XI. PERSIAPAN KE ARAH PERLUASAN DAN KEDAULATAN
ISLAM (2/3)
Keterikatan orang Arab dengan
kebebasan
Agama Nasrani adalah agama samawi, penganutnya adalah
Ahli Kitab. Kemurniannya yang mula-mula diakui oleh Islam.
Tidak heran jika orang Arab yang menganut agama itu di Irak
dan di Syam menjadi garda depan yang merintis perjuangan
suci bangsa itu dan yang merintis kedaulatan Islam.
Sungguhpun di Irak dan di Syam mereka sudah lebih dulu
menganut agama Nasrani, tetapi ciri-ciri khas mereka tidak
berubah. Mereka tidak meninggalkan kebebasan dan keterikatan
mereka dengan tata cara kehidupan orang Arab. Ketika Mawiyah
bint al-Arqam bin al-Haris II memerintah Syam pada akhir
abad keempat Masehi, pihak Rumawi ingin menguasai kerajaan
itu. Tetapi ia mengadakan perlawanan yang akhirnya pihak
Rumawi meminta damai. Kemudian Mawiyah membantu mereka
dengan pasukan berkuda untuk memerangi Goth yang ingin
menyerbu mereka. Dan memang benar, dengan sangat terpuji
pasukan Arab itu mati-matian mempertahankan
Konstantinopel.
Keinginan Banu Gassan mendapat otonomi dari Rumawi, dan
Banu Lakhm dari Persia, serta keduanya yang sama-sama
beragama Nasrani itu, namun ternyata semua itu tak dapat
menyatukan mereka. Bahkan peperangan antara Banu Gassan dan
Banu Lakhm terus berkecamuk, seperti halnya antara Persia
dengan Rumawi yang juga tiada hentinya. Bukankah kehidupan
kabilah itu juga yang menjadi tulang punggung kemakmuran
orang-orang Arab? Seperti halnya dengan kabilah-kabilah Arab
Semenanjung yang saling berperang, kabilah-kabilah Arab
pedalaman Syam juga saling berperang.
Banu Lakhm dan Banu Gassan berada di
puncak kejayaannya
Pada pertiga pertama abad keenam Masehi Banu Lakhm di
Irak telah mencapai puncak kejayaannya, demikian juga Banu
Gassan di Syam. Itu terjadi pada masa al-Munzir III dari
Banu Lakhm dan masa al-Haris bin Jabalah dari Banu Gassan.
Al-Munzir III putra Ma'us-Sama' menaiki takhta kerajaan pada
tahun 513 sampai 562 pada masa Kobad (Kavadh), kemudian
Kisra (Khosrau) Anusyirwan. Al-Haris bin Jabalah suami Maria
Zat al-Qurtain, raja Banu Gassan antara tahun 529 dan 572 M.
pada masa Justinian, kemudian masa Justin II. Al-Haris ini
dijuluki "al-A'raj" (yang pincang), juga dinamai al-Haris
"al-Wahhab" (yang dermawan).
Pada waktu itu perang masih terus berlangsung antara
Persia yang bersekutu dengan Munzir, dengan Rumawi yang
bersekutu dengan Haris. Dalam perang ini posisi Munzir
sangat kuat, sehingga karenanya dalam perjanjian damai
antara Persia dengan Rumawi, pihak Rumawi harus membayar
upeti tiap tahun kepada Munzir.
Perjanjian damai ini bertahan lama. Sementara itu pihak
Rumawi sudah memperkuat diri sehingga Kisra merasa khawatir
juga. Tetapi Munzir sekutunya mendapat dorongan untuk
memerangi Haris sampai akhirnya ia dapat mengalahkannya.
Setelah itu perang pun Rumawi-Persia berkecamuk lagi sampai
tahun 562 M. Dalam pada itu Munzir memang tak pernah lepas
dari perang; memerangi musuh-musuhnya dan musuh Persia. Ia
mengadakan penyusupan ke koloni-koloni Rumawi sampai ke
perbatasan Mesir.
