|
18. Memikirkan Pembebasan Mesir
(2/3)
Kota Iskandariah di masa Rasulullah
Lukisan ini memang sangat menggiurkan. Kesuburan
tanahnya, dan besarnya hasil produksinya sudah cukup
terkenal di seluruh dunia. Segala makanan pokok penduduk
seperti gandum, jawawut dan hasil bumi lainnya cukup
melimpah untuk memberi makan seluruh imperium Rumawi itu.
Selain hasil bumi kekayaan yang lain juga tak terhingga
banyaknya, seperti batu-batuan dan pertambangan. Kendati
sudah tunduk di bawah kekuasaan Rumawi serta kehancuran
negerinya dalam berperang dengan Rumawi ia menjadi pusat
dunia dalam ilmu, seni, industri, pertanian dan perdagangan
dengan perkembangan yang begitu menarik. Ibu kotanya ketika
itu Iskandariah, dengan segala kemegahan keindahannya, tetap
terpelihara sejak dibangun oleh Iskandar Agung, dan
diteruskan pula selama sepuluh abad berikutnya sejak
dibangun hingga menambah keagungan dan kemegahannya, dan
menarik orang segenap penjuru untuk tinggal di sana. Jumlah
penduduknya diatas satu juta, mewakili berbagai macam jenis
bangsa dan kepercayaan yang dikenal waktu itu. Penduduk
Mesir asli tidak sampai separuhnya, sedang selebihnya
terdiri atas orang-orang Rumawi, Yunani, Funisia, Arab dan
lain-lain. Di antara mereka ada yang beragama Yahudi, ada
yang beragama Nasrani, dan semua hidup dalam suasana kota
yang begitu mengagumkan, tenang, di samping kemakmuran hidup
serta keindahan dan keagungannya itu. Sungguh agung dan
megah, dengan menara Pharos, yang menjadi salah satu dari
tujuh keajaiban dunia. Di samping itu terdapat pula di sana
kuil-kuil raksasa, sasana kesenian yang luas,
bangunan-bangunan yang mewah, teater, tempat-tempat
pemandian untuk umum yang tak terhingga banyaknya. Semua itu
sangat mengagumkan para wisatawan yang datang ke sana dari
kota-kota yang sudah tinggi peradabannya, yang sekaligus
merupakan pasar dunia terbesar dengan pelabuhan-pelabuhannya
yang selalu sibuk. Perdagangan besar yang tampak terdiri
dari gandum, tali rami, kertas dan kaca, di samping hasil
pertanian dan industri Mesir. Dari luar yang didatangkan
dalam jumlah besar ialah emas dan gading yang dibawa dari
Nubia dan Etiopia, sedang pelbagai macam rempah, sutera,
perak, permata dan yang lain dibawa dari Samudera Indonesia
dan Laut Cina ke Laut Merah, dipindahkan ke Sungai Nil di
terusan yang menghubungkan kedua lautan itu, kemudian
melalui sungai besar diangkut ke Iskandariah.
Tidak aneh jika perdagangan Iskandariah sampai begitu
besar, dan pelabuhannya menjadi pelabuhan terbesar dunia,
dapat menampung 12.000 kapal dari berbagai macam ukuran.
Demikian juga kilang kapalnya merupakan yang terbesar pula,
dengan pekerjaan yang terus-menerus tanpa putus sepanjang
tahun. Kayu yang biasa untuk pembuatan kapal didatangkan
dari Syam, sedang di Mesir sendiri tumbuh sejenis tali rami
yang kuat yang disebut "daqas" dibuat untuk tali-temali
kapal dan untuk anyaman layar. Kapal-kapal perang juga
dibuat di Iskandariah di samping kapal-kapal niaga itu.
Pembuatan kapal-kapal perang itu terdiri dari dua macam:
yang satu kapal besar, dapat mengangkut seribu orang, dan
yang semacam lagi lebih ringan yang hanya dapat mengangkut
seratus orang. Kedua macam kapal itu dilengkapi dengan
alat-alat yang dapat melemparkan "api yunani" yang sangat
mematikan, mengandung bahan-bahan yang mudah menyala dan
tidak mudah dipadamkan, dengan kemampuan ledak dan bakar
"penganiayaan besar" sehingga dapat menimbulkan kerusakan
besar dan sangat menakutkan. Dalam beberapa kapal besar
terdapat pula bangunan tinggi di bagian belakang. Bila sudah
mencapai bagian tembok-tembok kota yang kukuh pasukan yang
ada di dalam kapal itu sudah sama tinggi dengan mereka yang
mempertahankan kota. Dari bangunan tinggi itu mereka dapat
melompat ke tembok-tembok kota, atau memasang jembatan
penyeberangan antara bangunan itu dengan tembok.
