|
22. Pemerintahan Umar (2/4)
Bentuk musyawarah
Musyawarah yang berlaku waktu itu bukanlah hendak
membatasi wewenang Khalifah seperti dalam sistem parlemen
menurut pengertian kita sekarang. Kalangan pemikir yang
memberikan pendapat kepada Khalifah tidaklah pula berhak
memaksakan pendapat mereka kepadanya. Dengan musyawarah itu
kekuasaan penuh tetap di tangan Khalifah. Dia bertanggung
jawab kepada Allah, kepada dirinya sendiri dan kepada umat
yang telah mengangkatnya. Kalau dia sampai melampaui hak itu
dan melanggar ketentuan Allah dan Rasul-Nya, dan perhitungan
dengan Allah dan dengan dirinya sudah tidak pula dapat
menahannya, maka umatlah yang akan meluruskannya dengan mata
pedang.
Juga pemilihan dalam bentuk seperti yang kita kenal
sekarang bukan pula yang menjadi dasar musyawarah itu.
Khalifah juga yang memilih orang-orang yang akan diajak
musyawarah, lalu dia yang menentukan pendapat-pendapat
mereka; dia sendiri yang boleh menerima atau menolak
pendapat-pendapat itu. Kalangan pemikir di masa Rasulullah
ialah kaum Muhajirin dan Ansar yang tinggal di Medinah, dan
mereka semua orang-orang yang berada di sekitarnya. Mereka
mendengarkan pendapat Rasulullah dan memberikan pendapat
mereka, dan mereka pun pergi bersama-sama ke medan perang.
Pada masa kekhalifahan Abu Bakr, banyak dan mereka yang
berangkat ke medan perang di Irak dan Syam. Yang tinggal
mendampinginya hanya sahabatsahabat besar dari
kalangan Kuraisy. Begitu juga halnya pada masa pemerintahan
Umar, yang mendampinginya tokoh-tokoh sahabat dari Muhajirin
dan Ansar, menggodok pendapat-pendapat mereka yang
pemecahannya tak terdapat dalam Kitabullah atau dalam Sunah
Rasulullah. Mereka itu merupakan staf khusus untuk diajak
bermusyawarah, terutama Abbas bin Abdul-Muttalib, Abdullah
bin Abbas, Ali bin Abi Talib, Usman bin Affan, Abdur-Rahman
bin Auf dan yang setingkat mereka. Tetapi dalam musyawarah
itu Umar sering mengajak orang banyak. Ia mengajak orang ke
Masjid di Medinah, atau mengajak mereka dalam salat
berjamaah di mana saja mereka berada, kemudian ia
menyampaikan masalah yang hendak dibahas bersama itu dan
menawarkan kepada siapa saja yang ingin memberikan pendapat
Bila ia menghadapi masalah yang begitu pelik ia mengundang
anak-anak muda untuk dimintai pendapat, karena ketajaman
pikiran mereka. Kalau suatu masalah dari sidang umum itu
sudah dapat dipecahkan, maka pelaksanaannya diputuskan.
Kalau ada masalah yang belum jelas, dikembalikan kepada staf
khususnya, meminta pendapat mereka dan berdiskusi dengan
mereka sampai ia merasa puas bahwa apa diyakininya itu
benar.
Di atas, dalam buku ini sudah sering kita lihat Umar
mengadakan musyawarah dengan kalangan umum dan kalangan
khusus. Sesudah terbunuhnya Abu Ubaid di Irak ia mengajak
orang bermusyawarah, meminta pendapat mereka apa yang harus
dilakukannya. Pendapat umum mengatakan: Berangkatlah Anda
dan bawalah kami bersama Anda. Tetapi staf khususnya
berpendapat cukup mengirim salah seorang sahabat Rasulullah
memimpin pasukan ke Irak, dan dia sendiri tinggal di Medinah
memasok orang itu. Ketika itu ia mengumpulkan orang dan
berkata kepada mereka: "Kaum Muslimin berhak mengadakan
musyawarah di antara sesama mereka. Saya sendiri tak lebih
hanya salah seorang dari kalian, sebelum kalangan pemikir
itu membebaskan saya dari ikut pergi. Oleh karena itu saya
berpendapat akan tetap tinggal dan akan mengirim orang
saja."
Kita lihat dia sedang dalam perjalanan ke Syam, dan
pemimpinpemimpin militer menemuinya dengan mengatakan
bahwa daerah itu sedang dilanda wabah penyakit yang hebat.
Ia mengumpulkan mereka dan diajaknya mereka bermusyawarah:
Akan meneruskan perjalanannya ke Syam yang sedang dijangkiti
wabah ataukah harus kembali ke Medinah? Ternyata mereka
saling berbeda pendapat: Ada yang menyarankan agar
meneruskan perjalanan, yang lain berpendapat lebih baik
kembali, yang berakhir dengan pendapat yang kemudian. Dia
dan rombongan kembali ke Medinah.
