|
9. Pembebasan Madain (2/3)
Perjalanan ke Mada'in
Tengah malam pasukan Muslimin sudah memasuki kota
Bahrasir. Tak ada yang merintangi mereka untuk cepat-cepat
pergi ke arah Tigris untuk menyeberang dan menyerbu Mada'in
serta daerah-daerah sekitarnya. Tetapi jembatan untuk
penyeberangan sudah tak ada lagi, juga tak ada kapal yang
dapat membawa mereka. Mereka berhenti di tepi sungai.
Pemandangan yang mereka lihat di depannya sungguh memukau.
Mereka hanya berdiri tercengang, melihat semua itu dengan
mata terbelalak, dengan hati bergolak, hampir tidak percaya
apa yang sedang mereka saksikan di depan mereka itu: Sebuah
bangunan besar yang sungguh indah, megah dan mewah, berdiri
di depan mereka di seberang pantai dengan ketinggian yang
tak biasa buat mata mereka, tampak ciri warna putih, kendati
dalam malam gelap pekat. Malam terasa lembut, langit bersih
dan angin bertiup semilir sedap menambah kelembutan malam
dan pemandangan yang begitu indah dan agung. Pasukan itu
menahan napas, mata terbelalak, mulut ternganga, karena
perasaan yang sudah dikuasai rasa kagum. Berturut-turut
kelompokkelompok pasukan itu datang ke pantai sungai. Mereka
berdiri masih dipengaruhi kekaguman, seolah mereka sudah
terpaku di tempat masing-masing.
Sesudah kemudian datang Dirar bin Khattab dan
rombongannya dan melihat seperti yang mereka lihat, ia
bertakbir dengan sekuatkuatnya: Allahu Akbar! Inilah warna
putih istana Kisra! Inikah yang dijanjikan Allah kepada
Rasul-Nya? Ketika itulah suara takbir itu bergenia dari
segenap penjuru. Mereka semua yakin sekarang, bahwa mereka
sudah di depan Ruang Sidang Istana Kisra, yang selama ini
sering mereka dengar disebutkan dalam sajak-sajak para
penyair dan menjadi buah bibir orang, sehingga mereka hanya
menyerah kepada kerinduan untuk menyeberang ke Iwan Kisra,
Ruang Sidang Istana itu, lalu mengelilinginya untuk
memuaskan mata, kemudian memasukinya. Mereka ingin melihat
Takhta Kisra di depan balairungnya yang agung itu, ingin
panglima tinggi mereka duduk di atas takhta itu mengucapkan
kalimat tauhid, lalu disambut dengan gema suara di segenap
penjuru istana, bahwa Allah telah menepati janji-Nya:
Dijadikan-Nya seruan orang kafir menyuruk jatuh sampai ke
dasar dan firman Allah menjulang tinggi sampai ke puncak.
Allah Mahamulia, Mahabijaksana.
Tidak heran jika pasukan Muslimin dibuat begitu
tercengang melihat istana Kisra. Istana ini termasuk salah
satu keajaiban dunia saat itu. Bukan tuanya yang menimbulkan
kekaguman, ketika itu usianya belum begitu lama,
pembangunannya belum sampai seratus tahun. Tetapi keindahan
dan keagungannya itulah yang telah menimbulkan kekaguman.
Dibangun oleh Kisra Anusyirwan tahun 550 M., sebuah bentuk
bangunan yang telah mengalahkan bangunan Rumawi dan Yunani
yang paling megah sekalipun. Bagian depannya lebih dari
seratus lima puluh meter dan tingginya melebihi empat puluh
meter, dengan kubah-kubah yang bertengger di atas
balairungnya yang lima buah menjadi mahkota yang menambah
keindahan dan keagungannya. Orang-orang Arab yang kini
matanya sedang terpaku itu ingin tahu kekayaan apa yang ada
di balik keindahan itu. Sudah tentu semua itu di luar yang
dapat dibayangkan. Serambi yang berada di tengahnya,
kubahnya yang lebih tinggi daripada semua kubah, dan sudah
tentu Ruang Sidang Istana inilah yang belum pernah didengar
orang ada bandingannya di seluruh dunia. Bukankah
cerita-cerita sudah banyak beredar tentang Takhta Kisra
serta permata berlian yang menghiasinya sehingga tak ubahnya
seperti sebuah dongeng!? Semua itu sekarang, Takhta, Ruang
Sidang Istana dan Istananya berdiri utuh di depan pasukan
itu, yang hanya dipisahkan oleh sungai, dan ini pula yang
setiap saat keindahannya makin memukau. Kapan gerangan
mereka akan menyeberanginya dan melihat dengan mata kepala
sendiri semua isinya?!
