Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

9. Pembebasan Madain (1/3)

Pasukan Persia dari Kadisiah ke puing-puing Babilon - 221; Kota Bahrasir dikepung - 226; Perjalanan ke Mada'in - 228; Rencana Yazdigird melarikan diri - 230; Mukjizat di Sungai Tigris - 231; Besarnya rampasan perang di Mada'in - 236; Sa'd membagi hasil rampasan perang - 239; Umar, Sa'd dan Yazdigird - 240

Pasukan Persia dari Kadisiah ke puing-puing Babilon

Sesudah Pertempuran Kadisiah itu pasukan Persia melarikan diri, tanpa melihat lagi ke belakang. Sebagian besar mereka sudah sampai ke bekas reruntuhan Babilon,1 dan yang lain terpencar di sana sini di Persia. Pasukan Muslimin tinggal di Kadisiah selama dua bulan sambil beristirahat dan sementara itu Sa'd pun sudah sembuh dari sakitnya. Umar menulis kepada Sa'd agar tidak meninggalkan tempat-tempat itu sampai nanti ada perintah lebih lanjut.

Setelah kemudian berita-berita tentang pasukan dan bala bantuan yang dikirimkan cukup memuaskan, ia memerintahkan Sa'd berangkat ke Mada'in. Perempuan dan anak-anak supaya ditinggalkan di Atiq dengan sekelompok pasukan yang akan menjaga mereka. Pasukan ini juga harus mendapat bagian rampasan perang seperti pasukan yang lain sebagai balas jasa bagi mereka yang mengawal keluarga pasukan Muslimin.

Sa'd menugaskan Zuhrah bin al-Hawiah berangkat lebih dulu ke Hirah. Sesudah Abdullah bin al-Mu'tam dan Syurahbil bin as-Samt sampai ke tempat itu, ia memulai lagi perjalanannya ke Mada'in. Dalam perjalanan ini ia bertemu dengan sekelompok pasukan Persia di Burs.2 Mereka dapat dipukul mundur dan lari bergabung dengan mereka yang sudah lebih dulu ke Babilon. Berita mengenai sisa-sisa pasukan Kadisiah yang berkumpul di Babilon sudah diketahui oleh Zuhrah. Mengenai hal ini, ketika di Hirah bersama Hasyim bin Utbah ia sudah melaporkan kepada Sa'd. Dalam perjalanan menuju Babilon Sa'd bertemu dengan pasukan Fairuzan, yang dalam sekejap kemudian dapat dipukul mundur. Fairuzan lari ke Nahawand, Hormuzan ke Ahwaz dan Mehran ke Mada'in. Pasukan Muslimin terus maju. Di Kusi mereka dihadang oleh Syahriar yang kemudian berhasil dibunuh dan pasukannya dipukul mundur. Sa'd memberi tambahan dengan barang rampasan Syahriar kepada yang membunuhnya. Zuhrah maju terus sampai ke Sabat. Di tempat ini ia mengadakan perdamaian dengan penduduk atas dasar jizyah, yaitu ketika mereka mengetahui bahwa ia sudah menaklukkan pasukan yang menghadangnya di sekitar Sura dengan Dair dan komandan-komandannya tewas. Tatkala pasukan Muslimin pergi ke Sawad di seluruh kawasan itu mereka tidak menemui perlawanan yang berarti. Penduduk sipilnya dari segenap penjuru cepat-cepat menemui pemimpin-pemimpin pasukan ini dan menyatakan kesetiaannya. Mereka sebagian masuk Islam, dan yang sebagian lagi dengan senang hati mau membayar jizyah. Semua mereka sekarang setuju dengan undangundang orang yang datang ke tempat mereka itu dan keadilan pun dapat ditegakkan. Setelah itu mereka diusir ketika Khalid bin Walid bertolak ke Syam. Mereka itulah yang kini kembali lagi dengan kekuatan yang akan membuat segala harapan pihak yang hendak mengusir mereka sekali lagi menjadi porak poranda. Siapa lagi yang hendak mengusir mereka sekarang setelah Rustum mati, sedang semangat dan moral pasukan Persia semua sudah begitu lemah! Mereka tunduk kepada takdir. Inilah ketentuan Allah yang sudah tak dapat dielakkan, dan tak seorang pun mampu mengatasinya.

