Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

17. Menumpas Kekuasaan Para Kisra (1/3)

Sekilas sejarah Persia - 425; Perintah Umar untuk membebaskan Isfahan - 429; Jatuhnya kota Isfahan - 431; Perjanjian dilanggar - 432; Hamazan jatuh - 432; Menyusul Ray jatuh - 435; Daerah-daerah utara segera meminta damai - 437; Sikap pemimpin-pemimpin Persia terhadap Yazdigird setelah persetujuan daerah-daerah utara - 438; Shapur, Ardasyir, Istakhr, Kirman dan Mukran jatuh - 442; Ahnaf bin Qais menuju Khurasan, benteng terakhir Yazdigird - 450; Yazdigird lari kepada Khaqan Turki, dan kembali hendak memerangi pasukan Muslimin - 451; Yazdigird ditinggalkan oleh Khaqan dan kawan-kawan sendiri - 454; Pelarian Yazdigird ke Turki dan terbunuhnya di masa Usman - 456; Persia dan Islam - 458

Sekilas sejarah Persia

Nahawand dan Hamazan terletak di pusat Irak-Persia; jadi keduanya merupakan tulang punggung kerajaan Persia. Penduduknya terdiri dari orang-orang Persia dalam arti ras, bahasa dan agama, yang tak punya hubungan nasab dengan penduduk Irak-Arab, juga mereka tidak mengenal bahasa Arab. Itu sebabnya bencana yang menimpa Persia di Nahawand merupakan bencana yang menimpa jantung Raja Diraja Kisra sendiri. Setelah tak bisa lain dia dan anak negerinya kecuali harus tunduk dan menyerah kepada kekuasaan Muslimin, - atau perang habis-habisan yang akan berakhir dengan kemenangan bagi mereka dan mengusir orang-orang Arab dari negeri mereka, atau sebaliknya, kekalahan yang akan menghilangkan para kisra dari takhta, dan mengikis habis segala kedaulatan dan kekuasaan mereka!

Keadaan itu terutama sekali menjadi demikian, karena Irak-Persia itu terletak di tengah-tengah kawasan kerajaan seluruhnya: di bagian utaranya Azerbaijan, Tabaristan dan Jailan, di bagian timurnya Saman dan sahara Iran, di bagian selatannya Persia dan Kirman dan di bagian baratnya Khuzistan. Di Irak-Persia itu terdapat beberapa kota besar yang sudah merupakan ibu kota, seperti Isfahan, Hamazan dan Ray. Kalau pasukan Muslimin dapat menerobos ke sana dan menguasai kota­kota itu, pintu seluruh Iran akan terbuka bagi mereka dan akan dapat mereka masuki. Alangkah mustahilnya sesudah itu akan ada kekuatan yang dapat membendung mereka!

Tetapi, bagaimana pula Yazdigird akan menantang arus para penyerbu yang datang seperti banjir itu? Dia sudah melihat sendiri sejak kemenangan mereka di Kadisiah, bergerak maju dari Irak-Arab ke Mada’in dan Jalula, lalu menempati Basrah dan Kufah, menghancurkan perlawanan Hormuzan di Khuzistan, selanjutnya menghadapi kekuatan Persia yang dipusatkan di Nahawand hingga habis ditumpas samasekali. Bukankah ini sudah menunjukkan bahwa nasib baik memang berada di barisan mereka dan tak ada kekuatan apa pun yang dapat merintangi mereka? Kemujuran ini jugalah yang telah mendampingi mereka dalam menghadapi Heraklius di Syam dan mengusirnya sampai ke Bizantium dan menguasai Baitulmukadas, pusat agama Nasrani dan tempat Kuil Sulaiman. Bukankah sebaiknya bagi Yazdigird jika berdamai saja dengan pihak penyerbu yang demikian keadaannya itu dan membiarkan apa yang sudah mereka bebaskan dan dia sendiri cukup berada di kerajaan leluhurnya? Barangkali nasib yang sekarang menghantuinya diharapkan besok lebih menjanjikan baginya! Atau barangkali sudah terhalang oleh kecongkakan seorang raja yang sudah begitu berakar di Persia sejak berabad-abad, dari generasi ke generasi, daripada akan mengajak damai dalam keadaan kalah, dan didorong pula oleh darah muda untuk mengadakan petualangan baru lagi!? Sebenarnya ia memang dalam kebingungan antara dua pilihan itu. Siapa yang akan menjamin jika ia mengajak damai bahwa ajakannya itu tidak ditolak Khalifah, sehingga dengan demikian penolakan itu akan menjadi penghinaan yang luar biasa baginya?! Dan siapa pula yang akan menjamin jika ia mengajak golongannya untuk mengadakan petualangan baru, ajakannya itu akan disambut oleh para marzaban1 dan para pangeran Persia, dan kalau mereka menolak, ia akan tinggal di kerajaannya seperti raja yang sudah dicopot dari takhtanya, tak ada yang mau mendengarkan perintahnya, tak ada pihak yang mau bergabung kepadanya?! Oleh karena itu, biar sajalah nasib berjalan sendiri dan serahkan sajalah semuanya kepada nasib, tanpa terlalu banyak mengharapkan belas kasihan.

