Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

22. Pemerintahan Umar (1/4)

Sistem pemerintahan dan perkembangannya di negeri Arab - 635; Perbedaan kebijakan Abu Bakr dengan Umar - 637; Umar menggalang persatuan akidah di Semenanjung - 640; Dimulainya tahun Hijri oleh Umar - 642; Kepribadian Umar dan perkembangan yang cepat di Semenanjung - 643; Medinah menjadi ibu kota dan musyawarah menjadi dasar hukum - 644; Bentuk musyawarah - 646; Sikap Umar terhadap Banu Hasyim dan pemuka-pemuka Kuraisy - 647; Umar bertahan di Masjid Medinah untuk mengikuti keadaan rakyatnya - 651; Ketatnya kepada diri sendiri dan baktinya kepada rakyatnya - 653; Keadilan Umar dan begitu keras terhadap keluarga sendiri - 658; Pengangkatan para hakim dan pendapatnya tentang hukum - 659; Kebijakan Umar terhadap para pejabatnya - 664; Pembentukan administrasi negara dan pendistribusian - 667; Pengangkatan para hakim - 667; Pembagian: Rampasan perang dan zakat- 671; Pembentukan lembaga keuangan dan pemberian tunjangan - 672; Perkembangan peradaban dari budaya Arab pedalaman ke budaya perkotaan - 682

Sistem pemerintahan dan perkembangannya di negeri Arab

Seperti sudah kita lihat, masa pemerintahan Umar adalah masa perang dan penaklukan, dengan kemenangan yang selalu berada di pihak Muslimin. Kedaulatan mereka itu meluas sampai mendekati Afganistan dan Cina di sebelah timur, Anatolia dan Laut Kaspia di utara, Tunis dan sekitarnya di Afrika Utara di bagian barat dan kawasan Nubia di selatan. Di samping itu, mengadakan perluasan sampai daerah­daerah itu di luar keinginan Umar atau Abu Bakr pendahulunya. Politik Umar ialah hendak menggabungkan semua ras Arab ke dalam satu kesatuan yang membentang dari Teluk Aden di selatan sampai ke ujung utara di pedalaman Samawah - Irak dan Syam termasuk ke dalam kesatuan itu - karena kekuasaan di sana berada di tangan Arab Banu Lakhm dan Banu Gassan. Tetapi sesudah semua itu selesai, ia ingin hanya sampai di perbatasan itu, jangan melampaui. Angan-angannya, sekiranya antara dia dengan Persia dibatasi oleh sebuah gunung dari api, masing-masing tidak saling berbaur, dan antara dia dengan Rumawi dibatasi oleh sebuah bendungan yang akan merintangi mereka kembali ke tanah yang sudah dibebaskan itu. Tetapi beberapa peristiwa sering lebih kuat dari manusia, dan peristiwa-peristiwa itulah yang telah mendorong Muslimin meneruskan langkah pembebasan itu dan sudah sampai sejauh daerah-daerah yang kita lihat.

Penaklukan ini telah membuat dunia ketika itu bingung, begitu juga para sejarawan yang telah merinci semua peristiwa dan berusaha menyelidiki sebab-sebabnya. Segala penyebab yang berhubungan dengan kejiwaan prajurit-prajurit Muslimin dan dengan kejiwaan lawan mereka - Rumawi dan Persia - di atas sudah saya singgung. Di samping itu, ada faktor lain yang memberi dampak besar maka penaklukan itu berlanjut, yaitu sistem pemerintahan di Semenanjung Arab. Selama dua puluh tahun sesudah Rasul hijrah sistem ini telah mengalami perkembangan yang memungkinkan orang-orang Arab menghadapi peristiwa­peristiwa sejarah yang luar biasa dengan tenang dan pasti, yang membuat mereka makin percaya diri, merasa lebih kuat, dengan keyakinan bahwa mereka mengemban sebuah misi yang harus disampaikan kepada dunia, dan dunia pun harus mendengarkan. Oleh karena itu tak ada kekuasaan yang dapat merintanginya, tak ada kekuatan yang mampu menghadangnya dalam meneruskan misinya itu.

