Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

18. Memikirkan Pembebasan Mesir (1/3)

Umar ragu menerima saran Amr bin As tentang pembebasan Mesir - 462; Desakan dan alasan Amr bin As - 465; Hubungan Mesir dengan Arab sudah ada sejak lama- 466; Kisah Qur'an tentang Mesir - 470; Hubungan Mesir-Arab di masa Rasulullah - 473; Kota Iskandariah di masa Rasulullah - 475; Penindasan agama di Mesir oleh kekuasaan Rumawi - 479; Faktor agama dan politik - 483; Desakan Amr kepada Umar dan argumennya - 486; Sekelumit tentang Amr bin As - 487; Amr bin As bertolak menuju Mesir - 496

Sementara angkatan bersenjata Muslimin menyebar di negeri-negeri Persia, di bawah pimpinan Ahnaf bin Qais, Nu'aim bin Muqarrin dan saudaranya Suwaid serta Abdullah bin Abdullah bin Itban serta panglima-panglima pasukan lain yang berpengaruh dan tangguh, Amr bin As bersama pasukannya maju menuju Mesir, membebaskan kota­kotanya dan mengusir Rumawi dari sana dan menggantikan kedaulatannya. Amr memulai perjalanannya ke Mesir dalam bulan Zulhijah tahun 18 Hijri, dan menginjakkan kaki di sana pada permulaan tahun 19. Dalam menghadapi Mesir dan Rumawi itu pada mulanya ia sangat berhati-hati. Sesudah bala bantuan dari Khalifah tiba ia mulai mempercepat langkah dan kemenangan pun menyertainya pula.

Umar ragu menerima saran Amr bin As tentang pembebasan Mesir

Perjalanan Amr ke Mesir ini sudah tentu dengan izin Umar bin Khattab. Tetapi perjalanan ini baru diizinkan oleh Umar sesudah lama ia maju-mundur. Menurut sumber yang dapat diterima dan sudah disepakati (mutawatir), bahwa Amr bin As berbicara kepada Khalifah mengenai penyerbuan ke Mesir ini ketika Baitulmukadas sudah dibebaskan dan sesudah dalam tahun 16 Hijri Amirulmukminin mengadakan persetujuan dengan pihak Yerusalem. Dalam pembicaraannya waktu itu barangkali Amr sudah mengatakan, bahwa Atrabun, panglima Rumawi itu, sudah menarik pasukan Rumawi dari Palestina ke Lembah Nil itu. Orang yang sudah kalah begitu, sebelum ia mendapat kesempatan memperkuat diri di negeri yang subur dan sangat kaya itu, lebih baik dikejar. Dalam benteng-bentengnya yang kukuh dan kaya perbekalan itu, ia akan memperoleh berbagai macam sarana pertahanan dan perlawanan, yang membuat Heraklius melupakan kekalahannya dan lari dari Yerusalem. Barangkali dalam pembicaraannya itu Amr mengutarakan juga tentang kekayaan Mesir yang diperoleh Rumawi dan hanya sedikit yang ditinggalkan untuk sekadar isi perut orang-orang Mesir agar mereka tetap bekerja di tanah yang kaya itu. Dan barangkali pembicaraannya itu sudah disampaikan berulang-ulang kepada Khalifah, dan memperkuatnya pula bahwa hubungan Mesir dengan para penguasa Rumawi tidak baik, seperti hubungan Irak dengan penguasa-penguasa Persia. Ditambah lagi dengan pertentangan kelompok-kelompok telah menimbulkan dendam orang-orang Mesir di sepanjang Sungai Nil dan melipatgandakan kebencian mereka kepada para penguasa itu, walaupun belum berupa pemberontakan.

Semua ini merupakan faktor yang membawa kemenangan orang­orang Arab menghadapi musuh-musuh mereka di Lembah yang subur itu. Kalau ditambah lagi dengan kesan yang sudah tertanam dalam hati orang ketika itu mengenai keperkasaan Muslimin dan bahwa mereka tak akan dapat dikalahkan karena Allah bersama mereka, tak perlu ragu lagi untuk menyerbu Mesir dan menyebarkan panji Islam di sana. Di samping itu kekayaan Mesir dan kemakmurannya yang melimpah yang sedang menunggu kaum Muslimin, akan menambah kenikmatan hidup di dunia, seimbang dengan mati syahid dalam perjuangan di jalan Allah yang akan menambah pula kenikmatan hidup akhirat.