Lain halnya dengan kapal-kapal niaga yang juga dibuat di
Iskandariah itu. Di antaranya yang begitu besar dapat
mengangkut 4000 irdabb3 gandum. Kebanyakan di
antaranya dalam perjalanan niaga di Laut Merah dan berlabuh
di pelabuhan-pelabuhan kecil di Semenanjung. Perdagangan
yang dihasilkan di Mesir atau yang dibawa ke sana merupakan
suatu gambaran tentang kegiatan orang-orang Mesir yang tak
pernah diam dan selalu aktif rnengadakan hubungan dengan
Arab Hijaz dan Arab Yaman, di kota-kota atau di
pedalaman.
Yang menjadi ciri khas Iskandariah ini bukan hanya
kegiatan perdagangan dan industri dibandingkan dengan
kota-kota lain di jagat ini. Sejak dibangun oleh Iskandar
Agung dan menetapnya dinasti Ptolemaeus di sana sampai
datangnya orang Arab, kota ini tetap rnenjadi pusat kegiatan
intelektual dan ilmu di seluruh dunia. Memang benar bahwa
kegiatan ini adakalanya padam dan kadang berkobar, dan bahwa
beberapa kota dalam hal ini ada yang rnengikuti Iskandariah
pada zaman-zaman tertentu, terutama pada masa kekuasaan
Rumawi Mesir, tetapi ibu kota Mesir itu tetap selalu menjadi
acuan segala kegiatan itu, dan warganya yang terdiri dari
para ilmuwan, penyair, pengarang dan tokoh-tokoh seni tetap
memelopori kehidupan intelektual di dunia selama sepuluh
abad penuh. Karena jasa mereka juga maka tersebar kebudayaan
Grik yang mendahului berdirinya kota mereka. Dalam
mendirikan aliran-aliran baru sebagian memang erat
hubungannya dengan aliran-aliran Grik, dan sebagian
berlawanan dengan aliran-aliran itu, dan yang sebagian lagi
sepenuhnya berdiri sendiri. Semua ini bukan hal yang aneh
mengingat Iskandariah memang menjadi tempat bernaung para
ilmuwan, tokoh-tokoh seni, sastra dari berbagai bangsa dan
aliran agama. Di kota ini juga terdapat
perpustakaan-perpustakaan umum dan sumber-sumber ilmu dengan
segala alirannya, yang tak terdapat di tempat-tempat
lain.
Demikian juga misalnya sekolah kedokteran di Iskandariah
yang sudah begitu tinggi, yang di kota-kota lain belum ada
yang setaraf itu. Para dokter lulusannya cukup sebagai
saksi. Mereka dikagumi dan dihormati ke mana pun mereka
pergi di pelosok dunia ini. Di samping itu, juga studi-studi
ilmu pengetahuan dan teologi berkembang demikian rupa, yang
terlihat jelas dalam aliran-aliran filsafat yang memang khas
aliran Iskandariah (Alexandria), dan yang mencoba memadukan
antara ajaran Kristiani yang dasarnya rohani dengan
aliran-aliran filsafat Grik yang mengutamakan logika dan
rasionalitas semata. Salah satu unsur yang memperkuat
timbulnya pertentangan agama ialah berkembangnya ilmu
pengetahuan masa itu, sehingga menempatkan Mesir dalam
kegelisahan, dan posisinya yang makin memanas ketika
berhadapan dengan Rumawi yang mencapai puncaknya menjelang
datangnya Arab ke sana. Ilmu-ilmu seperti astronomi,
matematika, geografi dan arsitektur termasuk cabang ilmu
yang dipelajari di lembaga lembaga itu. Beberapa
ilmuwannya menulis karangan-karangan yang kemudian sudah tak
ada lagi yang tinggal selain yang disebutkan oleh para
sejarawan setelah itu, di samping para penulis dan penyair
yang sudah begitu keranjingan pada puisi, sehingga kalangan
ilmuwan sendiri pun menulis ilmunya dalam bentuk syair.
