mereka yang akan menentukan sendiri seperti dalam rapat mereka di Saqifah Banu Sa'idah ketika Allah telah memanggil Rasul-Nya? Disebutkan bahwa Ibn Umar5 ketika itu berkata kepada Umar bin Khattab: Tidakkah Anda akan menunjuk seorang pengganti? Siapa? tanya Umar. Dijawab: Dengan berijtihad, karena Anda bukan pemilik mereka! Bagaimana kalau Anda mengirim utusan kepada seorang penanggung jawab daerah Anda. Tidakkah Anda ingin menunjuk seseorang menjadi pengganti sampai ada jalan lain? Ia menjawab: Ya; memang. Bagaimana kalau Anda mengutus orang kepada gembala kambing Anda, tidakkah Anda ingin digantikan oleh seseorang sampai ada jalan lain? Kata Umar: "Kalaupun saya menunjuk seorang pengganti maka yang akan menggantikan saya harus orang yang lebih baik dari saya, dan kalau saya tinggalkan, saya juga ditinggalkan oleh orang yang lebih baik dari saya." Disebutkan juga bahwa ketika Sa'id bin Zaid bin Amr berkata kepada Umar: Kalau Anda menunjuk seseorang dari kalangan Muslimin orang sudah percaya kepada Anda, - dijawab oleh Umar: Saya sudah melihat sahabat-sahabat saya mempunyai ambisi yang buruk! Kemudian katanya lagi: Andaikata salah seorang dari dua tokoh itu masih ada, soal ini akan saya serahkan kepada orang itu. Dan orang yang saya percayai itu: Salim bekas budak Abu Huzaifah atau Abu Ubaidah bin Jarrah.

Dalam sebuah sumber disebutkan bahwa Umar bertanya: Siapa yang akan saya tunjuk sebagai pengganti? Sekiranya saja Abu Ubaidah bin Jarrah masih ada! Tetapi ada orang yang berkata kepadanya: Amirulmukminin, bagaimana dengan Abdullah bin Umar? Dijawab oleh Umar: Orang celaka Anda ini! Sekali-kali Allah tidak menghendaki yang begini! Saya akan menunjuk orang yang tidak mampu untuk menceraikan istrinya! Ada juga sumber yang mengatakan bahwa Umar memanggil Abdur-Rahman bin Auf sesudah dibawa ke rumahnya selepas mendapat tikaman dan berkata kepadanya: Saya ingin mempercayakan kepada Anda. Abdur-Rahman bin Auf berkata: Amirulmukminin, kalau Anda yang menunjuk saya, saya terima. Kata Umar: Apa maksud Anda? Abdur-Rahman berkata dengan permintaan kepadanya: Demi Allah! Anda menunjuk saya untuk itu? Umar menjawab: Tidak! Kata-kata Abdur-Rahman sesudah pertemuan itu: Saya samasekali tidak akan memasuki persoalan ini!

Sumber-sumber ini menunjukkan bahwa pemilihan khalifah belum lagi mempunyai ketentuan yang sudah pasti dalam Islam, juga menunjukkan bahwa - sejak pertama kali kedaulatan membentang luas - Muslimin ketika itu sudah memulai bersaing satu sama lain dan saling iri hati. Dalam hal inilah Umar berkata: "Saya sudah melihat sahabat-sahabat saya mempunyai ambisi yang buruk!" Adanya ambisi buruk inilah yang membuatnya ragu menunjuk seorang pengganti untuk menggantikan kedudukannya, seperti yang pernah dilakukan oleh Abu Bakr tatkala ia menunjuk penggantinya. Mengenai kata-katanya bahwa dia akan menunjuk Salim bekas budak Abu Huzaifah atau Abu Ubaidah bin Jarrah sekiranya salah seorang dari mereka masih hidup. Maksudnya dengan itu - menurut dugaan - ingin menjauhi situasi yang begitu genting kendati yang menghadapinya Umar, yang selama hidupnya dikenal sangat berterus terang, tegas dan pasti dalam segala hal.

