|
3. Mendampingi Nabi (3/3)
Umar dan istri-istri Nabi
Masih ada peranan Umar yang lain dengan Nabi yang
menyangkut hubungan pribadi, yang mungkin tidak akan
diketahuinya kalau tidak karena Hafsah sebagai salah seorang
Ummul-muminin. Suatu ketika istri-istri Nabi mengutus
Zainab binti Jahsy kepadanya yang ketika itu sedang
di rumah Aisyah mengatakan terus terang bahwa Nabi
memperlakukan mereka tidak adil, dan karena cintanya kepada
Aisyah mereka merasa dirugikan. Setelah Maria melahirkan
Ibrahim besar sekali cinta Rasulullah kepada bayinya ini.
Hal ini dinyatakan oleh Hafsah dan Aisyah, diikuti oleh
istri-istrinya yang lain, sehingga Nabi bermaksud
meninggalkan mereka dan mengancam akan menceraikan mereka.
Disebutkan dalam Sahih dari Ibn Abbas bahwa ia bertanya
kepada Umar, siapa dari dua istri Nabi yang menunjukkan
perasaan demikian itu. Hafsah dan Aisyah, jawab Umar.
Kemudian katanya lagi: "Ya, sungguh di zaman jahiliah dulu,
perempuan-perempuan tidak kami hargai. Baru setelah Allah
memberikan ketentuan tentang mereka dan memberikan pula hak
kepada mereka." Dan katanya lagi: "Ketika saya sedang dalam
suatu urusan tiba-tiba istri saya berkata: 'Coba Anda
berbuat begini atau begitu. Jawab saya, 'Ada urusan apa Anda
di sini, dan perlu apa dengan urusan saya.' Dia pun
membalas, 'Aneh sekali Anda ini, Umar. Anda tidak mau
ditentang, padahal putri kita menentang Rasulullah
Sallallahu alaihi wa sallam sehingga ia gusar
sepanjang hari. Kata Umar selanjutnya: "Saya ambil mantelku,
saya pergi keluar menemui Hafsah. 'Anakku', kata saya
kepadanya. 'Anda menentang Rasulullah Sallallahu
alaihi wa sallam sampai ia merasa gusar sepanjang
hari?! Hafsah menjawab: 'Memang kami menentangnya.' 'Anda
harus tahu', kata saya. 'Kuperingatkan Anda jangan
teperdaya. Orang telah terpesona oleh kecantikannya sendiri
dan mengira cinta Rasulullah Sallallahu alaihi wa
sallam hanya karenanya.' Kemudian saya pergi menemui Umm
Salamah, karena kami masih berkerabat. Hal ini saya
bicarakan dengan dia. Kata Umm Salamah kepada saya: 'Aneh
sekali Anda ini, Umar! Anda sudah ikut campur dalam segala
hal, sampai-sampai mau mencampuri urusan Rasulullah
Sallallahu alaihi wa sallam dengan rumah tangganya!'
Kata Umar lagi: 'Kata-katanya mempengaruhi saya sehingga
tidak jadi saya melakukan apa yang sudah saya rencanakan.
Saya pun pergi. Ada seorang kawan dari Ansar yang suka
membawa berita kepada saya jika saya tidak hadir, kalau dia
yang tidak hadir saya yang membawakan berita buat dia. Kami
sedang dalam keadaan cemas karena konon salah seorang raja
Gassan akan menuju ke tempat kami. Sementara kami sedang
gelisah demikian, tiba-tiba temanku orang Ansar itu datang
mengetuk pintu seraya berkata: Buka, buka. Orang Gassan itu
datang?! tanya saya. Bukan, katanya. Lebih penting dari itu.