Dengan ilmu dan seni yang demikian itu tidak heran jika
berbagai ilmu berkembang subur dan membuat warganya makin
pandai, dan berbagai peninggalannya lahir dalam kegiatan
penduduk Iskandariah dan dalam kehidupan kotanya. Sejak masa
Firaun yang mula-mula Mesir sudah terkenal karena kemahiran
putra-putranya dalam seni bangunan. Maka wajarlah bilamana
bangunan masa Nasrani dengan keindahan bangunan lama dan
kemewahan bangunan Yunani itu bertemu, dan gedung-gedung
Iskandariah diperindah pula dengan pualam yang cantik serta
ukiran-ukiran mosaik yang berwarna warni dan mosaik kaca.
Sebenarnya susunan kota Iskandariah dan bangunan-bangunannya
memang indah sekali, orang akan terpesona melihatnya, yang
dilukis menurut pola papan catur: delapan alur dari barat ke
timur dengan kotak-kotak dan delapan buah lagi dari utara ke
selatan. Dua alur di tengahnya yang luas di kanan kirinya
berdiri dua bangunan kota yang paling megah. Tembok-tembok
kota, benteng-benteng, istana-istana dan gereja-gerejanya
dilapisi pualam yang putih metah menyilaukan mata, yang di
waktu siang kebanyakan bagian luarnya ditutup dengan kain
tenun berwarna hijau buatan Mesir.
Inilah gambaran ibu kota Mesir waktu itu. Semua ini
memperlihatkan bahwa kehidupan penduduknya serba mewah dan
dalam peradaban yang tinggi. Berbagai macam kebudayaan dan
intelektual bertemu di kota ini, yang tak mungkin ada di
kota-kota lain di dunia waktu itu. Pada masa-masa tertentu
kaum sibarit, mereka yang suka hidup bersenang-senang,
berusaha memaksakan pahamnya sendiri kepada orang Mesir,
sementara berbagai macam aliran filsafat dan agama yang
saling berlawanan hidup bertetangga, hanyut dalam perang
mulut, kendati tidak begitu meruncing. Di luar masa-masa itu
perdebatan sengit yang saling menyakitkan hati juga terjadi
antara para penganut aliran-aliran itu. Kaum
epikuris4 mengajak orang hidup bersenang-senang
dan menikmati segala macam kehidupan yang serba lezat,
walaupun tak sampai dihanyutkan oleh kenikmatan karena hidup
ini hanyalah olokolok dan kenikmatan beracun.
Sebaliknya penganut paham stoa,5 penganut paham
ini mengejek kaum epikuris dan mengajak mereka hidup zuhud
dari segala kenikmatan karena ini akan merusak pikiran dan
kesucian jiwa. Kaum Nasrani yang mau hidup suci, yang mau
menjauhkan diri dari segala godaan dunia, mengasingkan diri
ke padang pasir di dekatnya, mencari ketenangan hati dan
pikiran. Sedang keadaan pada masa penindasan agama
sebaliknya, kota Iskandariah yang begitu angkuh dengan
segala kemewahannya telah berubah menjadi gelanggang
kekacauan, suasana yang serba gembira dirusak, berubah
menjadi serba resah, serba kacau.
Penindasan agama di Mesir oleh kekuasaan
Rumawi
Ketika Amr bin As berusaha hendak meyakinkan Khalifah
ketika itu, penindasan agama di Mesir dan di ibu kotanya
sudah sangat merajalela. Soalnya, tak lama setelah Heraklius
mengalahkan Persia dan mengangkat kembali salib di
Yerusalem, beberapa kalangan Nasrani di seluruh dunia
mendesaknya agar ia berusaha menyelamatkan agama Nasrani
dari musibah yang sedang menimpanya serta memikirkan untuk
menyatukan sekte-sekte Kristiani dan meleburnya menjadi satu
sekte. Hal ini sudah dibicarakannya dengan para pemuka yang
mewakili berbagai macam sekte itu di Syam dan di Bizantium.
