Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

4. Di Masa Abu Bakr (2/3)

Sikapnya tentang Khalid

Khalid bin Walid sudah berhasil menumpas pembangkangan Banu Asad, dan sekarang ia pindah dari perkampungan mereka ke Butah menumpas kaum pembangkang Banu Tamim. Pemimpin mereka, Malik bin Nuwairah terbunuh dan dia yang kemudian mengawini istrinya7, menyalahi adat kebiasaan orang Arab yang harus menghindari perempuan selama dalam perang. Abu Qatadah al-Ansari begitu marah atas. pembunuhan Malik bin Nuwairah itu setelah menyatakan keislamannya. Dia menduga itu suatu muslihat Khalid saja untuk dapat mengawini Laila yang cantik. Disebutkan bahwa konon ia memang sudah mencintainya sejak masa jahiliah dulu. Abu Qatadah dan Mutammam bin Nuwairah saudara Malik segera pergi ke Medinah dan menemui Abu Bakr dengan melaporkan segala yang dilihatnya itu. Tak lebih Abu Bakr hanya membayar diat (tebusan) atas kematian Malik, dan menulis surat agar tawanan dikembalikan. Tetapi ia tak habis heran mengapa Abu Qatadah sampai menyerang atau menuduh Khalid. Abu Qatadah membicarakan soal ini dengan Umar bin Khattab dan Umar mendukung pendapatnya. Keduanya menyerang dan mengecam Khalid. Kemudian Umar menemui Abu Bakr dan berkata dengan nada marah. "Pedang Khalid itu sangat tergesa-gesa dan harus ada sanksinya," katanya. Ketika Umar tetap mendesak, ia berkata: "Ah, Umar! Dia sudah membuat pertimbangan tetapi meleset. Janganlah berkata yang bukan-bukan tentang Khalid." Umar tidak puas dengan jawaban itu dan tiada henti-hentinya ia menuntut agar Khalid dipecat. Melihat desakan yang demikian Khalifah kesal juga. "Umar," katanya kemudian, "saya tak akan menyarungkan pedang yang oleh Allah sudah dihunuskan terhadap orang-orang kafir!"

Jawaban tegas ini tentu sudah menunjukkan bahwa Abu Bakr tak akan memecat Khalid. Adakah dengan itu Umar sudah merasa puas bahwa dia sudah menjalankan kewajibannya sebagai penasihat dan sesudah itu ia harus mengalah kepada pendapat Khalifah dan jangan sampai membuat kecurigaan orang kepadanya? Tidak! Umar tetap marah besar terhadap Khalid dan mengecamnya sampai begitu keras. Dikumpulkannya Mutammam, Abu Qatadah dan beberapa orang lagi. Dimintanya Mutammam membacakan syairnya yang meratapi Malik, Ia memperlihatkan simpatinya kepada Mutammam dan pada syair yang dibacanya itu. Bagaimana Umar akan merasa senang dan diam begitu saja melihat orang membunuh seorang Muslim lalu mengawini8 istrinya, padahal ia harus dirajam! Biar orang ini Saifullah sekalipun. Biar dia paman Umar dari pihak ibu dan sepupu ibunya. Biar dia sudah berjasa menumpas kaum pembangkang!

Soalnya berhubungan dengan disiplin masyarakat serta ketertibannya. Disiplin akan berada dalam bahaya bilamana sudah mulai ada perbedaan dalam memperlakukan manusia. Yang seorang dibiarkan melakukan pelanggaran, yang lain dijatuhi hukuman. Ia tetap tidak puas sebelum Abu Bakr memanggil Khalid ke Medinah, dan Umar pun yakin Khalifah akhirnya akan menyetujui pendapatnya dan memecat jenderal jenius itu. Tetapi ternyata Abu Bakr tidak melakukannya selain hanya memarahi Khalid karena perkawinannya dengan seorang perempuan yang darah suaminya belum lagi kering, di samping tindakannya yang sudah melampaui batas membunuh Malik dan anak buahnya dari kabilah Tamim. Abu Bakr memerintahkan Khalid berangkat ke Yamamah untuk menghadapi Musailimah dan anak buahnya. Ia yakin bahwa Allah akan membantu Khalid dalam menghadapi Banu Hanifah dan akan mendapat kemenangan terus-menerus dan orang akan lupa perkawinannya dengan Laila. Sekalipun begitu Umar tidak beranjak dari pendiriannya mengenai perbuatan Khalid itu dan keharusannya ia dipecat. Kegigihannya ini tampak juga pengaruhnya setelah kemudian ia bertugas sebagai Amirulmukminin. Ketika ia sudah memegang jabatannya itu, tindakan pertama yang dilakukannya memecat Khalid dari panglima pasukan, kemudian ia dipecat dari semua jabatan militer. Peristiwa ini akan kita uraikan lebih terinci sesuai dengan tempatnya dalam buku ini nanti.