Rasulullah Sallallahu alaihi wa sallam telah
meninggalkan semua istrinya. Karena tunduk kepada Hafsah dan
Aisyah! Saya ambil pakaianku dan saya pergi hendak
menemuinya. Saya lihat Rasulullah Sallallahu alaihi wa
sallam di Masyrabah yang dinaikinya dengan anak tangga dari
batang kurma yang berlekuk-lekuk. Pelayan Rasulullah orang
hitam itu di atas anak tangga. Kata saya kepadanya: Katakan
ada Umar bin Khattab. Saya pun diizinkan masuk. Kata Umar
selanjutnya: Maka saya ceritakan kepada Rasulullah
Sallallahu alaihi wa sallam peristiwa itu. Sesudah
sampai pada cerita tentang Umm Salamah ia tersenyum."
Dalam sebuah sumber disebutkan bahwa Nabi meninggalkan
istri-istrinya sebulan penuh. Sesudah cukup satu bulan,
ketika itu Muslimin yang sedang berada dalam Masjid sedang
menekur dalam suasana kesedihan; mereka berkata: Rasulullah
Sallallahu alaihi wa sallam menceraikan
istri-istrinya. Ketika itulah Umar pergi hendak menemui
Rasulullah Sallallahu 'alalhi wa sallam di Masyrabah. Ia
memanggil Rabah pembantunya supaya memintakan izin, tetapi
Rabah tidak menjawab. Ia mengulangi permintaannya. Sesudah
untuk kedua kalinya Rabah tidak memberikan jawaban, dengan
suara lebih keras Umar berkata: "Rabah, mintakan saya izin
kepada Rasulullah Sallallahu alaihi wa sallam
saya kira dia sudah menduga kedatangan saya ini ada
hubungannya dengan Hafsah. Sungguh, kalau dia menyuruh saya
memenggal leher Hafsah, akan saya penggal lehernya." Sekali
ini Nabi memberi izin dan Umar pun masuk. Tak lama kemudian
kata Umar: "Rasulullah, apa yang menyebabkan Anda
tersinggung karena para istri itu. Kalau mereka Anda
ceraikan, niscaya Tuhan di samping Anda, demikian juga para
malaikat Jibril dan Mikailjuga saya, Abu Bakr,
dan semua orang beriman berada di pihak Anda." Ia terus
bicara dengan Nabi sehingga bayangan kemarahan di wajahnya
berangsur hilang dan ia pun tertawa.
Disebutkan bahwa Umar telah menemui istri-istri Nabi
sesudah mereka ditinggalkan oleh Nabi dan berkata kepada
mereka: "Kalau kamu tidak mau mengubah sikap kamu Allah akan
menggantikan kamu dengan yang lebih baik dari kamu semua."
Salah seorang dari mereka menjawab: "Umar, Rasulullah
Sallallahu alaihi wa sallam tak pernah menceramahi
istri-istrinya, mengapa Anda yang berceramah! Dalam hal ini
firman Allah turun:
"Allah telah mewajibkan kepada kamu (hai manusia),
melepaskan sumpah kamu (dalam beberapa hal); dan Allah
Pelindung kamu, dan Dia Mahatahu, Mahabijaksana. Tatkala
Nabi secara rahasia menyampaikan suatu berita kepada salah
seorang istrinya, maka kemudian ia (istrinya) membocorkannya
(kepada yang lain), dan Allah memberitahukan hal itu
kepadanya (Nabi), ia memberitahukan sebagian dan
menyembunyikan yang sebagian. Maka setelah ia memberitahukan
hal demikian kepadanya (istrinya) ia berkata, "Siapa yang
mengatakan ini kepadamu?" (Nabi) berkata, "Yang
memberitahukan Yang Mahatahu, Maha Mengenal (segalanya)."
Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, hatimu memang sudah
cenderung; tetapi jika kamu saling membantu menentangnya,
sungguh Allah Pelindungnya, juga Jibril dan orang yang saleh
di antara orang-orang beriman dan sesudah itu, para
malaikat akan melindungi(nya). Kiranya Tuhannya, jika ia
menceraikan kamu (semua), memberinya ganti istri-istri yang
lebih baik dari kamu, perempuan-perempuan yang patuh
menyerahkan kehendak, yang beriman, yang patuh, yang
bertobat, yang beribadah, yang mengembara (karena iman) dan
yang berpuasa, yang pernah bersuami, yang perawan."