Kekuatan Munzir tidak berkurang dibandingkan dengan
kekuatan Haris di pihak Rumawi. Sungguhpun begitu ia
dipandang tetap mampu menghadapi Irak. Karena itu, sejak
tahun 529 Kaisar Justinian mengangkatnya sebagai penguasa
atas semua kabilah Arab di Suria dengan gelar Phylarque
et Patrice,12 suatu gelar sesudah gelar
gubernur Rumawi di Syam.
Dalam hal ini terpikir oleh Haris ingin melepaskan diri
dari Munzir. Kalaupun dalam medan perang ia tak mampu, maka
senjata lain yang dapat digunakan ialah dengan jalan
mengecohnya. Sementara perang antara keduanya masih
berkecamuk, suatu hari ia mengirim pasukan sebagai utusan
yang terdiri dari seratus orang bersama putrinya yang masih
gadis Halimah untuk bertemu dengan raja Hirah itu dan
melaporkan bahwa raja Gassan bersedia tunduk kepadanya.
Salah seorang dari mereka menggunakan kesempatan ini dengan
menyergap Munzir dan membunuhnya. Ketika itu tentara Irak
jadi panik. Tetapi pasukan Haris segera menyerang dan
membuat mereka porak-poranda. Peristiwa itulah yang kemudian
disebut "Peristiwa Halimah."13
Orang-orang Arab yang tinggal di pedalaman Syam dan
sekitarnya yang berdekatan dengan Irak dan Syam waktu itu
sedang berada di puncak kejayaannya. Kejayaan demikian
dengan segala keagungannya itu tampak dalam sastra jahiliah.
Nama Munzir inilah yang dihubungkan dengan "hari bahagia dan
hari sial." Dialah yang membunuh Ubaid al-Abras pada hari
sialnya, dan dia pula yang ada hubungannya dengan cerita
Syarik bin Amr. Banyak penyair Semenanjung yang
mengunjunginya. Haris ini sezaman dengan penyair an-Nabigah
az-Zubyani dan Alqamah al-Fahl.
Raja Hirah yang terakhir
Amr bin Hindun kemudian menjadi raja Irak menggantikan
ayahnya al-Munzir III. Pada tahun ke-9 ia memegang
kekuasaan, Rasulullah lahir. Sesudah Amr, kemudian
berturut-turut yang naik takhta raja Hirah anak-anak
al-Munzir sampai naiknya Abu Qabus an-Nu'man anak al-Munzir
IV, teman penyair al-A'sya Maimun bin Qais, - antara tahun
583 dan 605 M. Kerajaan Nu'man di Persia meluas sampai
Tigris, tempat dibangunnya kota an-Nu'maiya di dekat
Ctesiphon, ibu kota Kisra. Meskipun mukanya buruk Nu'man
hidup dalam serba mewah dan kesukaannya yang enak-enak dan
hidup senang. Ia mengawini istri ayahnya al-Mutajarridah
yang amat cantik. Al-Munakhkhal al-Yasykari juga mencintai
perempuan itu, tetapi oleh Nu'man laki-laki itu dibunuh.
Nu'man membangun taman-taman bunga dan mendatangkan berbagai
macam bunga ke sana. Bunga syaqa'iq an-nu'man (bunga
anemone) itu dianggap berasal dari taman ini.
Rupanya Kisra Parvez tidak senang dengan kekuasaan yang
telah dicapai oleh Nu'man dengan segala kesenangannya itu.
Ia dipenjarakan kemudian dibunuh. Selanjutnya semua
kekuasaan Banu Lakhm dikikis habis. Sebagai gantinya yang
menjadi raja Hirah ialah Iyas bin Qubaisah, bersama-sama
dengan seorang marzaban Persia bernama Bahrajan. Pada masa
Iyas inilah Nabi diangkat sebagai rasul, dan pada masanya
juga terjadi peristiwa Zu Qar. Iyas adalah raja terakhir.