Harapannya itu pudar setelah ditinggalkan oleh para pembesar dan pangeran-pangeran itu, masing-masing mereka mengurus diri sendiri. Tatkala dulu ia naik takhta di Mada'in dan di Iwan Kisra mereka sudah mengikat janji hendak membelanya, karena angkatan bersenjata kerajaan ketika itu dapat dibanggakan sekali, dan membuat semua orang patuh kepadanya. Mereka bersatu di bawah panjinya dan angkatan bersenjata itu dikirim ke Nahawand untuk memerangi musuhnya tatkala harapan untuk membendung para penyerbu masih kuat dalam hati mereka. Tetapi sesudah angkatan bersenjata kerajaan porak-poranda, harapan untuk dapat mengusir musuh menjadi lemah. Mereka sendiri kacau-balau dan sebagian besar hanya mementingkan diri sendiri, setiap pangeran hanya memikirkan wilayahnya sendiri: akan mempertahankan wilayahnya dari pasukan Muslimin ataukah berdamai dengan mereka atas dasar ia akan tetap sebagai wakil di sana atas nama mereka. Hubungan para pangeran dengan Yazdigird bukan lagi hubungan penguasa dengan jajarannya, tetapi sudah merupakan hubungan tenggang rasa bagi seorang raja yang kekuasaannya sudah makin lemah, yang sudah berpindah-pindah sebagai pelarian dari suatu tempat ke tempat lain dalam kerajaannya. Kalaupun nasib memang sudah menentukan masa berakhirnya sudah dekat, beralasan juga mereka bertindak untuk diri sendiri; jika kebalikannya, mereka harus kembali kepada Yazdigird, dan sudah tentu ketika itu ia akan menggunakan hukum darurat untuk mereka.

Pembaca bebas untuk menyalahkan para pangeran itu berpikir demikian; dengan cara itu negara tidak akan kuat dan tidak akan dihormati. Tetapi pemikiran demikian ini wajar saja mengingat peristiwa­peristiwa yang telah menimpa Persia pada waktu akhir-akhir itu. Disebut wajar karena itu adalah anak kandung sejarah Persia sejak berabad-abad silam. Persia sudah ada di muka bumi ini yang mereka sebut dengan nama itu jauh beberapa abad sebelum Masehi. Ketika menetap di sana mereka merupakan suatu bangsa yang sangat berpegang teguh pada cara hidup yang sederhana, keras kepala, gigih dalam berperang, sangat berambisi untuk mengadakan perluasan wilayah dan memerangi kawasan lain. Mereka telah berhadapan dengan orang Media di Irak-Persia, pernah terjadi peperangan yang sengit sekali antara keduanya, yang berakhir dengan damai. Pihak Media tunduk kepada kekuasaan Persia, yang kemudian lebur bersama mereka dan bahu-membahu memerangi musuh mereka. Persia kemudian melangkah ke Iran yang terletak di antara dua sungai Furat dan Tigris. Dari sana mereka meneruskan langkah ke Mesir dan ke kawasan Yunani. Antara Persia dengan kota-kota di Yunani sering terjadi peperangan yang oleh Yunani dapat ditangkis untuk masuk ke Eropa.

Waktu itu beberapa wilayah di Persia masing-masing diperintah oleh seorang pangeran panglima perang, lalu ia menobatkan diri sebagai rajanya, yang bebas mengatur urusan mereka sendiri pula. Kemudian wilayah-wilayah itu bergabung dalam satu kesatuan di bawah pimpinan seorang Kisra, yang mengatur segala urusannya, dan Baginda mendapat gelar "Raja di Raja." Persia memerangi semua negeri tetangga di timur dan di barat, dan kekuasaannya bertambah luas, sampai kemudian datang Iskandar Agung. Mereka segera dikalahkan dan ia membentangkan kekuasaannya ke seluruh negeri itu. Politik Iskandar membiarkan kekuasaan dalam negeri di tangan anak negeri. Itu sebabnya para penguasa Persia itu tetap dengan kekuasaan masing-masing, seperti dulu ketika mereka mengangkat diri sendiri sebagai raja-raja di seluruh wilayah itu. Mereka lebih kuat lagi berpegang pada kerajaan itu. Sesudah masa kekuasaan Iskandar, Persia kembali memperoleh kemerdekaannya, diperintah oleh keluarga Sasani sebagai Kisra, dengan Mada'in sebagai ibu kotanya, kendati pangeran-pangeran dan para marzaban itu tetap dengan kekuasaan mereka di wilayahnya masing-masing. Dinasti Sasani di Persia ini kembali dengan sejarah lamanya, berperang dan mengadakan perluasan wilayah. Mereka memperoleh kekayaan yang melimpah dari berbagai kawasan yang mereka kuasai itu, membuat warganya cenderung hidup mewah dengan cara yang mencolok. Selama bertahun­tahun Persia sudah merasa puas dengan segala kemewahan itu dengan berbagai cara yang beraneka macam. Ini membuat mereka sedikit demi sedikit makin terdorong oleh nafsu kehidupan dunia. Akibatnya yang mereka wariskan kepada bangsanya adalah kelemahan, dan sifat-sifat kepahlawanan serta keberanian yang semula menjadi kebanggaan leluhur mereka berangsur surut. Di samping itu mereka tidak pula menyiapkan gantinya berupa kesungguhan hati dan ketabahan yang akan menumbuhkan peradaban yang sehat ke dalam jiwa mereka yang mewarisinya itu. Sedikit demi sedikit kekuasaan mereka berangsur menyusut. Dalam abad ketujuh Masehi, untuk mengembalikan kekuatan dan kekuasaan itu mereka mencoba memerangi Rumawi. Mereka berhasil dan dapat menguasai Baitulmukadas dan Mesir.

