Abu Bakr As-Siddiq

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

XI. PERSIAPAN KE ARAH PERLUASAN DAN KEDAULATAN ISLAM (1/3)

Perbatasan utara negeri-negeri Arab - 179; Kerajaan Banu Gassan dan kerajaan Hirah - 180; Kabilah-kabilah di selatan berpindah ke pedalaman Syam - 182; Hubungan orang Arab yang merantau ke Syam dengan Persia dan Rumawi - 183; Mempertahankan ciri-cirinya sendiri - 183; Jazimah al-Abrasy menguasai Furat bagian barat - 184; Uzainah bin as-Samaiza' - 185; Persiapan Arab di Irak dan Syam ke arah perluasan Islam - 186; Pemerintahan otonomi raja-raja Hirah di bawah Persia - 187; An-Nu'man Agung - 187; Sikap Arab terhadap agama-agama Majusi dan Nasrani - 188; Mengapa Arab cenderung beragama Nasrani? - 189; Keterikatan orang Arab dengan kebebasan - 190; Banu Lakhm dan Banu Gassan berada di puncak kejayaannya - 190; Raja Hirah yang terakhir - 192; Banu Gassan, sampai akhir kekuasaannya - 193; Persia dan Rumawi setelah hancumya kekuasaan Barat - 194; Sikap Abu Bakr tentang Persia dan Rumawi - 195; Pikiran Abu Bakr setelah perang Riddah - 196; Serangan kepada Rumawi suatu risiko besar - 197; Al-Musanna bin Harisah maju ke Irak - 198; Kekacauan di Persia - 199; Kedatangan Musanna ke Medinah - 199; Irak tak kurang indahnya dari Syam - 200; Pendapat Khalid bin Walid untuk memasuki Irak - 201; Sumber lain mengenai pembebasan Irak - 202.

Perbatasan utara negeri-negeri Arab

Sejak berabad-abad lamanya dalam sejarah orang sudah biasa melihat perbatasan utara negeri-negeri Arab itu terbentang dari hulu Teluk Aqabah ke hulu Teluk Persia di sebelah utara. Perbatasan ini tidak memanjang dalam garis lurus, tetapi mengikuti bukit barisan yang memisahkan Sahara Nufud1 dengan pedalaman Syam. Dumat al-Jandal ini terletak di perut Mada'in2 bagian hulu yang berbatasan dengan garis lurus itu, yakni sebelum kurun waktu Syam dan Irak tergabung ke dalam kedaulatan Arab.

Penduduk asli Syam ialah orang-orang Funisia, dan penduduk Irak yang mula-mula dari Asiria. Padang sahara yang terbentang luas di antara kedua daerah itu ialah pedalaman Syam. Sejak dahulu kala keduanya tak pernah saling bertemu atau saling melintasi. Penduduk daerah-daerah pemukiman tidak begitu tertarik melintasi gurun sahara ini. Untuk apa melintasi kawasan dengan risiko bahaya yang begitu besar di samping memang tak ada hal-hal yang akan menarik perhatian orang ke sana. Sampai sekarang banyak orang yang mengelak melintasi daerah pedalaman itu dengan mobil. Orang lebih suka menggunakan transportasi Syam-Irak itu lewat udara.

Tetapi padang sahara yang tidak disukai orang-orang Funisia penduduk Syam dan orang-orang Asiria penduduk Irak di zaman silam itu, rupanya menarik orang-orang Arab pedalaman. Bagi mereka sahara yang lepas itu merupakan daya tarik tersendiri, sesuatu yang memberi ilham, suatu kebebasan dan keindahan. Sebaliknya kota, bagi mereka adalah belenggu, malah penjara, meskipun dipoles dengan segala yang indah. Para sejarawan menyebutkan bahwa migrasi orang-orang Arab ke utara itu karena runtuhnya bendungan Ma'rib, sedang kabilah-kabilah Azd yang merantau ke Hijaz dan Syam karena hanyut terbawa banjir, atau karena pihak Rumawi menggunakan laut sebagai jalur perdagangannya, bukan melalui daerah pedalaman sahara. Mereka menyebutkan bahwa migrasi ini terjadi pada abad kedua Masehi. Kalau sumber ini kita terima, tentu berarti kabilah-kabilah Arab itu tinggal di pedalaman Syam sudah sejak berabad-abad lamanya sebelum itu, yang jauh tertinggal dari kafilah-kafilah yang datang ke Irak atau Syam untuk menyerang atau berdagang.