Bukan sekali saja Umar mendengar pembicaraan demikian dan yang semacamnya. Ia menyimaknya baik-baik dan lama sekali dipikirkan. Besar sekali dorongan untuk menyerbu Mesir itu bagi barang siapa yang mampu melakukannya. Kekayaan dan keindahannya tak dapat dibandingkan dengan Irak dan Syam! Pernahkah sejarah di segenap penjuru dunia bercerita seperti cerita tentang sejarah Mesir, atau di kedua belahan dunia ini pernah ada peninggalan-peninggalan yang begitu agung seperti itu?! Tetapi Umar setiap kali diajak berbicara soal ini masih selalu maju-mundur, dan belum mau ia mengizinkan Amr bin As bertindak. Sejak permintaan izin hendak menyerbu itu disampaikan dua tahun lalu, dalam pada itu beberapa sahabat besar di Medinah pun tidak menyetujui, karena khawatir akan akibatnya. Mereka berusaha membatalkan maksud demikian itu. Dengan begitu rencana Amr bin As itu ditolak.

Ada beberapa alasan datang silih berganti yang menyebabkan Umar maju-mundur. Alasan pertama, politik Umar dalam hal ini, sampai akhir tahun 17 Hijri adalah murni politik Arab, yakni ia tak ingin melampaui Irak dan Syam setelah keduanya digabungkan ke Semenanjung Arab. Ia berpendapat perlunya penggabungan itu karena kabilah-kabilah Arab yang bermigrasi ke sana tunduk kepada Banu Lakhm dan Banu Gassan dan mereka membentuk sebuah kerajaan Arab yang masing-masing tunduk di bawah pengaruh Kisra dan pengaruh Kaisar. Seharusnya raja ini di bawah kedaulatan Arab saja, bebas sendiri dan memegang kekuasaannya sendiri pula, sehingga Arab itu menjadi satu kesatuan yang membentang dari Teluk Aden dan dari Samudera Indonesia ke ujung utara pedalaman Samawah. Oleh karena itu ia melarang Sa'd bin Abi Waqqas melampaui dataran Irak ke pegunungan Persia, dan ingin sekali ia sekiranya antara Sawad Irak dengan pegunungan itu ada dinding pemisah dari api. Pihak Persia tidak akan menyusup ke sana dan dia pun tidak akan menyusup ke Persia. Selama itu ia berpegang teguh pada politik ini, sampai kemudian pihak Muslimin mau tak mau berperang melawan Hormuzan. Sesudah kemudian Persia mengerahkan pasukannya di Nahawand dan Allah memberikan kemenangan kepada pasukan Muslimin. Umar memerintahkan supaya Muslimin menjelajahi kawasan mereka untuk mengusir Yazdigird dari sana, dan menumpas setiap pembangkangan.

Alasan lain yang menyebabkan Umar maju-mundur membebaskan Mesir, ialah karena sampai akhir tahun 16 Syam belum seluruhnya tunduk kepada kekuasaan Muslimin. Di bagian utaranya masih terus memperlihatkan permusuhan dan belum ada kestabilan, sehingga akhirnya Abu Ubaidah bin Jarrah dan Khalid bin Walid berhasil menumpas pembangkangan mereka, yaitu ketika Heraklius mengirimkan kekuatan pasukannya yang dibawa dengan kapal dari Iskandariah ke Antakiah, dan ketika datang pula penduduk Semenanjung memberikan bala bantuan, yang berakhir dengan semua mereka itu lari. Belum lagi Kaisariah yang kedudukannya masih tetap kuat di pantai laut mengadakan perlawanan terhadap kekuatan Muslimin dan mengancam pusatnya di Palestina sampai kemudian diporakporandakan oleh Mu'awiah bin Abi Sufyan. Begitu juga halnya dengan keadaan Suria dan Palestina sampai pada akhir tahun 17 Hijri Umar tidak mau berspekulasi dengan mengirimkan angkatan bersenjatanya dari Syam untuk menghadapi Rumawi di Mesir. Beranikah ia berspekulasi begini jika Allah telah memberikan kemenangan kepadanya di Syam? Dalam soal ini ia masih ragu juga. Di Medinah ada Usman bin Affan dan sahabat-sahabat yang lain yang tinggal di Medinah yang membuatnya lebih ragu lagi untuk maju dan berspekulasi.

Sesudah seluruh Syam tunduk, timbul alasan baru yang membuatnya tetap maju-mundur. Di Semenanjung ketika itu timbul bencana kelaparan dan penduduk terancam kepunahan. Hal ini menyita pikiran Umar dari yang lain. Bagaimana pula akan memerangi Rumawi di Mesir sementara penduduk Semenanjung sedang dalam kelaparan. Tidaklah pada tempatnya memberikan bala bantuan kepada pasukan yang sedang menghadapi Rumawi atau Persia. Belum lagi bencana kelaparan ini berakhir datang pula wabah menyebar di Amawas di bilangan Palestina dan dari sana menjalar ke Syam dan Basrah, sehingga sangat mengejutkan Umar dan seluruh umat Islam. Mereka khawatir akan terjadi pemberontakan di Irak dan di Syam dan berbaliknya kembali Persia dan Rumawi untuk mengikis kekuasaan Muslimin di sana. Wajar sekali bilamana selama musim kelaparan dan bencana wabah itu Umar melupakan samasekali semua yang telah dibicarakan oleh Amr bin As mengenai Mesir dan membuang jauh-jauh pikiran hendak menerobos kawasan itu.