Rencana Yazdigird melarikan diri
Sementara semua ini berkecamuk dalam hati pasukan
Muslimin dijalin pula oleh khayal yang subur, ditambah lagi
dengan pemandangan ibu kota Mada'in yang begitu cemerlang,
Yazdigird sendiri di tengah balairung Istana itu pikirannya
sedang kacau, wajahnya kusam, rasa waswas datang menderanya
dari segenap penjuru. Sungai Tigris merupakan sebuah benteng
alam dengan aliran airnya yang luas, dengan arusnya yang
deras melonjak-lonjak. Dengan demikian jarak pemisahnya
bertambah luas dan cairan-cairan salju di puncak-puncak
gunung akan menambah gejolaknya arus itu, yang bersumber
dari Azerbaijan dan Mosul. Tak mungkin lagi pasukan Muslimin
akan dapat melangkahinya sesudah kapal-kapal dikumpulkan
semua di tepi sebelah timur Sungai. Tak dapatkah angkatan
bersenjata Persia melindungi pantai itu, dan menangkis semua
bahaya dari ibu kota? Ini merupakan pemikiran biasa dalam
hal seperti ini, dan sudah seharusnya pula Yazdigird
berpikir ke arah itu dan memanggil angkatan bersenjatanya
untuk bertukar pendapat. Dari jiwanya yang masih muda dapat
ia salurkan ke dalam jiwa mereka dan jiwa semua orang
penduduk ibu kota semangat untuk mempertahankan harga
diri dan kehormatan mereka. Sekiranya mau ia melakukan itu,
paling kurang itulah kewajibannya terhadap dirinya, terhadap
masyarakat yang telah menyerahkan pimpinan ke tangannya,
niscaya mereka akan berkumpul di sekelilingnya untuk
mempertahankan keberadaannya.
Tetapi kebingungannya telah membuatnya tersesat dan
pikirannya jadi kacau. Akibatnya ia melihat pasukan Muslimin
itu tak lain adalah jin yang tak mungkin ada kekuatan apa
pun yang mampu merintangi langkahnya, dan tak akan mampu
berbuat apa pun selain melarikan diri! Ya, siapa pula yang
lebih berhak lari terlebih dulu daripada dia sendiri,
menyelamatkan diri dan keluarganya! Oleh karena itu ia
memerintahkan stafnya untuk membawa segala harta kekayaannya
berikut barang-barang simpanannya. Perempuan-perempuan dan
sanak keluarganya segera diangkut menuju Hulwan. Orang-orang
melihat apa yang telah dilakukan Raja mereka itu. Semangat
mereka pun remuk. Kini mereka hanya berpikir untuk juga
menyelamatkan diri dan keluarga mereka. Bukankah Raja
menjadi panutan rakyatnya? Mengapa keluarga kerajaan dan
dayang-dayangnya lebih diutamakan daripada istri seorang
prajurit atau perwira dan keluarganya?! Dengan demikian
semangat hendak mengadakan perlawanan dalam hati prajurit
Persia hilang sudah. Tak ada harapan lagi bagi mereka selain
nasib baik yang memberi kebahagiaan kepada mereka dan sungai
itu juga yang akan menjadi alat penangkis serangan lawan,
atau akan tersandung sekali sehingga mereka tak lagi
berkuasa, dan untuk mengadakan perlawanan sudah tidak
mungkin lagi.