Orang-orang Arab yang merantau ke Syam dan ke Irak sudah menetap di perbatasan daerah-daerah pemukiman kedua wilayah itu. Dan bukanlah politik negara yang memaksa mereka tinggal di perbatasan ini, melainkan kehidupan pedalaman itu sendiri yang menarik mereka, mereka tergiur melihat keindahannya. Tetapi daerah pemukiman juga memikat mereka.

Mereka ingin berada tidak terlalu jauh dari daerah itu supaya dapat memperoleh rezeki tanpa harus terlalu berat. Memang demikian itulah keadaan penduduk pedalaman sepanjang sejarah. Kalau sekarang ini kita perhatikan tempat-tempat tinggal mereka di Mesir, di Syam, di Irak atau dimana saja yang perkebunannya berbatasan dengan padang pasir, akan kita lihat mereka berada di pinggiran sahara antara daerah pemukiman dengan daerah pedalaman, dan akan kita lihat perhatian penduduknya lebih banyak dicurahkan ke pedalaman dan memperhatikannya dari waktu ke waktu dengan kafilah-kafilah mereka. Cara hidup baduinya yang seolah sudah mendarah daging pada mereka itu membuat mereka tak mau lagi hidup menetap atau tinggal seperti penduduk kota dengan sistem kemasyarakatannya itu. Watak mereka mengharuskan hidup serba sulit, yang sebenarnya tak perlu mereka lakukan kalau tidak karena daerah pedalaman yang memang begitu bebas serta hubungannya dengan alam yang tak terbatas, sebagai ganti melepaskan mereka dari segala kesulitan dan menganggap enteng segala kesukaran itu.

Kerajaan Banu Gassan dan kerajaan Hirah

Tatkala kabilah-kabilah Arab yang berpindah ke kawasan itu bertebaran di sana, pedalaman Syam ini tiba-tiba berubah seolah menjadi satu bagian dari Semenanjung Arab. Orang-orang Gassan merupakan ras kabilah yang terkuat dan paling bertahan dan tabah. Oleh karena itu Banu Gassan mendirikan kerajaannya di perbatasan Syam, dan Banu Lakhm membangun kerajaan Hira di sepanjang pantai Furat. Kebiasaan orang Arab ketika itu selalu sama dengan kebiasaan anak negeri yang lain, yakni bersama-sama senasib dan sepenanggungan dengan yang lain yang tinggal di perbatasan. Dengan demikian hidup mereka yang tinggal di Syam disesuaikan dengan hukum Rumawi dan yang tinggal Irak menurut hukum Persia. Tetapi mereka lebih bersifat menerima kenyataan yang ada daripada tunduk kepada yang menang. Oleh karena itu, situasi politik mereka berubah-ubah sesuai dengan kuat lemahnya mereka. Bagi mereka, yang sangat mereka cintai dan mereka bela ialah kebebasan pribadi.