Kekalahan Rumawi menghadapi Persia ini karena rusaknya pemerintahan dan sistem organisasi yang memang sudah merajalela. Sesudah tampuk pimpinan Rumawi dipegang oleh Heraklius Persia dapat dipukul mundur, dan Salib Besar dapat direbutnya kembali. Kekalahan Persia itu tidak terbatas hanya pada mundurnya sampai ke perbatasan, tetapi semangat mereka sudah pula lemah, kekacauan makin terbuka dalam istana mereka, kepercayaan kepada diri sendiri hilang. Setelah tiba-tiba pihak Arab datang, faktor-faktor inilah yang membuat mereka makin rapuh. Mereka sudah tak mampu lagi bertahan di hadapan para penyerbu itu, masing-masing mencari keselamatan untuk dirinya, para pangerannya mencari kekuasaan palsu di samping sang penakluk, menikmatinya walaupun untuk sementara, dengan menibiarkan Kisra lambang persatuan dan kebanggaan mereka ke mana saja dibawa oleh nasib.

Demikianlah keadaan penguasa Persia itu, termasuk sebagian besar marzaban dan pangeran-pangerannya. Adapun Umar tak berselang lama setelah merasa lega dengan kemenangan pasukannya di Nahawand dan persetujuan yang dicapai dengan pihak Hamazan, ia teringat pada kata­kata Ahnaf bin Qais, bahwa Persia akan terus mengadakan perlawanan terhadap pasukan Muslimin selama Yazdigird masih berada di tengah­tengah mereka. Maka tak mungkin ada dua raja berkumpul, salah satunya harus keluar. Jadi kalau begitu tak ada jalan lain ia harus mengejar pasukan Persia ke segenap pelosok kerajaan itu sampai Kisra dapat diusir dan hanya pasukan Muslimin yang akan berkuasa di sana. Strategi mana yang lebih baik untuk mencapai tujuan ini?

Umar tidak akan memberangkatkan brigade-brigade yang dibentuknya itu untuk menjelajahi kawasan Persia sebelum ia dapat membebaskan seluruh Irak-Persia. Dengan demikian ia dapat melindungi barisan belakangnya, mengamankan jalur penarikan kembalinya serta menguasai jalan-jalan yang akan digunakan untuk membawa bala bantuan dari Irak-Arab dan Semenanjung untuk memperkuat pasukannya. Tetapi, adakah kekuatan itu akan berangkat dari Hamazan ke Ray di Irak-Persia untuk dibebaskan, ataukah akan meluncur dari Nahawand ke Isfahan untuk menaklukkan kawasan yang membentang begitu luas itu, dan yang lebih banyak hubungannya dengan Khuzistan dan Irak-Arab?

Perintah Umar untuk membebaskan Isfahan

Ketika pasukan Arab memasuki Nahawand dan Hamazan Yazdigird tinggal di Ray. Sesudah ia melihat mereka mendekati tempat kediamannya, cepat-cepat ia ke Isfahan untuk membakar semangat warga kota itu agar mengadakan perlawanan. Begitu berita ini sampai kepada Umar, ia segera memerintahkan pasukannya berangkat ke Isfahan dengan harapan yang memimpin pertahanan kota itu Yazdigird sendiri supaya kemudian ia dapat ditawan, dan dengan demikian seluruh perlawanan Persia akan hancur. Ia memerintahkan Abdullah bin Abdullah bin Itban segera berangkat ke sana bersama pasukan Kufah yang dipimpinnya dan pasukan Nu'man bin Muqarrin di Nahawand yang mengikutinya. Dalam sebuah sumber disebutkan bahwa Umar bin Khattab meminta pendapat Hormuzan dengan mengatakan: Bagaimana pendapat Anda? Akan saya mulai dengan Persia atau dengan Azerbaijan ataukah dengan Isfahan? Jawaban Hormuzan: Persia dan Azerbaijan keduanya adalah sayap sedang Isfahan kepalanya. Kalau salah satu sayap itu dipotong, sayap yang sebelah lagi masih akan berfungsi; kalau yang dipotong kepalanya kedua sayap itu akan terkulai, maka mulailah dengan kepala. Umar puas dengan pendapatnya itu dan ia memerintahkan gerakan dimulai dari Isfahan.