Desakan dan alasan Amr bin As

Selama terjadi kedua bencana itu Amr bin As pun diam tidak lagi membicarakan dengan Umar mengenai penyerbuan ke Mesir. Tetapi harapannya hendak meyakinkan Khalifah waktu ada kesempatan mengenai langkah besar ini tetap terbayang di depannya. Sesudah keadaan di Semenanjung itu kembali seperti biasa, dan Syam bebas dari wabah dan Khalifah sendiri pun datang ke sana hendak memperbaiki keadaan dan mengatur kembali angkatan bersenjatanya, Amr menemuinya di Jabiah dan pergi bersama-sama di kawasan itu; kembali lagi ia membicarakan soal Mesir dengan mengemukakan argumen-argumen baru yang diperkirakan akan menghilangkan keraguan Umar. Andaikata setelah terjadinya musibah kelaparan dan wabah yang sangat mengerikan itu pihak Muslimin sudah merasa puas, dengan tetap diam di negeri­negeri yang sudah mereka duduki itu, niscaya pihak musuh mengira mereka sekarang sudah lemah, dan niscaya pula dengan dugaan itu mereka akan terdorong melakukan serangan balik.

Atrabun di Mesir memang sudah mengumpulkan pasukannya dan sudah mengadakan persiapan perang lagi. Jika tak ada yang akan menyerangnya ia dengan angkatan bersenjatanya akan berangkat ke Palestina untuk memerangi Muslimin. Bukankah lebih baik pasukan Muslimin yang mendahului menyergapnya ke sana, karena menyerang adalah cara pertahanan yang terbaik?! Kalau pasukan Arab yang maju menyerang Mesir, Rumawi akan yakin bahwa pasukan Musiimin masih seperti dulu, tetap kuat dan tangguh. Mereka akan bertahan. Dengan demikian Syam akan aman dari serangan balik mereka. Bagaimana pula Heraklius akan memindahkan kekuatan bersenjatanya dengan kapal dari Mesir ke Antakiah atau ke tempat lain sementara Mesir sendiri mendapat serangan pasukan Muslimin! Kalau pada suatu waktu Allah memberikan kemenangan dan mewariskan Mesir kepada pasukan Muslimin, itulah yang menjadi keyakinan Amr bin As, itulah kemenangan yang tak akan ada lagi kemenangan serupa itu. Kalau kekuatan itu berimbang dan pihak Rumawi meminta damai, amanlah pihak Muslimin di Syam, di jazirah Irak dan di daerah-daerah lain yang sebelumnya sudah tunduk kepada angkatan bersenjata Amirulmukminin. Pihak Muslimin tak perlu merasa takut akan mengalami kekalahan di Mesir dan kekalahan itu akan berakibat kepada kehancuran sehingga akan menghilangkan apa yang sudah diperoleh dari Kaisar itu. Seluruh Syam sekarang sudah dibentengi oleh kekuatan pasukan Muslimin yang tersebar di mana­mana, dan bergabungnya orang-orang Arab penduduk asli kepada saudara­saudara sepupunya untuk mempertahankannya, di samping keyakinan penduduk yang bukan Arab, bahwa pemerintahan Muslimin lebih baik dan lebih adil daripada di bawah Rumawi.

Semua argumen itu dengan saksama sekali disimak oleh Umar, dan setelah dipertimbangkannya masak-masak ia cenderung menerima pendapat Amr itu, lebih-lebih setelah melihat keyakinan Amr yang begitu kuat bahwa ia mampu membebaskan Mesir berdasarkan logika yang memang sukar dibantah itu. Demikianlah, Umar sendiri dan banyak orang Arab yang lain pada masanya itu sudah banyak tahu tentang Mesir dan kekayaannya serta ketidaksenangan orang-orang Mesir sendiri terhadap kekuasaan Rumawi dan cara-cara pemerintahannya. Dengan demikian permintaan Amr bin As tidak lagi ditolak tetapi ditangguhkan sampai nanti ia akan menulis surat kepadanya setelah kembali ke Medinah. Sementara menunggu surat itu ia menyusun rencana perjalanannya ke Mesir.