(Qur'an, 66:2-5). Sesudah ayat-ayat turun Rasulullah kembali
kepada istri-istrinya yang sudah bertobat.3
Semua sejarawan mencatat peristiwa ini, yakni bahwa wahyu
itu memperkuat pendapat Umar. Menurut Sahih Umar berkata:
"Tuhan menyetujui pendapat saya dalam tiga hal. Kata saya:
Rasulullah, kita jadikan Maqam Ibrahim tempat salat Kata
saya: Rasulullah, sebaiknya istri-istri Anda itu mengenakan
hijab, sebab yang berbicara kepada mereka ada orang yang
baik, ada yang jahat." Maka turun ayat hijab. Tatkala
istri-istri Nabi Sallallahu alaihi wa sallam berkumpul
karena perasaan cemburu, saya berkata kepada mereka: Kalau
kamu diceraikan mudah-mudahan Tuhan memberi ganti dengan
istri-istri yang lebih baik, maka turun ayat ini."
Barangkali turunnya wahyu sesuai dengan pendapat Umar dalam
peristiwa-peristiwa itu, itu pula sampai Rasulullah
Sallallahu alaihi wa sallam berkata: "Allah telah
menempatkan kebenaran di lidah dan di hati Umar," atau ia
katanya: "Allah telah menentukan kebenaran di lidah Umar apa
yang dikatakannya."
Dari sekian banyak peristiwa yang dialami Umar, dari para
tawanan Badr, Abdullah bin Ubai, Perjanjian Hudaibiah,
ketentuan minuman keras sampai kepada masalah istri-istri
Nabi merupakan bukti yang cukup menonjol dan mengungkapkan
sebagian kepribadian Umar, yang makin lama terasa makin
jelas. Dengan segala keberaniannya, keterus-terangannya dan
kepribadiannya yang begitu menonjol dan segala yang sudah
kita sebutkan di atas, bukanlah semua itu yang menjadi
tujuan kita, juga bukan dengan pendapatnya yang tepat dan
pengetahuannya yang luas yang kita inginkan, tetapi yang
menjadi tujuan kita dengan semua peristiwa itu hanya untuk
menunjukkan betapa besar perhatiannya terhadap segala
kepentingan umum yang dihadapinya serta politik bangsanya
yang banyak mendapat perhatian itu. Ia mengurus semua
persoalan dan pekerjaan itu dengan disiplin yang tinggi.
Segi ini padanya memang lebih menonjol dari yang lain. Itu
sebabnya Nabi menyebut dia sebagai wazirnya. Dan bilamana
bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya ia menempatkan
pendapat Umar sama dengan pendapat yang dikemukakan Abu
Bakr, orang pilihan dan sahabat Rasulullah.
Penghargaan kepada Umar di mata semua Muslimin sudah
begitu tinggi, padahal dalam banyak peristiwa Nabi sering
menentang pendapatnya karena sikap Umar yang begitu
bersikukuh sudah melampaui sikap keteguhan hati. Karenanya
tidak bertemu dengan sifat-sifat Rasulullah yang mempunyai
keteguhan hati dan bijaksana, mempunyai kemampuan dan sifat
pemaaf.