Sikap Umar terhadap Banu Hasyim dan
pemuka-pemuka Kuraisy
Menurut pendapatnya, sistem musyawarah adalah dasar yang
harus diterapkan di seluruh negara. Diperintahkannya itu
kepada para pejabat dan pemimpin-pemimpin militer. Kepada
Abu Ubaid ketika dikirim ke Irak ia berkata: "Dengarkanlah
dari sahabat-sahabat Nabi Sallallahu alaihi wa sallam
dan ajaklah mereka bersama-sama dalam hal ini. Janganlah
cepat-cepat berijtihad sebelum Anda teliti benar-benar. Ini
adalah perang, dan yang cocok untuk perang hanya orang yang
tenang, yang pandai melihat kesempatan." Begitu juga yang ia
perlakukan terhadap pejabat-pejabat yang lain, yang bertugas
dalam perang ataupun yang lain.
Ada pihak yang beranggapan bahwa kalangan tua-tua dari
kerabat Rasulullah di antara yang memberikan pendapat kepada
Umar, tetapi tak ada di antara mereka yang diangkat oleh
Umar untuk memimpin pasukan. Juga tak ada di antara mereka
yang diangkat menduduki jabatan di negeri Arab atau di
tempat lain yang sudah dibebaskan. Mereka yang beranggapan
demikian ada pula yang menduga bahwa dalam hati Umar masih
ada sesuatu terhadap Banu Hasyim sesudah melihat sikap
mereka dulu terhadap pengangkatan Abu Bakr. Tetapi saya
tidak berada di pihak yang berpendapat demikian. Menurut
hemat saya, tertundanya Banu Hasyim dalam pembaiatan Abu
Bakr itu masih dipertanyakan. Sekiranya cerita tertundanya
mereka itu benar, niscaya pengaruhnya akan ada dalam hati
Umar selama masa kekhalifahannya. Semua mereka sesudah itu
membaiat Abu Bakr. Setelah kemudian Abu Bakr berpesan agar
digantikan oleh Umar tak ada dari Banu Hasyim yang
menentangnya, bahkan merekalah yang mula-mula membaiat. Dan
selama kekhalifahannya itu pula mereka mendapat kehormatan
yang tidak diperoleh oleh kaum Muslimin yang lain.
Kehormatan demikian itu akan kita lihat begitu jelas ketika
kita berbicara tentang 'sekretariat negara' dan 'anggaran'
yang begitu menonjol dalam kehidupan dan adat-istiadat kaum
Muslimin, yang sampai sekarang pengaruhnya masih ada. Tidak
jarang Umar menampilkan kerabat Nabi karena ia menghormati
dan menghargai mereka. Juga sudah kita lihat pada musim
kelaparan ia meminta pertolongan Allah dengan mengajak
Abbas, paman Rasulullah, dan ia meminta Ali bin Abi Talib
menggantikannya di Medinah ketika ia pergi ke Syam untuk
mengadakan perjanjian damai Baitulmukadas. Sering sekali ia
memuji jasa Abbas, pengetahuan dan budi pekertinya.
Menjelang kematiannya Umar berpesan kepada majelis syura
enam orang untuk calon kekhalifahan, di antaranya Ali bin
Abi Talib. Tidak mungkin orang yang dalam hatinya menyimpan
dendam kepada Banu Hasyim akan melakukan hal ini.
Jadi mengapa ia tidak menunjuk mereka dalam pimpinan
pasukan, dan tak seorang pun di antara yang diangkat untuk
kawasan negeri-negeri Arab dan daerah-daerah yang baru
dibebaskan? Barangkali orang akan kaget kalau dikatakan:
Mereka tidak diangkat justru karena kekerabatannya dengan
Rasulullah. Ini berarti sejalan dengan kata-katanya pada
suatu hari kepada Ibn Abbas: "Saya melihat Rasulullah
Sallallahu alaihi wa sallam mengangkat yang lain
tetapi bukan kalian... Saya tidak tahu, kalian dijauhkan
dari tugas itu padahal kalian ahli dalam bidangnya, ataukah
ia khawatir karena kekerabatan kalian kepadanya lalu kalian
akan mendapat kecaman, tetapi kecaman sudah suatu
keharusan."
Sebagian orang berpendapat bahwa kata-kata ini - kalaupun
benar dari Umar - hanya suatu alasan yang mengandung
tenggang rasa saja, alasan yang di dalamnya tersembunyi
maksud Umar yang sangat waspada terhadap Banu Hasyim dan
para sahabat besar serta pemuka pemuka Kuraisy
lainnya. Mereka yang berpendapat demikian beranggapan bahwa
ia ingin membiarkan mereka semua tetap tinggal di Medinah,
dan menjadi staf penasihatnya. Dia khawatir kalau mereka
tersebar ke daerah-daerah dengan memegang kekuasaan, mereka
akan tergoda oleh rasa yang teristimewa, lalu melakukan
pembangkangan terhadap kekuasaan Medinah, dengan
mengandalkan dukungan daerah-daerah setempat yang berada di
bawah wewenang mereka dengan tujuan tertentu. Mereka yang
beranggapan demikian ini mengatakan bahwa Umar dulu memecat
Khalid bin Walid karena terdorong oleh kewaspadaan itu juga.