Isfahan atau Ispahan sebuah kota besar yang dijadikan ibu kota salah satu propinsi di Irak-Persia, terdiri atas dua kota bertetangga: Jay dan Yahudiah. Yang terakhir ini pada mulanya merupakan daerah koloni Yahudi, dibangun oleh Yazdigird I memenuhi keinginan istrinya yang orang Yahudi, Shushandukht (Suzan). Sedang Jay merupakan ibu kotanya, terletak di tanah yang subur dan udaranya paling sehat dengan air tawar yang paling sedap. Raja-raja memilih kota ini sebagai tempat tinggal mereka. Letak Isfahan di ujung daerah pegunungan dari arah selatan, yaitu yang subur dan luas, dihubungkan dengan jalan-jalan yang sudah dibuat padat ke semua jurusan dalam kerajaan itu. Jalan yang menuju ke Ray melalui Qasyan kemudian Qum.

Sementara pasukan Ibn Itban dalam perjalanan itu ia tertemu dengan sebuah angkatan bersenjata Persia yang amat besar di luar kota Isfahan. Tanpa menunda lagi komandan2 angkatan bersenjata ini langsung menyambutnya dengan serangan serentak. Maka segera terjadilah pertempuran sengit yang hebat sekali. Di barisan depan pasukan Persia ada seorang orang tua, yakni Syahriar Jazuweh.3 Dia adalah seorang pahlawan Persia yang tidak banyak jumlahnya, pejuang, yang bila di medan perang tak ada lawan yang tahan menghadapinya. Ia melihat pertempuran sudah mulai goyah dan melihat mayat-mayat Persia yang sudah bertambah begitu banyak dikhawatirkan akan menimbulkan rasa lemah dalam hati yang lain. Maka ia maju ke barisan pertama dan ketika ia menantang pasukan Muslimin yang mau tampil menghadapinya, ia disambut oleh Abdullah bin Warga' ar-Rayahi yang langsung menghadapinya dan berhasil membunuhnya.

Melihat pahlawan mereka yang luar biasa itu terkapar mati, pasukan Persia jadi gugup. Setelah mereka dikeluarkan dari rustaq (distrik pedesaan) itu, pasukan Muslimin masuk ke sana dan daerah itu diberi nama "Rustaq Syaikh." Pasukan Persia mundur ke Jay, berlindung di balik tembok-tembok Isfahan, sementara pasukan Muslimin tinggal di daerah-daerah baru itu menyusun rencana untuk menyerang kota besar yang amat kuat itu.

Jatuhnya kota Isfahan

Yazdigird tahu segala yang sedang menimpa pasukan Persia di Rustaq Syaikh itu. Ia lari lagi dari Isfahan ke Kirman. Abdullah bin Abdullah bin Itban maju terus ke Jay lalu mengepung kota Isfahan, tetapi pasukan Persia bertahan di dalam benteng-benteng kota itu, keluar menyerang pasukan Muslimin kemudian kembali lagi ke dalam benteng-benteng itu. Melihat mereka merasakan pengepungan itu berlangsung lama dan sudah merasa kesal, mereka keluar hendak mencetuskan pertempuran besar-besaran. Kedua angkatan bersenjata itu sekarang berbaris berhadap-hadapan dan siap bertempur. Tatkala per­ tempuran sudah akan dimulai, Fadustan,4 penguasa Isfahan mengutus orang kepada Abdullah bin Itban dengan mengatakan: Janganlah Anda membunuh sahabat-sahabat saya dan saya tidak akan membunuh sahabat-sahabat Anda. Tetapi hadapilah saya. Kalau saya membunuh Anda, sahabat-sahabat Anda agar kembali, jika Anda membunuh saya, sahabat­sahabat saya akan mengajak Anda berdamai, walaupun sahabat-sahabat saya tidak terkena anak panah. Keduanya lalu bertanding untuk selama berapa waktu. Kemudian kata Fadustan kepada Abdullah: "Saya tidak ingin memerangi Anda, saya sudah menyaksikan Anda laki-laki sempurna; tetapi saya akan bersama Anda kembali ke markas Anda, dan mengadakan perdamaian dengan Anda dan akan saya serahkan kota ini kepada Anda atas dasar, barang siapa suka biarlah ia tinggal dan membayar jizyah dan tetap dengan hartanya; dan barang siapa yang tanahnya kalian ambil biarlah berjalan seperti biasa dan biarlah mereka kembali; barang siapa menolak seperti yang kami lakukan, biarlah ia pergi sesuka hatinya dan tanahnya untuk kalian." Abdullah menyetujui perjanjian itu, dan penduduk Isfahan menjadi ahli zimmah selain tiga puluh orang yang menolak dan mereka bergabung kepada kelompok Kirman.