Sesudah Muslimin berangkat akan membebaskan Mekah, Abbas
bin Abdul-Muttalib keluar. Maka dilihatnya pasukan dan
kekuatan kemenakannya itu, dan Kuraisy tak akan lagi mampu
menandinginya. Juga Abu Sufyan bin Harb keluar dalam satu
regu hendak mencari-cari berita. Sementara Abu Sufyan
berbicara dengan kawan-kawannya Abbas sudah mengenal
suaranya. Maka katanya:
"Hai Abu Sufyan, Rasulullah berada di tengah-tengah
rombongan itu. Apa jadinya Kuraisy jika ia memasuki Mekah
dengan kekerasan!" Abu Sufyan menukas: "Apa yang harus kita
perbuat! Kupertaruhkan ibu-bapaku." Ketika itu Abbas di atas
seekor bagal putih kepunyaan Nabi. Dinaikkannya ia di
belakangnya, sedang teman-temannya disuruhnya kembali ke
Mekah dan Abu Sufyan diajaknya ke tempat Nabi. Melihat bagal
itu dan mengetahui ada Abu Sufyan, sadar dia bahwa Abbas mau
melindunginya. Maka cepat-cepat Umar menuju ke kemah Nabi
dan ia meminta izin akan memenggal leher Abu Sufyan. Tetapi
Abbas berkata: "Rasulullah, saya sudah melindunginya."
Sekarang terjadi perdebatan sengit antara Umar dengan Abbas
mengenai Abu Sufyan. Rasulullah menangguhkan perkara itu
sampai besok.
Keesokan harinya Abu Sufyan sudah menerima Islam setelah
terjadi dialog dengan Rasulullah. Nabi memberikan kehormatan
kepada Abu Sufyan dengan mengatakan: "Barang siapa datang ke
rumah Abu Sufyan, ia akan selamat, barang siapa menutup
pintu rumahnya ia akan selamat dan barang siapa masuk ke
dalam Masjid ia juga akan selamat." Umar pergi dengan hati
kesal karena Abu Sufyan selamat. Sesudah kemudian Mekah
membuka pintu, baru dia tahu pentingnya perintah Rasulullah,
seperti soal Abdullah bin Ubai dulu, bahwa perintah
Rasulullah lebih besar artinya daripada perintahnya. Tetapi
kegigihan dan keterusterangannya serta sikapnya sering
menentang pendapat Nabi seperti yang sudah saya sebutkan,
tak pernah mengurangi kedudukan Umar yang tetap terhormat.
Soalnya karena apa yang dilihatnya dan disampaikannya itu
benar-benar keluar dari hati yang ikhlas. Bagi orang yang
ikhlas memang patut sekali kita hormati, kendati pendapatnya
tidak kita terima. Bagaimana pendapat kita kalau apa yang
dikatakannya itu dalam banyak hal memang benar. Lalu
bagaimana pendapat kita kalau kita berbeda pendapat kemudian
kita lihat pendapatnya itu yang benar dan kita menerima
pendapatnya. Ketika Nabi mengutus Abu Hurairah agar
memberitahukan bahwa barang siapa mengucapkan kalimat
syahadat tiada tuhan selain Allah dengan
sungguh-sungguh dari hati, ia akan masuk surga. Setelah hal
itu didengar oleh Umar, dengan keras ia mau mengoreksi
Rasulullah, dan langsung ia mengikutinya akan menanyakan
kembali kepada Rasulullah, benarkah ia telah mengutus Abu
Hurairah dengan pengumuman berita itu. Sesudah oleh
Rasulullah dibenarkan, Umar berkata: Jangan lakukan itu!
Saya khawatir orang hanya akan berpegang pada itu; biarlah
orang mewujudkannya dengan amal perbuatan. Pendapatnya oleh
Rasulullah diterima.
Saat sakit Rasulullah yang terakhir terasa sudah makin
berat, ia memberi isyarat kepada beberapa pemuka Muslimin
yang ada di sekelilingnya dalam rumah ketika itu dengan
mengatakan: "Bawakan dawat dan lembaran, akan saya minta
tuliskan surat buat kamu sekalian, supaya sesudah itu kamu
tidak lagi akan sesat." Ada sebagian mereka yang menentang,
dipelopori oleh Umar dengan mengatakan: "Rasulullah sudah
dalam keadaan sakit. Pada kita sudah ada Qur'an, sudah cukup
Kitabullah buat kita." Melihat perselisihan pendapat itu
Nabi berkata: "Pergilah kamu sekalian! Tidak patut kamu
berselisih di hadapan Nabi." Penulisan tidak jadi.