Mukjizat di Sungai Tigris
Demikianlah, di Sungai Tigris itu kini mengalir dua macam
pasukan: satu pasukan yang sudah remuk segala kekuatannya,
tak lagi punya semangat, tak lagi punya kemauan. Ia sudah
menyerahkan diri kepada nasib. Dan satu pasukan lagi
semangat idealismenya begitu tinggi dan sudah mencapai
kekuatan iman dan percaya diri akan menang, sehingga
terbayang olehnya bahwa ia dapat memukul Sungai itu dengan
tongkatnya yang akan membukakan jalan menyeberang ke Ruang
Sidang Istana Kisra. Itulah mukjizat yang diberikan Allah
kepada Nabi Musa sehingga ia dan rombongannya dapat
melarikan diri dari Mesir. Hal yang sama ini sekarang akan
diberikan kepada pasukan Muslimin. Mereka akan menyeberangi
sungai itu, akan menyerbu Mada'in dan menurunkan kedaulatan
Kisra-kisra itu, kemudian menaikkan panji kebenaran di atas
Ruang Sidang Istana yang agung itu.
Ya! Itulah mukjizat pasukan Muslimin yang menyeberangi
Sungai Tigris. Mereka berdiri di tepi Sungai itu melihat air
yang sedang bergolak. Sa'd sedang memikirkan cara untuk
menyeberanginya. Pikirannya belum mernberikan jalan keluar.
Ia memerintahkan stafnya membawa orang-orang dusun Persia
untuk dimintai keterangan. Mereka menyarankan untuk terjun
ke Sungai sampai ke dasar wadi. Tetapi dia khawatir arus
yang deras akan membahayakan pasukannya. Ia lebih cenderung
setiap orang tetap di tempatnya. Karena masih ragu, saran
orang itu tidak dilaksanakan.
Keesokan harinya Sa'd menerima berita bahwa Yazdigird
telah memerintahkan agar segala harta simpanannya diangkut
ke Hulwan. Sa'd mengumpulkan anggota pasukannya dan
berpidato di hadapan mereka. Sesudah mengucapkan hamdalah
dan bersyukur kepada Allah ia berkata: "Musuh kita sekarang
berlindung pada Sungai ini. Janganlah biarkan dia lolos dari
sana. Mereka dapat lolos kalau mau dan akan menyerang kita
dari kapal-kapal mereka itu. Kita tidak khawatir mereka akan
datang dari belakang kita. Pengalaman kita dulu sudah cukup.
Mereka menyia-nyiakan pelabuhan mereka ini dan merusak
pertahanan mereka sendiri. Saya berpendapat sebaiknya kita
dahului menyerang musuh sebelum kita terkepung. Ya, sudah
saya putuskan akan menyeberangi Sungai ini ke tempat
mereka."
Sikap Sa'd itu dirasakan oleh anak buahnya tiba-tiba
sekali. Bukankah kemarin ia masih ragu? Tidakkah ia khawatir
pasukannya juga ragu sehingga tidak mampu menghadapi bahaya
serupa itu? Tetapi ternyata mereka pun tidak ragu. Mereka
sudah terpesona sekali oleh pemandangan kota Mada'in itu, di
samping memang sudah tertarik oleh Istana Kisra. Mereka
berani menghadapi hal yang mustahil untuk memasuki ibu kota
dan mengepung Istananya. Oleh karena itu, belum selesai Sa'd
mengucapkan pidato semua mereka sudah berkata: "Allah sudah
menguatkan hati kami dan hati Anda, maka marilah kita
laksanakan!"
Tetapi bagaimana akan menyeberang? Kalaupun mereka
menyeberang dengan menggunakan kuda, pasukan Persia di
seberang pantai sudah menghadang mereka tanpa harus keluar
dari tempat itu. Menyadari hal ini Sa'd menyuruh mereka
dengan mengatakan: Siapa yang akan memulai dan melindungi
selat ini buat kita supaya pasukan kita dapat menyusul tanpa
terhalang untuk keluar. Lalu ia memanggil Asim bin Amr, dan
sesudah itu memanggil enam ratus orang yang sudah
berpengalaman dalam perang, dengan pimpinan oleh Sa'd
diserahkan kepada Asim. Setelah mereka berangkat dan sampai
di pantai Tigris Asim berkata kepada kawan-kawannya: Siapa
yang akan bergabung dengan saya supaya dapat lebih dulu
memasuki Sungai ini. Kita akan melindungi selat ini dari
seberang sana? Ada enam puluh kesatria yang bergabung
kepadanya dan dia yang di depan memimpin mereka ke tepi
Sungai sambil berkata kepada mereka yang masih maju mundur:
Rupanya kalian takut menghadapi air ini?! Lalu ia membacakan
firman Allah:
"Segala yang bernyawa tak akan mati kecuali dengan
izin Allah; waktunya sudah ditentukan..." (Qur'an, 3:
145).