Kisah tentang sebuah musyawarah

Sungguhpun begitu, ia tak dapat membiarkan hal itu dalam kekacauan tanpa ada ketentuan antara orang-orang awam dengan kalangan terkemuka tertentu, setelah ia melihat segala yang terjadi di Saqifah menyusul kematian Rasulullah. Keadaan sekarang lebih genting daripada keadaan waktu itu. Semua orang Arab sudah melibatkan diri dalam perang dengan Persia dan Rumawi, masing-masing kabilah sudah mendakwakan diri berhak masuk dalam pemilihan khalifah, seperti halnya dengan kaum Muhajirin dan Ansar, kalaupun memang belum ada kabilah yang mendakwakan diri berhak mencalonkan pemimpinnya menduduki jabatan khalifah. Dalam keadaan semacam ini Umar lebih banyak menyadari daripada yang lain, bahaya yang sedang mengancam Arab dan kedaulatan yang baru tumbuh itu. Oleh karena itu, tak lama setelah pertukaran pendapat itu, jabatan khalifah kemudian dimusyawarahkan di antara enam orang tokoh, yakni Usman bin Affan, Ali bin Abi Talib, Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, Abdur-Rahman bin Auf dan Sa'd bin Abi Waqqas. Mengenai pergantian mereka sebagai khalifah, yang terkenal sekali kata-kata Umar ini: "Saya tidak melihat ada orang yang lebih berhak menjadi khalifah daripada mereka; ketika akan wafat Rasulullah merasa sangat senang hati terhadap mereka; maka siapa pun di antara mereka yang terpilih, dialah yang menjadi khalifah sesudah saya." Sesudah nama-nama keenam orang itu disebutkan, ia melanjutkan: "Kalau pilihan jatuh pada Sa'd, maka dialah orangnya. Tetapi kalaupun tidak, siapa saja yang menjadi khalifah, berikanlah perhatian kepadanya. Saya memecatnya bukan karena ketidakmampuannya atau karena pengkhianatan."6

Orang sudah tahu apa yang telah dikerjakan Umar. Mereka senang dengan hasil pekerjaannya itu. Orang-orang yang diajak bermusyawarah soal pencalonan khalifah itu dipanggilnya lalu katanya: "Ali, demi Allah, sungguh sangat kuharapkan, jika Anda yang memegang pimpinan, hendaklah Anda mengajak Banu Hasyim ikut bertanggung jawab terhadap semua orang! Usman, demi Allah, sungguh sangat kuharapkan, jika Anda yang memegang pimpinan, hendaklah Anda mengajak Banu Abu Mua'it ikut bertanggung jawab terhadap semua orang! Sa'd, demi Allah, sungguh sangat kuharapkan, jika Anda yang memegang pimpinan, hendaklah Anda mengajak keluarga dekatmu ikut bertanggung jawab terhadap semua orang! Dan dia mengimbau yang lain juga seperti itu. Kemudian katanya: Pergilah kalian dan bermusyawarahlah, kemudian putuskanlah segala persoalan kalian, dan biarlah Suhaib mengimami salat jamaah.

Umar sangat mengharapkan sekiranya musyawarah mereka itu selesai dan berhasil memilih penggantinya sebelum ia menemui ajal, supaya sesudah itu ia dapat meninggalkan nasib Islam dan kedaulatan Islam dengan keadaan tenang. Oleh karenanya disuruhnya Abdullah anaknya ikut bermusyawarah bersama mereka, tanpa berhak mencampuri persoalan itu karena hubungan mereka dengan dia. Kata Abdullah bin Umar: Mereka kemudian pergi bermusyawarah. Usman memanggilku sekali atau dua kali supaya aku melibatkan diri dalam soal ini, tetapi aku menolak, mengingat apa yang dikatakan ayah mengenai masalah mereka itu. Kecuali demi kebenaran jarang sekali saya melihat dia menggerakkan bibirnya mengenai soal apa pun. Setelah Usman berulang kali mendesak, saya katakan kepadanya: Tidakkah Anda mengerti juga? Kalian sudah mau mengangkat seorang amir sementara Amirulmukminin masih hidup! Sungguh, seolah-olah saya membangunkan Umar dari tidurnya lalu berkata: 'Berilah waktu, kalau terjadi sesuatu terhadap diri saya, biarlah Suhaib mengimami salat kalian selama tiga malam ini. Setelah itu bersepakatlah kalian. Barang siapa di antara kalian ada yang mengangkat diri sebagai pemimpin tanpa kesepakatan kaum Muslimin, penggallah lehernya."'