Barangkali ia lebih banyak terkesan oleh pendapat Umar
daripada pendapat yang lain, karena diketahuinya benar
kejujuran dan keikhlasannya serta keterusterangannya dalam
menyampaikan pendapat.
Yang ikhlas dan zuhud
Yang lebih pantas kita hormati dan kita hargai justru
orang yang tidak begitu mengutamakan kepentingannya sendiri,
dan dengan ikhlas memberikan pendapatnya demi kepentingan
umum. Dalam hal ini Umar merupakan teladan yang baik. Di
atas sudah kita lihat pendapat-pendapatnya itu memang bersih
dari segala yang mencurigakan. Bahkan juga sudah kita lihat
bagaimana cita-citanya sekiranya Allah mengharamkan khamar
yang ketika itu belum diharamkan, padahal di zaman jahiliah
dia sendiri seorang peminum minuman keras yang sudah
melebihi semestinya. Harapannya agar minuman itu diharamkan
hanya karena cintanya demi segala kebaikan masyarakat
disertai disiplinnya yang begitu kuat. Di samping itu ia
termasuk seorang zahid yang paling keras menjauhi harta.
Kalau Rasulullah memberikan kepadanya harta hasil rampasan
perang yang diperoleh Muslimin, ia berkata: "Berikan kepada
yang lebih miskin dari saya." Suatu hari ia berkata demikian
kepada Rasulullah, maka kata Nabi: "Terimalah dan simpan
kemudian sedekahkan."
Bahkan begitu kuat zuhudnya, ketika ia mendapat bagian
tanah di Khaibar, dan ia menemui Nabi Sallallahu
alaihi wa sallam maka katanya: "Saya mendapat bagian
tanah di Khaibar, yang sebenarnya belum pernah saya mendapat
harta begitu berharga, tetapi apa yang harus saya perbuat
dengan itu." "Kalau Anda mau pokoknya wakafkan dan
sedekahkan dengan itu." Maka dengan itu oleh Umar
disedekahkan kepada fakir miskin, kaum kerabat, membebaskan
hamba sahaya, fi sabilillah dan kepada tamu. Boleh juga
orang yang mengurusnya ikut menikmati dengan sepantasnya
atau memberikan kepada teman yang tidak ikut memilikinya.
Dan dia berkata: Yang tak boleh dijual, dihibahkan atau
diwariskan pokoknya. Inilah yang pertama kali sedekah
dilakukan dalam Islam, dan inilah pokok yang pertama yang
menjadi sistem wakaf di kalangan Muslimin di mana pun mereka
berada.
Tidak heran jika orang yang sudah demikian rupa
keadaannya dan zuhudnya akan sangat dihargai dan dihormati
oleh semua umat Islam lepas dari wataknya yang begitu keras
dan tegar. Ia juga sangat dicintai dan dihargai oleh
Rasulullah sehingga ia memanggilnya dengan Saudaraku. Pernah
Umar meminta izin kepadanya akan melaksanakan umrah. Nabi
mengizinkan dengan mengatakan: "Saudaraku, jangan lupakan
kami dalam doa Anda." Setiap Umar ingat akan kata-kata ini
ia berkata: "Sejak terbit matahari kata "Saudaraku," inilah
yang saya senangi."