Hubungan Mesir dengan Arab sudah ada sejak lama

Umar sendiri dan banyak orang Arab yang lain sudah banyak tahu tentang Mesir. Pengetahuan mereka tidak terbatas hanya dari apa yang mereka dengar dari orang-orang yang pergi ke sana membawa perdagangan seperti Amr bin As sendiri, tetapi lebih luas dari itu dan lebih saksama dan menyeluruh. Hubungan Mesir dengan negeri-negeri Arab sudah ada sejak zaman dahulu kala. Sejak masa kekuasaan Firaun, Mesir sudah merupakan negeri kelautan, armada kapal-kapal perang dan kapal-kapal dagangnya menerobos gelombang Laut Tengah dan Laut Merah sejak zaman purbakala. Armada kapal-kapal dagang pergi ke bagian selatan negeri-negeri Arab membawa barang-barang dagangan dan kembali membawa berbagai macam komoditas, terutama sekali parfum dan wangi-wangian yang digunakan untuk membalsam mumi. Kapal-kapal itu berangkat dan berlabuh di letak kota pelabuhan Qusair yang sekarang, kemudian barang-barang ini diangkut ke Mesir, yang pada masa kekuasaan keluarga-keluarga Firaun yang mula-mula itu melalui jalan yang membentang dari Qusair ke Laut Merah dan Qift di tepi Sungai Nil. Dari peninggalan-peninggalan inskripsi Karnak dan kuil-kuil Mesir, kalangan arkelogi sudah membuktikan penemuannya berupa gambar kapal-kapal Mesir ini serta barang-barang dagangan bawaannya, juga dari inskripsi-inskripsi kuil Dair al-Bahr mengenai berdirinya kerajaan Firaun Hanasu (Khonsu?) membuka jalur pelayaran yang menghubungkan Sungai Nil dengan Laut Merah dan Teluk Suez melalui Buhairat al-Murrah (Bitter Lakes). Di jalur pelayaran ini kapal­kapal membawa barang-barang komoditas melalui Laut Tengah dan Laut Merah, membawa barang dagangan Mesir dan barat laut Afrika ke Timur dan membawa barang dagangan Mesir dan Timur ke barat laut Afrika. Mesir waktu itu, lebih ramai dari yang sekarang, merupakan pusat perdagangan yang sudah dikenal di seluruh dunia. Lalu lintas perdagangan semacam inilah di antara yang paling banyak mendapat perhatian raja-rajanya.

Bukanlah armada laut itu saja yang selama berabad-abad menjadi sarana penghubung antara Mesir dengan negeri-negeri Arab, tetapi terusan Suez pun merupakan sarana penghubung yang pada suatu waktu tak pernah terputus antara keduanya. Di Semenanjung Sinai ada sebuah jalan yang dibangun oleh orang-orang Mesir lama menuju ke tempat-tempat pertambangan tembaga yang terletak di daerah itu. Jalan ini menyusuri utara Hijaz hingga bertemu di Taima' dengan jalan yang menuju ke Babilon di pantai Furat. Babilon yang ketika itu adalah seluruh Irak, pada waktu-waktu tertentu berada di bawah Mesir, dalam arti perdagangan merupakan sarana penghubungan antara kedua negeri itu, ang juga pada suatu waktu menjadi penyebab pecahnya peperangan antara mereka.

Jalan yang membentang dari Sinai di utara Hijaz ini juga bersambung ke jalan kafilah yang mengalir dari Mekah ke Yaman. Di jalur jalan ini tidak sedikit lalu lintas perdagangan Mesir dan negeri-negeri di Laut Merah yang dibawa ke Yaman dan Persia, ke India dan Timur Jauh. Juga tidak kecil perdagangan Yaman, Persia, India dan Timur Jauh yang dibawa ke Mesir dan negeri-negeri di Laut Merah melalui jalur yang sama. Orang-orang Mesir yang membawa barang-barang dagangan itu melintasi negeri-negeri Arab selama dalam perjalanan kafilah itu, dan orang-orang Arab membawa barang-barang komoditas Timur ke Mesir memasuki negeri ini dengan kafilah-kafilah. Mereka tinggal di sana sementara dari sini mereka kembali dengan membawa barang-barang dagangan baru. Yang demikian ini sudah berjalan sejak zaman silam, dan tetap berkesinambungan sejalan dengan kebiasaan orang mengarungi lautan dan membawa barang-barang dagangan dengan kapal-kapal mereka.

Para sejarawan abad-abad lama menyebutkan bahwa hubungan ini membuat tidak sedikit orang Arab tinggal menetap di sebuah lembah di Mesir sejak masa Firaun, dan sebuah koloni orang-orang Mesir yang menetap di sebuah wahah di jalur kafilah, dan bahwa koloni inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya kota Yasrib di sekitar itu, kota Rasulullah 'alaihis-salatu was-salam.

