Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

9. Pembebasan Madain (2/3)

Perjalanan ke Mada'in

Tengah malam pasukan Muslimin sudah memasuki kota Bahrasir. Tak ada yang merintangi mereka untuk cepat-cepat pergi ke arah Tigris untuk menyeberang dan menyerbu Mada'in serta daerah-daerah sekitarnya. Tetapi jembatan untuk penyeberangan sudah tak ada lagi, juga tak ada kapal yang dapat membawa mereka. Mereka berhenti di tepi sungai. Pemandangan yang mereka lihat di depannya sungguh memukau. Mereka hanya berdiri tercengang, melihat semua itu dengan mata terbelalak, dengan hati bergolak, hampir tidak percaya apa yang sedang mereka saksikan di depan mereka itu: Sebuah bangunan besar yang sungguh indah, megah dan mewah, berdiri di depan mereka di seberang pantai dengan ketinggian yang tak biasa buat mata mereka, tampak ciri warna putih, kendati dalam malam gelap pekat. Malam terasa lembut, langit bersih dan angin bertiup semilir sedap menambah kelembutan malam dan pemandangan yang begitu indah dan agung. Pasukan itu menahan napas, mata terbelalak, mulut ternganga, karena perasaan yang sudah dikuasai rasa kagum. Berturut-turut kelompokkelompok pasukan itu datang ke pantai sungai. Mereka berdiri masih dipengaruhi kekaguman, seolah mereka sudah terpaku di tempat masing-masing.

Sesudah kemudian datang Dirar bin Khattab dan rombongannya dan melihat seperti yang mereka lihat, ia bertakbir dengan sekuatkuatnya: Allahu Akbar! Inilah warna putih istana Kisra! Inikah yang dijanjikan Allah kepada Rasul-Nya? Ketika itulah suara takbir itu bergenia dari segenap penjuru. Mereka semua yakin sekarang, bahwa mereka sudah di depan Ruang Sidang Istana Kisra, yang selama ini sering mereka dengar disebutkan dalam sajak-sajak para penyair dan menjadi buah bibir orang, sehingga mereka hanya menyerah kepada kerinduan untuk menyeberang ke Iwan Kisra, Ruang Sidang Istana itu, lalu mengelilinginya untuk memuaskan mata, kemudian memasukinya. Mereka ingin melihat Takhta Kisra di depan balairungnya yang agung itu, ingin panglima tinggi mereka duduk di atas takhta itu mengucapkan kalimat tauhid, lalu disambut dengan gema suara di segenap penjuru istana, bahwa Allah telah menepati janji-Nya: Dijadikan-Nya seruan orang kafir menyuruk jatuh sampai ke dasar dan firman Allah menjulang tinggi sampai ke puncak. Allah Mahamulia, Mahabijaksana.

Tidak heran jika pasukan Muslimin dibuat begitu tercengang melihat istana Kisra. Istana ini termasuk salah satu keajaiban dunia saat itu. Bukan tuanya yang menimbulkan kekaguman, ketika itu usianya belum begitu lama, pembangunannya belum sampai seratus tahun. Tetapi keindahan dan keagungannya itulah yang telah menimbulkan kekaguman. Dibangun oleh Kisra Anusyirwan tahun 550 M., sebuah bentuk bangunan yang telah mengalahkan bangunan Rumawi dan Yunani yang paling megah sekalipun. Bagian depannya lebih dari seratus lima puluh meter dan tingginya melebihi empat puluh meter, dengan kubah-kubah yang bertengger di atas balairungnya yang lima buah menjadi mahkota yang menambah keindahan dan keagungannya. Orang-orang Arab yang kini matanya sedang terpaku itu ingin tahu kekayaan apa yang ada di balik keindahan itu. Sudah tentu semua itu di luar yang dapat dibayangkan. Serambi yang berada di tengahnya, kubahnya yang lebih tinggi daripada semua kubah, dan sudah tentu Ruang Sidang Istana inilah yang belum pernah didengar orang ada bandingannya di seluruh dunia. Bukankah cerita-cerita sudah banyak beredar tentang Takhta Kisra serta permata berlian yang menghiasinya sehingga tak ubahnya seperti sebuah dongeng!? Semua itu sekarang, Takhta, Ruang Sidang Istana dan Istananya berdiri utuh di depan pasukan itu, yang hanya dipisahkan oleh sungai, dan ini pula yang setiap saat keindahannya makin memukau. Kapan gerangan mereka akan menyeberanginya dan melihat dengan mata kepala sendiri semua isinya?!