Sistem pemerintahan ini bukanlah sebuah hasil pemikiran rasional, juga bukan karena salah satu karya para ahli hukum dan para anggota dewan pembuat undang-undang yang mengadakan pertemuan dan membahasnya lalu berakhir dengan dituangkannya ke dalam suatu keputusan, kemudian Rasulullah atau para penggantinya memerintahkan agar dilaksanakan. Tidak! Pemerintahan yang baru tumbuh ini berkembang begitu cepat, pertumbuhan dari mulai bayi, menjadi masa anak-anak sampai masa muda remaja. Oleh karenanya, mau tak mau siapa pun yang memegang kekuasaan akan melihat keadaan itu sejalan dengan kondisi pertumbuhannya, dan perhatiannya pertama-tama akan diarahkan pada segalanya untuk mengatur pusat kekuatan yang mendorong lahirnya kondisi dan pertumbuhan itu, dan akan bekerja untuk mempererat segala ikatan antarsemua komponen pemerintahan serta menggalang adanya kerja sama yang serasi. Kekuatan pendorong yang memancar dari negeri-negeri Arab ini sebelum lahirnya penyatuan itu, atau lahirnya sebuah sistem yang mantap, kemudian menyebar kepada bangsa­bangsa lain. Sebelum dikenal bangsa ini, sistem kesatuan yang stabil sudah lebih dulu dikenal oleh negara-negara tetangga. Sistem pemerintahan Persia sudah digelar di Irak, dan sistem pemerintahan Bizantium sudah pula berjalan di Syam. Tak pernah terlintas dalam pikiran orang Medinah hendak meniru salah satu sistem itu, dan tak ada pula yang berusaha hendak menggariskan di atas kertas sebuah sistem pemerintahan yang sepenuhnya model Arab, atau sepenuhnya Islam, yang akan diterapkan dalam kedaulatan negeri-negeri di dekatnya atau yang jauh. Jika ada di antara mereka yang sempat berpikir ke arah seperti ini, niscaya selama bertahun-tahun mereka hanya akan membuat corat­ coret lalu menghapusnya kembali kemudian mencatatnya lagi sebelum dapat disesuaikan dengan sistem ini - suatu kesatuan yang berlaku di semua kawasan yang beraneka ragam itu. Dalam masa pembebasan yang begitu luas dengan langkah yang begitu cepat, sudah tentu tak akan ada lagi kesempatan untuk mengerjakan semua itu, dan tak akan mampu. Masa pembebasan, sesuai dengan sifatnya, merupakan masa kerja keras yang dibawa oleh berbagai peristiwa waktu itu. Kalau pembebasan itu berlangsung begitu cepat seperti yang terjadi di masa­masa Abu Bakr dan Umar, sistem itu seharusnya akan berjalan menurut bawaan kekuasaan yang biasa berlaku, tidak lagi pada logikanya, dan dalam perkembangannya kekuasaan itu akan sejalan dengan pola pembebasan, yang tidak akan mendahului dan tidak pula tertinggal.

Perbedaan kebijakan Abu Bakr dengan Umar

Itulah semua yang sudah terjadi. Negeri-negeri Arab itu bergabung semua ke dalam panji Islam, setelah pembebasan Mekah dan Ta'if. Utusan-utusan berturut-turut berdatangan dari segenap penjuru Semenanjung Arab ke Medinah menyatakan diri di hadapan Rasulullah, mereka menerima Islam, dan Rasulullah pun mengirimkan wakil-wakilnya ke pelbagai kawasan: itu untuk mengajarkan seluk-beluk agama kepada mereka serta memungut sedekah dari mereka, dengan membiarkan kekuasaan di negeri-negeri mereka tetap di tangan pemimpin-pemimpin mereka sendiri, yang sudah menerima Islam seperti sebelum itu. Mereka meneruskan kebiasaan mereka yang sudah turun-temurun, setelah diadakan perubahan sesuai dengan ajaran Islam. Setelah Rasulullah berpulang ke rahmatullah dan penduduk Medinah mengangkat Abu Bakr sebagai Khalifah, ia mengirimkan wakil-wakilnya untuk memungut zakat seperti yang berlaku di masa Nabi. Hal ini tidak diterima baik oleh orang-orang Arab itu dan merasa tidak senang, sebab menurut anggapan mereka, ini berarti mengurangi kemerdekaan politik dan kebebasan mereka sebagai warga. Mereka bersikeras menolak. Itulah yang menyebabkan timbulnya 'Perang Riddah' yang berakhir dengan kemenangan Abu Bakr dan stabilnya kekuasaan di Medinah. Kemenangan inilah yang telah melapangkan jalan sampai terwujudnya persatuan politik di negeri-negeri Arab. Sesudah Umar memegang pimpinan menggantikan Abu Bakr, perhatiannya dicurahkan untuk mengatur persatuan itu demikian rupa sehingga tidak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa dalam revolusi rohani yang agung itu dialah mahkotanya, dan dalam sendi-sendi pemerintahan yang kuat di dunia dialah penegaknya.