Tatkala terjadi penikaman terhadap Umar Talhah bin Ubaidillah sedang tak ada di Medinah. Oleh karenanya, setelah ia meminta ditangguhkan ia berkata: "Tunggulah saudaramu itu selama tiga hari sampai dia datang; kalau tidak putuskanlah di antara kalian."

Umar seolah-olah khawatir mereka akan berselisih setelah ia wafat, dan perselisihan mereka akan menjurus pada pemberontakan. Kelompok Banu Hasyim akan membela Ali, golongan Abu Mua'it akan membela Usman dan golongan militer akan membela Zubair, Talhah atau Sa'd, dan mereka semua panglima-panglima terkemuka. Untuk itu ia memanggil kaum Ansar, dan katanya kepada mereka: "Masukkanlah mereka ke dalam sebuah rumah selama tiga hari. Biarlah mereka bersikap yang sebenarnya, kalau tidak masuklah kalian dan penggal kepala mereka." Kemudian ia memanggil Abu Talhah al-Ansari, orang yang terbilang pemberani yang tak banyak jumlahnya, dan katanya kepadanya: "Berjaga-jagalah di pintu dan jangan biarkan siapa pun masuk." Sumber lain menyebutkan ia berkata: "Abu Talhah, bergabunglah Anda dengan lima puluh orang Ansar rekan-rekan Anda dan bersama beberapa orang anggota Majelis Syura. Saya rasa mereka akan bertemu di rumah salah seorang dari mereka. Berjaga-jagalah di pintu bersama teman-temanmu itu. Jangan biarkan dari mereka ada yang masuk, juga mereka jangan dibiarkan berlarut-larut sampai tiga hari belum ada yang terpilih. Andalah yang menjadi wakil saya pada mereka!"

Coba bayangkan, andaikata Umar menunjuk salah seorang dari yang enam orang tersebut, mungkinkah kaum Muslimin menyetujui pilihannya itu seperti ketika menyetujui pilihan Abu Bakr terhadap Umar? Kalau memang dengan cara itu Umar yakin, niscaya ia tidak akan ragu melakukannya.7 Tetapi di depannya sudah terlihat tanda-tanda yang membuatnya tidak yakin. Dengan demikian itu ia berkata kepada mereka: "Barang siapa di antara kalian ada yang mengangkat diri selaku kepala pemerintahan tanpa musyawarah dengan kaum Muslimin, penggallah lehernya." Orang setuju dengan kekhalifahan Usman sampai beberapa tahun sesudah Umar. Tetapi sesudah berlangsung lama mereka mulai kesal kepadanya, mereka memberontak dan kemudian membunuhnya. Sesudah dia terbunuh terjadilah perang saudara di antara kaum Muslimin, yang berkesinambungan sampai bertahun-tahun. Kejadian ini membuktikan bahwa kekhawatiran Umar akan timbulnya perselisihan antargolongan itu tidaklah berlebihan. Dia benar-benar menyadari apa yang bergejolak dalam hati mereka, dengan perkiraan, bahwa fanatisme kesukuan yang sudah tak ada lagi, sejak Rasulullah menaungi jazirah Arab dengan panjinya, ada tanda-tanda akan timbul lagi. Dengan meluasnya wilayah adakalanya memberi peluang menyebar dan berkobarnya api kesukuan. Karenanya, untuk mengatasi masalah penggantian khalifah itu ia berusaha supaya dilakukan dengan jalan syura di antara keenam tokoh itu. Cara ini adalah yang terbaik dalam menghadapi situasi waktu itu. dan ternyata berhasil, yang berjalan sampai selama sepuluh tahun sepeninggalnya. Tetapi beberapa motivasi yang memang dikhawatirkan oleh Umar tak pernah berhenti menggerakkan nafsu yang berakar dalam jiwa mereka. Nafsu jahat ini yang memang lebih banyak mempengaruhi akal sehat, yang akhirnya menjurus pada apa yang terjadi dalam sejarah umat Islam setelah dua puluh lima tahun Rasulullah $allallahu 'alaihi wa sallam wafat.

