|
4. Di Masa Abu Bakr (2/3)
Sikapnya tentang Khalid
Khalid bin Walid sudah berhasil menumpas pembangkangan
Banu Asad, dan sekarang ia pindah dari perkampungan mereka
ke Butah menumpas kaum pembangkang Banu Tamim. Pemimpin
mereka, Malik bin Nuwairah terbunuh dan dia yang kemudian
mengawini istrinya7, menyalahi adat kebiasaan
orang Arab yang harus menghindari perempuan selama dalam
perang. Abu Qatadah al-Ansari begitu marah atas. pembunuhan
Malik bin Nuwairah itu setelah menyatakan keislamannya. Dia
menduga itu suatu muslihat Khalid saja untuk dapat mengawini
Laila yang cantik. Disebutkan bahwa konon ia memang sudah
mencintainya sejak masa jahiliah dulu. Abu Qatadah dan
Mutammam bin Nuwairah saudara Malik segera pergi ke Medinah
dan menemui Abu Bakr dengan melaporkan segala yang
dilihatnya itu. Tak lebih Abu Bakr hanya membayar diat
(tebusan) atas kematian Malik, dan menulis surat agar
tawanan dikembalikan. Tetapi ia tak habis heran mengapa Abu
Qatadah sampai menyerang atau menuduh Khalid. Abu Qatadah
membicarakan soal ini dengan Umar bin Khattab dan Umar
mendukung pendapatnya. Keduanya menyerang dan mengecam
Khalid. Kemudian Umar menemui Abu Bakr dan berkata dengan
nada marah. "Pedang Khalid itu sangat tergesa-gesa dan harus
ada sanksinya," katanya. Ketika Umar tetap mendesak, ia
berkata: "Ah, Umar! Dia sudah membuat pertimbangan tetapi
meleset. Janganlah berkata yang bukan-bukan tentang Khalid."
Umar tidak puas dengan jawaban itu dan tiada henti-hentinya
ia menuntut agar Khalid dipecat. Melihat desakan yang
demikian Khalifah kesal juga. "Umar," katanya kemudian,
"saya tak akan menyarungkan pedang yang oleh Allah sudah
dihunuskan terhadap orang-orang kafir!"
Jawaban tegas ini tentu sudah menunjukkan bahwa Abu Bakr
tak akan memecat Khalid. Adakah dengan itu Umar sudah merasa
puas bahwa dia sudah menjalankan kewajibannya sebagai
penasihat dan sesudah itu ia harus mengalah kepada pendapat
Khalifah dan jangan sampai membuat kecurigaan orang
kepadanya? Tidak! Umar tetap marah besar terhadap Khalid dan
mengecamnya sampai begitu keras. Dikumpulkannya Mutammam,
Abu Qatadah dan beberapa orang lagi. Dimintanya Mutammam
membacakan syairnya yang meratapi Malik, Ia memperlihatkan
simpatinya kepada Mutammam dan pada syair yang dibacanya
itu. Bagaimana Umar akan merasa senang dan diam begitu saja
melihat orang membunuh seorang Muslim lalu
mengawini8 istrinya, padahal ia harus dirajam!
Biar orang ini Saifullah sekalipun. Biar dia paman Umar dari
pihak ibu dan sepupu ibunya. Biar dia sudah berjasa menumpas
kaum pembangkang!
Soalnya berhubungan dengan disiplin masyarakat serta
ketertibannya. Disiplin akan berada dalam bahaya bilamana
sudah mulai ada perbedaan dalam memperlakukan manusia. Yang
seorang dibiarkan melakukan pelanggaran, yang lain dijatuhi
hukuman. Ia tetap tidak puas sebelum Abu Bakr memanggil
Khalid ke Medinah, dan Umar pun yakin Khalifah akhirnya akan
menyetujui pendapatnya dan memecat jenderal jenius itu.
