Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

4. Di Masa Abu Bakr (1/3)

Umar di Saqifah Banu Sa'idah - 67, Politik Umar dan politik Abu Bakr - 72; Sikap Umar terhadap kaum murtad - 72; Sikapnya tentang Usamah - 73; Sikapnya tentang Khalid - 76; Menyarankan pengumpulan Qur'an - 80; Sikapnya tentang pembebasan Syam - 81; Umar dan sistem kelas dalam masyarakat- 83; Abu Bakr menunjuk Umar sebagai pengganti - 87

Umar yakin sudah bahwa Rasulullah sudah wafat. Ia mulai berpikir mengenai masa depan umat Islam sepeninggal Nabi. Situasi itu memang memerlukan pemikiran yang mendalam. Andaikata orang-orang Arab1 terus berselisih di antara sesama mereka, niscaya Islam akan menghadapi bahaya besar. Mereka yang tinggal jauh dari Mekah dan Medinah, di pelbagai kawasan di Semenanjung itu tidak dapat menyembunyikan kejenuhan mereka terhadap kekuasaan Kuraisy dan kekuasaan Medinah. Kejenuhan terhadap kekuasaan inilah yang membuat al-Aswad al-'Ansi di Yaman memberontak. Dia juga yang membela Banu Hanifah di Yamamah supaya mendukung Musailimah bin Habib ketika ia mendakwakan dirinya nabi dan membela Banu Asad supaya mendukung Tulaihah bin Khuwailid yang juga mendakwakan dirinya nabi. Apa pula gerangan nasib yang akan menimpa Islam sepeninggal Rasulullah kalau kaum Muslimin tidak benar-benar teguh hati dalam menghadapi keadaan yang begitu genting dengan tetap bersatu dan hati tabah?

Umar di Saqifah Banu Sa'idah

Hal ini yang pertama kali dipikirkan Umar begitu ia yakin bahwa Rasulullah sudah wafat. Dan ini akan segera terlihat dengan jelas bahwa jika keadaan dibiarkan dan tidak ada orang yang dapat segera mengambil langkah dan mengatur strategi Muslimin yang tepat, kaum Muhajirin dan Ansar hampir saja terjerumus ke dalam perselisihan, dan di segenap penjuru negeri akan berkobar pemberontakan. Oleh karena itu cepat-cepat ia menyeruak ke tengah-tengah jemaah Muslimin di Masjid membicarakan kematian Rasulullah. Ia terus menuju tempat Abu Ubaidah bin al-Jarrah dan katanya: "Bentangkan tangan Anda akan saya baiat Anda. Andalah orang kepercayaan umat2 ini atas dasar ucapan Rasulullah." Mendengar kata-kata Umar itu Abu Ubaidah terpengarah. Ia sadar, mengenai umat Islam sekarang ini memang perlu ada keputusan cepat. Tetapi pendapat Umar tidak disetujuinya. Ditatapnya laki-laki itu seraya katanya: "Sejak Anda masuk Islam tak pernah Anda tergelincir. Anda akan memberikan sumpah setia kepada saya padahal masih ada Abu Bakr, 'salah seorang dari dua orang'."3 Sementara kedua orang itu sedang berpikir mengenai persoalan genting ini, tiba-tiba datang berita bahwa Ansar sudah berkumpul di Saqifah Banu Sa'idah, dengan tujuan agar pimpinan Muslimin di tangan mereka. Saat itu juga Umar cepat-cepat mengutus orang kepada Abu Bakr di rumah Aisyah agar segera datang. Abu Bakr menjawab melalui utusan itu, bahwa dia sedang sibuk. Tetapi Umar menganggap keadaan Muslimin lebih penting untuk sekadar meninggalkan kesibukan itu sebentar kendati sedang mempersiapkan jenazah Rasulullah. Sekali lagi Umar mengutus orang kepada Abu Bakr dengan pesan: "Telah terjadi sesuatu yang sangat memerlukan kehadirannya."