Perjanjian dilanggar

Sementara pasukan Muslimin sedang dalam pertempuran untuk memasuki Isfahan, kota-kota bagian utara yang terletak di selatan Laut Kaspia bergabung dengan Isfandiar Razi, saudara Rustum yang kalah dan terbunuh di Kadisiah - mengadakan persiapan hendak menangkis pasukan Muslimin dari Ray. Ketika pihak Hamazan mengetahui adanya pemusatan itu, keberanian mereka timbul kembali. Mereka batalkan segala perjanjian yang sudah diadakan dengan pihak Muslimin sesudah pertempuran Nahawand. Berita pelanggaran di Hamazan itu sampai juga kepada Umar. Ia memerintahkan Nu'aim bin Muqarrin cepat-cepat berangkat ke sana dan menaklukkannya dengan kekerasan sebagai hukuman terhadap mereka supaya tidak lagi mengulangi perbuatan seperti itu, dan untuk menjadi pelajaran bagi yang lain sehingga setelah itu tak ada lagi yang berani membatalkan perjanjian dengan pihak Muslimin. Bagi pihak Hamazan nama Nu'aim ini sudah tidak asing lagi dan mereka sudah tahu pula siapa orang itu. Mereka teringat pada Nahawand dan pada Firozan serta nasibnya di Jalan Madu dulu. Mereka terkejut dan diliputi rasa ketakutan. Mereka yakin bahwa mereka akan terkepung dan pasti akan kalah. Mereka makin panik ketika tersiar berita bahwa Nu'aim sudah menguasai kota-kota di sekitar Hamazan. Mereka bertambah yakin akan nasib buruk yang sedang menantikan mereka.

Hamazan jatuh

Setelah Nu'aim sampai ke tempat mereka dan mengepung kota itu, mereka mengutus orang meminta damai, kendati masih dengan keraguan bahwa permintaan itu tidak akan ditolak. Bagaimana Nu'aim dapat mempercayai mereka padahal sebelum itu mereka sudah melanggar perjanjian? Tetapi alangkah senangnya mereka bahwa ternyata ia mau menerima jizyah dari mereka atas dasar kekuatan bersenjata pasukan Muslimin yang tinggal di Hamazan, yang dengan kehadirannya akan mengingatkan kota itu tentang adanya perjanjian dan sekaligus dapat menangani masalah jizyah. Dapatkah Nu 'aim menerima dari mereka dan mereka tidak akan memperkosa perjanjian itu dengan pertimbangan adanya nyawa anggota-anggota pasukannya yang akan menjadi korban? Ataukah berita-berita mengenai Isfandiar sudah diketahuinya dan mereka sudah bergabung hendak menyerangnya lalu kini ia lebih mengutamakan menjaga seluruh kekuatan bersenjatanya untuk menghadapi gabungan satuan-satuan yang bertambah banyak siap akan menyerangnya itu, karena mereka mau mencegahnya jangan sampai ia memasuki kota Ray, mereka akan mengeluarkannya dari Hamazan, selanjutnya akan merebut kembali segala yang sudah diperolehnya dan diperoleh saudaranya Nu'man sebelumnya?

Apa pun alasan Nu'aim membuat persetujuan dengan pihak Hamazan, satuan-satuan yang sudah bergabung dengan Isfandiar itu makin hari bertambah banyak dan makin kuat. Juga Nu'aim tahu - sementara ia memimpin 12.000 Muslimin prajurit di Hamazan - bahwa satuan­satuan itu sekarang bergerak menuju ke arahnya dari berbagai jurusan: dari Dailam dipimpin oleh Mota, dari Ray dipimpin Zainabi5 Abu Farrukhan dan dari Azerbaijan oleh Isfandiar sendiri, dengan tujuan akan bertemu di Waj Ruz, kendati Dasta adalah tempat yang lebih dekat. Oleh karena itu Nu'aim melepaskan mata-matanya ke daerah itu untuk mengumpulkan berita-berita dan mengirimkannya kepadanya kembali. Yang lebih dulu sampai ke tempat itu pasukan Dailam. Mata-mata itu menyampaikan berita ini ke Hamazan. Nu'aim berangkat dengan pasukannya ke luar kota menuju ke suatu tempat yang berhadapan langsung dengan kekuatan sekutu yang sudah berkumpul hendak memeranginya itu. Urusan kota diserahkannya kepada Yazid bin Qais. Jumlah kekuatan ini cukup besar. Tetapi pasukan Muslimin tidak membiarkan kesempatan, begitu sampai ke medan itu langsung menyerang mereka. Menurut perkiraannya, ia mampu mengalahkan mereka, bahkan sampai mengikis habis. Pertempuran antara kedua pihak pecah begitu hebat mengingatkan orang pada pertempuran Nahawand. Pasukan Muslimin yang sudah biasa mendapat kemenangan ternyata tidak mudah dapat mengalahkan mereka. Kekuatan-kekuatan Dailam dan Persia itu tidak tahu ke brigade mana mereka harus bergabung padahal mereka mau mempertahankannya dan bersedia mati untuk itu. Oleh karenanya, begitu malam tiba mereka bubar dalam kekalahan setelah pasukan Muslimin berhasil membunuh mereka dalam jumlah yang tidak sedikit.