Setelah itu mereka diundang ke Majelis Chalcedon dan sepakat
mengakui hanya satu sekte Nasrani. Ketika itulah keuskupan
Iskandariah diserahkan kepada Cyrus, Uskup Agung Fasis di
Kaukasus dan dimintanya agar ia mengajak Mesir menganut
sekte resmi yang "bersatu." Tetapi ia tidak sadar bahwa
sektenya yang berusaha hendak mengadakan penyesuaian itu
akan ditolak oleh gereja Mesir, dan dia tidak tahu bahwa
jika Mesir sudah menolaknya penggabungan dengan jalan paksa
itu akan sangat berbahaya, karena mereka sangat membenci
pengalaman pahit yang pernah mereka rasakan. Bagaimanapun
juga, beginilah keadaannya di Mesir dan di Syam. Pemerintah
yang melihat keadaan agama dan kepercayaan waktu itu harus
turun tangan dan orang harus dihindarkan dari hal semacam
itu.6
Kepala Uskup Kopti di Mesir ketika itu,
Benyamin7 yang sangat dicintai rakyat, cerdas,
suka beramal, bersikap keras terhadap pemukapemuka
agama yang suka menentang dan sombong. Ia sangat fanatik
terhadap sekte Nasrani yang dianut rakyat Mesir, yaitu sekte
Yakobit yang berpaham bahwa "kodrat Tuhan dan kodrat manusia
berbaur dalam diri Kristus dan menjadi satu kodrat. Saat
terjadi inkarnasi ada dua kodrat. Tetapi sesudah itu berubah
menjadi satu kodrat." Sekte ini berbeda dengan sekte
Marcionisme8 yang berpaham bahwa "putra lahir
dari Bapa yang sebelum berabad-abad tidak diciptakan. Dia
adalah intisari-Nya dan cahaya-Nya. Putra bersatu dengan
manusia yang diambil dari Maria, maka keduanya menjadi satu
yaitu Kristus." Setelah Cyrus datang ke Iskandariah pada
musim rontok tahun 631 untuk mengajak rakyat Mesir menganut
sekte yang resmi, Benyamin lari dari Iskandariah dan
berlindung di dalam biara-biara yang banyak tersebar di
padang pasir, kemudian ke Qus. Tak jauh dari sana ia tinggal
di sebuah biara kecil, di tengah sahara yang dilindungi oleh
gunung-gunung yang tak mudah dicapai.
Larinya Benyamin ini sebagai pertanda yang sangat
mengejutkan orang-orang Kopti9 dan sangat
mencemaskan pemuka-pemuka agamanya. Mereka melihat bahwa
ajakan Cyrus kepada sekte baru itu merupakan suatu perbuatan
kufur yang paling parah. Ketika pertama kali datang ke Mesir
tak ada gunanya Cyrus berpura-pura, bahwa kedatangannya itu
membawa perdamaian, dan bahwa dia tidak akan memaksakan
sektenya itu dengan cara kekerasan, tetapi ia berusaha
hendak meyakinkan orang dalam ajakannya itu. Kaum Kopti
Yakobit dan Marcionit keduanya merasa jijik kepadanya.
Mereka melihat bahwa ajakannya adalah suatu bidat yang amat
menyesatkan. Orang makin menjauhi ajaran bidat ini ketika
kemudian datang Severinus dari Yerusalem ke Mesir dan dia
memimpin kaum Marcionit. Setelah Cyrus membuka sidang
teologis di Iskandariah dan mengundang anggota
anggotanya untuk membahas ajakannya kepada mereka itu,
Severinus berpura-pura berusaha memuji Cyrus mengenai
maksudnya itu, yang kadang dengan memberikan alasan, kadang
dengan permohonan. Melihat rakyat menjauhi ajakannya dan
memusuhinya, maka sekarang Cyrus menempuh jalan kekerasan
dan penyiksaan untuk memaksa orang menerima kehendaknya
itu.
Cyrus memang menggunakan tangan besi dan kekerasan.
Selama sepuluh tahun itu ia melakukan penganiayaan besar.