Rencana Yazdigird melarikan diri

Sementara semua ini berkecamuk dalam hati pasukan Muslimin dijalin pula oleh khayal yang subur, ditambah lagi dengan pemandangan ibu kota Mada'in yang begitu cemerlang, Yazdigird sendiri di tengah balairung Istana itu pikirannya sedang kacau, wajahnya kusam, rasa waswas datang menderanya dari segenap penjuru. Sungai Tigris merupakan sebuah benteng alam dengan aliran airnya yang luas, dengan arusnya yang deras melonjak-lonjak. Dengan demikian jarak pemisahnya bertambah luas dan cairan-cairan salju di puncak-puncak gunung akan menambah gejolaknya arus itu, yang bersumber dari Azerbaijan dan Mosul. Tak mungkin lagi pasukan Muslimin akan dapat melangkahinya sesudah kapal-kapal dikumpulkan semua di tepi sebelah timur Sungai. Tak dapatkah angkatan bersenjata Persia melindungi pantai itu, dan menangkis semua bahaya dari ibu kota? Ini merupakan pemikiran biasa dalam hal seperti ini, dan sudah seharusnya pula Yazdigird berpikir ke arah itu dan memanggil angkatan bersenjatanya untuk bertukar pendapat. Dari jiwanya yang masih muda dapat ia salurkan ke dalam jiwa mereka dan jiwa semua orang penduduk ibu kota — semangat untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan mereka. Sekiranya mau ia melakukan itu, paling kurang itulah kewajibannya terhadap dirinya, terhadap masyarakat yang telah menyerahkan pimpinan ke tangannya, niscaya mereka akan berkumpul di sekelilingnya untuk mempertahankan keberadaannya.

Tetapi kebingungannya telah membuatnya tersesat dan pikirannya jadi kacau. Akibatnya ia melihat pasukan Muslimin itu tak lain adalah jin yang tak mungkin ada kekuatan apa pun yang mampu merintangi langkahnya, dan tak akan mampu berbuat apa pun selain melarikan diri! Ya, siapa pula yang lebih berhak lari terlebih dulu daripada dia sendiri, menyelamatkan diri dan keluarganya! Oleh karena itu ia memerintahkan stafnya untuk membawa segala harta kekayaannya berikut barang-barang simpanannya. Perempuan-perempuan dan sanak keluarganya segera diangkut menuju Hulwan. Orang-orang melihat apa yang telah dilakukan Raja mereka itu. Semangat mereka pun remuk. Kini mereka hanya berpikir untuk juga menyelamatkan diri dan keluarga mereka. Bukankah Raja menjadi panutan rakyatnya? Mengapa keluarga kerajaan dan dayang-dayangnya lebih diutamakan daripada istri seorang prajurit atau perwira dan keluarganya?! Dengan demikian semangat hendak mengadakan perlawanan dalam hati prajurit Persia hilang sudah. Tak ada harapan lagi bagi mereka selain nasib baik yang memberi kebahagiaan kepada mereka dan sungai itu juga yang akan menjadi alat penangkis serangan lawan, atau akan tersandung sekali sehingga mereka tak lagi berkuasa, dan untuk mengadakan perlawanan sudah tidak mungkin lagi.