Abu Bakr pun kemudian datang dan menanyakan: Apa yang terjadi ia harus meninggalkan persiapan jenazah Rasulullah? "Anda tidak tahu," kata Umar, "bahwa pihak Ansar sudah berkumpul di Serambi Banu Sa'idah hendak menyerahkan pimpinan ke tangan Sa'd bin Ubadah. Ucapan yang paling baik ketika ada yang mengatakan: Dari kami seorang amir dan dari Kuraisy seorang amir?" Abu Bakr melihat keadaan memang sangat berbahaya. Cepat-cepat ia berangkat disertai Umar dan Abu Ubaidah menuju Saqifah.

Begitu mereka sampai Abu Bakr yang memimpin perdebatan Ansar dengan sikapnya yang bijaksana dan lemah lembut. Umar berdiri di sampingnya mengawasi apa yang akan terjadi, setelah melihat Hubab bin Munzir membakar semangat Ansar supaya menentang jika tak ada seorang amir dari mereka dan seorang amir dari Muhajirin.

"Bah!" kata Umar. "Jangan ada dua kemudi dalam satu perahu. Orang-orang tidak akan mau mengangkat kalian sedang nabinya bukan dari kalangan kalian. Tetapi mereka tidak akan keberatan mengangkat seorang pemimpin selama kenabian dari kalangan mereka. Alasan dan kewenangan kami sudah jelas buat mereka yang masih menolak semua itu. Siapakah yang mau membantah kewenangan dan kepemimpinan Muhammad sedang kami adalah kawan dan kerabat dekatnya — kecuali buat orang yang memang cenderung hendak berbuat batil, berbuat dosa dan gemar mencari-cari malapetaka!" Hubab menjawab dengan meminta kepada Ansar supaya mengeluarkan kaum Muhajirin dari Medinah atau mereka harus berada di bawah pimpinan Ansar. Kemudian kata-katanya ditujukan kepada ketiga orang Muhajirin itu: "Ya, demi Allah, kalau perlu biar kita yang memulai peperangan." Mendengar ancaman itu Umar membalas: "Mudah-mudahan Allah memerangi kamu!" Hubab pun menjawab lagi: "Bahkan Andalah yang harus diperangi!"

Kedua ungkapan itu telah membangkitkan kemarahan di hati mereka, Melihat situasi demikian Abu Ubaidah bin Jarrah segera turun tangan dan berkata yang ditujukan kepada penduduk Medinah: "Saudara-saudara Ansar! Kalian adalah orang yang pertama memberikan bantuan dan dukungan, janganlah sekarang menjadi orang yang pertama pula mengadakan perubahan dan perombakan."

Kata-kata ini dapat meredakan kemarahan mereka. Mereka mulai berdiskusi dengan saling mengemukakan argumen. Basyir bin Sa'd, salah seorang pemimpin Khazraj bergabung kepada pihak Muhajirin. Dengan demikian Ansar tidak lagi seia sekata. Abu Bakr memperkirakan bahwa keadaan sudah reda dan sudah saatnya mengambil keputusan. Ia mengajak orang-orang supaya bergabung dan mengingatkan jangan terpecah belah. Kemudian ia mengangkat tangan Umar dan Abu Ubaidah seraya berseru: "Ini Umar dan ini Abu Ubaidah, berikanlah ikrar kalian kepada yang mana saja yang kalian sukai." Tetapi Umar tidak akan membiarkan perselisihan menjadi perkelahian yang berkepanjangan. Dengan suaranya yang lantang menggelegar ia berkata: "Abu Bakr, bentangkan tangan Anda" Abu Bakr membentangkan tangan dan oleh Umar ia diikrarkan seraya. katanya: "Abu Bakr, bukankah Nabi menyuruh Anda memimpin Muslimin bersembahyang? Andalah penggantinya (khalifahnya). Kami akan membaiat4 orang yang paling disukai oleh Rasulullah di antara kita semua ini." Menyusul Abu Ubaidah memberikan ikrar dengan mengatakan: "Andalah di kalangan Muslimin yang paling mulia dan yang kedua dari dua orang dalam gua, menggantikan Rasulullah dalam salat, sesuatu yang paling mulia dan utama dalam agama kita. Siapa lagi yang lebih pantas dari Anda untuk ditampilkan dan memegang pimpinan kita!" Setelah itu berturut-turut jemaah Saqifah membaiat Abu Bakr secara aklamasi, tak ada ketinggalan kecuali Sa'd bin Ubadah. Selesai membaiat mereka kembali ke Masjid menanti-nantikan berita dari rumah Aisyah mengenai persiapan jenazah Rasulullah. Keesokan harinya sementara Abu Bakr sedang di Masjid, Umar tampil di depan kaum Muslimin meminta maaf mengenai pernyataannya bahwa Nabi tidak wafat. "Kepada Saudara-saudara kemarin saya mengucapkan kata-kata yang tidak terdapat dalam Qur'an, ataupun suatu pesan yang tak pernah disampaikan Rasulullah kepada saya. Tetapi ketika itu saya berpendapat bahwa Rasulullah akan mengemudikan segala urusan kita dan akan tetap demikian sampai akhir hidup kita. Yang tetap ditinggalkan untuk kita oleh Allah ialah Kitab-Nya, yang dengan itu telah membimbing Rasul-Nya. Kalau kita berpegang teguh pada Kitabullah, kita akan mendapat bimbingan Allah, yang juga dengan itu Allah telah membimbing Rasul-Nya. Allah telah memutuskan segala persoalan kita demi kebaikan kita, sahabat Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang kedua dari dua orang ketika di dalam gua, maka marilah kita baiat." Semua orang kemudian sama-sama memberikan baiat (ikrar) yang dikenal sebagai Baiat Umum setelah Baiat Saqifah.