Tetapi ternyata Abu Bakr tidak melakukannya selain hanya
memarahi Khalid karena perkawinannya dengan seorang
perempuan yang darah suaminya belum lagi kering, di samping
tindakannya yang sudah melampaui batas membunuh Malik dan
anak buahnya dari kabilah Tamim. Abu Bakr memerintahkan
Khalid berangkat ke Yamamah untuk menghadapi Musailimah dan
anak buahnya. Ia yakin bahwa Allah akan membantu Khalid
dalam menghadapi Banu Hanifah dan akan mendapat kemenangan
terus-menerus dan orang akan lupa perkawinannya dengan
Laila. Sekalipun begitu Umar tidak beranjak dari
pendiriannya mengenai perbuatan Khalid itu dan keharusannya
ia dipecat. Kegigihannya ini tampak juga pengaruhnya setelah
kemudian ia bertugas sebagai Amirulmukminin. Ketika ia sudah
memegang jabatannya itu, tindakan pertama yang dilakukannya
memecat Khalid dari panglima pasukan, kemudian ia dipecat
dari semua jabatan militer. Peristiwa ini akan kita uraikan
lebih terinci sesuai dengan tempatnya dalam buku ini
nanti.
Buku-buku sejarah tidak menyebutkan bahwa Abu Bakr pernah
berselisih dengan Umar setajam seperti persoalan Khalid ini,
perselisihan yang sejalan dengan watak kedua orang itu serta
tujuan masing-masing mengenai politik negara. Umar
berpendapat bahwa seseorang tak dapat lepas dari dosanya
sebelum ia menebusnya. Dengan demikian keadaan akan menjadi
stabil dan tertib hukum dapat ditegakkan atas dasar
persamaan sejati yang kuat. Buat dia, memaafkan orang-orang
penting yang melakukan pelanggaran besar akan sangat
berbahaya bagi ketertiban masyarakat. Tetapi Abu Bakr pernah
mengatakan bahwa Rasulullah yang memberi julukan Saifullah
kepada Khalid, dan kalau daerah-daerah perbatasan di waktu
damai harus diperkuat dengan ketidakjelasan hukum, maka
waktu dalam keadaan bahaya juga harus diperkuat dengan cara
serupa. Ketika Khalid dipanggil pulang oleh Abu Bakr dan
diberi teguran keras, saat itulah umat Islam sedang sangat
memerlukan Khalid dan kepemimpinannya dalam militer yang
jenius itu, melebihi waktu mana sebelumnya. Itu sebabnya Abu
Bakr tidak sampai memecatnya. Malah ia dikirim ke Yamamah
untuk menumpas Musailimah, kemudian dikirim ke Irak dan
berhasil membebaskan wilayah itu. Selanjutnya ia dipindahkan
ke Syam sehingga dengan itu Rumawi sudah melupakan bisikan
setan.
Bersikerasnya Umar dengan pendapatnya terhadap Khalid itu
untuk mencegah timbulnya malapetaka, dan tetap meminta Abu
Bakr terus menegurnya. Begitu mendapat kemenangan di Yamamah
Khalid kawin lagi dengan seorang gadis. Sekali lagi Abu Bakr
menulis surat yang berisi teguran keras dengan mengatakan:
"Demi hidupku, ah Umm Khalid! Sungguh Anda orang tak
berakal! Anda kawin dengan perempuan itu sedang bercak darah
seribu dua ratus Muslim di beranda rumahmu belum lagi
kering!" Dilihatnya surat itu oleh Khalid, lalu katanya:
"Ini tentu perbuatan si kidal." Dan Umar bin Khattab memang
kidal. Setelah membebaskan Irak dan sudah sampai di
perkampungan Huzail dan mengikis mereka, ada dua laki-laki
yang dibunuhnya, padahal mereka masing-masing membawa surat
dari Abu Bakr yang menyatakan keislamannya. Atas
perbuatannya ini menurut pendapat Umar Khalid harus dijatuhi
hukuman, dan katanya tentang kedua orang itu: "Begitu ia
bertindak terhadap penduduk di daerah perang."