Mukjizat di Sungai Tigris

Demikianlah, di Sungai Tigris itu kini mengalir dua macam pasukan: satu pasukan yang sudah remuk segala kekuatannya, tak lagi punya semangat, tak lagi punya kemauan. Ia sudah menyerahkan diri kepada nasib. Dan satu pasukan lagi semangat idealismenya begitu tinggi dan sudah mencapai kekuatan iman dan percaya diri akan menang, sehingga terbayang olehnya bahwa ia dapat memukul Sungai itu dengan tongkatnya yang akan membukakan jalan menyeberang ke Ruang Sidang Istana Kisra. Itulah mukjizat yang diberikan Allah kepada Nabi Musa sehingga ia dan rombongannya dapat melarikan diri dari Mesir. Hal yang sama ini sekarang akan diberikan kepada pasukan Muslimin. Mereka akan menyeberangi sungai itu, akan menyerbu Mada'in dan menurunkan kedaulatan Kisra-kisra itu, kemudian menaikkan panji kebenaran di atas Ruang Sidang Istana yang agung itu.

Ya! Itulah mukjizat pasukan Muslimin yang menyeberangi Sungai Tigris. Mereka berdiri di tepi Sungai itu melihat air yang sedang bergolak. Sa'd sedang memikirkan cara untuk menyeberanginya. Pikirannya belum mernberikan jalan keluar. Ia memerintahkan stafnya membawa orang-orang dusun Persia untuk dimintai keterangan. Mereka menyarankan untuk terjun ke Sungai sampai ke dasar wadi. Tetapi dia khawatir arus yang deras akan membahayakan pasukannya. Ia lebih cenderung setiap orang tetap di tempatnya. Karena masih ragu, saran orang itu tidak dilaksanakan.

Keesokan harinya Sa'd menerima berita bahwa Yazdigird telah memerintahkan agar segala harta simpanannya diangkut ke Hulwan. Sa'd mengumpulkan anggota pasukannya dan berpidato di hadapan mereka. Sesudah mengucapkan hamdalah dan bersyukur kepada Allah ia berkata: "Musuh kita sekarang berlindung pada Sungai ini. Janganlah biarkan dia lolos dari sana. Mereka dapat lolos kalau mau dan akan menyerang kita dari kapal-kapal mereka itu. Kita tidak khawatir mereka akan datang dari belakang kita. Pengalaman kita dulu sudah cukup. Mereka menyia-nyiakan pelabuhan mereka ini dan merusak pertahanan mereka sendiri. Saya berpendapat sebaiknya kita dahului menyerang musuh sebelum kita terkepung. Ya, sudah saya putuskan akan menyeberangi Sungai ini ke tempat mereka."

Sikap Sa'd itu dirasakan oleh anak buahnya tiba-tiba sekali. Bukankah kemarin ia masih ragu? Tidakkah ia khawatir pasukannya juga ragu sehingga tidak mampu menghadapi bahaya serupa itu? Tetapi ternyata mereka pun tidak ragu. Mereka sudah terpesona sekali oleh pemandangan kota Mada'in itu, di samping memang sudah tertarik oleh Istana Kisra. Mereka berani menghadapi hal yang mustahil untuk memasuki ibu kota dan mengepung Istananya. Oleh karena itu, belum selesai Sa'd mengucapkan pidato semua mereka sudah berkata: "Allah sudah menguatkan hati kami dan hati Anda, maka marilah kita laksanakan!"

Tetapi bagaimana akan menyeberang? Kalaupun mereka menyeberang dengan menggunakan kuda, pasukan Persia di seberang pantai sudah menghadang mereka tanpa harus keluar dari tempat itu. Menyadari hal ini Sa'd menyuruh mereka dengan mengatakan: Siapa yang akan memulai dan melindungi selat ini buat kita supaya pasukan kita dapat menyusul tanpa terhalang untuk keluar. Lalu ia memanggil Asim bin Amr, dan sesudah itu memanggil enam ratus orang yang sudah berpengalaman dalam perang, dengan pimpinan oleh Sa'd diserahkan kepada Asim. Setelah mereka berangkat dan sampai di pantai Tigris Asim berkata kepada kawan-kawannya: Siapa yang akan bergabung dengan saya supaya dapat lebih dulu memasuki Sungai ini. Kita akan melindungi selat ini dari seberang sana? Ada enam puluh kesatria yang bergabung kepadanya dan dia yang di depan memimpin mereka ke tepi Sungai sambil berkata kepada mereka yang masih maju mundur: Rupanya kalian takut menghadapi air ini?! Lalu ia membacakan firman Allah:

"Segala yang bernyawa tak akan mati kecuali dengan izin Allah; waktunya sudah ditentukan..." (Qur'an, 3: 145).