Inilah sikap Umar yang pertama sepeninggal Rasulullah. Seperti sudah kita saksikan, ini merupakan sikapnya yang sangat bijaksana, berpandangan jauh ke depan dan strategi politik yang baik sekali. Ini jugalah sikapnya dalam mencalonkan pimpinan umat. Kemampuannya membuktikan ia dapat mengemudikan negara yang baru tumbuh ini, dengan tidak menghiraukan kepentingan pribadinya, dan segala pemikirannya hanya ditujukan untuk kepentingan umat dan kedisiplinan yang tinggi. Karena tak dapat menahan duka dengan wafatnya Rasulullah yang dirasakannya sangat tiba-tiba, Umar tidak percaya bahwa yang demikian dapat terjadi. Sesudah kemudian yakin bahwa Rasulullah sudah wafat, pikiran sehatnya kini dapat menguasai perasaannya, kesedihannya tak sampai mempengaruhinya untuk berbicara dengan Abu Ubaidah dalam menghadapi bahaya yang sedang mengancam umat Islam: bagaimana mengendalikan mereka serta mengarahkan strategi politik umat. Ia tidak ingin berkuasa untuk dirinya, walaupun ia mampu untuk itu. Bahkan apa yang dipikirkannya itu bersih dari segala nafsu dan kepentingan pribadi. Oleh karena itu cepat-cepat ia membaiat Abu Ubaidah. Tetapi tatkala orang kepercayaan umat ini mengingatkannya bahwa dalam soal ini Abu Bakrlah yang lebih tepat dan lebih berhak dari semua orang, tanpa ragu pendapatnya langsung disetujuinya. Tak lama ketika diketahuinya ada pertemuan di Saqifah, ia pun memanggil Abu Bakr untuk menghadapi kaum Ansar itu. Juga ia tidak mundur untuk menghadapi mereka ketika dikatakan kepadanya bahwa Ansar sudah mengambil keputusan dan tidak akan mengubah keputusannya. Kepergiannya bersama kedua sahabatnya ke Saqifah itu telah menentukan pengangkatan Abu Bakr dan bersatunya kembali umat Islam.