Sesudah dia Dazuweh orang Persia diangkat sebagai marzaban,
kuasa Kisra di Irak.
Perang Zu Qar menjadi cerita Arab yang turun-temurun.
Disebutkan bahwa Nu'man bin al-Munzir menitipkan hartanya
kepada Hani' bin Qubaisah ketika mengetahui kemarahan Kisra.
Setelah Nu 'man dibunuh Kisra menuntut harta titipan itu,
tetapi Hani menolak. Terbunuhnya Nu'man itu menimbulkan
kemarahan Banu Bakr bin Wa'il. Mereka menyerang pedesaan
Irak dan melakukan penjarahan. Kisra bermaksud hendak
menghajar mereka. Ketika itu kekuatan keduanya bertemu di Zu
Qar. Pihak Arab mendapat kemenangan besar menghadapi Persia.
Disebutkan bahwa Nabi berkata mengenai peristiwa Zu Qar
itu:
"lnilah hari pertama orang Arab menuntut keadilan dari
Ajam dan dapat mengalahkan mereka untukku;"14
sebab Nabi diutus sebagai rasul ketika terjadi peristiwa Zu
Qar itu.
Banu Gassan, sampai akhir
kekuasaannya
Demikianlah nasib Banu Lakhm di Irak. Sebaliknya Banu
Gassan di Syam, mereka tetap memegang kekuasaan, amir demi
amir sampai kepada Jabalah bin al-Aiham sebagai penguasa
Arab Syam ketika Umar bin Khattab memasuki Irak. Di antara
mereka yang berkuasa ialah Amr al-Asgar pada tahun 587 M.
Ketika melarikan diri dari Nu'man bin al-Munzir penguasa
Hirah, Nabigah az-Zubyani (penyair terkemuka) berlindung
kepadanya. Sesudah dia Abu Karib an-Nu'man VI anak Haris
al-Asgar yang berkuasa. Ia disanjung-sanjung oleh Nabigah
dengan sajak-sajaknya yang terbaik. Kemudian naik pula
beberapa amir yang menandakan banyaknya jumlah mereka dalam
membagi-bagi kerajaan Banu Gassan di Syam itu, yang akhirnya
sampai kepada Aiham II, kemudian anaknya Jabalah bin
al-Aiham.
Sudah sejak lama kekuasaan di Syam itu dibagi-bagi
menjadi sekian banyak amir. Barangkali memang sudah menjadi
politik Rumawi supaya jangan ada perlawanan menentang
kekuasaannya jika mereka bersatu. Hal ini diperkuat oleh tak
adanya ibu kota Banu Gassan di Syam, seperti halnya dengan
Hirah ibu kota Banu Lakhm di Irak. Bahkan al-Jabiah, Tadmur,
Jaulan, Jillaq di dekat Damsyik, masing-masing punya ibu
kota sendiri. Yang demikian ini sejalan dengan politik
pemerintah pusat yang sudah menjadi ketentuan imperium
Rumawi, seperti halnya dengan perluasaan kekuasaan penguasa
Hirah yang sejalan dengan politik desentralisasi imperium
Persia.
Di atas sudah kita sebutkan bahwa Arab Irak dan Arab Syam
itu sangat berpegang teguh pada kebebasan pribadi dan pada
tata cara Arabnya. Oleh karena itu bahasa penduduk kawasan
Semenanjung itu adalah bahasa mereka sendiri. Di Irak,
bahasa Persia tak mampu menghapusnya, dan di Syam bahasa
Yunani dan Latin tak pula mampu menggesernya. Itu sebabnya
hubungan raja-raja di Hirah dengan raja-raja Banu Gassan di
Semenanjung itu tetap kuat. Mereka yang masih mengagungkan
raja-raja dan memperoleh hadiah-hadiah penghargaan adalah
para penyair Semenanjung itu. Buku-buku sastra dan
kumpulan-kumpulan puisi oleh penyair-penyair semacam Nabigah
az-Zubyani, A'sya Qais, Alqamah al-Fahl dan yang lain banyak
berkisah tentang raja-raja dan kedermawanan mereka serta
sampai berapa jauh kebudayaan dan kemewahan pada zaman
mereka itu. Penyair Nabi, Hassan bin Sabit, sebelum Islam
erat sekali berhubungan dengan Jabalah bin al-Aiham.