Ada sebagian mereka yang merasa heran bahwa Umar sampai
demikian rupa marah kepada Khalid, Khalid yang paman Umar
sendiri dan Saifullah serta pembela agama-Nya. Dapat saja
keheranan demikian dihilangkan berdasarkan sumber yang
dikemukakan oleh beberapa sejarawan bahwa pandangan Umar
terhadap Khalid memang tidak baik sejak sebelum ia menganut
Islam. Selama hidupnya ia memang sudah tidak
menyukainya.9 Barangkali Umar tak dapat melupakan
Khalid ketika dalam Perang Uhud dan peranannya waktu itu,
serta kemenangan kaum musyrik terhadap kaum Muslimin karena
kehebatan Khalid. Kemudian serangannya terhadap Rasulullah,
kalau tidak karena Umar yang lalu menghadangnya sehingga
rencananya itu dapat digagalkan. Bagaimanapun juga yang
pasti Umar tidak senang kepada Khalid kendati ia sangat
menghargainya serta mengagumi kehebatannya memimpin pasukan.
Perasaan Khalid terhadap Umar pun demikian. Dalam segala hal
yang datang dari Khalifah, yang tidak disukainya ia melihat
campur tangan Umar. Ketika oleh Abu Bakr ia dipindahkan dari
Irak ke Syam ia berkata: "Ini perbuatan si kidal anak Umm
Sakhlah. Dia dengki kepada saya karena saya yang membebaskan
Irak."
Setiap orang berhak heran melihat perselisihan yang
begitu menonjol antara Abu Bakr dengan Umar mengenai masalah
Khalid bin Walid itu. Tetapi kita harus kagum juga kepada
kedua tokoh besar ini. Bagaimanapun perselisihan mereka yang
sudah begitu jelas, namun demi kepentingan Islam dan umat
Islam, keakraban dan eratnya kerja sama antara keduanya tak
pernah berubah. Umar tetap setia kepada Abu Bakr dan pada
janjinya. Ia menjalankan tugasnya dengan selalu memberikan
pendapatnya, dan melaksanakan perintah Khalifah dengan penuh
keikhlasan. Kepercayaan Abu Bakr kepada Umar juga tetap
seperti dulu, sedikit pun tak terpengaruh oleh keadaan dari
luar. Keikhlasan timbal balik dan kepercayaan yang begitu
kuat, itulah dasar organisasi yang kukuh dan sumber
kewibawaan dan kekuatannya. Itu sebabnya kedaulatan Islam
pada masa kedua tokoh ini telah mencapai puncaknya, yang tak
pernah ada dalam kedaulatan mana pun di dunia. Nama Abu Bakr
dan nama Umar dalam lembaran sejarah merupakan lambang
ketulusan, kejujuran dan kekuatan. Tak ada yang dapat
menandingi kebesaran dan keagungan pribadi mereka.
Abu Bakr menjatuhkan sanksi kepada Khalid bin Walid
karena ia telah membunuh Malik bin Nuwairah dan mengawini
Laila, maka ia lalu mengirimnya ke Yamamah. Tetapi ia telah
memperoleh kemenangan besar, dan ini merupakan suatu
pengumuman dari Allah untuk mengikis kaum murtad di segenap
penjuru Semenanjung Arab, kendati untuk itu telah menelan
korban seribu dua ratus Muslimin mati syahid. Penduduk
Medinah begitu sedih karena mereka yang telah mati syahid
itu. Ketika itu yang sangat berduka cita Umar bin Khattab
karena kematian Zaid adiknya, sehingga ketika Abdullah
anaknya kembali ke Medinah ia berkata: "Mengapa kau pulang
padahal Zaid sudah meninggal. Tidak malu kau memperlihatkan
muka kepadaku!?" Tetapi anaknya menjawab dengan jujur dan
penuh iman: "Dia memohon mati syahid kepada Allah,
permohonannya terkabul. Saya sudah berusaha supaya saya juga
demikian, namun tidak juga diberikan."