Penyiksaan itu dilakukan begitu biadab yang tak ada taranya
dalam sejarah. Saudara Uskup Benyamin disiksa dengan
menyalakan obor lalu ditempelkan ke tubuhnya yang kemudian
terbakar sehingga dari kanan kirinya lemaknya meleleh ke
tanah. Melihat ia tidak goyah dari pendiriannya, giginya
dicabuti dan dimasukkan ke dalam kantung berisi pasir lalu
dibawa ke pantai. Kemudian ia ditawari kalau ingin hidup
agar ia mau menerima sekte baru itu. Tetapi ia tetap
menolak. Tawarannya itu diulang sampai tiga kali dan selama
tiga kali itu pula ia tetap mengulangi penolakannya. Orang
itu kemudian dilempar ke laut dan mati tenggelam. Rahib
Samuel di biaranya di padang pasir menerima sepucuk surat
yang dibawa oleh seorang komandan pasukan yang terdiri dari
seratus orang mengajaknya menganut sekte yang baru itu.
Sambil melipat surat itu Samuel berkata: "Kami tak mempunyai
pemimpin selain Benyamin. Tuhan mengutuk surat kafir yang
datang dari Kaisar Rumawi itu, dan Tuhan mengutuk Majelis
Chalcedon dan siapa saja yang menyetujui keputusannya." Dia
dipukul sehingga dikira dia sudah mati. Tetapi ia sadar
kembali dan terus menyerang Cyrus. Atas perintah Cyrus
kemudian ia dibawa dengan tangan dibelenggu ke belakang dan
lehernya dikalungi besi. Ia berangkat dengan perasaan
gembira sambil berkata: "Semoga Tuhan sekarang menempatkan
saya sebagai syahid (martir) karena darah saya mengalir demi
Kristus." Ia memaki-maki Cyrus tanpa merasa takut. Cyrus
datang dan memerintahkan pasukannya supaya ia dipukuli
sampai darahnya mengalir, selanjutnya kata Cyrus kepadanya:
"Samuel, pertapa yang terkutuk, siapa yang mengangkatmu
sebagai kepala biara, dan memerintahkan kau mengajar para
rahib untuk memaki aku dan sekteku?" Rahib itu menjawab:
"Kebajikan itu dalam menaati Tuhan dan menaati orang
suci-Nya Uskup Benyamin, bukan menaatimu dan sektemu yang
sudah kemasukan setan, hai keturunan penindas! Hai penipu!"
Cyrus memerintahkan pasukannya memukul Samuel di bagian
mulutnya dengan mengatakan: "Samuel, engkau telah tertipu,
karena rahib-rahibmu telah mengagungkan engkau dan
mengangkatmu, karena kau menjadi pertapa. Oleh karena itu
kau jadi berani dan merasa berbesar hati. Tetapi aku akan
membuatmu merasakan akibat makianmu kepada para pembesar
ketika hatimu tergoda untuk menjalankan kewajibanmu
sebagaimana mestinya terhadap pemukapemuka agama dan
para pembesar pemungut pajak di negeri Mesir ini." Rahib itu
menjawab: "Dahulu pun Iblis bersikap sombong terhadap
malaikat, tetapi kesombongan dan kekafirannya itu suatu
perbuatan durhaka terhadap perintah Tuhan. Juga engkau
begitu, hai pengikut Chalcedon penipu! Sektemu itu sangat
tercela, dan kau sendiri lebih terkutuk dari setan dan
pasukannya." Merasa kesal dengan kata-kata rahib itu Cyrus
memberi isyarat kepada pasukannya agar ia dibunuh. Tetapi
penguasa Fayyum segera turun tangan dan ia minta supaya dia
diasingkan saja.
Dua contoh penyiksaan terhadap saudara Benyamin dan
Samuel ini melukiskan betapa kejamnya tindakan Cyrus itu.
Mereka yang menolak bergabung dengan sekte baru itu
dicambuk, disiksa dan dimasukkan ke dalam penjara, yang
berarti mereka akan menghadapi maut. Akibat penganiayaan ini
kebencian orang kepada Heraklius dan Cyrus makin besar.