Mengenai apa yang dikatakan orang tentang ketidakhadiran Ali bin Abi Talib dan Banu Hasyim dalam membaiat Abu Bakr, peranan Umar dalam hal ini tidak pula kurang bijaksananya dari peranannya dalam hal Saqifah. Saya masih meragukan sumber-sumber mengenai peristiwa ketidakhadiran ini. Saya sudah memberikan pendapat mengenai hal ini ketika menguraikan soal pembaiatan Abu Bakr.5 Tetapi saya tak dapat memastikan bahwa Ali dan Banu Hasyim menyambut pembaiatan itu dengan senang hati seperti Muslimin yang lain. Yang sudah pasti, hubungan Fatimah putri Rasulullah dengan Abu Bakr sampai wafatnya tetap tidak baik. Adakah yang demikian ini karena Abu Bakr tidak mau memenuhi tuntutan Fatimah atas warisan dari ayahnya, ataukah karena ia melihat suaminya lebih berhak sebagai khalifah daripada Abu Bakr? Dalam hal ini masih terdapat beberapa perbedaan pendapat. Yang tidak lagi diperselisihkan ialah bahwa Umar sependapat dengan Abu Bakr bahwa apa yang ditinggalkan Nabi merupakan sedekah dan tak boleh diwariskan. Sudah tentu pendapatnya ini akan membuat Fatimah marah. Adakah kemarahannya itu sampai menjurus pada kemarahan Ali dan pada ancaman Umar dan tindakannya mengambil keputusan? Apa pun yang terjadi, seperti yang diceritakan orang pengaruhnya mengenai ini dalam sejarah Islam sampai sekarang masih terasa. Karena pengaruh inilah, setidak-tidaknya golongan Syiah dan golongan Alawi yang lain tidak mau menghargai Umar, bahkan tidak senang kepadanya.

Politik Umar dan politik Abu Bakr

Kebijakan Abu Bakr sesudah dibaiat, tidak ingin ia meninggalkan apa pun yang pernah dilakukan oleh Rasulullah, dan tidak akan melakukan tindakan apa pun yang tidak dilakukan oleh Rasulullah. Oleh karena itu, perintah pertama yang dikeluarkan dalam pemerintahannya ialah meneruskan pengiriman pasukan yang sudah disiapkan Rasulullah dengan pimpinan Usamah bin Zaid untuk menyerbu Rumawi di Syam. Sejak masa Rasulullah dulu kaum Muslimin memang sudah tidak puas dengan perintah ini, sebab Usamah masih terlalu muda dalam usianya yang belum mencapai dua puluh tahun itu. Yang membuat mereka lebih tidak puas karena dikhawatirkan Medinah akan terperangkap ke dalam bahaya kalau Medinah ditinggalkan pasukan ini; orang-orang Arab akan menyerbunya dan akan merongrong kewibawaannya. Mereka berkata kepada Abu Bakr: "Mereka [yakni pasukan Usamah] Muslimin pilihan, dan seperti Anda ketahui, orang-orang Arab sudah memberontak kepada Anda. Maka semestinya mereka terpisah dari Anda." Abu Bakr menjawab dengan cukup bijak: "Demi Yang memegang nyawa Abu Bakr,6 sekiranya ada serigala akan menerkam saya, niscaya akan saya teruskan pengiriman pasukan Usamah ini, seperti yang sudah diperintahkan Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Sekalipun di kota ini sudah tak ada orang lagi selain saya, tetap akan saya laksanakan!"

Sikap Umar-terhadap kaum murtad

Adakah politik Umar dalam situasi semacam ini sama dengan politik Abu Bakr dalam arti kekuatan dan kebijaksanaannya? Ada disebutkan bahwa Usamah meminta kepada Umar agar memintakan izin kepada Abu Bakr memanggil pasukan ke Medinah untuk membantu dalam menghadapi kaum musyrik. Dan kaum Ansar berkata kepada Umar: "Kalau Abu Bakr menolak dan kami harus berangkat juga tolong sampaikan atas nama kami, agar yang memimpin kami orang yang usianya lebih tua dari Usamah." Permintaan Usamah dan permintaan Ansar itu oleh Umar tidak ditolak. Ia langsung menemui Abu Bakr dan menyampaikan apa yang mereka minta. Tetapi jawaban Khalifah: "Sekiranya saya yang akan disergap anjing dan serigala, saya tidak akan mundur dari keputusan yang sudah diambil oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam." Dan mengenai permintaan Ansar ia berkata: "Celaka Anda Umar! Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam yang menempatkan dia, lalu saya yang akan mencabutnya?"