Kemudian ia memicu kudanya menerobos Sungai dan diikuti
pula oleh sahabat-sahabatnya. Melihat regu pertama ini
Qa'qa' bin Amr terus maju berenang, dan ketika ia
melemparkan pandangnya ke seberang Sungai dilihatnya pihak
Persia seolah sudah bersiap-siap hendak menerjang mereka,
maka segera ia mengeluarkan perintah kepada
sahabat-sahabatnya yang enam ratus orang untuk terjun dengan
kudanya ke Sungai. Mereka mengarunginya seperti Asim dan
teman-temannya. Sekarang pihak Persia yang malah tercengang
melihat apa yang dilakukan musuh mereka itu. Mereka berkata
satu sama lain: Gila! Gila! Dan yang lain berkata: Kalian
bukan berperang dengan manusia, tetapi dengan jin!
Pasukan Persia hanya melihat kepada orang-orang yang
begitu berani bertualang itu. Setelah mereka melihat Asim
dan sahabat-sahabatnya sudah di tengah Sungai, mereka
mengerahkan pasukan berkudanya untuk merintangi mereka
jangan sampai keluar dari air dan akan mereka perangi di
tengah Sungai. Mereka sudah berada di dekat Asim saat ia
sudah mendekati selat. Asim memerintahkan anak buahnya:
Panah, panah! Mereka segera membidik dengan sasaran mata
kuda lawan. Begitu bidikan itu mengenai matanya, kuda Persia
itu berbalik lari ke belakang. Para kesatria pasukan berkuda
Persia itu tak berdaya menghadapi mereka yang sudah terjun
menantang maut di tengah-tengah gejolak Sungai tanpa peduli
lagi apa yang akan menimpa diri mereka. Tetapi tak seorang
pun dari regu yang mengerikan itu yang cedera. Bahkan Asim
sendiri yang pertama mendarat ke seberang pantai. Pasukan
Persia berlarian di depannya. Qa'qa' segera menyusulnya
dengan regunya dan tak seorang pun lagi sekarang yang masih
tinggal di pantai.
Melihat pasukan yang sudah begitu kuat di selat Mada'in,
Sa'd bin Abi Waqqas memerintahkan semua anggota pasukan
berkudanya yang ribuan jumlahnya itu serentak menyerbu masuk
ke sungai yang sedang bergejolak itu, seperti yang dilakukan
Asim tadi. Sungai yang saat itu sudah penuh kuda tak tampak
lagi airnya. Para nelayan perahu dan awak kapal orang-orang
Persia diperintahkan oleh Asim untuk bertolak ke seberang
Bahrasir untuk mengangkut pasukan Muslimin yang tidak
menyeberang dengan kuda. Ketika Sa'd dengan angkatan
bersenjatanya menyeberang penghuni Mada'in sudah lari semua.
Yang masih tinggal hanya mereka yang bertahan di Istana
Putih. Tetapi mereka tidak mengadakan perlawanan. Bahkan
setuju mereka membayar jizyah. Pintu Istana pun dibuka untuk
pasukan Muslimin.
Inilah salah satu mukjizat perang, yang hampir tak masuk
akal. Dalam al-Bidayah wan-Nihayah Ibn Kasir selesai
melukiskan secara terinci menyebutkan: "Itulah peristiwa
besar dan hal yang amat penting, yang amat mulia dan yang
luar biasa, suatu mukjizat Rasulullah Sallallahu
alaihi wa sallam yang diciptakan Allah untuk
sahabat-sahabatnya, suatu hal yang tak pernah terjadi di
negeri itu atau di mana pun di dunia ini. Ungkapan sejarawan
Islam ini melukiskan perasaannya dan perasaan kita ketika di
depan kita tergambar segala tindakan yang sungguh cemerlang
serta keberanian yang tak ada taranya. Untuk melukiskan
semua perbuatan itu, adakah kata yang lebih tepat daripada
mukjizat? Mukjizat yang bagaimana lagi ketika regu di bawah
pimpinan Asim itu terjun ke Sungai, dan regu yang sebuah
lagi di bawah pimpinan Qa'qa' juga terjun ke Sungai, dan
keduanya tidak takut akan ditelan ombak atau akan diserang
dengan panah oleh pasukan Persia dari seberang pantai?!