Kemudian ia memicu kudanya menerobos Sungai dan diikuti pula oleh sahabat-sahabatnya. Melihat regu pertama ini Qa'qa' bin Amr terus maju berenang, dan ketika ia melemparkan pandangnya ke seberang Sungai dilihatnya pihak Persia seolah sudah bersiap-siap hendak menerjang mereka, maka segera ia mengeluarkan perintah kepada sahabat-sahabatnya yang enam ratus orang untuk terjun dengan kudanya ke Sungai. Mereka mengarunginya seperti Asim dan teman-temannya. Sekarang pihak Persia yang malah tercengang melihat apa yang dilakukan musuh mereka itu. Mereka berkata satu sama lain: Gila! Gila! Dan yang lain berkata: Kalian bukan berperang dengan manusia, tetapi dengan jin!

Pasukan Persia hanya melihat kepada orang-orang yang begitu berani bertualang itu. Setelah mereka melihat Asim dan sahabat-sahabatnya sudah di tengah Sungai, mereka mengerahkan pasukan berkudanya untuk merintangi mereka jangan sampai keluar dari air dan akan mereka perangi di tengah Sungai. Mereka sudah berada di dekat Asim saat ia sudah mendekati selat. Asim memerintahkan anak buahnya: Panah, panah! Mereka segera membidik dengan sasaran mata kuda lawan. Begitu bidikan itu mengenai matanya, kuda Persia itu berbalik lari ke belakang. Para kesatria pasukan berkuda Persia itu tak berdaya menghadapi mereka yang sudah terjun menantang maut di tengah-tengah gejolak Sungai tanpa peduli lagi apa yang akan menimpa diri mereka. Tetapi tak seorang pun dari regu yang mengerikan itu yang cedera. Bahkan Asim sendiri yang pertama mendarat ke seberang pantai. Pasukan Persia berlarian di depannya. Qa'qa' segera menyusulnya dengan regunya dan tak seorang pun lagi sekarang yang masih tinggal di pantai.

Melihat pasukan yang sudah begitu kuat di selat Mada'in, Sa'd bin Abi Waqqas memerintahkan semua anggota pasukan berkudanya yang ribuan jumlahnya itu serentak menyerbu masuk ke sungai yang sedang bergejolak itu, seperti yang dilakukan Asim tadi. Sungai yang saat itu sudah penuh kuda tak tampak lagi airnya. Para nelayan perahu dan awak kapal orang-orang Persia diperintahkan oleh Asim untuk bertolak ke seberang Bahrasir untuk mengangkut pasukan Muslimin yang tidak menyeberang dengan kuda. Ketika Sa'd dengan angkatan bersenjatanya menyeberang penghuni Mada'in sudah lari semua. Yang masih tinggal hanya mereka yang bertahan di Istana Putih. Tetapi mereka tidak mengadakan perlawanan. Bahkan setuju mereka membayar jizyah. Pintu Istana pun dibuka untuk pasukan Muslimin.

Inilah salah satu mukjizat perang, yang hampir tak masuk akal. Dalam al-Bidayah wan-Nihayah Ibn Kasir selesai melukiskan secara terinci menyebutkan: "Itulah peristiwa besar dan hal yang amat penting, yang amat mulia dan yang luar biasa, suatu mukjizat Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam yang diciptakan Allah untuk sahabat-sahabatnya, suatu hal yang tak pernah terjadi di negeri itu atau di mana pun di dunia ini. Ungkapan sejarawan Islam ini melukiskan perasaannya dan perasaan kita ketika di depan kita tergambar segala tindakan yang sungguh cemerlang serta keberanian yang tak ada taranya. Untuk melukiskan semua perbuatan itu, adakah kata yang lebih tepat daripada mukjizat? Mukjizat yang bagaimana lagi ketika regu di bawah pimpinan Asim itu terjun ke Sungai, dan regu yang sebuah lagi di bawah pimpinan Qa'qa' juga terjun ke Sungai, dan keduanya tidak takut akan ditelan ombak atau akan diserang dengan panah oleh pasukan Persia dari seberang pantai?! Tetapi kepercayaan kepada kemenangan itulah yang telah mengangkat jiwanya ke mana pun akan dibawa, dan maut di depan matanya tak lebih dari kata-kata yang artinya sama: demi tujuan yang ingin dicapai. Pasukan Muslimin sudah tidak sabar lagi melihat Mada'in. Mereka ingin menerobosnya dan membebaskannya berapa pun harga yang harus dibayar, dengan darah dan dengan nyawa mereka sekalipun.