Umar memikirkan nasib Muslimin yang sesudahnya

Umar tidak cukup hanya menyerahkan majelis syura itu ke tangan keenam tokoh itu - yang ketika Rasulullah wafat merasa sangat puas terhadap mereka - bahkan ia ingin sekali berpesan kepada khalifah sesudahnya, yang menurut pendapatnya akan merupakan kebijakan yang lebih baik, negara akan lebih tenteram dan dengan itu Islam akan lebih terhormat. Antara lain dalam pesannya itu ia mengatakan: "Pesan saya kepada khalifah yang akan datang bertakwalah kepada Allah, menjaga kaum Muhajirin yang mula-mula, menjaga hak-hak mereka dan menghormati mereka. Saya berwasiat agar memperhatikan segenap penduduk daerah-daerah perbatasan, sebab mereka itulah perisai Islam dan momok bagi lawan. Para pemungut pajak hendaknya memberlakukan hanya atas kelebihannya dan dengan kerelaan pihak yang bersangkutan. Mengenai kaum Ansar yang telah bertempat tinggal (di Medinah) dan sudah beriman, saya mewasiatkan agar segala amal kebaikan mereka diterima baik dan segala kekurangan mereka dimaafkan. Mengenai orang-orang Arab pedalaman saya pesankan agar mereka diperhatikan. Mereka itulah asal usul orang Arab dan menjadi bahan baku Islam. Ambillah dari yang berkelebihan dari mereka dan berikanlah kepada kaum fakir miskin di kalangan mereka. Mengenai mereka yang berada dalam perlindungan Allah dan Rasul-Nya (kaum zimmi) saya berpesan agar segala janji dengan mereka dipenuhi dan janganlah mereka dipaksa di luar kemampuan mereka, dan agar memerangi siapa pun yang bersembunyi di belakang mereka." Wasiat ini masih ditambah lagi oleh beberapa sejarawan dengan mengatakan: "Ya Allah, sudahkah kusampaikan?! Kutinggalkan khalifah yang sesudahku dengan hati lega."

Selama terkena tikam itu Umar selalu memikirkan nasib umat Islam. Sepeninggalnya nanti ia ingin sekali bibit-bibit pendapatnya mengenai hasil ijtihadnya itu jangan disia-siakan, mana-mana yang belum meyakinkan dan belum ada kepastian kebenarannya. Di bagian lain di atas sudah saya uraikan kata-katanya mengenai kalalah serta percakapannya dengan Rasulullah dan jawaban Rasulullah kepadanya: "Buat Anda cukuplah ayat pada akhir surah an-Nisa' itu," yakni firman Allah: "Mereka meminta fatwa kepadamu, katakanlah: "Allah akan memberi fatwa kepada kamu mengenai kalalah. Maka jika seorang laki-laki meninggal tiada meninggalkan anak dan mempunyai saudara perempuan, maka baginya separuh dari peninggalannya; jika (yang meninggal) perempuan tidak meninggalkan anak, maka saudaranya laki-laki yang mewarisi. Jika ada dua orang saudara perempuan, maka keduanya akan mewarisi dua pertiga peninggalannya. Jika ada saudara laki-laki dan saudara perempuan, maka laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan. Demikian Allah menjelaskan kepada kamu, supaya kamu tidak sesat. Allah Mahatahu segala sesuatunya." (Qur'an, 4: 176). Dan kata-kata Umar dalam khutbahnya yang terakhir sudah kita kutip: "Kalau saya masih akan hidup saya akan melaksanakan itu seperti yang ditentukan bagi siapa pun yang membaca dan tidak membaca Qur 'an."