Pada masa itulah Islam mulai tersebar dan menjadi stabil. Orang yang mengatur ketentuan itu serta ajaran-ajarannya telah mewakili sistem yang bertalian dengan pribadi orang itu, dengan sikap dan langkahnya dan segala peraturan yang dibuatnya. Sikap dan langkah Rasulullah sudah merupakan ketentuan jiwa Islam dan menjadi titik tolak yang akan mencerminkan peradaban masyarakat Islam. Pencerminan ini berkembang sejalan dengan waktu, terpengaruh oleh keadaan lingkungan, namun tetap berpegang pada batas-batas yang sudah di tentukan oleh Qur'an untuk kehidupan rohani dan peradaban. Kalaupun sistem politik di Semenanjung itu tetap berjalan, yang pada masa Rasulullah tidak berubah seperti sebelum itu, kehidupan peradabannya terbawa oleh perintah dan larangan Qur'an dengan pengaruhnya yang begitu dalam terhadap apa yang terjadi kemudian. Sesudah berhasil menumpas kaum murtad dan membuka era baru mempersatukan politik di negeri-negeri Arab, wajarlah bila Abu Bakr kemudian mengaturnya dan meletakkan dasar-dasarnya. Tetapi ketika langkahnya merintis pembebasan dan kedaulatan di Irak dan di Syam sudah dimulai, Perang Riddah belum lagi berakhir. Dalam menekuni organisasi yang akan disesuaikan dengan pola yang baru ini di negeri-negeri yang masih dilanda pergolakan di beberapa tempat, dan keadaan persatuan yang stabil belum lagi memuaskan benar, sudah tentu di luar kemampuan Khalifah pertama itu untuk menghadapi Persia dan Rumawi.

Sungguhpun begitu, persatuan dan kesatuan politik di negeri-negeri Arab sejak itu berangsur-angsur mulai teratur. Tidak heran, bila di negeri-negeri tetangga berlaku peraturan-peraturan yang sama, perbedaan-perbedaan dalam kehidupan kota di antara mereka pun akan hilang dan segala rintangan sudah tak akan ada lagi. Demikian juga apabila cita-cita yang luhur dan tujuan bersama kelompok-kelompok bangsa bertetangga itu sudah tercapai, penggabungan mereka lambat laun juga akan menjadi soal biasa. Sejak menjadi suatu masyarakat Muslim persatuan orang-orang Arab itu dalam akidah, kebiasaan dan hubungan sosial terbentuk. Adanya larangan riba, minum minuman keras, makan bangkai, darah, daging babi dan segala yang disembelih tidak dengan nama Allah, pembatasan dalam poligami, larangan mengubur anak perempuan hidup-hidup, pengaturan hubungan sosial serta penertiban waris, semua itu membuat mereka dalam arti hidup perkotaan menjadi harmonis, hal yang tak pernah mereka rasakan sebelum itu. Ditambah lagi dengan adanya persatuan akidah dan ibadah di antara mereka, di samping persatuan ras dan bahasa, membuat mereka makin kuat. Sesudah kaum Riddah berhasil ditumpas dan kaum Muslimin bertolak ke Irak dan Syam, dan berita-berita kemenangan yang mereka capai serta kesiapan mereka menghadap Persia dan Rumawi bersipongan di udara, keikutsertaan mereka dalam perang dan kemenangan yang mereka peroleh membuat persatuan Arab itu bertambah kuat. Sekarang mereka merasakan perlunya saling bantu dan bersatu agar kemenangan tetap berada di pihak mereka karena mereka pula yang akan memetik buahnya.