Pada zaman dahulu kala itu bukan hanya hubungan perdagangan dan perlindungan para kafilah itu saja yang menjadi ikatan orang-orang Arab dan orang-orang Mesir, tetapi juga terjadi ikatan kerabat, yang kalau oleh orang Yaman dilupakan orang Hijaz tidak melupakannya, terutama sekali orang Mekah tidak akan melupakannya. Ismail putra Ibrahim 'alaihis-salam yang menjadi leluhur orang Arab, Hajar ibu Ismail adalah orang Mesir asli. Ibrahim dengan istrinya Sarah mengembara dari Irak ke Palestina, kemudian ke Mesir. Lalu raja Mesir menghadiahkan Hajar kepadanya, maka lahirlah Ismail. Sarah marah karena Ibrahim mempersamakannya dengan Hajar. Ia bersumpah tidak akan tinggal bersama Hajar. Ibrahim membawa Hajar dan anaknya ke tanah Arab dan ditempatkan di lembah letak berdirinya Mekah sekarang. Ismail menikah dengan seorang gadis yang subur dari kabilah Jurhum yang kemudian memberikan keturunan dua belas anak. Mereka inilah yang menjadi nenek moyang orang Arab al-Musta'ribah. Orang-orang Arab ini dari pihak perempuan yang berkeluarga kepada Jurhum, berasal dari anak-anak Ya'rub bin Qahtan, dan Ismail bapa mereka dari pihak perempuan berkeluarga ke Mesir.

Ibrahim yang pernah tinggal di Mesir kemudian pindah ke tanah Arab. Maka antara kedua suku bangsa ini dalam dua ribu seratus tahun Pra Masehi terjalin pertalian nasab, di tambah lagi dengan hubungan baru berupa hubungan dagang yang antara keduanya sudah ada sejak zaman silam. Dua abad setelah pertalian semenda ini antara kedua suku bangsa itu terjalin pula hubungan politik yang telah meninggalkan bekas yang kekal dalam sejarah. Raja-raja Mesir keluarga Hyksos adalah orang-orang Arab yang berimigrasi ke Palestina dan menetap di sana. Kemudian mereka pergi ke Mesir dan memeranginya lalu mendirikan kerajaan yang berlangsung selama lima abad berturut-turut, dari permulaan abad ke-20 hingga akhir abad ke-15 Pra Masehi. Selama abad­abad itu kerajaannya membentang di lembah Nil, sampai kemudian orang-orang Mesir berhasil mengusir mereka. Mereka keluar dari Mesir setelah jumlah mereka mencapai hampir seperempat juta orang. Beberapa sejarawan menyebutkan bahwa Hyksos itu orang Israil, dan kisah Nabi Yusuf terjadi di masa mereka.

Hubungan dagang, politik dan nasab ini terus berlanjut antara Mesir dengan negeri-negeri Arab. Kadang melemah, adakalanya menguat. Yang memperlemah ialah pendudukan Rumawi di Mesir selama sekian lama, kemudian kembali seperti sebelum itu. Soalnya karena orang­orang Arab tetap mengadakan perjalanan musim panas ke Syam, kemudian di antara mereka ada yang menempuh jalan kafilah di Ailah [Aqabah] (Elath) ke Mesir, dan yang sebagian besar mereka pergi ke Syam. Bilamana sudah sampai dan menyelesaikan perdagangannya di sana mereka berangkat ke Mesir. Demikian juga yang dilakukan oleh Amr bin As di zaman jahiliah dan pada masa Islam.

Hubungan Mesir dengan negeri-negeri Arab melalui perjalanan laut tidak kurang pula seringnya dari perjalanan kafilah. Kapal-kapal yang di bawa pelaut-pelaut Mesir berlabuh di Jidah dan pelabuhan-pelabuhan yang lebih kecil lainnya di negeri-negeri Arab itu, mengadakan pertukaran perdagangan, dan dari sana pelaut-pelaut itu mengangkut bahan makanan yang mereka perlukan. Hubungan ini membuat beberapa orang Mesir yang berkunjung ke negeri-negeri Arab lalu tinggal menetap di sana, seperti juga orang Arab yang mengadakan perjalanan musim panas berkunjung ke Mesir kemudian tinggal menetap di lembah negeri itu. Buku-buku biografi Nabi (sirah) menyebutkan bahwa ketika banjir menimpa Ka'bah sampai menghancurkannya yang terjadi beberapa tahun sebelum kerasulan Nabi, dan bahwa kemudian ada sebuah kapal yang datang dari Mesir milik seorang pedagang Rumawi bernama "Baqum" Pachomius) kandas dan rusak dihempaskan laut, kayu-kayunya dibeli oleh penduduk Mekah untuk digunakan membangun kembali Ka'bah.

Mereka meminta bantuan seorang Kopti Mesir yang tinggal di Mekah yang mempunyai kepandaian sebagai tukang kayu untuk memperbaikinya. Ia setuju mengerjakannya dan akan dibantu pula oleh Pachomius. Dan bukan hanya orang Kopti Mesir itu saja yang tinggal di tanah suci itu.