Dia sudah menuliskan pendapat hasil ijtihadnya mengenai kewajiban terhadap pihak kakek di atas tulang bahu binatang pada sore hari ketika ia terkena tikam. Setelah diketahuinya bahwa bekas tikaman itu mematikan ia berkata kepada Abdullah anaknya: "Bawa ke mari tulang yang sudah saya tulis kemarin mengenai soal kakek itu." Maksudnya akan menghapus apa yang sudah ditulisnya itu supaya jangan diprotes orang sesudah dia tak ada. Abdullah berkata: Amirulmukminin, cukup kamilah untuk menyelesaikan soal ini. Bagi Abdullah rupanya tidak mudah untuk menghapus dan membiarkan ayahnya yang sedang menghadapi luka-lukanya. Tetapi Umar menolak dan katanya: Tidak! Ia tidak puas sebelum tulang itu dibawa dan menghapus tulisan itu dengan tangannya sendiri.

Kita masih ingat ketika memulai pemerintahannya Umar memerintahkan supaya tawanan Perang Riddah dibebaskan dan dikembalikan kepada keluarga-keluarga mereka, dengan mengatakan kepada mereka: "Aku tidak ingin melihat adanya tawanan perang menjadi kebiasaan di kalangan Arab." Hal ini membawa pengaruh yang besar sekali terhadap meluasnya kemenangan. Semua kaum Riddah itu di Semenanjung Arab. Mereka itu dari suku-suku dan kabilah-kabilah Arab yang dulu berimigrasi ke Syam dan ke Irak, dan ada pula yang jatuh ke tangan pasukan Muslimin sebagai tawanan selama perang yang terus-menerus. Setelah Umar melihat bahwa ajalnya sudah pasti sampai, ia ingin melihat persatuan yang lebih kuat dan lebih dapat dibanggakan. Ia berkata sementara ia masih di tempat tidur: "Kalau ada tawanan orang Arab yang masih hidup waktu aku meninggal, maka bebaslah dia." Kata-kata ini bukanlah ijtihad dari dia yang menyalahi pendapatnya yang lama, melainkan sebaliknya merupakan penerapan yang persis sekali dengan kata-katanya: "Aku tidak ingin melihat adanya tawanan perang menjadi kebiasaan di kalangan Arab." Barangkali dia khawatir penggantinya tidak akan menerapkan hasil ijtihadnya saat ia tampil sebagai pengganti. Dia tidak ingin melepaskan dunia ini sebelum terlaksana apa yang sudah dimulainya itu, dan sebelum semua orang Arab bebas.

Keinginannya menyelesaikan utang

Dengan demikian, yang menjadi pikiran Umar nasib umat Islam sepeninggalnya nanti, ijtihadnya, kemudian utangnya. Ia tak ingin meninggalkan dunia ini sebelum semua itu dijamin penyelesaiannya. Dia pernah meminjam uang delapan puluh enam ribu dirham dari baitulmal. Abdullah anaknya dipanggilnya, dan setelah hal itu dikemukakan, ia berkata: "Juallah semua harta Umar. Kalau belum dapat menutupi mintalah kepada Banu Adi, kalau belum juga mencukupi mintalah kepada Kuraisy; jangan lewatkan mereka." Abdur-Rahman bin Auf sudah mengetahui, begitu juga Muslimin yang lain, bahwa Umar tidak akan meminjam uang itu kalau tidak karena waktunya memang sudah tersita untuk kepentingan umat. Itu sebabnya ia berkata kepadanya: Untuk apa dikembalikan uang yang Anda pinjam dari baitulmal? Dijawab oleh Umar: "Semoga Allah menjauhkan Anda dan sahabat-sahabat Anda untuk berkata begini sesudah saya tak ada: 'Kami sudah melepaskan bagian kami untuk Umar." Lalu dengan itu kalian mau memuliakan saya tetapi menimpakan akibatnya kepada saya, dan saya akan terjerumus ke dalam soal yang tidak akan dapat menyelamatkan saya kecuali jika ada jalan keluar dari situ!" Kemudian katanya kepada Abdullah bin Umar: Berikanlah jaminannya. Lalu Abdullah menjamin. Begitu Umar dimakamkan, anaknya itu mempersaksikan diri di hadapan majelis syura dan beberapa orang dari Ansar. Begitu berlalu hari Jumat Abdullah bin Umar sudah membawa uang kepada Usman bin Affan atas pelunasan itu dengan mendatangkan saksi-saksi waktu penyerahannya.