Mengenai kehidupan orang Badui yang luar biasa ialah, kendati kecintaan mereka sudah begitu besar pada cara hidup pedalaman, begitu besar kerinduan mereka setiap mereka berada jauh dari sana, namun mereka sangat mengagumi suasana pemukiman dengan tanam-tanaman yang indah di sekelilingnya serta para penghuninya yang tampak hidup nyaman dan makmur. Yang menjadi pembicaraan orang di Mekah dan Medinah serta tempat-tempat lain di kawasan Hijaz, setelah mereka mengadakan perjalanan musim panas, ialah senantiasa tentang Syam dengan perkebunannya, tentang buah anggur dan gadis-gadis dengan matanya yang jelita. Mereka yang ikut mengadakan perjalanan bercerita tentang semua itu, yang selanjutnya berpindah dari mulut ke mulut. Orang-orang yang mendengar lalu tersenyum, mata mereka terbelalak dan selera mereka bangkit, karena merindukan kehijauan yang serba segar itu. Ah coba di daerah mereka ada yang serupa itu: air yang lancar mengalir, tangan-tangan yang lembut dan pipi yang halus. Seolah mereka sudah lupa bahwa Allah Maha pencipta sudah membagikan rezeki kepada manusia begitu adil: penghuni daerah pedalaman itu dapat menikmati kebebasan mutlak, jauh dari segala macam ketidakadilan. Semua ini tentu harus diimbangi dengan hidup yang serba berat dan sulit, meskipun tak berarti mereka tak ingin hidup nikmat dan makmur juga. Demikian juga penghuni perkotaan. Mereka hidup makmur, senang, tertib dan aman, tetapi diimbangi dengan terbatasnya kebebasan dalam segala seginya. Selanjutnya, tak berarti orang tidak cenderung ingin menghancurkan segala belenggu ini karena ia merindukan kenikmatan dan keamanan.

Demikianlah keadaan kabilah-kabilah itu, yang pindah ke Irak dan Syam dengan kecenderungan yang berbeda mengenai keterikatannya dengan suasana pedalaman. Lepas dari soal kenyamanan dan kenikmatan yang ada di daerah pemukiman, kabilah-kabilah itu masih kuat sekali mempertahankan nilai-nilai kehidupan Arabnya yang asli, demikian juga hubungannya dengan Semenanjung Arab sejak berabad-abad. Saya tidak bermaksud hendak merinci semua itu dalam buku ini. Ruangan untuk mengadakan studi demikian sangat terbatas tentunya dan tidak begitu perlu. Tetapi yang ingin saya catat di sini mengenai segala seluk-beluk yang tampak pada kita dalam mempersiapkan diri memasuki dua keamiran (kedaulatan) Arab ini - keamiran Banu Lakhm dan keamiran Banu Gassan - dalam mengukuhkan perluasan dan kedaulatan Islam pada masa Abu Bakr.

Kabilah-kabilah di selatan berpindah ke pedalaman Syam

Di atas sudah kita singgung bahwa migrasi orang-orang Arab dari selatan ke utara itu terjadi sejak sebelum pecahnya bendungan Ma'rib dan sebelum Rumawi mengalihkan jalur perdagangannya dari darat ke laut. Migrasi ini sebenarnya sudah ada jauh sebelum terjadinya kedua peristiwa itu, dengan bahaya luar biasa yang harus mereka hadapi dalam kehidupan di negeri-negeri Arab itu. Ahli-ahli geneanologi menyebutkan bahwa kabilah-kabilah yang suka berpindah-pindah itu sudah sering terjadi sejak sebelum kedatangan Islam. Sudah tentu kejadian ini berjalan sejak lama sekali. Orang-orang Arab itu sudah saling mengadakan hubungan dagang dengan negeri-negeri tetangganya dengan membawa komoditi dari Timur Jauh ke Syam, Mesir dan Rumawi. Demikian juga sebaliknya, mereka membawa komoditi itu dari Syam, Mesir dan Rumawi ke Timur Jauh. Perdagangan yang melintasi Semenanjung Arab ini melalui dua jalur: jalur Hadramaut ke Bahrain di Teluk Persia kemudian ke Syam, dan jalur Hadramaut ke Yaman, lalu Hijaz terus ke Syam. Mekah ketika itu berada di pertengahan jalur kedua itu.

Penduduk selatan terdiri atas orang-orang Hadramaut, Yaman, Oman dan Bahrain. Mereka itulah yang mula-mula sekali mengadakan hubungan dagang demikian, sebab mereka lebih maju dan lebih makmur daripada penduduk utara, karena tanah mereka yang subur serta hubungannya dengan Persia yang langsung. Itu sebabnya, kebanyakan kabilah yang pindah ke Irak dan ke Syam dan menetap di sana itu dari kabilah-kabilah selatan. Banu Gassan yang mendirikan kerajaannya di sebelah timur Syam dari suku Azd, yakni salah satu kabilah Oman yang masih keturunan Kahlan di Yaman. Begitu juga kabilah-kabilah Quda'ah, Tanukh dan Kalb yang tinggal di perbatasan Syam masih keturunan Himyar di Yaman. Sudah wajar bila kabilah-kabilah selatan itu akan menetap di Irak, karena Irak berdekatan dengan Hadramaut serta segala hubungannya dengan kabilah-kabilah Hanifah, Taglib dan sebagainya.