Menyarankan pengumpulan Qur'an
Tetapi kesedihan Umar karena kematian adiknya itu tidak
sampai membuatnya lalai dari memikirkan masalah yang paling
berbahaya dalam sejarah Islam dan umat Islam. Di antara yang
mati itu banyak dari mereka yang sudah hafal Qur'an.
Bagaimana kalau perang ini berlanjut dan akan banyak lagi
yang terbunuh dari orang-orang yang sudah hafal Qur'an
seperti yang terjadi di Yamamah? Inilah yang mendera pikiran
Umar. Sampai kemudian ia mengambil keputusan pergi menemui
Abu Bakr, yang saat itu sedang dalam majelis di Masjid.
"Pembunuhan yang terjadi dalam perang Yamamah sudah makin
memuncak," katanya kemudian kepada Abu Bakr. "Saya khawatir
di tempat-tempat lain akan bertambah banyak penghafal Qur'an
yang "akan terbunuh sehingga Qur'an akan banyak yang hilang.
Saya mengusulkan supaya Anda memerintahkan orang menghimpun
Qur'an."
Usul yang dirasakan oleh Abu Bakr sangat tiba-tiba itu
dijawab dengan pertanyaan: "Bagaimana saya akan melakukan
sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Sallallahu
alaihi wa sallam?" Umar memperkuat pendapatnya dengan
argumen yang membuat Abu Bakr kemudian merasa puas. Ia
memanggil Zaid bin Sabit dan menceritakan dialognya dengan
Umar. Kemudian katanya: "Anda masih muda, cerdas dan kami
tidak meragukan kau. Anda penulis wahyu untuk Rasulullah
Sallallahu alaihi wa sallam. Sekarang lacaklah Qur'an
itu dan kumpulkanlah." Seperti Abu Bakr Zaid juga ragu.
Kemudian Allah membukakan hatinya seperti terhadap Abu Bakr
dan Umar. Selanjutnya Zaid bekerja melacak dan menghimpun
Qur'an dari lempenganlempengan, dari tulang-tulang bahu,
kepingan-kepingan pelepah pohon kurma dan dari hafalan
orang. Demikianlah, karena saran Umar itu pula maka Qur'an
dikumpulkan dan sampai sekarang dipelihara seperti ketika
dikumpulkan dulu, sehingga sehubungan dengan ini Orientalis
Inggris William Muir berkata: "Di seluruh belahan bumi ini
rasanya tak ada sebuah kitab pun selain Qur'an yang sampai
dua belas abad lamanya tetap lengkap dengan teks yang begitu
murni dan cermat."
Ada pula sumber yang menyebutkan bahwa Umar-lah yang
pertama menghimpun Qur'an dalam satu jilid kitab (mushaf).
Pendapat ini bertentangan dengan sumber-sumber yang
mutawatir.10 Tetapi sumber-sumber yang mutawatir
ini mengakui bahwa karena jasa Umar dengan sarannya kepada
Abu Bakr sampai dapat meyakinkan untuk menghimpun Qur'an
itu. Sekiranya Umar tidak menyadari apa yang akan mungkin
menimpa para penghafal Qur'an di tempat-tempat lain selain
Yamamah, dan segala akibatnya dengan banyaknya Qur'an yang
hilang, barangkali tidak terpikir oleh Abu Bakr untuk
menghimpunnya dan tidak akan berani pula. Bahkan sekiranya
Umar tidak mengoreksi Abu Bakr ketika mengatakan: "Bagaimana
saya akan melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh
Rasulullah" dan tidak dapat meyakinkannya betapa pentingnya
menghimpun Qur'an, tentu Abu Bakr tidak terdorong untuk
melakukannya, dan tidak akan memanggil Zaid bin Sabit untuk
mengerjakannya. Kalau Abu Bakr juga telah berjasa dalam
pekerjaan yang besar ini sehingga Ali bin Abi Talib berkata:
"Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Bakr, orang yang
paling besar jasanya dalam mengumpulkan Qur'an, maka sudah
tentu dalam pahala dan jasa itu sekaligus Umar juga
bersama-sama. Sungguh Muslimin sangat berutang budi
kepadanya, begitu juga kepada Abu Bakr dalam mengumpulkan
Kitabullah itu. Ini merupakan salah satu dari tiupan jiwa
besarnya, tiupan yang membawa berkah paling agung dan mulia,
yang telah memberikan segala yang terbaik.