Nu'aim sudah mengirimkan berita kepada Umar mengenai jatuhnya Hamazan serta persetujuan yang dibuatnya dengan pihak mereka, disertai laporan tentang berita-berita yang tersiar mengenai persekutuan Dailam, Ray dan Azerbaijan yang hendak bersama-sama memeranginya. Umar merasa gentar juga dengan berita-berita itu; ia berdoa ada Allah agar pasukannya mendapat kekuatan dan pertolongan-Nya. Dengan penuh rasa cemas di Medinah ia menantikan berita-berita selanjutnya mengenai pasukannya itu. Sementara ia dalam keadaan demikian tiba-tiba datang Urwah bin Zaid al-Khail. Ia dulu pernah datang membawa berita mengenai pertempuran Jisr yang berakibat dengan kekalahan Muslimin dan terbunuhnya Abu Ubaid as-Saqafi. Begitu melihatnya Umar berkata: Ada berita gembira! Orang itu menjawab: Saya Urwah! Umar langsung menyambut dengan: Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Ketika itu juga Urwah segera ingat, lalu katanya: Alhamdulillah, Allah telah memberi pertolongan dan kemenangan kepada kita. Dan ia melaporkan apa yang telah terjadi. Selesai ia menyampaikan laporannya itu Umar berkata: Mengapa bukan Anda yang tinggal dan mengirim orang saja? Urwah menjawab: Sudah diserahkan kepada saudara saya, dan saya sendiri yang ingin menemui Anda. Sejak itu Umar memberi ia nama "al-Basyir" ("pembawa berita gembira"). Umar meminta surat yang dibawa Urwah dari Nu'aim berisi berita kemenangan itu dibacakan, dan sebagai tanda bersyukur atas segala nikmat yang karuniakan Allah itu mereka melakukan salat.

Urwah kemudian kembali ke Hamazan sambil membawa surat dari Umar: "Selanjutnya, untuk Hamazan tunjuklah orang dan berangkatlah Anda ke Ray dan pelajarilah keadaan mereka. Kemudian tinggal di sana karena letaknya di tengah-tengah daerah itu dan himpunlah segala yang Anda kehendaki." Tak lama setelah membaca surat itu Nu'aim mengangkat Yazid bin Qais untuk Hamazan, dan dia sendiri berangkat dengan pasukannya ke Ray. Ia yakin sekali bahwa Allah akan memberikan kemenangan kepadanya. Bagaimana akan merasa ragu padahal dalam menghadapi satuan-satuan Ray berikut Dailam dan Azerbaijan ia berhasil mengalahkan mereka sampai terbunuhnya Mota raja Dailam sendiri ! Barangkali ia berlebihan dalam optimismenya. Raja Ray ketika itu Siyavakhasy Mihran anak Bahram Chobin. Sesudah mereka bertemu di Waj Ruz ia yakin bahwa pasukan Muslimin tidak akan pulang kembali sebelum menyerangnya untuk menerobos ke dalam ibu kota. Karena itu ia segera meminta bala bantuan pasukan Dunbawand, Tabaristan, Gomas dan Jurjan dengan mengatakan: Kalian sudah tahu bahwa mereka sudah tinggal di Ray, yang buat kalian sudah tak ada tempat lagi. Maka berikanlah bala bantuan dengan kekuatan pasukan gabungan, yang dalam jumlah dan perlengkapannya berlipat ganda melebihi pasukan Nu'aim. Semua kekuatan ini dipertahankan untuk di Ray. Benteng-benteng kota oleh Siyavakhasy makin diperkuat. Melihat segala pemusatan dalam benteng-benteng itu pasukan Muslimin yakin tak akan berhasil mengalahkan dan tidak akan mungkin mendobrak benteng-benteng itu.