Beberapa suku dari kabilah-kabilah ini sejak dahulu kala sudah bermigrasi ke pedalaman Syam. Mereka tinggal di sana bebas dan jauh dari kekuasaan yang ada di daerah pemukiman Irak atau pemukiman Syam. Setelah bendungan Ma'rib roboh kemudian jalur perdagangan terbagi antara jalan pedalaman dengan jalan laut, beberapa suku dan kabilah lain juga pindah ke Hijaz, kemudian sebagian suku ini pindah lagi ke Syam, mencari penghasilan yang lebih besar dan peradaban yang lebih menyenangkan daripada peradaban di pedalaman.

Hubungan orang Arab yang merantau ke Syam dengan Persia dan Rumawi

Kekuasaan di Irak dan di Syam silih berganti antara kedua imperium Persia dan Rumawi. Adakalanya Persia merebut Syam dari Rumawi lalu digabung dengan Irak yang ada di bawah kekuasaannya. Kadang Rumawi yang merenggut Irak yang ada di bawah Persia dan menggabungkannya dengan Syam yang berada di bawah kekuasaannya. Orang-orang Arab yang merantau ke pedalaman Syam sering bergabung dengan pasukan Persia atau pasukan Rumawi, terbawa oleh wataknya yang emang senang berperang dan menjarah. Inilah yang mendorong kedua imperium itu untuk menjadikan mereka yang tinggal di pedalaman yang membentang di antara keduanya itu sebagai penyekat. Dengan demikian mereka terhindar dari kemungkinan permusuhan terbuka satu sama lain, sehingga Syam tetap sepenuhnya di bawah Rumawi dan Yaman sepenuhnya berada di bawah Persia.

Sesuai dengan letak perkampungan mereka di peda aman, kabilah-kabilah Arab ini bergabung dengan daerah pemukiman terdekat. Mereka yang tinggal di perbatasan Syam bergabung dengan Rumawi, dan yang tinggal di perbatasan Irak bergabung dengan Persia, dengan tetap memelihara kebebasan, cara hidup badui dan tata nilai Arabnya masing-masing yang masih murni.

Mempertahankan ciri-cirinya sendiri

Kendati sudah demikian rupa mereka menjaga ciri- ciri mereka yang khas itu namun mereka tak bebas dari pengaruh kehidupan daerah pemukiman yang dekat dengan mereka serta kebijakan penguasa yang menguasai daerah pemukiman itu. Bahkan mereka yang merasa diri berkecukupan cepat sekali mengikuti cara hidup pemukiman dan mampu memikulnya, sampai-sampai kekuasaan dan pengaruh mereka cukup besar dalam kerajaan itu. Para sejarawan menyebutkan bahwa kaisar Rumawi Philip itu adalah orang Arab dari Banu Samaiza', orang Arab pertama yang pindah ke Syam yang pernah dikenal sejarah. Sebelum menaiki takhta kekaisaran dia adalah pemimpin bandit, meminjam istilah orang Barat, dan pemimpin kabilah yang suka berperang, menurut istilah orang Arab. Ini merupaka kedudukan orang Arab tertinggi yang tinggal di Syam, kendati tak sampai mereka meninggalkan nilai-nilai daerahnya di pedalaman dan melebur ke dalam peradaban Rumawi.

Adapun orang-orang Arab yang tinggal di perbatasan Irak, mereka menetap di pedalaman dan tak mau mempertaruhkan diri masuk ke daerah Sungai Furat, supaya jangan berada di bawah kekuasaan Persia. Mereka bertahan dengan keadaan mereka sampai pada waktu Persia menjadi ajang pemberontakan dan perang saudara, yang menyebabkan raja-raja Persia akhirnya berhubungan dengan pemimpin-pemimpin golongan di sana. Mereka ini akhirnya memperoleh kemenangan dan mampu menguasai Persia. Mereka masing-masing mendapat bagian. Ini memberi kesempatan kepada pihak Arab memasuki daerah Furat. Di pantai sungai ini mereka mendirikan kota Anbar, kemudian mendirikan kota Hirah.