Kisah Qur'an tentang Mesir

Karena hubungan ini pula orang-orang Arab tahu banyak tentang Mesir. Dalam sekian banyak ayat Qur'an juga sudah menyebutkan. Dengan demikian kaum Muslimin makin mengenalnya. Mereka dulu sudah mengenal sungainya yang besar, tanahnya yang subur serta tanam-tanamannya yang segar, kekayaan yang melimpah yang dicerita kan penduduknya yang datang berdagang ke sana. Setelah di dalam Qur'an disebutkan kisah Nabi Yusuf dan Nabi Musa mereka lebih mengetahui dan lebih yakin mengenai cerita penduduk itu. Dalam Surah Dukhan (44: 25-27) Allah berfirman: "Berapa banyak taman dan mata air yang mereka tinggalkan. Dan tanam-tanaman dan tempat-tempat kediaman yang indah. Dan kenikmatan tempat mereka bersenang­senang." Dan firman-Nya dalam Surah Zukhruf (43: 51): "Dan Firaun mengumumkan kepada kaumnya, dengan mengatakan: "Hai kaumku! Bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku, dan sungai-sungai ini mengalir di bawahku. Tidakkah kamu melihat?" Kemudian firman-Nya lagi melalui kata-kata Bani Israil: "Dan ingatlah, kamu telah berkata: "Wahai Musa! kami tak tahan hanya dengan satu macam makanan saja; maka berdoalah kepada Tuhanmu untuk kami, supaya diberikan kepada kami apa yang ditumbuhkan bumi, - sayur-mayur, mentimun, hawang putih, miju dan bawang merahnya." Ia berkata: "Adakah hendak kami ambil yang rendah menggantikan yang lebih baik? Turunlah kamu ke kota (Mesir) dan kamu akan memperoleh apa yang kamu minta!" (Qur'an, 2: 61). Dalam beberapa bagian juga disebutkan tentang istana-istana dan peninggalan-peninggalan Mesir dengan mengisyaratkan pada sejarah serta peribadatan penduduknya. Ayat-ayat tersebut dan yang serupa itu yang melukiskan Mesir disebutkan ketika Qur'an mengisahkan percakapan Ibrahim, Musa, Yusuf dan nabi-nabi yang lain. Terbayang dalam hati kaum Muslimin lukisan alam Mesir, juga sejarahnya dari masa silam sampai saat mereka itu.

Dalam pikiran mereka percakapan Nabi Musa mengungkapkan kembali sebagian wajah kehidupan anak Imran itu sejak ia dilahirkan, dan setelah ada perintah Firaun untuk membunuh bayi yang lahir dalam kerajaannya, untuk memenuhi penafsiran orang mengenai mimpinya.

Ibunda Musa melemparkan bayi yang disusuinya ke Sungai Nil, yang kemudian dipungut oleh salah seorang keluarga Firaun dan dipeliharanya. Sesudah besar, Musa pernah membela seseorang dari kaumnya, Bani Israil, melawan orang Mesir. Oleh Musa orang Mesir itu ditinjunya dan ia pun mati. Jadi dia secara tidak berhak telah menghabisi nyawa orang. Karena khawatir akan pembalasan orang-orang Mesir Musa lari dan tinggal di Madyan. Ia menikah dengan putri kepala sukunya dan dimintanya ia bekerja padanya selama delapan tahun; sesudah itu ia kembali menuju Mesir melalui jalan pegunungan. Tetapi terdengar suara memanggilnya dari tepi kanan wadi dan tugas kerasulan diberikan kepadanya. Lalu Musa dan saudaranya Harun pergi kepada Firaun dan pembesar-pembesamya, mengajaknya menyembah Allah Yang Mahaesa. Tetapi Firaun menjadi sombong dan berseru kepada bangsanya: "Akulah Tuhanmu Yang Tertinggi, dan kepada para menterinya ia berkata: Hai Haman! Dirikanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi, supaya aku dapat mencapai segala sarana. Segala sarana ke langit sehingga aku dapat naik sampai ke Tuhannya Musa; tetapi keras sekali dugaanku dia adalah pendusta." (Qur'an, 40: 36-37). Kemudian Musa memperlihatkan mukjizatnya, maka Firaun pun memanggil tukang-tukang sihirnya. Tetapi setelah mereka melihat tongkat Musa menelan semua yang mereka kerjakan, mereka percaya kepada Musa. Dan orang-orang Bani Israil mengikuti Musa. Karena Firaun melihat keberadaan mereka di sana akan membuat kerusakan, maka ia bermaksud hendak mengikis habis mereka. Nabi Musa dan Bani Israil lari ke tanah yang dijanjikan. Firaun dan pasukannya mengejar mereka, tetapi Allah menenggelamkannya di laut. Maka ia pun mati dengan meninggalkan tanam-tanaman dan tempat-tempat kediaman yang indah serta kenikmatan tempat mereka bersenang-senang.