Sekarang Sa'd tinggal di Babilon, dan ia menugaskan Zuhrah bin Hawiah berangkat lebih dulu memimpin angkatan bersenjata ke Mada'in. Coba kita lihat, apakah puing-puing peninggalan Babilon itu dalam hati Sa'd dan mereka yang datang ke sana membangkitkan kenangan pada kota lama yang telah menjadi saksi berdirinya kebudayaan umat manusia pertama, yang silih berganti dengan Thebes, Memphis dan dunia Firaun dahulu kala?! Apakah mereka lalu teringat pada zaman Asiria dengan peradabannya yang tinggi dan agung seperti Babilon, dengan segala temboknya yang kukuh, rumah-rumah ibadah yang besar-besar, dengan benteng-benteng perkasa dan taman-taman bergantung yang terkenal, istana-istana besar, yang telah menjadi pelopor segala kemegahan dan keindahan?! Sudah tentu mereka teringat pada Menara Babilon. Mereka teringat pada bangsa-bangsa yang datang silih berganti ke sana, sehingga jadi sangat terkenal karena banyaknya bahasa yang dipakai orang yang datang ke sana, sebagai tawanan atau sebagai penakluk.

Tetapi apa yang mereka ingat tentang menara dan tentang kota itu sendiri barangkali tidak lebih dari sekadar obrolan saat duduk-duduk di waktu malam. Mereka masih terlalu sibuk dengan yang akan mereka hadapi untuk membebaskan Mada'in. Mada'in kota yang makmur, sedang Babilon hanya tinggal puing-puing. Mada'in ibu kota Persia, sedang Babilon bukan lagi ibu kota, juga bukan lagi kota. Mada'in adalah lambang kehidupan, sedang Babilon hanya bekas masa silam yang sudah terhapus. Orang lebih tertarik pada masa kini, jarang orang mau mengambil pelajaran dari masa lampau. Kebanyakan mereka mau mengambil pelajaran dari wajah kehidupan yang dapat tersenyum. Tetapi wajah itu juga muram. Lalu mereka teringat pada masa-masa silam, kalau-kalau masih akan ada yang dapat mengobati luka-luka masa sekarang. Hanya saja, selama itu wajah sejarah tetap tersenyum kepada Muslimin. Apa hubungannya dengan Babilon dan Asiria yang kini hanya tinggal bahan cerita, padahal di sekitar mereka kehidupan melimpah dengan harta terpendam yang sangat berharga, bahkan ada bangsa, yang begitu mendengar namanya saja sudah bergegas datang menyatakan kesetiaannya, sambil memohonkan maaf dan pengampunan.

Bahkan dengan melihat Babilon itu, di antara mereka ada yang lalu teringat pada peranan pasukan Muslimin di sana tatkala Musanna bin Harisah bermarkas di ketinggian puing-puingnya, dan tinggal di antara jaringan anak-anak Sungai Tigris, menunggu kedatangan Ormizd Jadhuweh yang akan menyerangnya. Mereka teringat pada situasi yang sangat kritis itu, yang datang tiba-tiba menyerang mereka setelah keberangkatan Khalid ke Syam dan Syahriran putra Ardasyir naik takhta Kisra serta tekadnya hendak mengusir pasukan Arab dari negerinya. Teringat mereka bagaimana Musanna membunuh gajah Ormizd serta bagaimana pasukan Persia dipukul mundur dan pengejaran terhadap mereka sampai ke dekat Mada'in. Mereka bercerita kepada rekan-rekan yang datang bersama Sa'd dari Medinah dan yang bergabung kepadanya dari berbagai pelosok Semenanjung —tentang yang mereka saksikan dari semua itu. Diceritakan juga kepada mereka bahwa Sawad yang sedang mereka lalui di sekitar danau-danau yang airnya melimpah, ladangladang yang luas dan kebun-kebun dengan buah-buahan yang sudah masak, sudah tunduk semua kepada kekuasaan mereka. Mereka makan dari hasil bumi itu, dan buah-buahan yang masih dapat mereka kirim, mereka kirimkan ke Medinah.