Oleh karena itu kita lihat mereka yang oleh Abu Bakr dilarang ikut serta dalam perang Irak dan Syam - karena keterlibatan mereka dalam Perang Riddah - dari berbagai kabilah dan daerah itu mereka ingin sekali ikut berperang, berjuang di jalan Allah. Mereka mengharap akan mendapat bagian rampasan perang seperti yang diperoleh mereka yang tetap bertahan dalam Islam dan sejak semula sudah ikut dalam berbagai perjuangan. Kalau di samping itu semua ditambah lagi dengan kedatangan Islam yang telah membimbing mereka, mengantarkan mereka kepada suatu cita-cita luhur yang telah menerangi jalan mereka, memperlihatkan kepada keagungan dan keindahan iman dan membuat mereka mencintai mati syahid di jalan Allah, mengertilah kita bagaimana persatuan di Semenanjung itu makin hari makin bertambah harmonis dan kukuh serta bagaimana pula hal itu mengarah menjadi suatu kesatuan politik yang integral, dan berangsur-angsur menuju kepada kematangannya.

Sudah tentu para penanggung jawab masalah Islam di Semenanjung itu adalah poros dan sendi persatuan itu dengan kekuatan kepribadian mereka masing-masing, ajaran-ajaran dan teladan yang mereka berikan. Nabi yang orang Arab dengan risalah Islam yang dibawanya itu adalah sumber dan inti persatuan itu, dan Khalifahnya yang pertama dialah yang telah menumpas segala anasir yang mencoba mengadakan perlawanan. Begitu juga tatkala tanggung jawab berpindah ke tangan Umar, persatuan di Semenanjung itu sudah mulai tampak dari celah-celah tabir. Sekarang tak ada jalan lain haruslah diselesaikan, selama usahanya untuk memperkuat dasar-dasar itu tidak akan memperlemah orang yang harus memikul beban tanggung jawab yang dipikulkan di pundaknya itu.

Tetapi Umar bin Khattab bukan orangnya untuk menjadi lemah. Ia mempunyai kepribadian yang kuat sekali, seperti yang sudah kita lihat dalam buku ini. Banyak sekali penampilannya yang sudah begitu jelas, serta pengaruhnya yang dapat kita raba, sebelum dan sesudah Islam. Hal ini tampak lebih jelas lagi sesudah kaum Muslimin hijrah ke Medinah, Umar sebagai pendamping (wazir) Rasulullah, seperti juga Abu Bakr. Dalam beberapa hal Umar berbeda pendapat dengan Rasulullah, yang beberapa pendapatnya kemudian dibenarkan oleh Qur'an, seperti halnya dengan masalah tawanan Perang Badr. Di samping itu, keteguhan imannya kepada Allah dan Rasul-Nya membuatnya sebagai Muslim pertama yang tunduk jika wahyu turun kendati berlawanan dengan pendapatnya, dan yang pertama pula meneladani Rasulullah, jika ada suatu masalah dalam pengalamannya. Umar juga banyak berbeda dengan Abu Bakr, selama masa kekhalifahannya. Kalau Abu Bakr bersikeras dengan pendapatnya Umar pun tunduk, sebab Abu Bakr adalah yang bertanggung jawab. Tetapi ketaatannya itu tak pernah sampai menghilangkan kepribadiannya. Dalam meneladani Rasulullah ia tidak melupakan pula untuk membedakan antara Sunah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam yang berlaku abadi dengan peristiwa­peristiwa yang berlaku sementara. Bukan tidak mungkin ia masih akan mengoreksinya dan meminta mempertimbangkan kembali tanpa menganggap hal itu aneh, dengan keyakinan bahwa kalau Rasulullah masih diberi panjang umur, niscaya ia masih akan mengoreksinya dan masih akan memintanya mempertimbangkan kembali.