Tidak sedikit mereka yang terpaksa keluar dari Mesir dan
pindah ke Nubia dan ke Etiopia, mencari perlindungan Tuhan
demi agama. Mereka yang tak dapat lari dan tak tahan siksaan
dan terpaksa berpaling dari agamanya, banyak mereka yang
bersikap lain di mulut lain di hati. Di samping itu banyak
juga mereka yang tergoda oleh kekuasaan harta atau
kedudukan, lalu menerima sekte baru itu, bukan karena cinta
atau karena percaya, tetapi untuk mencari apa yang lebih
memudahkan mereka dalam menempuh hidup ini. Segala yang
sudah dialami bangsa ini selama sepuluh tahun itu, telah
menanamkan rasa kebencian yang sudah mendarah daging
terhadap Bizantium, terhadap Kaisar dan terhadap Cyrus.
Faktor agama dan politik
Adakah karena fanatisme agama itu saja yang membuat
bangsa Mesir begitu benci kepada sekte baru itu dan
mengadakan perlawanan begitu gigih? Mungkin tidak begitu
salah jika ada orang yang tidak mengiakannya. Karena
kodratnya juga, kecenderungan religius bangsa Mesir sangat
dalam pada masa Firaun, dan tetap demikian selama
berabadabad. Mungkin karena kesederhanaan akidahnya,
walaupun agamaagama yang dianutnya berganti-ganti,
keteguhannya dalam berpegang pada sektenya itu berpengaruh
juga: yaitu keyakinan pada monoteisme (ketunggalan Tuhan,
tauhid) sejak abad-abad yang silam sudah ada. Dengan
keyakinan tauhidnya itu ia merasa bahwa Tuhan Maha Pencipta,
Maha Pemurah, Agung dan Luhur, Transenden, yang tak dapat
dijangkau oleh manusia biasa untuk dapat berkomunikasi
dengan ZatNya, kendati dengan kalbu yang sudah begitu
suci. Jadi harus ada yang sudah mendapat tingkat terdekat
untuk mendekatkan mereka kepadaNya, untuk mendapatkan
rida-Nya.
Tetapi bukan hanya kecenderungan religius saja yang
mendorong orang-orang Mesir untuk mengadakan perlawanan demi
keyakinan sektenya yang mereka hadapi selama masa
penganiayaan besar itu. Mereka sudah menganut agama Nasrani
setelah paganisme Firaun. Kemudian menurut ilmu hukum sekte
Kopti, pemuka-pemuka agama itu mengadakan pembahasan
mendalam seperti yang pernah dilakukan di masa Firaun
menurut ilmu hukum sekte mereka. Sesudah itu mereka kemudian
memeluk agama Islam, maka ilmu keislaman itulah yang menjadi
perhatian mereka dan yang mereka perdalam. Tak ada orang
yang dipaksa masuk agama Nasrani atau Islam dengan cara
disiksa. Mereka mengajak orang menganut agama-agama itu
dengan argumen. karena yang mereka lihat baik, maka mereka
terima. Mengapa mereka membenci dan tak mau mempertimbangkan
sekte Heraklius yang resmi itu sejak pertama kali
disampaikan kepada mereka? Kemudian mengapa mereka menentang
demikian rupa sehingga Cyrus menyiksa dan menganiaya mereka
begitu keji seperti yang sudah kita lihat itu?
Sudah tentu faktor politiklah yang lebih banyak berperan
dalam hal ini. Bangsa Mesir memang sudah membenci kekuasaan
orang-orang Roma10 yang di Roma dan di Bizantium
sendiri. Akibatnya sudah beberapa kali timbul pemberontakan
sengit. Kekuasaan ini memang sudah dibenci sebelum
kemenangan Persia atas Phocas lalu menguasai Mesir, juga
tidak sesudah kemenangan Heraklius terhadap Persia dan
mengusirnya dari Mesir. Pemerintahan Phocas adalah
pemerintahan tirani dan penindasan. Mesir ketika itu
memberontak dan mendukung Heraklius melawan Kaisar yang
kejam itu. Dalam sepuluh tahun selama pendudukan Persia
orang-orang Mesir telah merasakan adanya kebebasan yang
selama masa Phocas tak pernah mereka rasakan. Pihak Persia
membiarkan mereka dalam pemerintahan desentralisasi seperti
yang biasa berlaku di negerinya, dan dibebaskan dari
beberapa beban yang sangat memberatkan mereka, kendati para
pembesarnya besar kepala. Sesudah Heraklius dapat
mengalahkan Persia dan Mesir direbutnya kembali, orang-orang
Mesir sangat gembira sebab mereka sama-sama beragama Kristen
dan menginginkan agar diingat bahwa mereka memberikan
bantuan ketika ia memberontak kepada Phocas. Besar sekali
harapan mereka agar dalam menjalankan pemerintahannya jangan
sampai membebani mereka.