Pejabat-pejabatnya yang ditempatkan di berbagai daerah
sangat diperhitungkan, sedikit saja merasa curiga
cepat-cepat mereka dipecat, sehingga jangan ada yang
tergerak hatinya bahwa di daerahnya itu dialah yang
berkuasa.
Andaikata dugaan ini benar, Umar tidak salah dan
kebijakannya itu pun tak perlu dikritik. Kewaspadaan
terhadap orang yang diberi kekuasaan mengurus umat, terutama
dalam keadaan yang begitu genting yang sedang mengepung kaum
Muslimin waktu itu. Tetapi saya tidak melihat ada yang dapat
dicerna dengan anggapan semacam ini. Ini tidak sesuai dengan
sifat Umar yang sudah terkenal, suka berterus terang dan
tegas. Juga tidak sesuai dengan solidaritas kaum Muslimin
yang sudah terkenal pada waktu-waktu permulaan itu, ditambah
pula dengan iman mereka kepada Allah dan Rasul-Nya yang
sudah begitu kuat dan mantap. Di samping itu, bahaya yang
sedang mengancam mereka layak sekali akan menjauhkan mereka
dari pikiran semacam itu. Bagaimana pula orang akan menduga
adanya kekuatan untuk menghadapi pihak Persia di Irak atau
Rumawi di Syam kalau di belakangnya tak ada kekuatan Islam
dan kaum Muslimin yang terpadu? Bagaimana akan timbul
pikiran bahwa ia masih akan tergoda oleh kekuasaan, di
Persia atau di Mesir, sementara setiap waktu bala bantuan
dari Semenanjung masih sangat diperlukan, dan bila bala
bantuan itu terlambat datang ia tak akan mampu mengatasi
situasi yang sedang dihadapinya itu?
Hal demikian berjalan sepanjang masa pemerintahan Umar,
karena perang yang berkecamuk selama itu berubah-ubah
terus-menerus. Sudah kita saksikan, sebelum terbunuhnya Raja
Persia pernah meminta bantuan Turki dan Cina untuk
menghadapi pasukan Muslimin, dan kita saksikan juga Rumawi
tak henti-hentinya terus berpikir hendak kembali dan merebut
Mesir lagi. Dengan semua ini, dugaan bahwa Umar
mempertahankan Banu Hasyim dan pemuka-pemuka Kuraisy di
Medinah karena ia sangat waspada tak dapat diterima, juga
tak dapat diterima adanya dugaan bahwa dia masih menyimpan
sesuatu dalam hatinya terhadap Banu Hasyim yang dikatakan
karena keterlambatannya membaiat Abu Bakr.
Sebenarnya Umar tidak mengingkari hak Banu Hasyim,
seperti juga yang lain, untuk menduduki kekhalifahan. Tetapi
yang ditolaknya jika mereka sampai teperdaya bahwa
kekhalifahan itu adalah hak waris mereka dari Rasulullah
Sallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini terlihat dari
kata-katanya kepada Abdullah bin Abbas seperti yang
diperkuat oleh beberapa sumber: "Orang tidak senang
menggabungkan kenabian dan kekhalifahan semua pada kalian.
Itu sudah menjadi pilihan Kuraisy sendiri, dan sudah tepat
sekali." Oleh karena itu, dalam pesan Umar untuk calon
penggantinya kelak Ali bin Abi Talib termasuk salah seorang
di antaranya.
Umar menahan Banu Hasyim, sahabat-sahabat besar dan
pemukapemuka Kuraisy di Medinah, diperlukan untuk
memberikan pendapatpendapat mereka, sebab mereka
memang orang-orang berpikiran cemerlang, bijaksana dan cukup
berpengalaman - mengingat majelis syura adalah dasar
pemerintahan. Kalau Amirulmukminin adalah pemegang keputusan
terakhir dalam segala hal, maka untuk itu dialah yang
memikul semua tanggung jawab politik negara. Dengan
demikian, semua kekuasaan bertumpu di tangannya. Dialah yang
menjalankan undang-undang dalam batas-batas Kitabullah dan
Sunah Rasul-Nya; dialah pelaksana, hakim, panglima tinggi
angkatan bersenjata. Umarlah yang telah memikul semua
tanggung jawab itu. Sejarah pun telah mengabadikan namanya
dan menghiasinya dengan lingkaran cahaya keagungan dan
kemuliaan.