Bukan tidak mungkin kabilah-kabilah Arab itu berasal dari tawanan-tawanan perang yang dibawa oleh Persia ketika pertama kali mereka menyerang bagian selatan Semenanjung Arab itu. Sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa Raja Nebukhadnezzar II menyerang Semenanjung itu lalu kembali dengan membawa tawanan. Mereka ditempatkan di Pantai Furat yang kemudian membangun kota Anbar itu. Setelah kemudian mereka dipindahkan dari Anbar ke selatan, mereka mendirikan kota Hirah.3

Jazimah al-Abrasy menguasai Furat bagian barat

Mana pun sumber itu yang benar, yang jelas sejak itu kekuasaan Arab mulai stabil di Irak. Mereka sudah mengurus sendiri bagian barat Furat antara Anbar dengan Hirah ketika Jazimah al-Abrasy atau al-Waddah memimpin mereka sekitar tahun 215-268 M. Jazimah telah mempersatukan mereka dan kekuasaannya meluas dari Hirah ke Anbar sampai ke Ain at-Tamr. Dengan demikian mencakup juga seluruh bagian barat Furat sampai ke pedalaman Syam. Bahkan kekuasaan itu meluas sampai kepada orang-orang Arab yang tinggal di pedalaman ini tatkala Mudar menyerang penghuni-penghuni itu, dengan merangkul Adi bin Rabi'ah dan ia ditempatkan sebagai orang yang dihormati.

Adi inilah yang mengawini ar-Raqqasy saudara perempuan Jazimah. Kedua tokoh ini banyak menghiasi karya-karya sastra dengan cerita yang sangat menarik. Dari dia kemudian lahir Amr bin Adi, yang terkenal karena ceritanya dengan az-Zaba' yang bunuh diri sambil berkata: "Di tanganku, bukan di tangan Amr."4

Uzainah bin as-Samaiza'

Sementara Jazimah al-Waddah in menjadi raja Arab di Irak Uzainah5 bin as-Samaiza' menjadi pemimpin Arab di Syam. Ketika itu Shapur (Sabur) adalah penguasa Persia dan Philip Kaisar Rumawi. Penduduk Syam memberontak kepada Philip karena hukum yang dijalankannya sangat keras. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Shapur. Ia menyerbu Syam dan berhasil mengalahkan pasukan Rumawi. Ketika itulah Uzainah salah seorang sekutunya memberontak kepada Rumawi dan bergabung dengan Persia. Ambisinya ingin berada di bawah Shapur supaya ia dijadikan wakilnya di Syam seperti Jazimah di Irak. Tetapi kemudian Valerian yang menjadi kaisar Rumawi menggantikan Philip. Dia sendiri yang pergi ke Syam dan mengalahkan Shapur serta mengembalikannya ke Persia. Ketika itulah Uzainah kembali memegang kekuasaan di Rumawi. Tetapi keadaan segera berbalik menimpa Valerian. Sekali lagi Uzainah ingin bergabung dengan Shapur. Tetapi Shapur menolak keinginannya setelah melihat perbuatannya dulu. Tak ada jalan lain rupanya buat Uzainah daripada harus mempertahankan kekuasaan dan jiwanya sendiri dengan mengangkat dirinya menjadi pemimpin Arab Syam untuk memerangi Persia. Dan nasib pun membantunya pula. Ia berhasil mengalahkan Persia dan mengusir pasukannya ke Mada'in. Dengan demikian posisinya amat penting di mata Rumawi, dan dia bernasib baik6 pula dalam memerangi pihak Persia, sehingga sesudah itu ia masih mendapat kemenangan lagimenghadapi mereka.