Dalam satu sumber disebutkan bahwa Umar mewasiatkan seperempat hartanya untuk Ummulmukminin Hafsah, putrinya. Kalau dia juga sudah meninggal maka untuk yang tua-tua dari keluarga Umar.

Ingin dimakamkan di samping makam Rasulullah dan Abu Bakr

Selesai Umar dari perhitungan di dunia, ia mengarahkan pikirannya pada yang menjadi harapannya sesudah mati. Keinginannya yang besar sekali agar ia dimakamkan di samping kedua sahabatnya, Rasulullah dan Abu Bakr, di rumah Aisyah. Sebelum itu ia memang sudah meminta izin dari Aisyah dan sudah diizinkan. Menjelang kematiannya itu ia berkata: Kalau saya mati, mintakanlah izin kepadanya, kalau tidak diizinkan biarlah, sebab saya khawatir dia mengizinkan hanya karena kedudukan saya." Sebuah sumber menyebutkan, bahwa setelah ditikam itu Umar berpesan kepada anaknya: "Abdullah, pergilah kepada Aisyah Ummulmukminin dan katakan kepadanya: Umar berkirim salam, dan janganlah katakan Amirulmukminin; sekarang saya sudah bukan lagi amir atas mereka. Ia (Abdullah) bertanya: Dapat Ummulmukminin mengizinkan ia dimakamkan di samping kedua sahabatnya itu?" Abdullah bin Umar datang mengunjunginya dan dilihatnya ia sedang duduk menangis. Abdullah memberi salam dan berkata: Umar bin Khattab meminta izin untuk dikuburkan di samping kedua sahabatnya itu. Aisyah menjawab: "Sebenarnya saya menginginkannya untuk saya sendiri. Tetapi hari ini saya lebih mengutamakannya daripada saya sendiri!" Setelah Abdullah kembali dan menyampaikan kepada Umar bahwa Aisyah mengizinkan ia berkata: "Tak ada yang lebih penting bagiku selain dari tempat berbaring itu. Abdullah bin Umar, perhatikanlah, kalau saya mati bawalah saya ke tempat tidurku, dan berdirilah di pintu, katakanlah: Umar bin Khattab meminta izin, jika diizinkan, masukkanlah aku, kalau tidak diizinkan kuburkanlah aku di pekuburan Muslimin."

Betapa takutnya ia akan perhitungan dengan Tuhannya

Setelah itu Umar mengadakan perhitungan dengan hati nuraninya sendiri mengenai segala yang sudah dikerjakannya itu. Tak lama lagi ia sudah akan menghadapi suasana yang paling pelik dan sulit, yaitu keberadaannya di hadapan Tuhannya, Yang akan menanyainya apa yang telah dikerjakan dan apa yang diabaikannya, apa yang diniatkan dan apa yang diperbuat, apa yang tersimpan di hati dan apa yang diungkapkan. Nasib apakah kiranya yang sudah dipersiapkan Tuhan untuk dirinya? Adakah segala amal kebaikannya itu akan menghilangkan kesalahan­kesalahannya? Atau kesalahannya yang akan mengalahkan kebaikannya dan Allah akan memberikan balasan sepenuhnya? Itulah yang sangat ditakutinya. Salah seorang pengunjungnya berkata kepadanya: Sungguh saya mengharapkan sekali mudah-mudahan api neraka tidak akan pernah menyentuh kulitmu! Orang itu ditatapnya, dengan air mata yang sudah berlinangan, sehingga orang-orang di sekitarnya merasa iba melihatnya. Kemudian katanya kepada orang itu: "Perbuatan Anda dalam hal itu sedikit sekali. Kalaupun semua yang di muka bumi ini milik saya niscaya saya gunakan sebagai tebusan, mengingat hebatnya suasana hari kiamat!" Dalam sebuah sumber disebutkan bahwa ketika ia mengucapkan kata-kata yang terakhir itu Abdullah bin Abbas hadir, yang kemudian berkata kepadanya: Sungguh saya tidak mengharapkan Anda akan melihatnya melebihi apa yang difirmankan Allah: Tidak seorang pun di antara kamu yang tidak akan melaluinya. Yang kami ketahui Anda pemimpin orang-orang beriman, kepercayaan orang-orang beriman dan pemuka orang-orang beriman. Anda menjalankan hukum berdasarkan Kitabullah dan melaksanakan pembagian sama rata. Kata-kata ini menarik perhatian Umar. Ia bangun terduduk dan katanya: "Ibn Abbas, maukah dalam hal ini Anda menjadi saksi saya?" Ibn Abbas diam. Umar menepuk bahunya seraya katanya lagi: "Saksikanlah saya dengan itu, Ibn Abbas!" Ibn Abbas menjawab: "Ya, saya menjadi saksi."