Penulis-penulis menyebutkan mengenai percakapan Nabi Yusuf tentang besarnya kesenangan dan kemewahan para penguasa Mesir. Seorang pembesar Mesir telah membeli Yusuf. Istrinya memberi tempat terhormat kepadanya dengan harapan dapat memberi manfaat kepada "Mereka dan sekaligus mengangkatnya sebagai anak. Sesudah ia berangsur dewasa dan tampak betapa tampannya dia, istri al-Aziz (pembesar) tergila-gila kepadanya. Perempuan-perempuan di kota berkata: Istri (pembesar) al-Aziz menggoda pelayannya supaya berbuat serong; ia (Yusuf) sungguh telah membangkitkan cinta berahinya. Kita lihat dia dalam kesesatan yang nyata." Setelah ia mendengar gunjingan mereka, mereka diundangnya, dan disediakannya buat mereka tempat duduk; dan buat mereka disediakan masing-masing sebilah pisau, dan ia berkata (kepada Yusuf): "Tampillah ke hadapan mereka!" Bila mereka sudah melihatnya, mereka sangat terpesona. Dan (karena terkejut) mereka telah mengiris jari-jari mereka sendiri. Mereka berkata: "Mahabesar Allah! Ini bukan manusia. Dia tiada lain daripada malaikat yang mulia!" Dia berkata: "Orang inilah, yang karenanya kamu telah menyalahkan aku; dan aku telah menggodanya supaya dia berbuat serong tetapi ia tetap tak ternodakan!... Dan kalau tidak mau melakukan apa yang kuperintahkan, pasti ia akan dimasukkan ke dalam penjara, dan ia akan menjadi orang yang hina!" (Qur'an, 12: 30-32). Karena Yusuf tetap menolak ia dipenjarakan. Perempuan-perempuan yang tangannya terpotong itu tak dapat menyalahkan perbuatan istri yang tergila-gila kepada Yusuf itu. Yusuf tinggal dalam penjara selama beberapa tahun. Kemudian dibebaskan setelah menafsirkan mimpi raja: tujuh ekor sapi betina yang tambun dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus-kurus; dan tujuh bulir gandum hijau yang lain kering. Kata (Yusuf): "Selama tujuh tahun kamu bertanam seperti biasa, dan hasil yang kamu tuai biarkan dalam bulirnya, - kecuali sebagian kecil yang kamu makan. Kemudian setelah itu datang masa kesulitan selama tujuh (tahun), yang akan menghabiskan apa yang kamu simpan terlebih dulu, - kecuali sebagian kecil yang kamu jaga. Kemudian setelah itu datang suatu tahun orang mengalami hujan dan saat itu orang memeras (anggur dan minyak)." (Qur'an, 12: 47-49). Oleh raja ia dijadikan penanggung jawab persediaan negara, yang kemudian dapat dilaksanakannya dengan baik sehingga tanah menjadi hijau, segar dan subur seperti semula; sayur-mayur, mentimun, bawang putih, miju dan bawang merah tumbuh subur.

Kisah tentang Nabi Yusuf dan Nabi Musa ini mencerminkan sebuah lukisan tentang alam dan kekayaan Mesir, tentang penyembahan dan kepercayaan penduduknya, tentang adat-istiadat dan tingkah laku mereka, sejarah mereka, gambaran tentang pemerintahan yang berlaku pada abad-abad dahulu itu. Yang sudah kita sebutkan hanya sekadar ringkasan apa yang sudah disebutkan dalam Qur'an tentang Mesir. Wajar sekali kaum Muslimin yang mula-mula mengikuti semua yang dikisahkan di dalam Qur'an itu, dan mereka bergairah sekali ingin mengikutinya terus. Orang-orang Yahudi dan Nasrani pun berdebat dengan mereka, tentang Musa, tentang Isa dan para nabi yang lain yang disebutkan di dalam Qur'an. Perdebatan ini pun memperluas dan memperdalam pengetahuan mereka tentang Mesir.