Kendali pemerintahan sesudah Uzainah dipegang oleh anak-anaknya, salah seorang di antaranya Zaba'. Ia merayu Jazimah agar tertarik kepadanya. Diundangnya laki-laki itu dengan harapan agar ia mengawininya. Tetapi setelah itu Jazimah dibunuhnya. Adi bin Amr bersama Qasir bin Amr pergi hendak mengadakan pembalasan, tetapi Zaba' sudah lebih dulu bunuh diri, sebelum dibunuh. Dengan matinya Zaba' ini berakhirlah sudah dinasti Banu Samaiza' di Syam.

Banu Gassan dari keturunan Jafnah menggantikan Banu Samaiza' menjadi raja Syam, setelah dalam waktu tak lama kelompok Banu Nasr yang berkuasa di Irak sementara itu berusaha hendak menguasai Syam, tetapi tidak berhasil.

Persiapan Arab di Irak dan Syam ke arah perluasan Islam

Pada pertengahan abad ketiga Masehi ini kita berhenti sejenak di sini guna melihat bagaimana pengaruh keadaan di timur Syam dan di barat Irak terhadap pihak Arab. Mereka yang pertama sekali datang ke pedalaman itu kabilah-kabilah yang pindah atau tawanan-tawanan yang dibawa dari Semenanjung oleh raja-raja Persia. Sekarang mereka banyak diperhitungkan, baik oleh Rumawi atau oleh Persia. Kedua kerajaan ini kini sangat memperhatikan persahabatan dengan mereka dan siap membela mereka. Sebagai penghargaan atas keberanian dan ketangkasan mereka dalam peperangan, kedua kerajaan ini mengakui kemerdekaan mereka. Sebenarnya hubungan mereka dengan kedua imperium besar ini melebihi Yaman atau Hadramaut dan kawasan Semenanjung Arab lainnya yang berada di bawah pengaruh Persia, bahkan barangkali dulu mereka lebih merdeka. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa tanah Arab itu membentang dari Teluk Persia dan Teluk Aden di selatan sampai ke Mosul dan Armenia di utara. Dari seluruh Semenanjung itu yang paling banyak menerima pengaruh kebudayaan Persia dan kebudayaan Rumawi ialah masing-masing Arab Irak dan Arab Syam.

Bukankah benar juga bila kita katakan - dan memang demikian kenyataannya - bahwa yang menjadi pelopor pertama dalam membuka jalan tersiarnya Islam dan kedaulatannya adalah orang Arab Irak dan Syam? Sudah tentu hal ini tak terbayang oleh mereka. Tak seorang pun dari mereka membayangkan, diutusnya Muhammad sebagai rasul dengan ajarannya itu akan melahirkan persatuan dan kesatuan Arab dan akan mengangkat keluhuran budi bangsa itu sebagai umat sampai setinggi itu. Tetapi bermukimnya mereka di antara daratan Furat dengan lembah-lembah Syam, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai kehidupan mereka, serta hubungan mereka dengan penduduk dan lingkungan sekitarnya di Semenanjung Arab, semua itu merupakan langkah pertama menuju langkah-langkah berikutnya, setelah empat abad sejak datangnya pasukan Arab kepulauan itu ke sana, untuk mengusir imperium Persia dan Rumawi dan menggantikannya dengan kedaulatan Islam.

Sesudah Jazimah bin al-Abrasy, berikutnya Amr bin Adi yang menjadi raja Irak dari pihak Shapur. Seperti disebutkan di atas sekarang ia dapat mengadakan pembalasan kepada Zaba' atas kematian Jazimah. Hirah oleh Amr dijadikan ibu kotanya, dan sejak itu menjadi ibu kota Banu Lakhm sampai kekuasaan raja itu tak ada lagi di sana.

Pemerintahan otonomi raja-raja Hirah di bawah Persia

Ketergantungan pemerintahan Amr bin Adi dan raja-raja Hirah yang datang kemudian kepada istana Persia sangat terbatas. Penguasa Hirah adalah penguasa mutlak atas kawasan Furat bagian barat sampai ke pedalaman Syam. Menurut perjanjian dengan penguasa Persia pihak Arab Semenanjung atau Arab Syam yang berada di bawah Rumawi harus dikeluarkan dari kawasan Persia, dan melindungi perdagangan yang berangkat dari Persia ke Syam atau ke tanah Arab.