Babilon dan tempat-tempat lain yang dilalui pasukan Muslimin adalah sebagian yang sudah mereka bebaskan dan di bawah perintah mereka. Kadisiah di tangan mereka dan Hirah menjadi pusat pemerintahan mereka. Burs, Kusi, kota-kota dan desa-desa lainnya^ sudah tunduk kepada mereka. Yang menjadi sasaran mereka selanjutnya adalah Mada'in. Sekarang mereka melalui tempat-tempat, yang bagi kebanyakan mereka merupakan kenangan yang sangat menyenangkan dan mengesankan. Tetapi perbedaan antara dulu dengan sekarang; dulu mereka menetap dan sebagai yang berkuasa, dan sekarang merupakan medan pembebasan baru. Mereka berpindah-pindah dari yang satu kepada yang lain, ke kiri di sebelah timur Kadisiah ke arah Hirah, ke Burs dan ke Babilon, dengan tuju'an Sabat dan Mada'in. Yang mereka hadapi sekarang lebih ringan daripada yang sebelumnya, sesudah kekuatan mereka berangsur menjadi lemah. Mereka yakin bahwa sudah tak ada lagi tempat pelarian kecuali ke sana juga.

Zuhrah bin al-Hawiah dan Hasyim bin Utbah berangkat menuju Mada'in. Setelah berada di dekat Bahrasir, di Sabat mereka dihadang oleh kompi Boran putri Kisra. Setiap hari stafnya bersumpah, bahwa selama mereka masih hidup Persia tidak akan hilang. Seekor singa yang sudah dijinakkan oleh Kisra ikut bersama kompi itu. Tetapi bertahannya kompi ini menghadapi pasukan Muslimin tidak lebih hanya seperti bertahannya pasukan Persia di Burs dan Babilon. Bagaimana akan bertahan, mereka sekarang melihat nasib singa itu sama seperti nasib pasukan gajah dulu di Kadisiah! Hasyim bin Utbah melangkah maju dan menghantamnya dengan pedangnya demikian rupa sehingga singa itu tersungkur mati. Kompi itu langsung lari dan berlindung di Bahrasir.

Sa'd menyusul anak buahnya dan sudah mengetahui peranan mereka. Ia mencium kepala Hasyim — kemenakannya — sebagai tanda kagum atas usahanya membunuh singa itu, dan Hasyim pun mencium kaki pamannya sebagai penghargaan atas simpatinya. Kemudian Sa'd mengangkat kepalanya ke atas sebagai tanda syukur kepada Allah dan setelah itu ia mengarahkan pandangnya ke arah Mada'in seraya membaca firman Allah:

"Bukankah sebelumnya kamu sudah bersumpah bahwa kamu tidak akan tergelincir binasa?" (Qur'an, 14: 44).

Malam itu Sa'd sedang memikirkan posisinya dalam menghadapi Mada'in. Akan diserangnyakah bersama pasukannya yang sekarang masih riang gembira dimabuk kemenangan, dan mereka memang ingin sekali menyerbunya? Atau akan membiarkan mereka beristirahat selama beberapa hari kemudian berangkat bersama ke sana? Kota itu sudah dekat. Kalau dia berhenti hanya sampai di situ, tindakannya ini akan menggoda pihak Mada'in untuk mempertahankannya. Jadi lebih baik diserbu dengan mendadak. Oleh karena itu ia memerintahkan pasukannya — bila malam sudah sunyi — supaya berangkat dan bermarkas di Bahrasir.