Buku-buku sejarah tidak menyebutkan bahwa Abu Bakr pernah berselisih dengan Umar setajam seperti persoalan Khalid ini, perselisihan yang sejalan dengan watak kedua orang itu serta tujuan masing-masing mengenai politik negara. Umar berpendapat bahwa seseorang tak dapat lepas dari dosanya sebelum ia menebusnya. Dengan demikian keadaan akan menjadi stabil dan tertib hukum dapat ditegakkan atas dasar persamaan sejati yang kuat. Buat dia, memaafkan orang-orang penting yang melakukan pelanggaran besar akan sangat berbahaya bagi ketertiban masyarakat. Tetapi Abu Bakr pernah mengatakan bahwa Rasulullah yang memberi julukan Saifullah kepada Khalid, dan kalau daerah-daerah perbatasan di waktu damai harus diperkuat dengan ketidakjelasan hukum, maka waktu dalam keadaan bahaya juga harus diperkuat dengan cara serupa. Ketika Khalid dipanggil pulang oleh Abu Bakr dan diberi teguran keras, saat itulah umat Islam sedang sangat memerlukan Khalid dan kepemimpinannya dalam militer yang jenius itu, melebihi waktu mana sebelumnya. Itu sebabnya Abu Bakr tidak sampai memecatnya. Malah ia dikirim ke Yamamah untuk menumpas Musailimah, kemudian dikirim ke Irak dan berhasil membebaskan wilayah itu. Selanjutnya ia dipindahkan ke Syam sehingga dengan itu Rumawi sudah melupakan bisikan setan.

Bersikerasnya Umar dengan pendapatnya terhadap Khalid itu untuk mencegah timbulnya malapetaka, dan tetap meminta Abu Bakr terus menegurnya. Begitu mendapat kemenangan di Yamamah Khalid kawin lagi dengan seorang gadis. Sekali lagi Abu Bakr menulis surat yang berisi teguran keras dengan mengatakan: "Demi hidupku, ah Umm Khalid! Sungguh Anda orang tak berakal! Anda kawin dengan perempuan itu sedang bercak darah seribu dua ratus Muslim di beranda rumahmu belum lagi kering!" Dilihatnya surat itu oleh Khalid, lalu katanya: "Ini tentu perbuatan si kidal." Dan Umar bin Khattab memang kidal. Setelah membebaskan Irak dan sudah sampai di perkampungan Huzail dan mengikis mereka, ada dua laki-laki yang dibunuhnya, padahal mereka masing-masing membawa surat dari Abu Bakr yang menyatakan keislamannya. Atas perbuatannya ini menurut pendapat Umar Khalid harus dijatuhi hukuman, dan katanya tentang kedua orang itu: "Begitu ia bertindak terhadap penduduk di daerah perang."

Ada sebagian mereka yang merasa heran bahwa Umar sampai demikian rupa marah kepada Khalid, Khalid yang paman Umar sendiri dan Saifullah serta pembela agama-Nya. Dapat saja keheranan demikian dihilangkan berdasarkan sumber yang dikemukakan oleh beberapa sejarawan bahwa pandangan Umar terhadap Khalid memang tidak baik sejak sebelum ia menganut Islam. Selama hidupnya ia memang sudah tidak menyukainya.9 Barangkali Umar tak dapat melupakan Khalid ketika dalam Perang Uhud dan peranannya waktu itu, serta kemenangan kaum musyrik terhadap kaum Muslimin karena kehebatan Khalid. Kemudian serangannya terhadap Rasulullah, kalau tidak karena Umar yang lalu menghadangnya sehingga rencananya itu dapat digagalkan. Bagaimanapun juga yang pasti Umar tidak senang kepada Khalid kendati ia sangat menghargainya serta mengagumi kehebatannya memimpin pasukan. Perasaan Khalid terhadap Umar pun demikian. Dalam segala hal yang datang dari Khalifah, yang tidak disukainya ia melihat campur tangan Umar. Ketika oleh Abu Bakr ia dipindahkan dari Irak ke Syam ia berkata: "Ini perbuatan si kidal anak Umm Sakhlah. Dia dengki kepada saya karena saya yang membebaskan Irak."