Allah menempatkan kebenaran di lidah dan
di hati Umar
Keikhlasan dan kebersihan hati dari segala hawa nafsu
serta cintanya pada keadilan, itulah yang membuat gelar
"al-Faruq" melekat padanya. Belum terdapat kata sepakat
siapa yang menamakan Umar al-Faruq. Ketika ditanya mengenai
hal ini menurut sumber dari Aisyah ketika ditanya ia
berkata: "Nabi alaihis-salam." Disebutkan bahwa
Rasulullah Sallallahu alaihi wa sallam berkata: "Allah
menempatkan kebenaran di lidah dan di hati Umar. Dialah
al-Faruq" ("Pemisah"), yang memisahkan antara yang hak
dengan yang batil." Dalam at-Tabaqat Ibn Sa'd mengutip
sebuah ungkapan berikut rujukannya sebagai berikut: "Saya
mendapat kabar bahwa yang pertama kali mengatakan Umar
al-Faruq Ahli Kitab. Kaum Muslimin menggunakan sebutan itu
dari kata-kata mereka. Belum ada suatu berita yang kami
terima bahwa Rasulullah Sallallahu alaihi wa sallam
pernah mengatakan itu." Mana pun yang benar dari
sumber-sumber tersebut, yang tak dapat diragukan lagi Umar
adalah seorang Faruq yang memisahkan antara yang hak
dengan yang batil. Dan inilah yang mengabadikan nama
al-Faruq sepanjang sejarah, yang melekat pada Umar sampai
sekarang, dan akan tetap demikian selamanya.
Mengenai sikapnya yang begitu keras dan tegar, itu
pulalah maka Nabi lebih mengutamakan Abu Bakr, dan selain
Abu Bakr tak ada orang yang lebih diutamakan, karena
keikhlasannya, keterusterangannya, keteguhan hati serta
kebijakannya. Umar, yang begitu terkenal karena sikapnya
yang keras dan tegar sehingga tak dapat ditawar-tawar, dalam
beberapa peristiwa tampak ia lemah lembut dengan perasaan
yang halus seperti sebagian sudah kita kemukakan
peristiwanya ketika ia masuk Islam. Disebutkan bahwa ketika
Umar meminta izin akan menemui Rasulullah Sallallahu
alaihi wa sallam, ada beberapa perempuan Kuraisy yang
sedang berbicara kepada Nabi dengan suara tinggi. Setelah
diizinkan, perempuan-perempuan itu cepat-cepat mengenakan
hijab.4 Begitu Umar masuk, Rasulullah tertawa
seraya berkata: "Heran saya melihat perempuan-perempuan yang
sejak tadi sudah di tempat saya, tetapi begitu mendengar
suara Anda cepat-cepat mereka mengenakan hijab." Umar
menjawab: "Lebih berhak Rasulullah yang harus mereka
segani." Kemudian sambungnya: "Mereka memusuhi diri mereka
sendiri. Kalian segan kepada saya dan tidak segan kepada
Rasulullah Sallallahu alaihi wa sallam? Mereka
menjawab: "Ya, karena Anda kasar dan keras."
Akhlak Umar dan kesedihannya ketika Nabi
wafat
Mungkin karena kerasnya Umar, ketika dalam sakitnya
Rasulullah meminta Abu Bakr mengimami salat. Suatu waktu Abu
Bakr tak ada di tempat, dan yang menjadi imam salat Umar
dengan suaranya yang nyaring terdengar menggelegar, maka
Rasulullah bertanya: "Mana Abu Bakr? Allah dan kaum Muslimin
tidak menghendaki yang demikian."