Tetapi kenyataannya, tak lama setelah itu mereka melihat
pemerintahan Roma yang lama terulang lagi, bahkan jauh lebih
jahat dan pemerintahan Persia. Penguasa dari pihak Kaisar
itu tidak saja menguras hasil bumi dan industri mereka untuk
dikirim ke Bizantium sebagai pajak yang dibebankan kepada
mereka, bahkan mereka menganggap tanah pun menjadi miliknya
yang mengharuskan - atau katakanlah memaksa - pemilik
asalnya membayar pajak kepadanya sebagai sewa tanah yang
mereka garap. Di musim subur barangkali orang masih dapat
menanggung pajak dan upeti itu dengan agak sabar, tetapi
Mesir kembali ke tangan Heraklius di musim sulit dan
paceklik. Keresahan di masa Phocas itu berakhir pada waktu
terbengkalainya Terusan yang menghubungkan Laut Merah dengan
Sungai Nil dan Laut Tengah. Baik kedatangan Persia maupun
orang-orang Heraklius mereka tidak pula mau memperbaiki
kembali. Perdagangan pun samasekali menjadi lumpuh sehingga
karenanya banyak orang Yahudi dan Yunani yang bergerak di
pasaran Iskandariah menjadi bangkrut. Harga-harga hasil
pertanian dan industri dalam negeri hancur dan membawa
krisis demikian rupa dan yang luar biasa mengejutkan rakyat
Mesir. Apa artinya industri kaca, industri tenun atau kertas
papirus atau industri-industri Mesir yang lain yang tadinya
begitu subur di Mesir Hilir dan di Mesir Tengah, jika di
luar tidak mendapat pasar, dan terbatas hanya pada yang
diperlukan pajaknya untuk Kaisar!
Itu sebabnya rakyat sangat membenci pemerintahan Rumawi,
dan mereka mengharapkan sekali sekiranya Mesir dapat bebas
dan berdiri sendiri. Tetapi Rumawi sudah melarang Mesir
membuat senjata dan penggunaannya. Kalangan terpelajar Mesir
dan para pejabat pemerintahannya sudah tunduk demi
kedudukan. Jadi harus mencari suatu cara agar bangsa dapat
menggerakkan diri, dan cara itu ialah menyulut
pemberontakan. Maka datanglah Cyrus dengan sekte Kristennya
yang baru itu berusaha hendak memaksa Mesir sampai
pemuka-pemuka agama mulai mengutuknya terang-terangan.
Dengan demikian terbukalah jalan bagi bangsa itu untuk
menghilangkan rasa dahaganya dengan jalan memberontak.
Seperti sudah kita lihat penganiayaan besar itu telah
membuat orang-orang Mesir makin benci kepada Kaisar dan
kepada Cyrus, kepada kekuasaan dan sekte mereka yang baru
itu.
Semua itu bukan tidak diketahui oleh Amirulmukminin dan
kalangan pemikir di sekitarnya. Penganiayaan dan penyiksaan
sudah berjalan sepuluh tahun di Mesir, yang sudah dimulai
menjelang Nabi wafat dan selama kekhalifahan Abu Bakr dan
berlangsung terus sampai masa Umar, dan sampai masuknya Arab
ke Mesir. Selama sepuluh tahun itu orang-orang Mesir dan
orang-orang Arab saling mengadakan transaksi perdagangan
seperti yang sudah dilakukan sejak dulu. Beritaberita
tentang orang-orang Arab yang menonjol sampai juga kepada
orang-orang Mesir dan sebaliknya. Orang-orang Arab lebih
banyak mengetahui tentang Mesir itu karena bertetangga pula
dengan Syam. Sudah tentu Amr bin As orang yang paling banyak
tahu tentang Mesir karena Palestina negeri yang terdekat
dengan medan penganiayaan dan penyiksaan itu dan
pemberontakan orang-orang Mesir terhadap Kaisar dan
pejabat-pejabatnya. Itu sebabnya ia tahu benar bahwa bangsa
Mesir yang teraniaya itu tidak menentangnya dan tidak
membantu Rumawi manakala pihak Arab menyerang Mesir, kendati
ia yakin bahwa bangsa ini tidak akan berada di barisan Arab
ikut memerangi Rumawi. Mereka khawatir bila pihak Arab yang
terpukul mundur, dan karena antara mereka dengan Arab tak
ada hubungan, yang mungkin akan dapat membangkitkan
semangat. Orang Arab bukan bangsa mereka, bahasa Arab bukan
pula bahasa mereka dan agamanya pun bukan agama mereka.