Setiap orang berhak heran melihat perselisihan yang begitu menonjol antara Abu Bakr dengan Umar mengenai masalah Khalid bin Walid itu. Tetapi kita harus kagum juga kepada kedua tokoh besar ini. Bagaimanapun perselisihan mereka yang sudah begitu jelas, namun demi kepentingan Islam dan umat Islam, keakraban dan eratnya kerja sama antara keduanya tak pernah berubah. Umar tetap setia kepada Abu Bakr dan pada janjinya. Ia menjalankan tugasnya dengan selalu memberikan pendapatnya, dan melaksanakan perintah Khalifah dengan penuh keikhlasan. Kepercayaan Abu Bakr kepada Umar juga tetap seperti dulu, sedikit pun tak terpengaruh oleh keadaan dari luar. Keikhlasan timbal balik dan kepercayaan yang begitu kuat, itulah dasar organisasi yang kukuh dan sumber kewibawaan dan kekuatannya. Itu sebabnya kedaulatan Islam pada masa kedua tokoh ini telah mencapai puncaknya, yang tak pernah ada dalam kedaulatan mana pun di dunia. Nama Abu Bakr dan nama Umar dalam lembaran sejarah merupakan lambang ketulusan, kejujuran dan kekuatan. Tak ada yang dapat menandingi kebesaran dan keagungan pribadi mereka.

Abu Bakr menjatuhkan sanksi kepada Khalid bin Walid karena ia telah membunuh Malik bin Nuwairah dan mengawini Laila, maka ia lalu mengirimnya ke Yamamah. Tetapi ia telah memperoleh kemenangan besar, dan ini merupakan suatu pengumuman dari Allah untuk mengikis kaum murtad di segenap penjuru Semenanjung Arab, kendati untuk itu telah menelan korban seribu dua ratus Muslimin mati syahid. Penduduk Medinah begitu sedih karena mereka yang telah mati syahid itu. Ketika itu yang sangat berduka cita Umar bin Khattab karena kematian Zaid adiknya, sehingga ketika Abdullah anaknya kembali ke Medinah ia berkata: "Mengapa kau pulang padahal Zaid sudah meninggal. Tidak malu kau memperlihatkan muka kepadaku!?" Tetapi anaknya menjawab dengan jujur dan penuh iman: "Dia memohon mati syahid kepada Allah, permohonannya terkabul. Saya sudah berusaha supaya saya juga demikian, namun tidak juga diberikan."

Menyarankan pengumpulan Qur'an

Tetapi kesedihan Umar karena kematian adiknya itu tidak sampai membuatnya lalai dari memikirkan masalah yang paling berbahaya dalam sejarah Islam dan umat Islam. Di antara yang mati itu banyak dari mereka yang sudah hafal Qur'an. Bagaimana kalau perang ini berlanjut dan akan banyak lagi yang terbunuh dari orang-orang yang sudah hafal Qur'an seperti yang terjadi di Yamamah? Inilah yang mendera pikiran Umar. Sampai kemudian ia mengambil keputusan pergi menemui Abu Bakr, yang saat itu sedang dalam majelis di Masjid. "Pembunuhan yang terjadi dalam perang Yamamah sudah makin memuncak," katanya kemudian kepada Abu Bakr. "Saya khawatir di tempat-tempat lain akan bertambah banyak penghafal Qur'an yang "akan terbunuh sehingga Qur'an akan banyak yang hilang. Saya mengusulkan supaya Anda memerintahkan orang menghimpun Qur'an."

Usul yang dirasakan oleh Abu Bakr sangat tiba-tiba itu dijawab dengan pertanyaan: "Bagaimana saya akan melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam?" Umar memperkuat pendapatnya dengan argumen yang membuat Abu Bakr kemudian merasa puas. Ia memanggil Zaid bin Sabit dan menceritakan dialognya dengan Umar. Kemudian katanya: "Anda masih muda, cerdas dan kami tidak meragukan kau. Anda penulis wahyu untuk Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Sekarang lacaklah Qur'an itu dan kumpulkanlah." Seperti Abu Bakr Zaid juga ragu. Kemudian Allah membukakan hatinya seperti terhadap Abu Bakr dan Umar. Selanjutnya Zaid bekerja melacak dan menghimpun Qur'an dari lempenganlempengan, dari tulang-tulang bahu, kepingan-kepingan pelepah pohon kurma dan dari hafalan orang. Demikianlah, karena saran Umar itu pula maka Qur'an dikumpulkan dan sampai sekarang dipelihara seperti ketika dikumpulkan dulu, sehingga sehubungan dengan ini Orientalis Inggris William Muir berkata: "Di seluruh belahan bumi ini rasanya tak ada sebuah kitab pun selain Qur'an yang sampai dua belas abad lamanya tetap lengkap dengan teks yang begitu murni dan cermat."