Orang-orang Arab yang pindah dari Semenanjung ke
pedalaman Syam itu tetap memelihara ciri-ciri mereka yang
khas, adat istiadat serta bahasa Arab. Mereka itulah yang
menjadi pelopor dalam merintis jalan terbentuknya kedaulatan
Islam. Nanti akan kita lihat bagaimana orang-orang Arab itu
sering sekali bergabung ke dalam pasukan Muslimin, dan
bagaimana pula mereka yang tadinya sekutu-sekutu Rumawi dan
Persia itu berperang di barisan Muslimin.
Persia dan Rumawi setelah hancurnya
kekuasaan Barat
Terpengaruhkah hubungan Persia-Rumawi untuk menghabiskan
kerajaan Hirah? Tidak! Perang antara kedua mereka tetap
berlangsung sesudah itu, perang yang memang sudah berjalan
tak berkesudahan selama tujuh abad terus-menerus. Imperium
Rumawi yang pada waktu itu merupakan ajang kegelisahan dan
kekacauan, mendorong Persia untuk menyerang Syam. Phocas,
Kaisar Rumawi ketika itu, sedang sibuk menghadapi
pemberontakan Heraklius kepadanya. Oleh karena itu pasukan
Persia makin merajalela memasuki daerah Syam, yang kemudian
mereka kuasai dan terus menyusur ke Baitulmukadas. Beberapa
kota yang mereka kepung kemudian dengan jalan kekerasan
mereka duduki pula. Tatkala Persia sedang menuju ke
Baitulmukadas itu Heraklius turun tangan, tetapi ia tak
dapat membendung mereka atau mencegah tindakan mereka
merusak segala peninggalan Kristen dan Yahudi di kota
Yerusalem itu. Di samping itu pihak Yahudi ternyata
bergabung dengan pihak Majusi dan membantunya dalam
memerangi kaum Nasrani. Sesudah keadaan di Syam stabil,
Persia menyerbu Mesir dan menggantikan kekuasaan Rumawi.
Mengenai kemenangan-kemenangan Persia yang terus-menerus
terhadap Rumawi ini, Allah berfirman:
"Alif Lam Mim. Kerajaan Rumawi telah dikalahkan. Di
negeri yang dekat; tetapi setelah mengalami kekalahan mereka
akan menang; dalam beberapa tahun lagi. Keputusan pada
Allah, di masa silam dan di masa depan; dan pada hari
orang-orang beriman akan bergembira, dengan pertolongan
Allah." (Qur'an, 30. 1-5).
Mahabenar Allah. Dalam beberapa tahun kemudian Heraklius
kembali memerangi Persia. Mereka dikeluarkan dari Mesir dan
dari Syam. Mereka diusir sampai ke Mada'in (Ctesiphon).
Salib Besar (The True Cross) pun dapat direbutnya kembali,
yang kemudian dikembalikannya ke Baitulmukadas dalam upacara
besar-besaran. Kekuasaan Persia jadi porakporanda dan
kemenangan Rumawi itu kelak memberi dampak besar kepada
orang Arab dalam merintis penyiaran dan kedaulatan
Islam.