Kesanggupannya memikul semua tanggung jawab maha besar
itu, sungguh membangkitkan rasa kagum dalam hati kita, dan
banyak orang bertanya-tanya tentang rahasia kemampuannya
yang luar biasa itu. Sebenarnya rahasia ini sudah bukan
rahasia lagi bagi siapa saja yang benar-benar jujur ingin
mengetahui, yaitu kesediaannya mengorbankan kepentingan
sendiri serta pengabdiannya dalam menjalankan tugasnya atas
dasar kesadaran betapa beratnya tugas itu. Dia tidak melihat
kekhalifahan itu dari segi kekuasaan dan yang tampak dari
luar, tetapi semua perhatiannya dicurahkan semata untuk
menghadapi beban dan tanggung jawab besar itu. Itu sebabnya,
kekuasaan kekhalifahan yang mutlak itu tidak sampai
membuatnya bertindak sembarangan, begitu juga pamornya yang
menyilaukan tidak lalu merasa dirinya orang nomer satu.
Begitu besar kesadarannya tentang kewajiban itu, yang di
dalam sejarah masa apa pun belum pernah ada cerita yang
dapat menandinginya. Saya rasa belum ada ungkapan yang lebih
baik melukiskan kesadaran demikian itu dari kata-katanya
sendiri: "Bagaimana saya akan dapat memperhatikan keadaan
rakyat kalau saya tidak merasakan apa yang mereka rasakan!?"
Perasaan ini menempatkan dirinya sebagai orang-orang yang
lemah dan hina, supaya ia dapat merasakan apa yang dirasakan
mereka, hak orang yang lemah diambilnya dari orang yang
kuat, dan mencegah orang-orang miskin dari bencana
kemiskinan.
Kita masih ingat beberapa contoh ketika terjadi tahun
kelaparan dulu. Dia sendiri rela begitu menderita. Sepanjang
tahun itu ia tidak makan daging dan makanan berlemak,
sehingga melihat mukanya yang pucat dan lebam, orang
khawatir sekali akan keselamatannya. Untuk melukiskan
kekhawatiran mereka yang begitu besar cukup jika mengutip
beberapa sumber tentang dia sebagai suatu keajaiban...
Menurut sebuah sumber Anas berkata: Ketika itu saya bersama
Umar, kemudian ia masuk ke sebuah kebun. Saya dengar dia
berkata - antara saya dengan dia dibatasi dinding kebun itu:
"Umar bin Khattab Amirulmukminin? Wah, wah! Hai anak
Khattab, takutlah kau kepada Allah, kalau tidak kau akan
diazab!" Ada disebutkan konon bahwa pada suatu hari ia
memikul sebuah kirbat di atas bahunya, lalu ketika ditegur,
ia berkata: "Hatiku sudah mulai mengagumi diriku; maka aku
ingin menundukkannya."
Umar bertahan di Masjid Medinah untuk
mengikuti keadaan rakyatnya
Kedaulatannya sudah membentang luas pada masanya itu
namun dia tidak tergoda ingin duduk di atas takhta selain
Masjid, karena ia mengikuti keadaan kedaulatannya itu, sama
seperti yang dilakukan oleh Rasulullah dan Abu Bakr. Pada
tahun-tahun pertama pemerintahannya keadaan Masjid itu tetap
seperti ketika dibangun oleh Rasulullah, dindingnya yang
lunak dan atapnya dari daun kurma. Sebenarnya ketika itu
Umar sudah mampu membongkar dan membangunnya kembali dengan
kemewahan seperti yang kemudian terjadi dalam tahun-tahun
berikutnya, supaya penampilan kedudukannya sesuai dengan
kebesaran kekuasaannya. Dan kalaupun ia lakukan itu, tak ada
orang yang akan menyalahkannya. Ketika Sa'd bin Abi Waqqas
di Mada'in, istana Iwan Kisra dijadikan tempat kedudukannya.
Sesudah pindah ke Kufah ia mendirikan sebuah bangunan untuk
dirinya dan diberi nama "Istana Sa'd." Tetapi Umar, selama
empat tahun pertama pemerintahannya ia tidak mau mengadakan
perubahan sedikit pun di Masjid itu. Setelah penduduk
Medinah makin banyak dan Masjid sudah tak dapat menampung,
baru ia mengadakan perluasan, berdasarkan pesan Rasulullah
yang mengatakan: "Kita layak memperluas Masjid itu." Sedang
Umar berkata: "Kalau tidak karena saya mendengar Rasulullah
mengatakan, "Layak kita memperluas Masjid kita ini," niscaya
tidak akan saya perluas."
Tatkala memerintahkan perluasan Masjid Umar memperhatikan
sekali agar semata-mata hanya untuk keperluan salat dan
urusan pemerintahan. Pernah Masjid itu oleh penduduk Medinah
digunakan juga untuk tempat pertemuan, mereka membicarakan
urusan perdagangan serta tempat bergadang dan
berbangga-bangga sehingga kadang menimbulkan kebisingan
sementara Amirulmukminin duduk memikirkan masalah-masalah
kenegaraan yang amat penting. Oleh karena itu, sesudah
diadakan perluasan itu ia mengambil tempat di samping Masjid
dan diberi nama "Butaiha," dan katanya: "Barang siapa ingin
membuat kebisingan dan bersuara keras-keras atau mau membaca
syair pergilah ke tempat itu." Tetapi tambahan yang dibuat
Umar dalam bangunan Masjid itu tidak melebihi luas bidang
tanah yang ada dan tambahan jumlah pintunya. Yang lain-lain
tetap seperti ketika dibangun oleh Rasulullah, sebab fondasi
bangunan itu dari batu sedang yang di atasnya dari jerami,
tiang-tiangnya dari kayu dengan langit-langit dari pelepah.