Pasukan Usamah berangkat. Di antara anggota pasukannya itu terdapat tokoh-tokoh kaum Muhajirin dan Ansar, termasuk Umar bin Khattab, yang tidak berbeda dengan yang lain, harus tunduk kepada kepemimpinan Usamah sebagai komandan pasukan. Abu Bakr juga ikut pergi melepas dan menyampaikan pesan kepada pasukan itu. Setelah tiba saatnya ia akan kembali, ia berkata kepada Usamah: "Usamah, kalau menurut pendapat Anda Umar perlu diperbantukan kepada saya, silakan." Usamah mengizinkan Umar meninggalkan pasukannya itu dan kembali (ke Medinah) bersama Abu Bakr.

Sebaiknya kita berhenti sejenak untuk memberikan perhatian tentang perbedaan haluan politik ini antara Abu Bakr dengan Umar. Abu Bakr hanya seorang pengikut, bukan pembaru. Apa yang dikerjakan oleh Rasulullah akan dikerjakannya. Terserah apa yang akan dikatakan oleh kaum Muslimin, kendati mereka akan menentang pendapatnya. Ia tak akan mendengarkan apa yang mereka katakan selama perintah itu dari Rasulullah. Perintah Rasulullah agar meneruskan pengiriman pasukan Usamah, maka perintah ini harus terlaksana. Biar Muhajirin dan Ansar berselisih, biar seluruh jazirah berontak. Medinah sekalipun, biar terperangkap dalam bahaya. Semua itu tidak akan membuat Abu Bakr mundur dari melaksanakan perintah Rasulullah. Bukankah dia sudah menjadi pilihan Allah dan Qur'an sudah diwahyukan kepadanya, sudal diberi janji kemenangan dan Allah akan menjaga agama-Nya! Baga mana seorang Muslim yang sudah mengorbankan dirinya tidak akan melaksanakan perintahnya. Bagaimana pula penggantinya yang pertama akan menjadi orang yang pertama pula melanggar!

Sikapnya tentang Usamah

Bagi Umar sudah menjadi kewajiban seorang politikus mempertimbangkan segala peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Di antara sekian banyak peristiwa itu adanya perbedaan pendapat antara Muhajirin dengan Ansar, yang pada masa Rasulullah tidak tampak, seperti yang kemudian terjadi di Saqifah, dan pembangkangan orang-orang Arab terhadap kekuasaan Medinah tidak setajam pemberontakan baru setelah tersiar berita tentang kematian Rasulullah di segenap penjuru Semenanjung Arab. Kaum Muslimin waktu itu sangat menaati segala perintah Rasulullah dengan sungguh-sungguh dan penuh keimanan. Abu Bakr tidak berhak menuntut orang agar menaatinya seperti menaati Rasulullah yang sudah menjadi pilihan Allah. Maka sudah seharusnya Khalifah memperhatikan semua masalah itu dan sudah seharusnya pula ia menjadi seorang politikus yang dapat mengatur segala persoalan dengan penalaran dan pandangan yang lebih tajam, sesudah tak ada lagi kepengurusan atau kekuasaan yang akan dapat mengawasinya dengan sungguh-sungguh dan sesudah wahyu pun terputus dengan meninggalnya Rasulullah.

Ini merupakan perbedaan dasar antara kedua tokoh itu dalam menjalankan politik negara. Tetapi perbedaan ini tak sampai mengurangi penghargaan mereka masing-masing serta kecintaan dan penghormatan mereka satu sama lain. Oleh karenanya, Umar tetap menjalankan kewajibannya terhadap Abu Bakr, dan tidak lebih ia hanya menyampaikan pendapat kaum Muslimin dan dia mendukungnya dengan alasannya sendiri. Setelah Abu Bakr bersikeras dengan pendapatnya, Umar pun berangkat sebagai seorang prajurit yang berjuang di jalan Allah di bawah pimpinan Usamah. Mengapa tidak akan dilakukannya, dia pula yang telah membaiat Abu Bakr dan mengakuinya sebagai pengganti Rasulullah. Abu Bakr pun menjalankan kewajibannya terhadap Umar, dipilihnya ia sebagai wazir-nya, sebagai tangan kanannya, untuk memberikan saran-saran kepadanya seperti kepada Rasulullah dulu. Dengan demikian, hubungan antara kedua orang ini tetap akrab dan penuh keikhlasan, saling menghormati dan bantu-membantu, demi kepentingan Islam dan kaum Muslimin.