Barangkali di atas sudah kita lihat sejauh mana peranan
Umar pada masa Abu Bakr. Kita lihat dia pada masa itu
sama seperti ketika mendampingi Rasulullah ia lebih
berperan sebagai orang yang mempunyai banyak gagasan dan
kebijakan politik yang luar biasa, daripada sebagai orang
lapangan dan di medan perang. Bahkan sudah kita lihat
bagaimana ia menentang Abu Bakr dalam hal memerangi orang
yang tak mau membayar zakat. Begitu juga sebelum itu, ia
menentang meneruskan pengiriman pasukan Usamah. Sesudah
kemudian ia melihat politik jihad membawa keunggulan dan
kemenangan, ia pun menerimanya dan mendukung Abu Bakr dengan
sungguh-sungguh. Bukankah politik jihad itu yang telah dapat
menumpas kaum murtad dan mengembalikan mereka ke pangkuan
Islam, dan seluruh Semenanjung Arab bernaung di bawah satu
panji? Bukankah politik ini juga yang telah membukakan pintu
Irak dan pada gilirannya merambah jalan ke Persia? Tidak
heran jika Umar benar-benar yakin dan langsung memberikan
dukungannya pada setiap langkah yang sudah diyakininya.
Sikapnya tentang pembebasan Syam
Sesudah Khalid bin Walid mendapat kemajuan di Irak, dan
berita kemenangannya berkumandang ke seluruh Semenanjung
Arab dan sekitarnya, Abu Bakr bermaksud hendak membebaskan
pula Syam. Pada suatu pagi ia mengundang beberapa pemuka,
dan terutama Umar. Dikatakannya kepada mereka bahwa
Rasulullah dulu bermaksud mencurahkan perhatiannya ke daerah
Syam, tetapi dengan kehendak Allah ajal telah mendahuluinya.
"Orang-orang Arab itu seibu sebapa dan saya ingin meminta
bantuan mereka menghadapi Rumawi di Syam. Jika di antara
mereka ada yang tewas, mereka akan mati syahid. Apa yang
dari Allah, itulah yang lebih baik bagi mereka yang
berbakti. Dan mereka yang masih hidup di antaranya, hidup
mereka mempertahankan agama. Allah Yang Mahakuasa akan
memberi pahala kepada mereka sebagai mujahid." Abu Bakr
meminta pendapat mereka dalam hal ini. Yang pertama sekali
memberikan jawaban Umar bin Khattab dengan mengatakan:
"Setiap kami berlomba untuk segala yang baik ternyata Anda
sudah lebih dulu dari kami. Sebenarnya saya ingin menemui
Anda justru untuk membicarakan pendapat yang Anda sebutkan
itu. Apa yang sudah ditentukan Allah untuk itu, itu pula
yang Anda sebutkan. Allah telah membimbing Anda ke jalan
yang benar. Kirimkanlah berturutturut pasukan berkuda,
perwira demi perwira dan prajurit demi prajurit. Allah 'azza
wa jalla akan membela agama-Nya, akan memperkuat Islam dan
pemeluknya dan akan menunaikan apa yang sudah dijanjikan
kepada Rasul-Nya."