Tetapi kepercayaan kepada kemenangan itulah yang telah
mengangkat jiwanya ke mana pun akan dibawa, dan maut di
depan matanya tak lebih dari kata-kata yang artinya sama:
demi tujuan yang ingin dicapai. Pasukan Muslimin sudah tidak
sabar lagi melihat Mada'in. Mereka ingin menerobosnya dan
membebaskannya berapa pun harga yang harus dibayar, dengan
darah dan dengan nyawa mereka sekalipun.
Itu sebabnya, tatkala melihat mereka, pasukan Persia itu
berkata: Kita tidak berperang dengan manusia tetapi dengan
jin. Setelah itu mereka tak tahu lagi bagaimana cara
menghadapi jin, yang datang kepada mereka muncul dari
sela-sela ombak, dan seolah suatu kekuatan gaib telah
mengguncang bumi dan gunung. Bukankah gunung-gunung berapi
dan halilintar merupakan suatu kekuatan gaib juga. Demikian
halnya dengan kedua regu itu, juga demikian dengan Sa'd dan
angkatan bersenjata yang lain tatkala mereka terjun ke
sungai, kelompok demi kelompok, kuda dan para kesatria itu
menyeruak ke tengah-tengah ombak yang sedang
melonjak-lonjak. Bagaimana suatu kekuatan akan mampu
bertahan menghadapi kekuatan semacam ini! Pihak Persia yang
kekuatannya sudah berantakan dan sudah kehilangan semangat
dalam menghadapi jin yang sekarang mendatangi mereka, dan
mereka dalam ketakutan, apa pula yang dapat dilakukannya
selain melarikan diri!
"Inilah mukjizat yang tak pernah terjadi di negeri itu
atau di mana pun di dunia ini." Itulah kata-kata Ibn Kasir.
Kalau tidak karena Timur Leng yang juga membawa-mukjizat
serupa tatkala angkatan bersenjatanya berenang menyeberangi
sungai ketika mereka menyerang Bagdad pada akhir dasawarsa
abad ke-14 Masehi, tentu sebagian orang masih akan ragu
untuk mempereayainya. Bahkan Balazuri menyebutnya dengan
agak berhati-hati, dan menambahnya dengan sumber-sumber yang
lebih sukar untuk dapat dipercaya, di antaranya sumber dari
Aban bin Saleh yang mengatakan: "Pasukan Muslimin berakhir
sampai di Tigris yang airnya sedang meluap, hal yang tak
pernah terjadi. Kapal-kapal dan semua sarana penyeberangan
ke bagian timur oleh pihak Persia sudah diangkat dan
jembatannya dibakar. Sa'd dan pasukannya merasa kesal sekali
karena jalan untuk menyeberang sudah tak ada. Salah seorang
dari pasukan itu memberanikan diri mencebur dan berenang
dengan kudanya ke seberang, maka pasukan yang lain pun
mengikutinya berenang. Kemudian mereka memerintahkan para
awak kapal itu untuk mengangkut barang-barang. Pasukan
Persia itu berkata: Tidak lain yang kita perangi ini adalah
jin. Maka mereka pun binasa." Ada lagi sumber Abu Amr bin
Ala' yang mengatakan: "Sa'd sudah tidak mempunyai sarana
penyeberangan lagi. Ada yang menunjukkan ke tempat
penyeberangan di desa nelayan maka mereka menceburkan
kudanya ke sana. Pasukan Persia menghujani mereka dengan
serangan, tetapi ketika itu tak ada yang terkena selain
seorang dari Banu Tayyi' yang cedera."