Bahrasir adalah daerah pinggiran kota Mada'in, di tepi Sungai Tigris ke sebelah kanan, sedang Mada'in berhadapan di tepi sebelah kirinya. Jadi termasuk bagiannya, hanya dipisahkan oleh sungai. Letak Mada'in sekitar dua puluh mil di selatan Bagdad, yang ketika itu merupakan sebuah desa yang tidak berbeda dengan desa-desa lain di bagian Sungai Tigris.

Sejak lama di masa silam Mada'in sudah merupakan ibu kota Iran menggantikan Babilon, bahkan kemudian melebihinya dari segi keindahan, kemegahan dan keagungannya. Kendati sudah berulang kali menjadi sasaran serbuan Rumawi dan sudah sering pula jatuh ke tangannya — di samping istananya yang selalu kacau dan terjadi beberapa kali pergolakan — namun kemegahan dan keindahannya tidak berubah. Oleh karena itu mata dunia banyak tertuju ke sana. Namanya pun sudah begitu merangsang imajinasi semua orang, membangkitkan segala rasa kagum dan pesona, yang tidak demikian dengan nama Roma atau Konstantinopel. Di sinilah bertemunya segala arti kemegahan dan kemewahan Timur dalam bentuknya yang paling indah dan paling banyak diilhami oleh dewa-dewa kesenian dan kepenyairan. Kalau begitu, tidak heran pasukan Muslimin yang bertolak ke sana semua membawa kerinduan ingin menyaksikannya, menyaksikan hal-hal yang tak pernah terlihat oleh mata, tak pernah terdengar oleh telinga. Memang tidak heran kalau gambaran ini menambah semangat dan keberanian mereka untuk menjadikan apa yang tadinya dikira khayal itu kini menjelma di depannya sebagai suatu kenyataan.

Kota Bahrasir dikepung

Sa'd membawa pasukannya menuju Bahrasir dengan semangat yang masih membara pada pasukan itu. Setiap kuda mereka melangkah maju mereka berhenti kemudian bertakbir berulang kali. Tetapi melihat pihak kota yang bertahan demikian ketat dengan memperkuat diri dan tembok-tembok kota ditutup rapat, maka tak mungkin mereka dapat menyerang. Maka satu-satunya jalan hanyalah dengan mengepungnya.

Sa'd segera mengepung kota itu tanpa ada rasa takut ada yang akan menyergapnya dari belakang. Ia menyebarkan pasukan berkudanya dan menyerang beberapa bagian di Furat dan Tigris. Mereka dapat menyekap seribu petani dan membawa mereka sebagai tawanan. Mereka menggali parit di sekitar mereka. Tetapi petani-petani itu bukan tentara yang biasa berperang, jadi tak ada faedahnya menawan mereka, juga tidak berbahaya kalau dibebaskan. Atas saran Syirzad — seorang penguasa Persia atau dihkan Sabat — kepada Sa'd mereka dikembalikan ke desa untuk kembali mengolah tanah dan memperbanyak hasil buminya.

Sa'd melaporkan segala tindakannya itu kepada Umar, dan Khalifah pun menyetujui saran Syirzad. Dengan demikian penduduk Sawad di sekitar tepi Sungai Tigris sampai ke daratan Arab merasa aman. Di sana mereka mengolah tanah. Para penguasa Persia itu membayar pajak (kharaj) dan jizyah sementara para petani itu sudah merasa makin aman. Sa'd meneruskan pengepungan atas kota Bahrasir tanpa merasa khawatir akan disergap dari belakang, juga bahan makanan pasukannya sudah tak perlu dikhawatirkan.