Amr bin As lebih yakin lagi akan dugaannya tentang sikap
bangsa Mesir yang begitu dingin tidak akan membantu pihak
Rumawi, mengingat orang di Mesir dan di luar Mesir sudah
mengenal benar politik Muslimin ketika itu. Orang akan
dibiarkan bebas menganut agama masing-masing, tanpa ada
usaha hendak memalingkan mereka atau memaksa mereka mengubah
kepercayaan: Barang siapa mendapat petunjuk, petunjuk itu
untuk dirinya sendiri. Dan barang siapa berpegang teguh pada
agamanya dan dengan rela mau membayar jizyah, terserah pada
pilihannya. Mengingat penindasan agama telah menjadi pemicu
pemberontakan terhadap kekuasaan Rumawi - pemberontakan yang
telah mengobarkan hati semua orang Mesir - tidak heran jika
mereka menyambut gembira toleransi agama yang dibawa oleh
kaum Muslimin, dan dalam memerangi pihak Rumawi sikap mereka
hanya sebagai penonton saja: tidak membuat Rumawi marah
kepada mereka dengan bersikap memihak Muslimin, juga mereka
tidak terdorong hendak memerangi Muslimin karena semangat
seagama dengan pihak penguasa, atau merasa puas karena
adanya yang menyamakan mereka dengan pihak penguasa itu.
Desakan Amr kepada Umar dan
argumennya
Amr bin As menemui Amirulmukminin ketika mengunjungi Syam
selepas wabah Amawas, dan bersama-sama pergi dari Jabiah di
daerah Palestina dan Suria. Diulanginya lagi apa yang dulu
pernah dibicara kannya mengenai soal Mesir itu, dan
disebutnya lagi segala alasan yang mendukung pendapatnya dan
ditambah lagi dengan argumen-argumen baru, kendati Umar
memintanya agar pelaksanaannya ditunda dulu, sampai nanti
sekembalinya ke Medinah ia akan menulis surat kepadanya.
Umar cenderung lebih yakin pada pendapat itu, mengingat
apa yang diketahuinya tentang keberanian Amr dalam perang,
kepiawaiannya berpolitik dan kemampuannya melaksanakan tugas
itu dengan baik, insya Allah. Sudah banyak peristiwa
membuktikan bahwa perhitungan Amirulmukminin tidak meleset.
Melihat kepribadian Amr, dengan kecerdasan dan keberaniannya
yang sudah terpadu dalam dirinya, dialah orang yang harus
dipilih untuk membebaskan Mesir. Keberaniannya dalam perang
bukan dengan cara berspekulasi seperti keberanian Khalid bin
Walid. Keberanian Amr adalah keberanian orang yang cerdas,
yang lebih banyak melihat keberhasilan dalam ketenangan
daripada dalam serba tergesa-gesa. Ia berpendapat, lebih
baik menunda dulu dan sabar sampai ada kesempatan terjun,
sampai ia sudah yakin bahwa keberhasilan yang disertai
keberanian itu akan dicapai. Dengan kepiawaiannya ia ingin
menghindari keributan orang-orang yang bukan prajurit.
Daripada bersikap keras ia memilih sikap yang lebih lunak
terhadap mereka, kecuali jika sangat terpaksa, dan kalaupun
sudah terpaksa, ia tak akan bertindak, meskipun tak akan
sampai melampaui batas. Di samping itu ia termasuk panglima
perang yang paling percaya, bahwa perang adalah suatu
muslihat.11 Buat dia tidak penting segala ukuran
kebaikan dan kemuliaan yang biasa dikenal dalam hal ini.
Terhadap seorang panglima semacam itu, jika ia sudah
berangkat hendak membebaskan Mesir, patut sekali Allah akan
memberikan kemenangan kepadanya.
|