Tentu sudah kita lihat bahwa sumber-sumber yang disajikan
dengan berhati-hati itu terasa bahwa mereka masih ragu
menerima sumber-sumber yang kami kemukakan itu. Tetapi
Tabari, Ibn Asir, Ibn Khaldun, Ibn Kasir dan yang lain
sepakat menerimanya. Sungguhpun begitu, kehati-hatian mereka
tidak dapat menafikan sumber-sumber tersebut dan tak dapat
memastikin apa yang mereka sanggah. Kehati-hatian demikian
hanya ada pada orang yang melihatnya sebagai suatu keajaiban
yang memang dapat menimbulkan keraguan. Kalau mereka yang
ragu hidup dalam akhir abad keempat belas Masehi dan
mengetahui bahwa Timur Leng menyeberangi Sungai Tigris
dengan pasukannya, seperti yang dilakukan Sa'd, niscaya
sumber yang sudah disepakati bersama itu tidak akan
mengherankan mereka lagi dan segala keraguan dalam pikiran
mereka mengenai sumber yang sudah disepakati itu akan
hilang, dan tidak lagi peristiwa yang mengherankan itu suatu
keajaiban, tetapi, niscaya mereka akan yakin bahwa Sa'd:
"Terjun dengan kudanya ke Sungai Tigris dan pasukannya ikut
pula, sehingga tak seorang pun yang masih tinggal."
Perjalanan mereka di tempat itu seperti sedang berjalan di
permukaan tanah sehingga memenuhi kedua tepi Sungai itu,
artileri dan infanteri tidak lagi melihat permukaan air.
Mereka berbicara di permukaan air seperti berbicara di
permukaan tanah. Soalnya karena mereka sudah tenteram, sudah
merasa aman. Mereka hanya percaya kepada segala yang telah
dijanjikan oleh Allah: pertolongan dan dukunganNya... Hari
itu Sa'd berdoa untuk keselamatan dan kemenangan pasukannya.
Ia telah menceburkan mereka ke dalam Sungai, tetapi Allah
membimbing dan menyelamatkan mereka, sehingga tak seorang
pun ada korban di pihak Muslimin, dan tidak pula ada dari
barang-barang mereka yang hilang selain sebuah gayung dari
kayu milik seseorang, karena tali gantungannya sudah rapuh
lalu terbawa ombak ke seberang yang ditujunya. Gayung itu
dipungut orang kemudian dikembalikan kepada
pemiliknya...
Yang mendampingi Sa'd bin Abi Waqqas di Sungai ketika itu
Salman al-Farisi. Dalam hal ini Sa'd berucap: Cukup Allah
bagi kami sebagai Pelindung terbaik. Niscaya Allah akan
menolong pengikut-Nya, Allah akan memenangkan agama-Nya,
Allah akan membinasakan musuhNya, selama dalam angkatan
bersenjata ini tak ada orang yang melakukan perbuatan
durhaka atau dosa yang melebihi kebaikan. Lalu kata Salman
kepada Sa'd: Di Sungai musuh itu begitu hina, tak bedanya
dengan di darat. Sungguh, demi yang memegang hidup Salman,
mereka akan berbondong-bondong keluar, seperti waktu masuk.
Memang benar, mereka keluar dari sana, seperti dikatakan
Salman, tanpa kehilangan apa pun."
Sekarang pasukan Muslimin keluar dari Sungai itu, dan
kudanya mengibas-ngibaskan bulu tengkuknya sambil
meringkik-ringkik. Mereka memasuki kota Mada'in tetapi sudah
tak ada orang, selain mereka yang masih mau bertahan
dalam Istana sebab Yazdigird sudah membawa
keluarganya, harta dan barang-barang yang dapat diangkutnya
kemudian mereka lari ke Hulwan. Sa'd menyerukan mereka yang
masih bertahan dalam Istana itu supaya turun. Sesudah mereka
turun, ia masuk bersama pasukannya sambil melemparkan
pandangnya ke sana sini, melihat-lihat isi Istana yang agung
itu, segalanya terdiri dari barang-barang berharga. Ketika
itulah ia membaca firman Allah:
"Berapa banyak taman dan mala air yang mereka
tinggalkan; tanaman-tanaman dan lempat-tempat kediaman yang
indah; dan kenikmatan lempat mereka bersenang-senang.
Demikianlah mereka berukhir, dan Kami wariskan kepada
golongan lain. Langit dan bumi tidak menangisi mereka, juga
mereka lidak diberi penangguhan waktu." (Qur'an, 44:
25-29).
|