Orang-orang yang hadir tidak begitu bersemangat terhadap
seruan itu kendati yang berbicara Abu Bakr dan Umar. Malah
mereka masih mendiskusikan kehebatan Rumawi. Selesai mereka
berbicara, kembali Abu Bakr mengulangi seruannya agar mereka
bersiap-siap. Mereka diam. Tetapi Umar berteriak kepada
mereka: "Kaum Muslimin sekalian, mengapa kalian tidak
menjawab seruan Khalifah yang mengajak kalian untuk hal-hal
yang akan menghidupkan iman kalian?" Dengan teriakan itu
mereka tersentak. Sekarang mereka menerima seruan jihad itu
meskipun yang mereka utamakan agar Khalifah meminta bantuan
Yaman dan seluruh Semenanjung untuk menghadapi musuh.
Sekali lagi di sini kita merenung sejenak. Perubahan yang
sekarang tiba-tiba terjadi pada Umar, dan sampai mendukung
politik perang dengan begitu bersemangat, memperkuat
gambaran kita terdahulu mengenai jalan pikirannya. Kita
bertambah yakin bahwa dulu ia orang lapangan yang tidak
begitu menghiraukan konsep yang hanya untuk konsep semata,
bahkan terhadap pengaruh yang tampak dalam kenyataan hidup.
Itulah yang kita sebutkan ketika kita menggambarkan jalan
pikirannya dulu waktu ia masuk Islam. Berbaliknya Umar dari
politik yang sangat berhati-hati kepada politik yang agresif
pada masa pemerintahan Abu Bakr tambah memperjelas gambaran
tersebut. Waktu itu ia sangat menjauhi Islam dan memusuhi
kaum Muslimin ketika Muslimin belum mempunyai kekuatan yang
dapat dibanggakan. Ia melihat keberadaan mereka berbahaya
terhadap ketertiban Mekah dan kedudukan agamanya. Sesudah
melihat Muslimin begitu tabah dengan agama mereka dan
bersedia menanggung segala penderitaan dan pengorbanan demi
agama, sampai pun mereka keluar meninggalkan tanah air,
barulah dia lihat bahwa dalam agama baru ini ada kekuatan
yang dapat melengkapi jiwa pemeluknya, dan dia yakin bahwa
mereka tak akan dapat dikalahkan. Saat itulah ia mulai
mengoreksi dirinya, dan apa yang sudah didengarnya dari
Qur'an menjadi bahan pemikirannya, sampai akhirnya ia
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta segala yang datang
dari Allah. Sesudah beriman ia mendukung Muslimin dengan
kekuatan semangat yang sama seperti ketika dulu ia memerangi
mereka. Dulu ia menentang politik Abu Bakr dalam soal
perang. Tidak senang ia dengan pengiriman Usamah dan tidak
pula setuju dengan tindakannya memerangi orang-orang yang
menolak membayar zakat. Sesudah Abu Bakr menyiapkan Medinah
untuk memerangi kaum murtad itu ia menjauhkan diri. Kalangan
sejarawan hampir tidak menyebutnyebut mengenai pandangannya
ketika itu. Tetapi politik Abu Bakr mengenai perang ternyata
berhasil dan dapat menumpas pembangkang itu sampai ia dapat
membebaskan Irak. Ketika itulah Umar berbalik memberikan
dukungan dengan segala kemampuannya, seperti tatkala dulu ia
sudah mulai beriman ia berbalik mendukung Islam dengan
segala kekuatannya.
Karena adanya orientasi baru ini dalam pemikiran Umar,
ada juga pengaruhnya kemudian terhadap penggantian Abu Bakr
kepada Umar, dan terhadap politik pembebasan yang berhasil
yang dipelopori oleh Khalifah pertama ini. Setelah itu kita
akan melihat bagaimana semangat Umar terhadap politik ini
yang sampai dapat membangun Kedaulatan Islam di atas
puing-puing kedua imperium besar Persia dan Rumawi itu.
|