Sebenarnya apa yang dikutip mengenai kekhawatiran Umar akan dahsyatnya hari kiamat itu membuktikan keteguhan imannya, keyakinannya yang begitu kuat serta rasa takutnya kepada Allah yang sungguh-sungguh. Itulah persiapan bagi orang yang tujuannya benar-benar hanya demi Allah semata dalam segala amal perbuatannya. Waktu terkena tikaman dan orang ramai berdatangan, mereka memujinya dan memanggil-manggilnya dengan Amirulmukminin, ia berkata: "Apakah kalian membekali saya dengan kedudukan saya sebagai amir!? Saya sudah mendampingi Rasulullah, dan Rasulullah wafat dalam keadaan senang hati kepada saya. Kemudian saya mendampingi Abu Bakr, saya setia dan patuh kepadanya; sampai Abu Bakr wafat saya tetap setia dan patuh. Dan yang sekarang saya khawatirkan hanya kepemimpinan kalian ini." Dia menahan rasa sakitnya, dan agar rasa sakit itu terlupakan mereka yang hadir berusaha memujinya. Tetapi dia berkata: "Orang yang teperdaya oleh umurnya ia menipu diri sendiri. Demi Allah! Ah, coba aku keluar dari semua ini seperti ketika memasukinya, tidak berutang dan tidak berpiutang!" Sebuah sumber menyebutkan bahwa Ibn Abbas berkata: Saya yang pertama mendatangi Umar bin Khattab ketika ia ditikam dan kata saya kepadanya: "Bergembiralah dengan surga! Anda sudah mendampingi Rasulullah dan mendampinginya cukup lama. Anda menjabat Amirulmukminin dan sudah Anda perkuat, Anda telah menunaikan amanat." Ketika itu Umar berkata: "Bahwa Anda sudah membawa berita gembira kepada saya dengan surga, maka hanya Allah, yang tiada tuhan selain Dia. Sekiranya dunia ini dan segala isinya milik saya niscaya dengan itulah akan saya tebus, mengingat betapa dahsyat yang di depan saya sebelum saya mendapat berita. Adapun yang Anda sebutkan saya telah mendampingi Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam memang demikian." Makin banyak orang memujinya ia merasa makin khawatir. Disebutkan bahwa ia merentangkan tangannya dan mengambil sebatang jerami di tanah ke sisi tempat tidurnya lalu diangkatnya ke depan matanya seraya berkata: Ah, sekiranya aku sebatang jerami ini! Coba aku tidak dilahirkan! Coba ibuku tidak melahirkan aku! Coba aku bukan apa-apa! Ah, sekiranya aku terlupakan samasekali!

Semua ini membuktikan keimanannya yang sungguh-sungguh, dan perasaan orang besar ini menunjukkan keagungannya selama memikul tanggung jawab dalam kepemimpinannya sebagai Amirulmukminin. Kemenangan yang dicapainya selama masanya itu tidak sampai memperdayanya, - kemenangannya terhadap Persia dan Rumawi tidak membuatnya pongah; ia tidak merasa bangga karena pembicaraan dan pujian orang kepadanya. Malah ia khawatir kalau-kalau pernah ia berbuat zalim terhadap kaum lemah, dan rintihan orang lemah ini akan sampai ke langit dan Allah akan mengukurnya dengan semua amal kebaikan Umar!