Dari bangunan Masjid yang sederhana inilah Umar mengeluarkan
segala perintahnya ke markas-markas pasukannya. Tetapi,
tiba-tiba Kisra terjungkir dari takhta Iwannya dan Kaisar
melarikan diri keluar dari Syam ke Konstantinopel, kemudian
Iskandariah yang besar dan megah, ibu kota peradaban dunia
ketika itu, menyerahkan kuncinya kepada pasukan
Muslimin!
Ketatnya kepada diri sendiri dan
baktinya kepada rakyatnya
Penaklukan yang sudah begitu luas, sedikit pun tidak
mengubah kesederhanaan hidup Umar, dan pandangannya bahwa
dunia ini remeh sudah menjadi tuntutan imannya. Dalam
permulaan tugasnya sebagai Khalifah, kaum Muslimin sudah
menentukan haknya dari baitulmal, yakni sekadar cukup untuk
dirinya dan untuk keluarganya, seperti yang sudah ditentukan
juga untuk Abu Bakr. Sesudah rampasan perang datang melimpah
ke Medinah, yang diperoleh Umar tidak lebih dari yang juga
diperoleh orang lain dari kalangan Muslimin. Dia tidak
melihat bahwa sebagai Khalifah ia harus mendapat hak
melebihi hak yang lain. Suatu hari pernah ia ditanya, dari
harta Allah apa yang dibolehkan untuk dia, ia menjawab:
"Jawaban saya kepada kalian: Yang dianggap boleh dari harta
itu buat saya dua pasang pakaian: sepasang untuk musim
dingin dan sepasang untuk musim panas; itu yang saya pakai
untuk menunaikan haji lalu dibalikkan untuk umrah; yang saya
makan dan dimakan keluarga, seperti yang biasa dimakan
keluarga Kuraisy, bukan dari yang terkaya, juga bukan dari
yang termiskin. Di samping itu saya adalah sama dengan
Muslimin yang lain, yang saya peroleh sama dengan yang
mereka peroleh." Pernah juga ia berkata: "Saya menempatkan
harta Allah itu seperti menempatkan harta anak-anak yatim;
kalau sudah terasa cukup, saya cukupkan; kalau terasa kurang
saya makan selayaknya." Ia menghindari apa yang ada di
baitulmal, yang kadang sampai membuatnya dalam keadaan yang
serba sulit.
Suatu hari ia pernah mengeluh, lalu ditawarkan madu
kepadanya, karena di baitulmal masih ada satu
pasu1 madu. Ketika sudah di atas mimbar ia
berkata: "Kalau kalian mengizinkannya buat saya; kalau
tidak, berarti haram buat saya." Mereka pun segera
mengizinkan. Kaum Muslimin menyaksikan sendiri betapa
ketatnya ia terhadap dirinya, kemudian mereka mendatangi
putrinya, Hafsah Ummulmukminin dan mengatakan: "Umar tetap
begitu ketat terhadap dirinya. Allah telah melimpahkan
rezeki, hendaklah ia turut menikmati hasil rampasan perang
itu sesukanya. Jamaah sudah memberikan keleluasaan
kepadanya." Rupanya keinginan mereka itu oleh Hafsah mau
dicarikan pendekatannya. Ketika Umar datang menemuinya dan
ia bercerita apa yang mereka katakan, dijawab oleh Umar:
"Hafsah putri Umar, Anda menasihati mereka dan mau menipu
ayahmu. Keluargaku hanya berhak atas diriku dan hartaku,
tetapi tentang agamaku dan kepercayaan yang diberikan
kepadaku, tidak."
Tentang Umar ini al-Fakhri membawakan sebuah cerita
sebagai bukti yang paling jelas memperlihatkan keinginannya
yang begitu keras hendak menyamakan dirinya dengan Muslimin
yang lain dengan mengatakan: "Datang kiriman kepada Umar
beberapa bahan pakaian burd dari Yaman. Oleh Umar
dibagi-bagikan kepada kaum Muslimin dan setiap orang
mendapat bagian sehelai, dan bagian Umar juga seperti yang
lain, satu helai. Ketika naik ke atas mimbar dengan pakaian
itu yang sudah dipotongnya menjadi kemeja dan menyerukan
orang berjihad, seseorang berkata kepadanya: Saya tidak
perlu menaati seruan Anda! Mengapa? tanya Umar. Orang itu
menjawab: Karena Anda lebih mementingkan diri Anda daripada
kami. Anda mendapat bagian sehelai burd Yaman dan untuk satu
baju Anda itu tidak cukup, karena Anda berperawakan tinggi;
tetapi mengapa Anda potong menjadi kemeja? Umar menoleh
kepada anaknya seraya berkata: Abdullah, jawablah! Abdullah
berkata: Burd saya kuberikan kepadanya supaya cukup untuk
kemejanya itu. "Kalau begitu sekarang saya patuh," kata
orang itu.