Menyusul Ray jatuh

Tidak heran jika pihak utara bergabung untuk mempertahankan Ray; kota yang besar dan benteng yang kukuh di kawasan itu berlindung belaka kepadanya. Di kota ini terdapat kuil-kuil yang dibangun di sekitar rumah ibadah Majusi. Banyak orang yang ingin berziarah pada musim upacara-upacara keagamaan. Setiap pelanggaran terhadap tempat-tempat itu dianggap suatu pelanggaran terhadap kesucian yang harus dibela dan dipertahankan. Di samping itu, letaknya dengan daerah­daerah di sekitarnya, kota ini merupakan lalu lintas perdagangan yang sangat luas, dapat menarik semua pihak dari timur dan dari barat, sehingga penduduk daerah-daerah itu hidup makmur dan senang. Dengan kukuhnya pertahanan kota penduduknya dan penduduk kawasan sekitarnya sudah merasa tenteram, merasa aman tinggal di sana atau di kota-kota tetangganya. Setelah mereka melihat kota ini terancam perang, mereka sepakat akan mengadakan pertahanan bersama. Dengan satuan-satuan itu mereka berangkat ke Waj Ruz dengan maksud hendak membendung para penyerang, dan kekalahan itu jangan sampai mengalihkan perhatian untuk berkumpul lagi serta bertahan dan mempertahankan kota.

Karena semangat mereka hendak mempertahankan kota, di pihak Muslimin seharusnya terpaksa banyak jatuh korban untuk mendobraknya, kalau tidak, karena sudah ditakdirkan pembebasan itu dapat diselesaikan dalam waktu lebih cepat dari yang diperkirakan oleh Nu'aim dan sahabat-sahabatnya. Siyavakhasy raja Ray tidak mau menemui Zainabi Abu Farrukhan setelah peristiwa Waj Ruz. Ia mendapat marah karena mundur berhadapan dengan pasukan Muslimin. Ia dipecat dari jabatannya. Merasa sakit hati karena peristiwa itu, Zainubi keluar dari Ray ketika diketahuinya kedatangan Nu'aim yang bermaksud memasuki kota. Ia menemuinya di luar kota dan mengadakan pembicaraan dalam suasana damai, kemudian menggabungkan diri untuk mengadakan perlawanan terhadap Siyavakhasy. Pasukan Muslimin sekarang bermarkas kaki Gunung Raya. Mereka disambut oleh pasukan garnisun dan sudah tentu terjadi bentrok senjata yang hingga petang hari dari kedua tak tak ada yang menang. Waktu malam tiba Zainabi berkata kepada Nu'aim: Pasukan mereka besar sedang pasukan Anda kecil. Kirimkanlah sebuah pasukan berkuda bersama saya memasuki kota dari arah yang tidak akan mereka ketahui, dan Anda sendiri juga menggempur mereka. Kalau mereka maju ke luar, mereka tak akan kuat bertahan menghadapi Anda. Pendapatnya ini disetujui oleh Nu'aim. Malamnya ia mengirimkan sebuah pasukan berkuda bersama dia disertai saudara sepupunya, Munzir bin Amr. Zainabi membawa mereka ke dalam kota tanpa ada pihak yang menyadari. Dalam pada itu Nu'aim sendiri mengelabui garnisun kota Ray dengan menghujani mereka dengan anak panah sehingga mereka sibuk sendiri dengan apa yang terjadi di dalam kota. Setelah fajar terbit, pasukan berkuda Muslimin muncul menyongsong kota dengan mengumandangkan suara takbir. Mendengar suara itu, pihak Persia yakin sudah bahwa mereka disergap dari belakang, diikuti oleh pasukan Muslimin dengan serangan gencar sehingga banyak menelan korban di Persia. Sekarang Nu'aim berhasil memasuki kota. Siyavakhasy kalah berantakan tanpa ada yang meneruskan perjuangannya. Di Ray ini pasukan Muslimin mendapat rampasan kira-kira sama dengan rampasan perang yang diperoleh di Mada'in. Nu'aim menulis surat kepada Umar melaporkan kemenangannya itu dan mengirim seperlima bagian rampasan perang.

Bagaimana keadaan Ray sesudah diduduki? Bukankah ada di antara anak negeri yang mengadakan persetujuan dengan pihak Muslimin? Ya! Nu'aim telah mengadakan persetujuan dengan Zainabi untuk Ray dan ia didudukkan sebagai marzaban menggantikan Siyavakhasy sesudah benteng-benteng mereka dihancurkan. Ia memerintahkan agar dibangun sebuah kota baru di samping kota tua itu. Dengan demikian berakhirlah sudah keluarga Bahram, dan kedudukan kehormatan raja-raja dari pihak Muslimin diberikan kepada Zainabi dan anak-anaknya. Seperti yang biasa dialami kota besar sebagai salah satu kota pelabuhan, pada masa Banu Umayyah dan Banu Abbas, kota Ray tetap dipertahankan. Tetapi setelah kota Teheran dibangun di dekatnya ke sebelah barat laut, bintang kota itu kemudian redup, kendati bekas-bekas reruntuhannya sampai sekarang masih tampak terlihat jelas, dan masih bercerita kepada kita tentang masa silamnya yang megah dan agung.