Itu sebabnya, tatkala melihat mereka, pasukan Persia itu berkata: Kita tidak berperang dengan manusia tetapi dengan jin. Setelah itu mereka tak tahu lagi bagaimana cara menghadapi jin, yang datang kepada mereka muncul dari sela-sela ombak, dan seolah suatu kekuatan gaib telah mengguncang bumi dan gunung. Bukankah gunung-gunung berapi dan halilintar merupakan suatu kekuatan gaib juga. Demikian halnya dengan kedua regu itu, juga demikian dengan Sa'd dan angkatan bersenjata yang lain tatkala mereka terjun ke sungai, kelompok demi kelompok, kuda dan para kesatria itu menyeruak ke tengah-tengah ombak yang sedang melonjak-lonjak. Bagaimana suatu kekuatan akan mampu bertahan menghadapi kekuatan semacam ini! Pihak Persia yang kekuatannya sudah berantakan dan sudah kehilangan semangat dalam menghadapi jin yang sekarang mendatangi mereka, dan mereka dalam ketakutan, apa pula yang dapat dilakukannya selain melarikan diri!

"Inilah mukjizat yang tak pernah terjadi di negeri itu atau di mana pun di dunia ini." Itulah kata-kata Ibn Kasir. Kalau tidak karena Timur Leng yang juga membawa-mukjizat serupa tatkala angkatan bersenjatanya berenang menyeberangi sungai ketika mereka menyerang Bagdad pada akhir dasawarsa abad ke-14 Masehi, tentu sebagian orang masih akan ragu untuk mempereayainya. Bahkan Balazuri menyebutnya dengan agak berhati-hati, dan menambahnya dengan sumber-sumber yang lebih sukar untuk dapat dipercaya, di antaranya sumber dari Aban bin Saleh yang mengatakan: "Pasukan Muslimin berakhir sampai di Tigris yang airnya sedang meluap, hal yang tak pernah terjadi. Kapal-kapal dan semua sarana penyeberangan ke bagian timur oleh pihak Persia sudah diangkat dan jembatannya dibakar. Sa'd dan pasukannya merasa kesal sekali karena jalan untuk menyeberang sudah tak ada. Salah seorang dari pasukan itu memberanikan diri mencebur dan berenang dengan kudanya ke seberang, maka pasukan yang lain pun mengikutinya berenang. Kemudian mereka memerintahkan para awak kapal itu untuk mengangkut barang-barang. Pasukan Persia itu berkata: Tidak lain yang kita perangi ini adalah jin. Maka mereka pun binasa." Ada lagi sumber Abu Amr bin Ala' yang mengatakan: "Sa'd sudah tidak mempunyai sarana penyeberangan lagi. Ada yang menunjukkan ke tempat penyeberangan di desa nelayan maka mereka menceburkan kudanya ke sana. Pasukan Persia menghujani mereka dengan serangan, tetapi ketika itu tak ada yang terkena selain seorang dari Banu Tayyi' yang cedera."