Umar samasekali tidak ingin kedudukan Khalifah itu untuk
dirinya, tetapi ia menganggap dirinya hanya sebagai pengawal
harta Muslimin yang jujur, juga sebagai pengawal persatuan
dan kemerdekaan yang jujur. Hal ini membuatnya dekat kepada
semua orang dan dicintai, dan lebih-lebih lagi orang
mencintainya karena dia melihat kedudukan Khalifah sebagai
bapa yang harus memikul semua kewajiban terhadap kaum
Muslimin, yakni kewajiban seorang bapa terhadap
anak-anaknya. Rasa kasih sayang dan berkorban merupakan
sifat kebapaan yang paling kudus dan mulia. Umar adalah
orang yang penuh kasih sayang dan banyak mengabdi untuk
orang-orang yang memerlukan kasih sayang. Menurut dia kasih
sayang dan pengabdian itu termasuk salah satu kewajiban
pemerintah, sama seperti menegakkan keadilan dan memelihara
keamanan.
Suatu malam ia keluar ke pinggiran kota ditemani oleh
Aslam, pembantunya. Ketika mereka melihat sebuah rumah bulu,
mereka segera menuju ke tempat itu. Seorang perempuan sedang
mengerang karena hendak melahirkan. Ketika ditanya
keadaannya perempuan itu menjawab: Saya perempuan asing di
sini dan saya tak punya apa-apa. Umar segera kembali pulang
sambil berjalan cepat-cepat, dan katanya kepada istrinya,
Umm Kulsum, putri Ali bin Abi Talib: Anda ingin men
dapat pahala yang akan diberikan Allah kepada Anda? Lalu
diceritakannya kejadian itu. Ya, kata sang istri. Umar
membawa tepung dan lemak yang digendongnya sendiri di
punggungnya, dan Umm Kulsum membawa segala yang diperlukan
orang melahirkan. Sementara Umm Kulsum masuk menemui
perempuan itu Umar duduk berbincangbincang dengan
suami yang tidak mengenalnya itu. Perempuan itu melahirkan
anak laki-laki. Kemudian kata Umm Kulsum: Amirulmukminin,
beri selamatlah kepada kawan Anda itu; istrinya telah
melahirkan anak laki-laki. Mendengar kata-kata perempuan itu
sang suami merasa apa yang dilakukan Umar itu terlalu besar
buat dirinya, dan ia meminta maaf. Tidak apa! kata Umar.
Setelah memberikan segala yang diperlukan kepada mereka, ia
pergi.
Pada malam yang lain Umar mendengar suara bayi menangis.
Ia pergi menuju ke arah datangnya suara itu. Kepada ibu bayi
itu ia berkata: Takutlah kepada Allah. Kasihanilah bayi
Anda! Tak lama sesudah Umar mendengar lagi suara bayi itu
menangis, kembali lagi ia kepada ibunya dan mengatakan
seperti yang dikatakannya tadi. Sesudah lewat tengah malam
terdengar lagi tangis bayi itu. Sekali ini ia berkata kepada
ibu bayi itu: Anda ini ibu jahat! Mengapa sepanjang malam
ini bayi Anda tak pernah berhenti menangis?
Hamba Allah! kata perempuan itu, saya redakan tangisnya
dengan makanan, tetapi dia tidak mau.
Mengapa? tanya Umar.
Karena Umar menentukan pemberian hanya kepada yang sudah
disapih.
Berapa umur bayi Anda? Sekian dan sekian bulan.
Celaka, kata Umar. Janganlah cepat-cepat disapih.
Selepas salat subuh ia menyelinap ke tengah-tengah orang
banyak dan dengan air mata berlinang ia berkata: Celaka
Umar! Sudah berapa banyak bayi Muslimin yang mati ! Kemudian
ia memerintahkan orang agar menyampaikan pengumuman:
Janganlah cepat-cepat menyapih bayi kalian. Pemberian akan
berlaku bagi semua yang dilahirkan dalam wilayah Islam.
Setelah itu ia menulis surat ke segenap penjuru.
Tak ada orang yang tidak tahu kisah Umar ketika tengah
malam ia mendapati seorang perempuan, yang anak-anaknya
meraung-raung menangis di sekeliling kuali yang dijerang di
atas api. Oleh Umar ia ditanya, mengapa bayi-bayi itu
mengerang.
Karena lapar, kata perempuan itu. Apa yang dijerang di
atas api itu?