Perbedaan pendapat demikian antara dua tokoh ini dengan pasukan Usamah masih terjadi dalam menghadapi pendukung-pendukung Rumawi di bagian utara Semenanjung Arab, yaitu tatkala kabilah-kabilah Abs dan Zubyan yang berdekatan dengan Medinah tak mau menunaikan zakat. Abu Bakr berpendapat akan memerangi mereka, dan menangkis alasan mereka yang menentang pendapatnya dengan mengatakan: "Demi Allah, orang keberatan menunaikan zakat kepada saya, yang dulu mereka lakukan kepada Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam, akan saya perangi." Umar termasuk orang yang menentangnya dan yang berpendapat mengambil jalan damai dengan mereka yang enggan membayar zakat itu dan lebih baik meminta bantuan mereka dalam memerangi kaum pembangkang. Umar begitu keras dalam membela pendapatnya itu sehingga kata-katanya agak tajam ditujukan kepada Abu Bakr: "Bagaimana kita akan memerangi orang yang kata Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam; 'Aku diperintah memerangi orang sampai mereka berkata: Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul-Nya. Barang siapa berkata demikian, darah dan hartanya dijamin, kecuali dengan alasan, dan masalahnya kembali kepada Allah." Tantangan Umar itu dijawab oleh Abu Bakr dengan mengatakan: "Demi Allah, saya akan memerangi siapa saja yang memisahkan salat dengan zakat. Zakat adalah kewajiban harta. Dan dia sudah berkata: 'sesuai dengan kewajiban zakat.'" Dengan perbedaan pendapat yang demikian rupa, dengan tanggung jawab sepenuhnya yang harus dipikulkan ke bahu Abu Bakr dalam memerangi mereka yang enggan membayar zakat dan berhasil mengalahkan mereka, persahabatan antara keduanya tidak berubah. Umar tetap mendampingi Abu Bakr dengan berjuang dalam barisan Muslimin. Dia memang laki-laki yang penuh disiplin, dan Abu Bakr memang yang bertanggung jawab dalam urusan negara. Umar berkewajiban memberikan pendapat kepadanya, dan menjadi kewajibannya menaati segala perintah Khalifah, dan semua ini sudah dilakukannya. Kemudian ia tetap sebagai wazir-nya, sebagai tangan kanannya yang patuh dan menghargai pendapatnya.

Abu Bakr berhasil menghadapi mereka yang menolak membayar zakat, dan keberhasilan ini merupakan bukti yang nyata ketepatan pendapatnya dan kebijakan politiknya. Tentang Umar mengenai hal ini ada disebutkan bahwa ia berkata: "Sungguh, apa yang saya saksikan ini ternyata Allah memang telah melapangkan dada Abu Bakr dalam menghadapi perang, maka saya tahu bahwa dia benar." Sesudah keberhasilan ini, tak ada lagi orang menentang maksud Abu Bakr hendak memerangi kaum pembangkang di seluruh Semenanjung Arab. Barangkali Muslimin sekarang melihat bahwa laki-laki yang telah mendampingi Rasulullah selama dua puluh tahun itu telah mendapat tiupan semangat Rasulullah sehingga ia dapat melihat dengan cahaya Allah, dengan nur ilahi, yang tak terlihat oleh orang lain, dan mendapat ilham yang tak diperoleh orang lain.

Pasukan Muslimin kini berangkat di bawah pimpinan Amr bin al-As dan Khalid bin al-Walid ke tempat suku Quda'ah dan Banu Asad untuk menghadapi kaum murtad dan mengembalikan mereka kepada agama Allah yang sebenarnya. Sudah tentu umat Islam merasa lega melihat bantuan Allah kepada pasukan-Nya yang berjuang di jalan Allah. Umar tetap mendampingi Abu Bakr dengan memberikan pendapatnya dan bersama-sama mengurus politik negara.

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team