Ada pula sumber yang menyebutkan bahwa Umar-lah yang pertama menghimpun Qur'an dalam satu jilid kitab (mushaf). Pendapat ini bertentangan dengan sumber-sumber yang mutawatir.10 Tetapi sumber-sumber yang mutawatir ini mengakui bahwa karena jasa Umar dengan sarannya kepada Abu Bakr sampai dapat meyakinkan untuk menghimpun Qur'an itu. Sekiranya Umar tidak menyadari apa yang akan mungkin menimpa para penghafal Qur'an di tempat-tempat lain selain Yamamah, dan segala akibatnya dengan banyaknya Qur'an yang hilang, barangkali tidak terpikir oleh Abu Bakr untuk menghimpunnya dan tidak akan berani pula. Bahkan sekiranya Umar tidak mengoreksi Abu Bakr ketika mengatakan: "Bagaimana saya akan melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah" dan tidak dapat meyakinkannya betapa pentingnya menghimpun Qur'an, tentu Abu Bakr tidak terdorong untuk melakukannya, dan tidak akan memanggil Zaid bin Sabit untuk mengerjakannya. Kalau Abu Bakr juga telah berjasa dalam pekerjaan yang besar ini sehingga Ali bin Abi Talib berkata: "Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Bakr, orang yang paling besar jasanya dalam mengumpulkan Qur'an, maka sudah tentu dalam pahala dan jasa itu sekaligus Umar juga bersama-sama. Sungguh Muslimin sangat berutang budi kepadanya, begitu juga kepada Abu Bakr dalam mengumpulkan Kitabullah itu. Ini merupakan salah satu dari tiupan jiwa besarnya, tiupan yang membawa berkah paling agung dan mulia, yang telah memberikan segala yang terbaik.

Barangkali di atas sudah kita lihat sejauh mana peranan Umar pada masa Abu Bakr. Kita lihat dia pada masa itu — sama seperti ketika mendampingi Rasulullah — ia lebih berperan sebagai orang yang mempunyai banyak gagasan dan kebijakan politik yang luar biasa, daripada sebagai orang lapangan dan di medan perang. Bahkan sudah kita lihat bagaimana ia menentang Abu Bakr dalam hal memerangi orang yang tak mau membayar zakat. Begitu juga sebelum itu, ia menentang meneruskan pengiriman pasukan Usamah. Sesudah kemudian ia melihat politik jihad membawa keunggulan dan kemenangan, ia pun menerimanya dan mendukung Abu Bakr dengan sungguh-sungguh. Bukankah politik jihad itu yang telah dapat menumpas kaum murtad dan mengembalikan mereka ke pangkuan Islam, dan seluruh Semenanjung Arab bernaung di bawah satu panji? Bukankah politik ini juga yang telah membukakan pintu Irak dan pada gilirannya merambah jalan ke Persia? Tidak heran jika Umar benar-benar yakin dan langsung memberikan dukungannya pada setiap langkah yang sudah diyakininya.

Sikapnya tentang pembebasan Syam

Sesudah Khalid bin Walid mendapat kemajuan di Irak, dan berita kemenangannya berkumandang ke seluruh Semenanjung Arab dan sekitarnya, Abu Bakr bermaksud hendak membebaskan pula Syam. Pada suatu pagi ia mengundang beberapa pemuka, dan terutama Umar. Dikatakannya kepada mereka bahwa Rasulullah dulu bermaksud mencurahkan perhatiannya ke daerah Syam, tetapi dengan kehendak Allah ajal telah mendahuluinya. "Orang-orang Arab itu seibu sebapa dan saya ingin meminta bantuan mereka menghadapi Rumawi di Syam. Jika di antara mereka ada yang tewas, mereka akan mati syahid. Apa yang dari Allah, itulah yang lebih baik bagi mereka yang berbakti. Dan mereka yang masih hidup di antaranya, hidup mereka mempertahankan agama. Allah Yang Mahakuasa akan memberi pahala kepada mereka sebagai mujahid." Abu Bakr meminta pendapat mereka dalam hal ini. Yang pertama sekali memberikan jawaban Umar bin Khattab dengan mengatakan: "Setiap kami berlomba untuk segala yang baik ternyata Anda sudah lebih dulu dari kami. Sebenarnya saya ingin menemui Anda justru untuk membicarakan pendapat yang Anda sebutkan itu. Apa yang sudah ditentukan Allah untuk itu, itu pula yang Anda sebutkan. Allah telah membimbing Anda ke jalan yang benar. Kirimkanlah berturutturut pasukan berkuda, perwira demi perwira dan prajurit demi prajurit. Allah 'azza wa jalla akan membela agama-Nya, akan memperkuat Islam dan pemeluknya dan akan menunaikan apa yang sudah dijanjikan kepada Rasul-Nya."