***

Kesatuan politik untuk negeri-negeri Arab merupakan salah satu yang menjadi pemikiran Umar pada masa kekhalifahan Abu Bakr meskipun ini tidak sampai membuatnya lengah untuk tetap membantunya dengan sungguh-sungguh dalam melaksanakan kebijakannya. Sesudah ia menggantikannya, yang pertama mendapat perhatian ialah memperkukuh kesatuan dan menegakkan dasar-dasarnya. Pemikirannya itu telah memberikan arah kepadanya bahwa kesatuan itu tidak akan bersih kecuali harus dibersihkan terlebih dulu dari segala cacat, yakni semua orang Arab itu harus bersatu dalam kesatuan tanah air dan akidah sama halnya seperti dalam bahasa mereka. Kelompok-kelompok Yahudi dan Nasrani masih tetap berkuasa di Semenanjung itu. Mungkinkah mampu ia mengeluarkan mereka tanpa melanggar Kitabullah dan Sunah Rasulullah?

Umar menggalang persatuan akidah di Semenanjung

Ketika mula-mula Rasulullah tinggal di Medinah ia sudah mengadakan persetujuan damai dengan pihak Yahudi. Setelah mereka melanggar persetujuan itu dan berusaha mengkhianatinya, mereka dikeluarkan dari Medinah. Juga dari beberapa tempat pemukiman mereka di Semenanjung mereka dikeluarkan setelah mereka melancarkan permusuhan kepadanya. Bukankah ini sudah suatu bukti bahwa keberadaan orang­orang Yahudi di pemukiman-pemukiman mereka itu tidak patut dihormati, dan berdamai dengan mereka merupakan suatu kebijakan demi kepentingan negara pada periode pertama di Yasrib. Rasulullah telah menggantikan kebijakan itu dengan kebijakan lain setelah melihat kepentingan negara yang utama tak dapat ditegakkan dengan itu! Menurut pendapat Umar, kepentingan negara yang utama harus menyatukan akidah di seluruh Semenanjung itu. Oleh karenanya, langkah pertama yang diambilnya begitu ia memegang jabatan, mengeluarkan kaum Nasrani Najran dari Semenanjung, dan memerintahkan Ya'la bin Umayyah supaya jangan ada orang yang teperdaya dari agamanya, dan mengeluarkan mereka yang masih berpegang pada agama mereka. Mereka diberi tanah di Irak seperti tanah mereka di Najran. Mereka harus diperlakukan dengan baik. Begitu juga terhadap orang-orang Yahudi di Khaibar dan di Fadak, mereka agar dipindahkan dari tempat-tempat mereka ke Syam dan memberi ganti uang sesuai dengan harganya, dan jangan sampai ada yang diganggu. Dengan demikian seluruh Semenanjung itu bersih dari segala keyakinan selain Islam. Sekarang tegaklah sudah dasar-dasar kesatuan yang dimaksud oleh Amirulmukminin.

Gambaran ini jelas sekali mengenai faktor yang mendorong Umar mengeluarkan Yahudi dan Nasrani dari Semenanjung Arab itu. Dalam hal ini dia tidak melanggar dan tidak keluar dari ketentuan sunah. Perjanjian Rasulullah dengan pihak Yahudi dan Nasrani tidak merupakan suatu ketentuan hukum yang sudah tetap, tetapi sebagai suatu kebijakan yang dapat berubah di masa Rasulullah. Tak ada salahnya jika sesudah itu juga berubah. Umar mengadakan perubahan karena peristiwa-peristiwa yang terjadi waktu itu dan adanya perluasan pembebasan. Karena hasratnya yang begitu besar ingin menerapkan tali persatuan di Semenanjung maka perubahan itu boleh berlaku. Umar tidak mau membeku pada suatu zaman sementara zaman itu sendiri berubah, dan akan membahayakan kepentingan negara dan kebijakannya yang utama. Apatah yang akan dilakukannya sementara dengan sendirinya waktu dibatasi, berakhir dengan berakhirnya waktu itu dan tidak akan ada pembaruan, kecuali jika Amirulmukminin menghendakinya! Hendaknya jangan ada orang yang menyangka bahwa saya menghubung-hubungkan hal yang tak terlintas dalam pikiran Umar sendiri mengenai persatuan bangsa Arab itu. Kalangan sejarawan sudah sependapat bahwa dalam mengeluarkan orang-orang Yahudi dan Nasrani itu ia berpegang pada yang diriwayatkan dari Rasulullah bahwa dia mengatakan: "Tidaklah akan bertemu dua agama di negeri-negeri Arab." Apa yang disebutkan oleh Balazuri dan yang lain bahwa menurut pendapat Umar, penduduk Najran bertambah banyak, dan ia khawatir mereka akan mengganggu Islam, maka dikeluarkanlah mereka, dengan memerintahkan kepada pejabat-pejabatnya di Irak dan Syam agar kepada mereka diberikan ganti tanah dan memperlakukan mereka sebaik­baiknya. Andaikata mereka dikeluarkan karena melanggar perjanjian tentu tidak akan bersikap begitu lemah lembut kepada mereka dan tidak pula memperlakukan begitu baik.