Air untuk menghibur mereka supaya mereka tertidur...
Antara kami dengan Umar hanya Allah...
Cepat-cepat Umar kembali dan pergi ke gudang tepung
terigu, diambilnya sekantong lemak dan sekarung terigu,
diangkatnya sendiri ke atas punggungnya dan dibawanya segera
ke tempat tadi. Dimasukkannya tepung dan lemak itu sebagian
ke dalam kuali dan dia pula yang meniup api di tungku.
Selesai dimasak dan disuguhkan, anak-anak itu makan sampai
kenyang lalu tidur. Umar pergi meninggalkan perempuan yang
memang tidak mengenalnya itu sambil berkata: Rasa lapar
itulah yang membuat mereka tidak bisa tidur dan
menangis!
Pemerintahan Umar sangat dicintai orang justru karena
sifat kasih sayang dan pengabdiannya ini. Mereka melihat
Khalifah sebagai ayah bagi kaum duafa - setiap orang yang
lemah - bagi setiap anak yatim dan bagi setiap orang tak
punya. Mereka mencintai Umar "al-Faruq" karena sifat adilnya
sudah menjadi naluri dan bawaannya, karena kecintaannya
kepada kebebasan dan persamaan ia menempatkan diri sebagai
orang lemah dan miskin. Dalam pidatonya yang pertama di
depan orang banyak ia mengatakan: "Di mata saya, tak ada
dari kalian orang yang lebih kuat dari orang yang lemah di
antara kalian, sebelum saya berikan haknya, dan tak ada
orang yang lebih lemah dari orang yang kuat sebelum saya
cabut haknya." Pernah ia berpidato mengatakan: "Saya tidak
pernah mengangkat pejabat-pejabat untuk menghilangkan
kesenangan kalian, untuk mencemarkan kehormatan dan untuk
mengambil harta kalian. Tetapi saya mengangkat mereka untuk
mengajarkan Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya. Barang siapa
diperlakukan tidak adil saya tak akan mengizinkannya
menyampaikan pengaduan kepada saya sebelum saya menjatuhkan
hukuman yang setimpal." Kepada para panglima pasukan ia
menulis: "Janganlah kalian memukul anggota pasukan Muslimin
karena itu berarti kalian merendahkan mereka, jangan
menghilangkan hak mereka lalu menuduh-nuduh mereka kafir,
janganlah mengurung mereka lalu menyiksa mereka dan jangan
pula menempatkan mereka di hutan-hutan yang akan membuat
mereka tersesat."
Dia menulis surat demikian kepada panglima-panglima jika
dia tak dapat melakukannya sendiri. Tetapi kalau dia mampu
melakukan, ia tidak akan mewakilkan kepada yang lain. Kita
masih ingat kata-katanya pada permulaan kekhalifahannya:
"Tak ada persoalan kalian yang harus saya hadapi lalu
diwakilkan kepada orang lain selain saya." Demikian jujur ia
tentang semua itu, untuk beberapa urusan ia mengangkat yang
tua dan yang muda. Dia yang mengatur segala urusan militer,
dia mengangkat pejabat-pejabat tinggi, menjalankan politik
negara dan bertindak memutuskan perkara secara adil. Tak ada
satu soal kecil pun yang ditinggalkannya selama ia dapat
menyelesaikannya sendiri. Ali bin Abi Talib ketika
melihatnya berlari-lari ke pinggiran kota Medinah
ditanyanya: Amirulmukminin, mau ke mana?
Ada seekor unta untuk sedekah lari dan saya mau
mengejarnya, jawab Umar.
Anda akan merepotkan khalifah-khalifah yang sesudah
Anda!
Pernah suatu malam Umar mendatangi Abdur-Rahman bin Auf
yang sedang salat. Oleh Abdur-Rahman ditanya: Ada apa Anda
datang malam-malam begini?
Ada sekelompok orang menuju ke arah pasar. Saya khawatir
mereka itu pencuri-pencuri di kota. Mari kita berangkat
supaya dapat mengawasi mereka. Sesampai di pasar keduanya
duduk-duduk mengobrol di atas gundukan tanah. Ketika mereka
melihat ada penerangan lampu Umar berkata: Saya sudah
melarang ada penerangan lampu sesudah orang tidur! Mereka
pergi ke tempat tersebut, ada sekelompok orang sedang
minum-minum, yang salah seorang di antaranya ada yang
dikenalnya. Paginya orang itu dipanggil dan katanya: Anda
dan teman teman Anda semalam sedang minum-minum.
Siapa yang memberitahukan Anda, Amirulmukminin?
Saya lihat sendiri, kata Umar.
Bukankah Allah sudah melarang memata-matai orang?
Orang itu ditinggalkan oleh Umar.