Tentu sudah kita lihat bahwa sumber-sumber yang disajikan dengan berhati-hati itu terasa bahwa mereka masih ragu menerima sumber-sumber yang kami kemukakan itu. Tetapi Tabari, Ibn Asir, Ibn Khaldun, Ibn Kasir dan yang lain sepakat menerimanya. Sungguhpun begitu, kehati-hatian mereka tidak dapat menafikan sumber-sumber tersebut dan tak dapat memastikin apa yang mereka sanggah. Kehati-hatian demikian hanya ada pada orang yang melihatnya sebagai suatu keajaiban yang memang dapat menimbulkan keraguan. Kalau mereka yang ragu hidup dalam akhir abad keempat belas Masehi dan mengetahui bahwa Timur Leng menyeberangi Sungai Tigris dengan pasukannya, seperti yang dilakukan Sa'd, niscaya sumber yang sudah disepakati bersama itu tidak akan mengherankan mereka lagi dan segala keraguan dalam pikiran mereka mengenai sumber yang sudah disepakati itu akan hilang, dan tidak lagi peristiwa yang mengherankan itu suatu keajaiban, tetapi, niscaya mereka akan yakin bahwa Sa'd: "Terjun dengan kudanya ke Sungai Tigris dan pasukannya ikut pula, sehingga tak seorang pun yang masih tinggal." Perjalanan mereka di tempat itu seperti sedang berjalan di permukaan tanah sehingga memenuhi kedua tepi Sungai itu, artileri dan infanteri tidak lagi melihat permukaan air. Mereka berbicara di permukaan air seperti berbicara di permukaan tanah. Soalnya karena mereka sudah tenteram, sudah merasa aman. Mereka hanya percaya kepada segala yang telah dijanjikan oleh Allah: pertolongan dan dukunganNya... Hari itu Sa'd berdoa untuk keselamatan dan kemenangan pasukannya. Ia telah menceburkan mereka ke dalam Sungai, tetapi Allah membimbing dan menyelamatkan mereka, sehingga tak seorang pun ada korban di pihak Muslimin, dan tidak pula ada dari barang-barang mereka yang hilang selain sebuah gayung dari kayu milik seseorang, karena tali gantungannya sudah rapuh lalu terbawa ombak ke seberang yang ditujunya. Gayung itu dipungut orang kemudian dikembalikan kepada pemiliknya...

Yang mendampingi Sa'd bin Abi Waqqas di Sungai ketika itu Salman al-Farisi. Dalam hal ini Sa'd berucap: Cukup Allah bagi kami sebagai Pelindung terbaik. Niscaya Allah akan menolong pengikut-Nya, Allah akan memenangkan agama-Nya, Allah akan membinasakan musuhNya, selama dalam angkatan bersenjata ini tak ada orang yang melakukan perbuatan durhaka atau dosa yang melebihi kebaikan. Lalu kata Salman kepada Sa'd: Di Sungai musuh itu begitu hina, tak bedanya dengan di darat. Sungguh, demi yang memegang hidup Salman, mereka akan berbondong-bondong keluar, seperti waktu masuk. Memang benar, mereka keluar dari sana, seperti dikatakan Salman, tanpa kehilangan apa pun."

Sekarang pasukan Muslimin keluar dari Sungai itu, dan kudanya mengibas-ngibaskan bulu tengkuknya sambil meringkik-ringkik. Mereka memasuki kota Mada'in tetapi sudah tak ada orang, — selain mereka yang masih mau bertahan dalam Istana — sebab Yazdigird sudah membawa keluarganya, harta dan barang-barang yang dapat diangkutnya kemudian mereka lari ke Hulwan. Sa'd menyerukan mereka yang masih bertahan dalam Istana itu supaya turun. Sesudah mereka turun, ia masuk bersama pasukannya sambil melemparkan pandangnya ke sana sini, melihat-lihat isi Istana yang agung itu, segalanya terdiri dari barang-barang berharga. Ketika itulah ia membaca firman Allah:

"Berapa banyak taman dan mala air yang mereka tinggalkan; tanaman-tanaman dan lempat-tempat kediaman yang indah; dan kenikmatan lempat mereka bersenang-senang. Demikianlah mereka berukhir, dan Kami wariskan kepada golongan lain. Langit dan bumi tidak menangisi mereka, juga mereka lidak diberi penangguhan waktu." (Qur'an, 44: 25-29).

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team