Kekhawatiran inilah yang membuatnya melihat kepada putrinya Hafsah Ummulmukminin, yang ketika masuk menjenguknya sambil menangis dan meratap ia berkata: Oh, sahabat Rasulullah, mertua Rasulullah, Amirulmukminin! Tetapi Umar berkata: "Dengan hak yang ada pada saya atas engkau saya ingin melarangmu meratapi saya lagi, sesudah sekali ini. Tetapi matamu bukanlah milik saya. Tidak baik meratapi mayat yang hanya akan membawa kebencian para malaikat." Umar memang melarang keluarganya menangisinya. Larangan Umar terhadap orang yang menangis dan meratap sangat keras. Tatkala melihat susu yang keluar dari bekas lukanya pernah Suhaib berkata: "Oh Umar! Oh saudaraku! Siapa yang akan bersama kami sesudah Anda!?" Oleh Umar ia ditegur: Sudah, sudahlah, saudaraku! Tidakkah Anda merasakan bahwa orang yang ditangisi itu akan diazab?!

Juga Umar khawatir sesudah ia meninggal akan dikafani dan dikuburkan secara berlebihan oleh keluarganya. Maka ia berpesan jangan dimandikan dengan muskus atau membawa muskus ke dekatnya, seperti yang biasa dilakukan oleh orang Arab yang berkedudukan. Kepada anaknya ia berkata: "Sederhanakanlah kafanku, sebab jika menurut pandangan Allah ada perbuatanku yang baik, Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik, meskipun tidak semestinya aku akan begitu. Lepaskanlah pakaianku dan percepat, sederhanakan liang lahadku, dan jangan ada perempuan yang ikut mengantarkan. Janganlah memuji-mujiku yang bukan mestinya, sebab Allah sudah lebih tahu tentang aku. Kalau membawaku, percepatlah langkah kalian. Kalau ada perbuatanku yang baik dalam pandangan Allah kalianlah yang telah mengantarkan saya pada yang lebih baik itu buat saya, meskipun tidak semestinya saya akan begitu. Dan kalau sebaliknya yang ada padaku, kalian telah membuang segala bencana yang kalian pikul di bahu kalian itu."

Abdullah bin Umar mendengarkan wasiat itu. Ia duduk di lapik ayahnya dan kepala ayahnya diletakkan di pangkuannya. Setelah merasakan pasti akan menemui Tuhannya, ia berkata kepada anaknya: "Baringkan aku di tanah." Abdullah menjawab: "Ayah, paha saya sama dengan tanah!" Umar berkata lagi: "Baringkanlah aku di tanah!" Sesudah ia dibaringkan di tanah oleh anaknya, ia menyilangkan kedua kakinya seraya berkata: "Celakalah aku! Celaka ibuku kalau Allah tidak mengampuniku!" Kata-kata itu diulang-ulangnya sampai roh lepas dari jasad.8

Harapannya yang utama ia ingin kembali ke hadapan Tuhan dengan melepaskan dunia ini dalam keadaannya yang sekadar cukup hidup, tidak berutang dan tidak berpiutang. Ketika itu orang sedang berada di Masjid mempercakapkan terjadinya pembunuhan itu. Di antara yang mereka khawatirkan, setelah itu apa yang akan terjadi terhadap mereka dan terhadap negara yang baru tumbuh ini. Mereka beralasan sekali jika sampai timbul kekhawatiran demikian. Sesudah dia, siapa orang yang akan mampu mengemban beban tanggung jawab yang begitu besar seperti yang telah dipikul oleh Umar! Siapa yang bersedia melupakan dirinya dan keluarganya, dan semata-mata mengabdi kepada Allah dan mencurahkan tenaga dan perhatiannya demi kepentingan umat Muslimin serta demi keadilan! Ia memulai pemerintahannya hanya Semenanjung yang ada di tangannya, tetapi dia meninggal Kedaulatan Islam sudah meliputi Persia, Irak, Syam dan Mesir. Kendati begitu, dia sendiri tidak berubah: Hidup serba kekurangan, sangat sederhana dan disiplin yang begitu keras terhadap dirinya. Kekuasaan yang ada di tangannya tidak membuat ia berubah dari kebiasaan hidupnya, dan sudah diketahui semua orang, ia menyamakan dirinya dengan kaum Muslimin yang lain. Itu sebabnya, orang merasa terpukul dan begitu sedih atas kematiannya itu.

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team