Orang-orang yang hadir tidak begitu bersemangat terhadap seruan itu kendati yang berbicara Abu Bakr dan Umar. Malah mereka masih mendiskusikan kehebatan Rumawi. Selesai mereka berbicara, kembali Abu Bakr mengulangi seruannya agar mereka bersiap-siap. Mereka diam. Tetapi Umar berteriak kepada mereka: "Kaum Muslimin sekalian, mengapa kalian tidak menjawab seruan Khalifah yang mengajak kalian untuk hal-hal yang akan menghidupkan iman kalian?" Dengan teriakan itu mereka tersentak. Sekarang mereka menerima seruan jihad itu meskipun yang mereka utamakan agar Khalifah meminta bantuan Yaman dan seluruh Semenanjung untuk menghadapi musuh.

Sekali lagi di sini kita merenung sejenak. Perubahan yang sekarang tiba-tiba terjadi pada Umar, dan sampai mendukung politik perang dengan begitu bersemangat, memperkuat gambaran kita terdahulu mengenai jalan pikirannya. Kita bertambah yakin bahwa dulu ia orang lapangan yang tidak begitu menghiraukan konsep yang hanya untuk konsep semata, bahkan terhadap pengaruh yang tampak dalam kenyataan hidup. Itulah yang kita sebutkan ketika kita menggambarkan jalan pikirannya dulu waktu ia masuk Islam. Berbaliknya Umar dari politik yang sangat berhati-hati kepada politik yang agresif pada masa pemerintahan Abu Bakr tambah memperjelas gambaran tersebut. Waktu itu ia sangat menjauhi Islam dan memusuhi kaum Muslimin ketika Muslimin belum mempunyai kekuatan yang dapat dibanggakan. Ia melihat keberadaan mereka berbahaya terhadap ketertiban Mekah dan kedudukan agamanya. Sesudah melihat Muslimin begitu tabah dengan agama mereka dan bersedia menanggung segala penderitaan dan pengorbanan demi agama, sampai pun mereka keluar meninggalkan tanah air, barulah dia lihat bahwa dalam agama baru ini ada kekuatan yang dapat melengkapi jiwa pemeluknya, dan dia yakin bahwa mereka tak akan dapat dikalahkan. Saat itulah ia mulai mengoreksi dirinya, dan apa yang sudah didengarnya dari Qur'an menjadi bahan pemikirannya, sampai akhirnya ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta segala yang datang dari Allah. Sesudah beriman ia mendukung Muslimin dengan kekuatan semangat yang sama seperti ketika dulu ia memerangi mereka. Dulu ia menentang politik Abu Bakr dalam soal perang. Tidak senang ia dengan pengiriman Usamah dan tidak pula setuju dengan tindakannya memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat. Sesudah Abu Bakr menyiapkan Medinah untuk memerangi kaum murtad itu ia menjauhkan diri. Kalangan sejarawan hampir tidak menyebutnyebut mengenai pandangannya ketika itu. Tetapi politik Abu Bakr mengenai perang ternyata berhasil dan dapat menumpas pembangkang itu sampai ia dapat membebaskan Irak. Ketika itulah Umar berbalik memberikan dukungan dengan segala kemampuannya, seperti tatkala dulu ia sudah mulai beriman ia berbalik mendukung Islam dengan segala kekuatannya.

Karena adanya orientasi baru ini dalam pemikiran Umar, ada juga pengaruhnya kemudian terhadap penggantian Abu Bakr kepada Umar, dan terhadap politik pembebasan yang berhasil yang dipelopori oleh Khalifah pertama ini. Setelah itu kita akan melihat bagaimana semangat Umar terhadap politik ini yang sampai dapat membangun Kedaulatan Islam di atas puing-puing kedua imperium besar Persia dan Rumawi itu.

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team