Untuk memperkukuh dasar-dasar persatuan itu di negeri-negeri Arab itu tidak cukup hanya dengan melarang ada agama lain di luar Islam, kalau di antara penduduknya masih ada diskriminasi yang akan membuat mereka merasa lebih banyak mendapat kebebasan dan lebih terhormat dari yang lain, dan kalau tak ada persamaan sejati sebagai tanda adanya kerja sama di antara mereka. Beberapa diskriminasi itu masih dirasakan karena adanya kaum Riddah dan peperangan yang sudah berhasil ditumpas. Jika Umar memang menginginkan persatuan itu benar-benar terwujud, diskriminasi itu harus dihilangkan dengan menghilangkan segala penyebabnya lebih dulu. Oleh karena itu ia mencabut ketentuan di masa Abu Bakr yang melarang mereka ikut berperang di barisan Muslimin! Juga memerintahkan para tawanan Arab dikembalikan kepada keluarga-keluarga mereka dan memberikan kebebasan kembali kepada mereka, sebab ia tidak senang tawanan perang di kalangan Arab akan dijadikan suatu kebiasaan. Dengan demikian ia telah membuka era baru yang membuat hati semua orang Arab merasa senang - lepas dari daerah-daerah mereka masing-masing di Semenanjung itu. Mereka merasa bahwa mereka adalah satu "bangsa" dengan tujuan bersama dalam bimbingan suatu politik yang umum dan kepentingan yang utama di bawah pengawasan Amirulmukminin.

Dimulainya tahun Hijri oleh Umar

Kepentingan utama ini, yang telah mengilhami Umar dengan terbentuknya persatuan Arab di bawah naungan Islam, itulah yang mengilhaminya untuk menjadikan hijrah Rasulullah sebagai permulaan kalender Arab. Selama itu yang mereka gunakan kadang tahun gajah dan kadang peristiwa-peristiwa besar lainnya dalam sejarah peperangan orang-orang Arab. Kalau tahun-tahun itu semua mengacu kepada tahun jahiliah, Islam sudah menghapus segala yang sebelumnya. Umar berpendapat bahwa hijrah Nabi ke Yasrib itu merupakan suatu peristiwa besar dalam sejarah Islam masa Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab dengan hijrah inilah permulaan pertolongan Allah kepada Rasul-Nya dan agama-Nya diperkuat. Persatuan Arab itu justru menjadi kuat karena pilihan yang telah membawa sukses ini, dan lebih sukses lagi karena ini terjadi pada tahun keenam belas Hijri, tatkala tokoh­tokoh Muslimin berangkat membawa kemenangan di daerah-daerah Kisra dan di daerah-daerah Kaisar, menyerbu Mada'in dan menerobos terus sampai ke Iwan [Balairung] Agung, membebaskan Baitulmukadas dan membangun Masjidilaqsa di samping Gereja Anastasis. Sesudah Umar membandingkan kalender ini dengan kalender-kalender Persia dan Rumawi, ternyata kalender ini lebih cemerlang; kalender ini telah menerjemahkan suatu peristiwa terbesar dalam sejarah dunia.

Sudah tentu dipilihnya kalender ini merupakan ilham yang sukses. Atas dasar itulah Umar menjalankan kebijakannya dalam menghadapi berbagai macam persoalan negara yang dalam perkembangannya yang berubah-ubah begitu cepat, dengan selalu mencari yang dipandangnya lebih baik dan lebih praktis untuk mencapai tujuan.