Perkenalan kaum Muslimin tentang Mesir tidak terbatas hanya pada abad-abad lampau itu saja, tetapi keadaan Mesir zaman mereka lebih banyak yang mereka ketahui daripada sejarah lamanya. Soalnya pihak Arab waktu mengikuti dengan penuh perhatian apa yang terjadi antara Persia dengan Rumawi, hingga timbul kelompok-kelompok, yang satu berpihak kepada Persia dan yang lain berpihak kepada Rumawi Tatkala memasuki dasawarsa kedua abad ketujuh Persia mengalahkan Rumawi dan menduduki Mesir dan Syam, Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam waktu itu sudah diutus sebagai nabi. Orang-orang yang memusuhi Rasulullah berpihak pada Persia dengan mengatakan bahwa Rumawi akan kalah karena mereka Ahli Kitab seperti kaum Muslimin, sedang kaum Muslimin berpihak kepada Rumawi. Keberpihakan mereka makin keras ketika turun firman Allah ini: Kerajaan Rumawi telah dikalahkan, di negeri yang dekat; tetapi setelah mengalami kekalahan mereka akan menang, dalam beberapa tahun lagi. (Qur'an, 30: 2-4). Peperangan antara kedua kerajaan besar itu diikuti terus oleh kelompok tersebut, masing-masing memperhatikan berita-berita yang simpang siur yang sampai kepada mereka.

Hubungan Mesir-Arab di masa Rasulullah

Perang antara kedua kerajaan itu di Mesir yang terus-menerus berlangsung cukup lama. Persia memasuki Mesir tahun 616 Masehi yang berlanjut selama sembilan tahun sampai akhirnya dikeluarkan dari Mesir dan dari Syam oleh Heraklius. Selama tahun-tahun itu perhatian pihak Muslimin terarah ke kawasan itu dengan keyakinan bahwa Rumawi pasti mengalahkan Persia, seperti diwahyukan Allah kepada Nabi-Nya. Sesudah dekrit Tuhan itu menemui kenyataan dan Persia kembali ke negerinya, Rasulullah sudah hijrah ke Medinah, dan dari sana pasukan-pasukan ekspedisinya mengadakan perjalanan ke sekitar kota. Sesudah keadaan stabil ia mengirim utusan-utusan kepada Kisra, Kaisar Rumawi, kepada raja-raja Hirah dan Gassan, kepada para pemimpin di Semenanjung dan kepada penguasa Mesir, mengajak mereka kepada Islam.

Yang cukup menarik ialah penguasa Mesir, Muqauqis.1 Dalam membalas surat Nabi, dari antara semua raja dan pemimpin surat balasan dialah yang terbaik dan ramah. Surat itu dikirim di tangan Hatib bin Abi Balta'ah, utusan Nabi, dengan mengatakan bahwa ia memang yakin akan datang seorang nabi, tetapi menurut perkiraannya kedatangannya itu di Syam. Disebutkan bahwa ia menyambut utusan Nabi dengan penghormatan sebagaimana mestinya, dan ia membalas dengan mengirim hadiah dua dayang-dayang dan seekor bagal berwarna putih dan seekor himar disertai uang dan beberapa barang produksi Mesir.2 Dari dua dayang-dayang Kopti itu Muhammad mengambil Maria, yang kemudian melahirkan Ibrahim. Lalu Maria diangkat sederajat dengan istri-istrinya yang lain, di samping katanya: "Saya pesankan, jaga baik­ baiklah orang-orang Kopti itu. Mereka itu zimmi dan masih sanak keluarga."

Nabi memilih Hatib bin Abi Balta'ah untuk menyampaikan suratnya kepada Muqauqis itu dan dalam waktu yang sama memilih Amr bin As kepada raja Oman. Ini membuktikan bahwa dalam urusan perdagangan Hatib memang sering mundar-mandir ke Mesir. Mungkin sekali ia pun menguasai bahasa orang Mesir. Jika sekiranya Amr bin As lebih mengenal negeri itu dan lebih menguasai bahasanya tentu Nabi akan lebih mengutamakan Amr sebagai utusan kepada Muqauqis daripada Hatib.

Sudah tentu pengetahuan kaum Muslimin lebih banyak lagi mengenai Mesir dan segala sesuatunya setelah Rasulullah wafat dan sesudah pembebasan Irak dan Syam dan mereka tinggal di sana, berhubungan dengan penduduknya selama bertahun-tahun jauh sebelum Amr bin As memulai pembicaraan dengan Amirulmukminin tentang rencananya hendak membebaskan Mesir itu. Persia sudah hampir sepuluh tahun menguasai Mesir sebelum diusir oleh Heraklius. Mereka sudah mengenal benar situasinya, benteng-benteng, kekayaan dan peradabannya dari keterangan orang-orang Arab yang berhubungan dengan mereka kemudian. Hubungan Mesir dengan Syam sangat erat, karena keduanya berada di bawah kekuasaan Rumawi dan karena penduduk Syam banyak yang pergi ke Mesir dalam urusan perdagangan. Seperti orang­orang Syam, kaum Muslimin juga banyak yang sudah mengenal Mesir. Oleh karena itu lukisan Mesir tampak jelas dalam pikiran Umar dan Amr bin As, juga dalam pikiran kebanyakan mereka, sehingga Amr mulai membicarakan rencananya itu dengan Khalifah.

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team