Tetapi persahabatan itu tidak menghalangi penyerbuan pihak Arab ke tanah Persia, terutama yang berdekatan dengan Teluk Persia. Pihak Persia sendiri sudah sering membendung mereka. Kemudian Shapur Agung terpaksa menggali parit (Parit Shapur) di perbatasan itu untuk mencegah adanya penyerangan.

An-Nu'man Agung

Raja-raja Banu Nasr itu berturut-turut menduduki takhta Hirah sampai akhirnya an-Nu'man Agung dinobatkan sebagai raja pada akhir abad keempat dan awal abad kelima M. Ia memangku kedudukan itu atas nama Yazdegerd. Nu'man Agung inilah yang mendirikan istana Khawarnaq dan Sadir yang terkenal dengan cerita Sinimmar.7

Disebutkan bahwa pada masanya itu agama Kristen mulai tersebar di Irak, dan dia sendiri memberi kelonggaran dan bersimpati kepada agama ini, yang kemudian dengan seizinnya pula biara-biara dan gereja-gereja dibangun, bahkan ada yang berpendapat bahwa dia sendiri memeluk agama Kristen. Tetapi kemudian hidup seperti pertapa, melepaskan takhta kerajaan dan menyerahkannya kepada anaknya al-Munzir Agung,8 yakni ketika ia melihat Yazdegerd menindas agama Kristen dan memerangi orang yang menganut agama itu.

Yazdegerd sudah mengirimkan anaknya Bahram Gor ke Hirah untuk dibesarkan di sana. Bahram mempelajari dan menguasai bahasa Arab dan bahasa Yunani dan sudah pula menguasai seluk-beluk kehidupan Arab dan Rumawi.

Setelah Yazdegerd mangkat Persia memilih Kisra Ardashir putra Shapur Agung, sebab dia dibesarkan di tengah-tengah mereka ketika Bahram berada jauh di luar. Bahram menuntut takhta itu dengan mendapat bantuan Munzir. Sesudah naik takhta Munzir menasihatinya agar memaafkan musuh-musuhnya. Dengan demikian Bahram mendapat tempat dalam hati orang-orang tertentu, kemudian mendapat tempat dalam hati rakyat karena ia memberikan berbagai macam fasilitas serta keringanan pajak.

Bahram meneruskan langkah ayahnya dalam memerangi agama Kristen. Ini menyebabkan pecahnya perang Persia-Rumawi. Dalam perang ini Munzir membantu Bahram, yang berakhir dengan perdamaian yang cukup lama antara kedua belah pihak.

Raja-raja Arab Banu Gassan di Syam mendukung Rumawi dalam perang dengan Persia. Kebalikannya dengan Banu Lakhm menjadi sekutu militer Persia melawan Rumawi. Barangkali belakangan ini unsur agama yang mendorong makin memuncaknya perang antara kedua imperium itu. Sejak imperium Rumawi dipegang oleh Constantine pada permulaan abad keempat Masehi, agama Kristen jadi berkembang. Kedudukan pemuka-pemuka agama Kristen Rumawi di mana-mana dijunjung, kaum misionaris tersebar ke seluruh negeri. Perpindahan mereka dari Syam ke Irak lalu ke Persia itulah yang menimbulkan kemarahan Yazdegerd untuk melawan agama baru itu, lebih-lebih lagi pada masa Bahram Gor, yang kemudian berakhir dengan perdamaian seperti disebutkan di atas.

Sikap Arab terhadap agama-agama Majusi dan Nasrani

Bagaimana pula sikap Arab di Irak dan di Syam terhadap agama Persia dan agama Nasrani dari Rumawi itu? Adakah kabilah-kabilah di Irak itu terpengaruh oleh agama Majusi lalu menjadi pemeluk agama itu, dan yang di Syam terpengaruh oleh agama Kristen lalu menganutnya juga? Ataukah mereka memang menolak kedua agama itu, Majusi dan Kristen, lalu mereka tetap bertahan dengan paganisma Arabnya, dengan menyembah berhala-berhala?