Kepribadian Umar dan perkembangan yang cepat di Semenanjung

Wajar sekali apabila dalam kebijakannya itu Umar berpegang pada kepribadian dan ilhamnya yang meletup-letup, mengingat negara ini dalam pertumbuhannya yang mula-mula serta peperangan di Irak dan di Syam sangat memerlukan kehati-hatian dan kewaspadaan yang luar biasa. Andaikata apa yang dihadapi Umar waktu itu terjadi pada zaman kita sekarang atau waktu yang lain, niscaya masalah-masalah peperangan itu diserahkan kepada orang yang dapat dipercaya, yang memegang kekuasaan untuk mengatur strategi perang dan mempunyai kemampuan memikul tanggung jawab. Kita sudah melihat bagaimana Umar mampu menyelesaikan soal persatuan di kalangan Arab itu dan memberikan kebebasan kepada mereka, dan dalam waktu yang sama juga ia mampu memikul tanggung jawab perang. Dengan penuh kesadaran dan sangat berhati-hati apa yang dapat dilakukannya dengan bekerja keras itu, ia mengatur seluk-beluk pasukan dan perjalanannya sampai ke soal yang sekecil-kecilnya, maju atau mundurnya dalam pertempuran. Sampai-sampai ia ikut bersama panglima pasukan mengatur strategi perang, malah dialah yang sering ikut menentukan. Bila pendudukan sudah selesai dialah yang merencanakan politik yang berlaku di negeri-negeri yang dibebaskan itu serta menggambarkan bagaimana harus mengerjakan pembangunan kembali.

Dalam menghadapi semua peristiwa itu mampukah Umar memulai pemerintahannya dengan menyusun suatu sistem organisasi yang cukup terinci, yang akan berlaku untuk seluruh kawasan Arab, ataukah akan mengambil sistem pemerintahan Persia yang umum berlaku di Irak, atau sistem pemerintahan Bizantium yang sudah berjalan di Syam untuk diterapkan di Semenanjung Arab? Saya kira hal ini tak pernah terlintas dalam pikirannya. Dari segi bentuk, Semenanjung ini sama­sekali berbeda dari Irak dan Syam. Kebiasaan hidup orang-orang Arab tidak sesuai dengan sistem sentralisasi cara Persia dan pengorganisasian cara Rumawi. Itu pun, kalau peperangan tidak membuatnya begitu sibuk dan betul-betul memeras tenaganya, apa yang harus dilakukan sementara pasukannya sejak mula-mula dalam pemerintahan, pasukannya di Irak memang sudah menghadapi posisi yang begitu berat dan di Syam harus berhadapan dengan angkatan bersenjata Rumawi, yang jumlah dan perlengkapannya beberapa kali jauh lebih besar! Buat dia cukup kalau ia sudah dapat menghimpun Semenanjung dan warganya dalam satu kesatuan Arab-Islam yang merdeka, yang akan dapat menambah harga diri, dan dengan demikian akan bertambah kuat dalam melakukan tugas pembebasan. Biarlah pengorganisasian kembali diserahkan kepada waktu yang akan dengan mudah membuatnya lebih matang dalam batas-batas ketentuan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.