Pada akhir masanya, karena oleh rasa keprihatinannya yang
begitu besar terhadap semua persoalan umat, cita-citanya
ingin berpindahpindah di semua kawasan kedaulatannya,
memeriksa keadaannya dan melihat tingkah laku para
pejabatnya. Sesudah pembebasan Mesir menurut sebuah sumber
ia mengatakan: "Kalau saya masih hidup, insya llah, saya
akan pergi mengunjungi rakyat selama setahun penuh. Saya
tahu, di belakang saya orang banyak mempunyai keperluan yang
belum terpenuhi. Para pejabat itu tidak akan menyampaikannya
kepada saya. saya ingin pergi ke Syam, tinggal di sana dua
bulan, kemudian ke Bahrain, tinggal dua bulan di sana,
selanjutnya pergi ke Kufah dan tinggal dua bulan, dari sana
ke Basrah, tinggal dua bulan. Ini sungguh tahun yang
istimewa sekali!" Tetapi ajal sudah mendahuluinya sebelum
keinginannya tercapai.
Keadilan Umar dan begitu keras terhadap
keluarga sendiri
Keadilan yang dijalankan Umar masih tetap menjadi suri
teladan. Dia termasuk hamba Allah yang paling takut kepada
Allah dan kepada perhitungan-Nya. Ia sadar hukum yang
dijalankannya memang sudah sangat saksama dan hati-hati
sekali dengan selalu mawas diri (introspeksi). Jika ada dua
orang yang berselisih datang, ia berlutut sambil berkata: Ya
Allah, bimbinglah aku dalam menghadapi dua orang itu, karena
mereka masing-masing ingin melihatku dari segi agamaku."
Terhadap keluarga pun ia tidak mengenal kasihan dalam
menegakkan keadilan. Bahkan kalau ia ingin melarang sesuatu
terhadap orang lain, terlebih dulu ia menemui keluarganya
dengan mengatakan: "Kalau ada salah seorang yang melakukan
sesuatu yang saya larang, niscaya hukumannya saya lipat
gandakan."
Abdur-Rahman, anaknya di Mesir minum-minum sampai mabuk
bersama Abu Sarwa'ah. Mereka datang menghadap Amr bin As
untuk menerima hukuman. Kata Amr: "Kumarahi mereka dan
kuusir." Ketika itu Abdur-Rahman berkata: "Kalau tidak Anda
laksanakan, akan saya laporkan kepada ayah saya kalau nanti
saya pulang." Aku tahu, kalau hukuman terhadap mereka tidak
kulaksanakan, Umar akan marah dan akan memecatku. Kubawa
mereka ke halaman rumah, dan kuhukum mereka dengan pukulan.
Kemudian Abdur-Rahman bin Umar masuk ke sebuah sudut di
rumah itu dan mencukur kepalanya. Demi Allah, atas kejadian
itu tidak sepatah kata pun aku menulis laporan kepada Umar.
Tetapi tiba-tiba ada surat dari dia yang kuterima, isinya:
"Dari hamba Allah Umar Amirulmukminin kepada yang Asi anak
si Asi.2 Anak si Durhaka, saya heran kepada Anda
dan keberanian Anda telah melanggar perintah. Tak ada jalan
lain saya harus memecat Anda. Anda memukul Abdur-Rahman di
rumah Anda dan membotakinya di rumah Anda. Anda sudah tahu
bahwa Anda telah melanggar perintah saya. Abdur-Rahman
hanyalah salah seorang dari rakyat Anda, Anda harus
memperlakukannya seperti terhadap anggota kaum Muslimin yang
lain. Tetapi Anda berkata: Dia putra Amirulmukminin! Anda
sudah tahu bahwa dalam menegakkan kebenaran bagi saya tak
ada orang yang boleh mendapatkan keringanan. Begitu Anda
menerima surat saya ini, kirimkaniah dia dalam pakaian lurik
dengan menunggang unta, supaya perbuatannya yang buruk itu
diketahui orang." Kukirimkan dia seperti yang diminta oleh
ayahnya, dan kutulis surat kepada Umar meminta maaf karena
aku memukulnya di halaman rumahku. Demi Allah, yang tak
boleh ada sumpah lebih besar dari Dia, bahwa aku memang
melaksanakan hukuman terhadap si zimmi dan si Muslim di
halaman rumahku. Kukirimkan surat itu di tangan Abdullah bin
Umar dengan membawa Abdur-Rahman kepada ayahnya. Dia masuk
menemuinya dengan pakaian luriknya itu, dan dia tak dapat
berjalan karena kendaraannya yang buruk. Maka dia berkata:
Abdur-Rahman, engkau sudah berbuat begitu ya! Abdur-Rahman
bin Auf menengahinya dengan mengatakan: Amirulmukminin, dia
sudah menjalani hukumannya. Tetapi Umar tidak peduli
sementara Abdur-Rahman bin Umar berteriak: Saya sakit dan
ayah mau membunuh saya!
Selanjutnya sumber itu menyebutkan bahwa sungguhpun
begitu Umar tetap menghukumnya untuk kedua kalinya. Anak itu
menjalani pukulan dan dipenjarakan. Sampai kemudian ia
meninggal.
|