Pasukan Muslimin kemudian menghujani bagian dalam tembok kota Bahrasir dengan manjanik (manjaniq)3 Tetapi pihak Persia tidak akan menjadi lemah karena gencarnya serangan itu. Mereka yakin, walaupun musuh tidak diusir dari kota mereka, namun sudah tampak betapa kuatnya ibu kota itu. Mempertahankan Bahrasir memang tidak sulit. Tembok-tembok yang kuat dengan benteng-benteng yang begitu kukuh dan jembatan Tigris yang menghubungkan Mada'in, bala bantuan dan bahan makanan yang tak terbilang banyaknya, dapat didatangkan dari segenap penjuru Persia yang terbentang luas. Oleh karena itu mereka bertahan terhadap pengepungan itu selama berbulan-bulan. Dalam hal ini para sejarawan berbeda pendapat, antara sembilan atau delapan belas bulan. Selama pengepungan itu berlangsung angkatan bersenjata mereka adakalanya sampai keluar dari batas tembok, menyerang pasukan Muslimin dengan harapan kalau-kalau mereka mengalami kekalahan dan dapat dipukul mundur. Tetapi yang terjadi kebalikannya, dalam menghadapi angkatan bersenjata itu pasukan Muslimin di pihak yang menang dan mereka dapat dipukul mundur kembali ke kota dan berlindung lagi di balik tembok-tembok, dengan membawa malu yang sudah tercoreng di dahi.

Sesudah pengepungan berlangsung cukup lama dan segala yang menimpa pihak pasukan mereka terasa makin berat, satu pasukan dari angkatan bersenjatanya yang paling dapat dipercaya dikirim ke luar. Tetapi pasukan ini pun dipukul mundur dan kembali ke kota. Kekalahan ini mematahkan semangat pasukan Persia dan timbul rasa takut dalam hati mereka bahwa pasukan Muslimin memang tak dapat dikalahkan.

Berita-berita pengepungan dan pertempuran itu setiap hari — bahkan setiap saat — sampai juga kepada Yazdigird. Ia diliputi rasa kesal, bahkan hampir putus asa. Di samping pengepungan yang sudah terlalu lama, mereka juga melihat pihak Muslimin selama berbulan-bulan bukan makin lemah, malah yang terlihat kekayaan Irak berupa timbunan makanan yang setinggi gunung sudah ada di belakang mereka. Kemudian di pihak pasukan Persia sendiri sudah tampak makin rapuh dan semangat mereka makin menurun. Diyakininya bahwa tak mustahil Bahrasir akan jatuh ke tangan musuh. Ketika itulah ia mengutus orang kepada Sa'd menawarkan langkah perdamaian bahwa Tigris akan dijadikan batas pemisah dengan pihak pasukan Muslimin, "Dari batas Tigris ke arah kami milik kami dan dari batas Tigris ke arah kalian milik kalian." Tetapi Sa'd menolak ajakan perdamaian Yazdigird itu dan utusannya disuruh kembali pulang. Bagaimana akan mengadakan perdamaian sedang perintah Umar sudah jelas sekali untuk membebaskan Mada'in. Bagaimana akan mengajaknya damai sesudah pasukannya dapat mengalahkan Bahrasir dan menawan sebagian pasukannya, dan sekarang mereka sudah siap menyerbu tembok-tembok itu!

Belum lagi utusan itu tiba untuk melapor kepada Yazdigird tentang penolakan itu, Sa'd bin Abi Waqqas sudah memerintahkan pasukannya mengadakan pengepungan yang lebih ketat dan pelemparan dengan manjanik dilipatgandakan. Semua lemparan itu tidak mendapat perlawanan dari pihak Bahrasir. Sa'd yakin bahwa garnisun sudah dikosongkan. Sa'd memanggil dan memerintahkan pasukannya menyerbu. Anak buahnya segera memanjati tembok-tembok dan membukai pintu-pintu gerbang, tetapi tak ada perlawanan, juga tak ada orang yang tampak keluar kecuali seorang laki-laki menyerukan keamanan dan dari orang ini kemudian diketahui bahwa garnisun Bahrasir memang sudah dipindahkan ke Mada'in atas perintah Yazdigird, dan bahwa jembatannya sudah dibakar dan mengumpulkan semua kapal yang berlayar di Sungai Tigris, dengan tujuan agar arus sungai yang bergolak itu tetap menjadi garis pertahanan untuk mengusir para penyerang dari ibu kota yang makmur itu.

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team