Untuk menjawab pertanyaan ini pembahasan seperti yang akan kita lihat ini akan jadi penting sekali. Hal ini akan memperlihatkan sikap mental, cara berpikir orang Arab serta kecenderungan rohaninya. Akan tampak pada kita bagaimana sikap mental, cara berpikir dan kecenderungan rohani ini kemudian mengantarkan bangsa itu kepada suatu perjuangan suci di bawah naungan Islam.

Sudah kita sebutkan bahwa bangsa Arab sangat terpengaruh oleh kebudayaan Persia dan kebudayaan Rumawi. Orang-orang Arab di Irak banyak yang menguasai bahasa Persia dengan baik sekali, dan mengenal baik segala alam pikiran, seni, sastra dan agama Persia. Mereka mendalami ajaran-ajaran Manikeisma9 dan Zoroasterianisma10 serta pandai bersilat lidah karena pengaruh ajaran Mazdak. Hal ini tidak mengherankan, mereka hidup berkecukupan, mendapat kesempatan mempelajari ilmu dan kebudayaan sampai kepada pemikiran dan filsafat Yunani. Dengan jalan itu pula orang-orang Hirah mengajarkan bersilat lidah kepada Kuraisy, dan pada masa Islam mengajarkan baca-tulis.11

Demikianlah hubungan Arab Syam itu dengan peradaban dan agama Rumawi. Mungkin kehidupan berpikir mereka -lebih tinggi dari orang-orang Arab Hirah, karena mereka pernah berhubungan dengan kebudayaan Yunani dan peradaban Rumawi.

Mengapa Arab cenderung beragama Nasrani?

Orang Arab Irak tidak sampai menganut Majusi Persia kendati hubungan mereka sangat erat dan mereka mengagumi kebudayaannya. Demikian juga orang Arab Syam tidak pula menganut paganisma Rumawi atau Yunani dan tidak pula menyembah dewa-dewa mereka. Tetapi setelah agama Kristen jadi agama imperium Rumawi, hati orang Arab Syam dan Irak jadi tertarik. Mengapa?

Beberapa penulis sejarah menyebutkan bahwa raja Banu Gassan adalah yang pertama memeluk agama Nasrani karena imperium Rumawi hanya membenarkan pemerintahan yang beragama Nasrani di bawah kekuasaannya di seluruh kerajaan itu. Jika amir-amir Arab yang memeluk agama Nasrani itu ditafsirkan demikian, maka tidaklah demikian penafsiran terhadap kabilah-kabilah yang menganut agama Nasrani. Kalau dikatakan bahwa kabilah-kabilah Syam masuk agama Nasrani untuk menyesuaikan diri dengan raja-raja yang berkuasa - sebab orang hanya ikut agama rajanya - maka banyak kabilah di Irak menganut agama Nasrani karena kesetiaannya kepada raja Hirah. Mereka memerangi Nasrani sebagai sekutu Persia. Jadi tentu ada faktor lain yang menyebabkan kabilah-kabilah Arab di Irak itu sampai menganut agama Nasrani, dan faktor ini tentu ada hubungannya dengan sikap mental serta kecenderungan rohani orang Arab.

Sikap mental orang Arab sesuai dengan watak baduinya yang cenderung jujur, ingin melihat hakikat itu secara bersahaja, ingin mempelajarinya tanpa harus rumit dan berbelit-belit. Adakalanya orang hanya tergoda oleh ajaran Mazdakisma dan Manikeisma jika ia memang pandai berbicara dan senang berdebat. Demikian juga dengan filsafat Yunani. Mentalitas Arab tampaknya tidak tertarik pada perdebatan yang serba berbelit-belit itu. Itu sebabnya mereka lalu tertarik pada agama Nasrani. Dengan - demikian mereka sudah merasa puas. Sebaliknya, hanya sedikit mereka yang menganut agama Majusi.

(sebelum, sesudah)


Abu Bakr As-Siddiq - Yang Lembut Hati
Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi
 
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
Penerbit P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel./Fax. (0251) 330505, Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-29-8
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. INTERMASA, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team