Kemenangan pasukan Muslimin di Ray telak sekali, dan karenanya pula kota-kota dan daerah-daerah di sekitarnya cepat-cepat mengajak damai dan membayar jizyah. Sesudah Suwaid bin Muqarrin berangkat ke Gomas atas perintah Umar ternyata tak ada pihak yang mempertahankannya, maka ia memasuki kota itu secara damai. Ia bermarkas di sana dan mengadakan persetujuan dengan pihak kota, sedang pihak Dunbawand sudah lebih dulu mengadakan perdamaian dengan saudaranya, Nu'aim, setelah kekalahan sekutu di Ray dan masing-masing sudah kembali ke tempat semula.

Dunbawand adalah sebuah kota yang terletak di pegunungan tak jauh dari Ray. Pasukan kota ini memasuki benteng-benteng Ray untuk mempertahankannya. Sesudah kota Ray membuka pintu dan sekutu-sekutu meninggalkannya, di antaranya pihak Dunbawand yang kembali ke pemukiman mereka, buat pihak Dunbawand tak ada jalan lagi selain mengadakan perundingan dengan ketentuan membayar jizyah 200.000 dirham yang harus dibayar tiap tahun; tidak dibenarkan menyerang negeri itu atau memasukinya tanpa izin, sesuai dengan perjanjian. Adapun Gomas adalah sebuah distrik besar dan luas terdiri atas kota-kota, desa­ desa dan daerah-daerah pertanian, terletak di selatan Gunung Tabaristan, membentang dari Ray ke Naisapur. Dengan Laut Kaspia dipisahkan oleh Tabaristan.

Daerah-daerah utara segera meminta damai

Dengan dikuasainya Ray serta perdamaian yang diadakan dengan Gomas dan Dunbawand, bagi pasukan Muslimin sekarang untuk mencapai pesisir-pesisir Kaspia di bagian Persia, hanya tinggal Jurjan, Tabaristan dan Azerbaijan. Kalau mereka dapat membebaskan kawasan ini dan mengadakan persetujuan dengan warganya, niscaya mereka sudah sampai ke wilayah kerajaan Kisra di ujung utara. Sesudah persetujuan Gomas Suwaid bin Muqarrin bermarkas di Bistam, dan ia menulis surat kepada Raja Jurjan menawarkan perdamaian, atau dia akan datang dengan pasukannya. Cepat-cepat raja Persia itu mengadakan perdamaian untuk Dahistan dan Jurjan dengan membayar jizyah sebagai zimmi, mereka memperoleh jaminan kekebalan, keamanan atas dirimereka, harta, agama dan hukum-hukumnya serta segala upacaranya. Termasuk juga dalam persetujuan itu sebuah klausul yang tak biasa ada sebelumnya, yakni: "Barang siapa dari kalian yang kami mintai bantuannya, maka atas bantuannya itu ia akan mendapat balas jasa sebagai pengganti jizyahnya." Yang paling jelas mengenai klausul bahwa keharusan jizyah itu untuk perlindungan yang diberikan pasukan Muslimin terhadap pihak yang dikalahkan, kalau mereka sudah membayar atau membantu pasukan Muslimin maka mereka akan mendapat balas jasa.

Letak kota Jurjan ini di tenggara pantai Laut Kaspia, sedang Tabaristan di sebelah selatan pantai itu bertetangga dengan Jurjan, dan Azerbaijan di barat dayanya bertetangga dengan Tabaristan. Tatkala raja Tabaristan melihat pasukan Muslimin sudah mengepungnya dari sebelah selatan dengan jatuhnya kota Ray serta persetujuan yang diadakan dengan pihak Gomas, dan di sebelah timur dengan pihak Jurjan, maka jalan ke luar Persia kini sudah tak ada lagi selain dari jalan Azerbaijan yang juga sedang terancam serangan. Dengan demikian ia juga lebih suka mengadakan perundingan dan ia menulis surat kepada Suwaid. Setelah berjanji dan tercapai persetujuan dengan Tabaristan dan Jilan yang akan membayar jizyah setiap tahun, keamanan mereka dijamin, tak akan ada serangan dari luar dan tak akan ada yang berani menginjak tanah mereka tanpa izin.

Dari arah barat Azerbaijan bertetangga dengan Tabaristan dan di utaranya berbatasan dengan Dailam, begitu juga bagian selatannya, berbatasan dengan Irak-Arab dan kota-kota Jazirah. Kota Ardabil yang letaknya berdekatan dengan kota Tabriz yang sekarang termasuk kota penting. Kota-kota ini merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian 1500 meter dari permukaan laut, dan puncak-puncaknya yang menjulang tinggi sampai 4000 meter. Kota Azerbaijan dari bahasa Persia yang berarti "tanah api" atau 'kuil-kuil api (agama Majusi)." Daerah ini dinamakan demikian karena banyaknya kuil yang dibangun pada waktu itu. Sesudah penyembahan api Persia sendiri padam dan penduduknya sudah beragama Islam, nama kota Azerbaijan diganti menjadi Mazendagran.

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team