Medinah menjadi ibu kota dan musyawarah menjadi dasar hukum

Andaikata untuk negeri-negeri yang beraneka ragam di Semenanjung itu ia berusaha akan menerapkan satu sistem, pasti akan berkesudahan dengan hal-hal yang tidak diinginkan, baik oleh Umar maupun oleh kaum Muslimin. Penduduk kota tidak akan senang dengan sistem organisasi orang pedalaman, dan orang pedalaman pun tidak akan puas dengan sistem organisasi orang kota. Orang sudah begitu gembira ketika Umar memerintahkan agar orang-orang tawanan dikembalikan kepada keluarga masing-masing, dan tidak lagi menganggap kaum Riddah itu berbahaya. Biarlah mereka turut bergembira, mereka akan lebih berbaur dalam bekerja sama, sehingga kerja sama demikian itu akan mendorong mereka memenuhi panggilan dalam menghadapi keadaan perang dan secara lebih pasti dapat mengatasinya. Dalam pada itu tak ada salahnya keadaan itu berjalan seperti biasa di Yaman dan di luar Yaman di kawasan Semenanjung, dan untuk setiap daerah itu cukup Umar mengirim seorang wakil dari pihaknya untuk memperkuat pemerintahan Medinah dan untuk memungut zakat serta menegakkan ketentuan-ketentuan hukum Islam, mengajar dan memperdalam agama untuk mengatur tata kehidupan mereka sesuai dengan hukum. Di luar itu setiap golongan dan kabilah biarkan menikmati kemerdekaan sendiri sepenuhnya, seperti yang biasa mereka lakukan sejak turun-temurun, dan ikatan-ikatan bersama antara daerah itu secara keseluruhan jangan sampai melampaui kepentingan negara. Bahwa memang sudah demikian keadaannya maka kita harus meminjam istilah hukum internasional masa kita sekarang dan ikatan-ikatan semacam ini kita sebut saja federasi, seperti federasi Amerika Serikat atau Swiss, dan yang menjadi ibu kota federasi ini ialah Medinah.

Yang membuat kemajuannya itu bukan hanya keberhasilannya menumpas kaum murtad. Andaikata tidak terjadi Perang Riddah pun, Medinah dengan sendirinya akan tetap menjadi ibu kota Islam yang pertama, dan akan tetap mendahului semua kehidupan kota dan pedalaman. Itulah yang menjadi tempat Rasulullah berlindung, yang memperkuat dan memberikan pertolongan. Qur'an diturunkan di sini lebih banyak daripada yang diturunkan di Mekah. Di kota ini pula kaum Muhajirin dan Ansar berkumpul, mendengarkan ajaran-ajaran dan mengenal teladan Rasulullah, yang memperkuat dan membela agama Allah. Di sini pulalah tempat turunnya wahyu dan sumber hukum Islam, tempat kediaman para pendahulu yang pertama menyambut Islam, tempat semua orang Arab kemudian berlindung di bawah panjinya. Kemudian oleh Rasulullah pun dijadikan ibu kotanya. Dari sini ia mengirim utusan­utusan kepada raja-raja dan pemimpin-pemimpin, mengajak mereka bergabung ke dalam agama Allah. Dalam hal demikian, tidak heran jika kota ini yang dijadikan ibu kotanya dan menjadi titik perhatian dari segenap penjuru. Sesudah berhasil menumpas kaum murtad, keberhasilan ini telah dapat memastikan kekuasaannya dan berkembang ke seluruh penjuru Semenanjung. Dengan demikian pusat pemerintahan Islam tetap bertahan sampai kemudian dipindahkan ke Damsyik pada masa Mu'awiah bin Abi Sufyan.

Sistem pemerintahan Medinah di masa Umar bin Khattab didasarkan pada pemerintahan masa Rasulullah dan masa Abu Bakr setelah itu. Dasarnya adalah Syura (musyawarah), yang mengacu pada firman Allah: "...dan persoalan mereka dimusyawarahkan di antara sesama mereka..." (Qur'an, 42: 38), dan pada firman-Nya, yang ditujukan kepada Nabi: "...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala persoalan..." (Qur'an, 3: 159). Rasulullah memang selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya, dan terutama dengan Abu Bakr dan Umar. Katanya kepada mereka: "Demi Allah, sekiranya kalian berdua sudah sepakat untuk satu persoalan, saya tidak akan pernah meninggalkan kalian dalam bermusyawarah." Seperti yang juga dikatakan oleh Abu Hurairah: "Saya tak pernah melihat orang yang begitu sering bermusyawarah seperti Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam." Sesudah digantikan oleh Abu Bakr dan memulai langkahnya dengan mengirim Usamah bin Zaid untuk menghadapi Rumawi, ia meminta izin kepada Usamah agar Umar tetap tinggal di Medinah, karena ia diperlukan untuk diajak bermusyawarah bersama sahabat-sahabat yang lain. Begitu juga Umar, musyawarah itu dijadikannya dasar pemerintahannya.

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team