Melihat wataknya yang keras dan tegar adakalanya kita
heran ketika ada berita Rasulullah telah wafat melihat Umar
kebingungan menghadapi kenyataan. Ia menolak setiap usaha
orang yang hendak meyakinkannya mengenai kenyataan pahit
itu. Ia berdiri di depan orang banyak sambil berkata: "Ada
orang dari kaum munafik yang mengira bahwa Rasulullah
Sallallahu alaihi wa sallam telah wafat. Tetapi, demi
Allah sebenarnya dia tidak meninggal, melainkan ia pergi
kepada Tuhan, seperti Musa bin Imran. Ia telah menghilang
dari tengah-tengah masyarakatnya selama empat puluh hari,
kemudian kembali lagi ke tengah mereka setelah dikatakan dia
sudah mati. Sungguh, Rasulullah pasti akan kembali seperti
Musa juga. Orang yang menduga bahwa dia telah meninggal,
tangan dan kakinya harus dipotong!" Setelah Abu Bakr datang
dan sesudah melihat Rasulullah ia pun yakin bahwa Rasulullah
memang sudah tiada. Abu Bakr mendatangi orang-orang yang
sedang berkerumun itu lalu katanya: "Barang siapa mau
menyembah Muhammad, Muhammad sudah meninggal. Tetapi barang
siapa menyembah Allah, Allah hidup selamanya tak pernah
mati." Kemudian ia membacakan firman Allah: "Muhammad
hanyalah seorang Rasul; sebelumnya pun telah berlalu
rasul-rasul. Apabila dia mati atau terbunuh kamu akan
berbalik belakang? Barang siapa berbalik belakang samasekali
takkan merugikan Allah tetapi Allah akan memberi pahala
kepada orang-orang yang bersyukur." (Qur'an, 3:144). Setelah
Abu Bakr membacakan ayat itu, Umar jatuh tersungkur ke
tanah. Kedua kakinya sudah tak dapat menahan lagi, setelah
ia yakin bahwa Rasulullah memang sudah wafat, seolah ia tak
pernah mendengar ayat itu sebelumnya. Saat itu mana wataknya
yang keras dan tegar itu! Bahkan mana pula ketidaksabarannya
dan yang selalu gelisah dibandingkan dengan ketabahan Abu
Bakr yang begitu lembut hati, cepat keluar air mata, teman
dekat dan pilihan Rasulullah itu, mana pula tempat Umar
dibandingkan dengan ketabahan Abu Bakr!
Tetapi tak lama setelah kembali sadar, Umar kembali pula
sebagai manusia politik. Kembali ia memikirkan masa depan
kaum Muslimin sesudah peristiwa yang sungguh memilukan hati
itu. Besar sekali dampak pemikiran dan tindakannya dalam
menghadapi situasi kritis semacam ini, sehingga ia dapat
menangkis setiap permusuhan terhadap Islam, dan sekaligus
membuka jalan untuk penyebarannya di barat dan di timur.
Catatan Kaki:
- Menurut sumber-sumber Ibn Sa'd disebutkan bahwa
Rasulullah mempersaudarakan Abu Bakr dengan Umar, sumber
lain menyebutkan bahwa ia mempersaudarakan Umar dengan
Uwaim bin Sa'idah; sumber ketiga menyebutkan Umar
dipersaudarakan dengan Mu'az bin Afra'. Kemudian terdapat
lagi beberapa sumber lain seperti yang dicatat oleh Ibn
Hajar dalam Fathul Bari. Sumber yang sudah masyhur dan
mutawatir menyebutkan bahwa Umar dipersaudarakan dengan
Utban bin Malik.
- Yula'inu, sama dengan Yabtahilu, atau
mubahalah yang dalam terjemahan ini kadang
disamakan dengan saling berdoa. Nabi mengusulkan kepada
pihak Kristen mengadakan mubahalah, suatu pertemuan
khidmat dengan masing-masing pihak yang mempertahankan
pendiriannya berdoa sungguh-sungguh kepada Allah, agar
Allah menjatuhkan laknat kepada pihak yang berdusta.
"Barang siapa berbantah dengan engkau sesudah engkau
memperoleh ilmu, katakanlah: Marilah, mari kita kumpulkan
bersama-sama anak-anak kami dan anak-anak kamu,
perempuan-perempuan kami dan perempuan kamu, diri kami
sendiri dan diri kamu; kemudian kita bermohon
sungguh-sungguh, agar laknat Allah menimpa pihak yang
berdusta." (Qur'an, 3:61). Mereka yang benar-benar murni
dan benar-benar yakin tak akan ragu. Tetapi pihak Nasrani
di sini mengundurkan diri. Pnj.
- Lihat peristiwa ini lebih terinci dalam Sejarah Hidup
Muhammad h. 496-502 (cetakan ke-20). Pnj.
- Hijab, biasanya berarti tabir, pemisah. Di sini
rupanya, seperti di beberapa tempat lain, juga berarti
kerudung. Pnj.
|