Sikap Abu Bakr tentang Persia dan
Rumawi
Apa yang telah menimpa Rumawi, dan kemudian menimpa
Persia, bukan tidak diketahui oleh penduduk Mekah dan
Medinah. Juga mereka sudah tahu mengenai orang-orang Arab
saudara sepupu mereka di pedalaman Syam dan yang bertetangga
dengan Irak dan Syam itu. Bagi mereka kedua imperium besar
itu bukan masalah. Lebih-lebih lagi setelah ada seorang nabi
tampil dari kalangan Arab dan bergabungnya negerinegeri Arab
di bawah panji Islam. Tetapi sungguhpun begitu, pihak Arab
sendiri tak terdorong atau terpikir untuk menyerangnya,
sekalipun mereka yakin bahwa Semenanjung itu harus merdeka
dari Persia dan Rumawi, dan kemerdekaan itu kemudian harus
dipertahankan.
Oleh karena itu, Yaman dan daerah selatan seluruhnya
harus lepas dari genggaman Persia. Di samping itu, sebagian
besar tujuan Rasulullah alaihissalam untuk mengamankan
perbatasan negeri Arab di utara itu dari tentara Rumawi. Tak
terlintas dalam pikiran kaum Muslimin bahwa mereka akan
menyerbu Syam, atau ajakan Nabi kepada Heraklius supaya
masuk Islam itu menjadi alasan untuk masuk ke sana. Akan
berpegang pada kebijaksanaan inikah Abu Bakr dengan tidak
melampauinya, sedang Rasulullah sudah memberi teladan yang
begitu baik buat dia? Ataukah mau untung-untungan saja
memerangi Kaisar itu, sebab pertolongan Allah akan diberikan
kepada siapa saja?
Inilah yang terlintas dalam pikiran Abu Bakr tatkala ia
mendapat kemenangan menumpas kaum murtad. Sejak Khalid bin
Walid berhasil membungkam Musailimah di Yamamah, Muhajir bin
Abi Umayyah dan Ikrimah bin Abi Jahl berjaya mengibarkan
panji Islam di Yaman dan sekitarnya, seluruh Semenanjung itu
yakin bahwa dengan izin Allah kemenangan akan di tangan Abu
Bakr, Khalifah Rasulullah. Tetapi Abu Bakr rupanya cukup
arif untuk tidak dininabobokkan oleh kemenangan itu lalu
melupakan dendam yang masih tersembunyi dalam hati
orang-orang Arab yang kemudian akan dapat menimbulkan
gejolak lagi. Ataukah akan lebih baik jika mengarahkan
perhatian orang-orang Arab itu ke balik perbatasan
Semenanjung sehingga mereka lupa akan segala dendam itu?! Di
pedalaman Syam kabilah-kabilah Arab itu tersebar di
mana-mana. Mereka itulah yang seharusnya menyambut seruan
agama baru ini seperti orang-orang Arab di Semenanjung.
Barangkali kabilah-kabilah itu jika mendengarkan seruan ini
- karena bagaimanapun juga masih ada pertaliannya dengan
leluhur - akan mengingatkan mereka ke masa silam, lalu
cepat-cepat mengikuti saudara sepupunya yang sudah mendapat
petunjuk Allah kepada agama yang benar, dan ikut
bersama-sama mengucapkan kalimat syahadat, bahwa tiada tuhan
selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.
Pikiran Abu Bakr setelah perang
Riddah
Pikiran itulah yang mempengaruhi Abu Bakr ketika ia
sedang di rumahnya yang amat bersahaja itu di Medinah,
ketika sedang berada dalam majelis di mesjid, juga ketika ia
sedang menyusup ke pelosok-pelosok kawasan miskin dengan
menyamar di tengah malam. Ia membantu kaum duafa, mengobati
orang yang menderita luka dan menenteramkan kaum fakir
miskin yang sedang merintih. Abu Bakr tak pernah berpikir
tentang dirinya, ingin memegang kekuasaan sendiri atau
kekuasaan yang lebih besar. Tetapi yang diinginkannya supaya
Muslimin merasa tenteram dengan agamanya dan dengan
kebebasan berdakwah. Kaum Muslimin akan merasa puas apabila
hukum berjalan atas dasar keadilan mutlak, lepas dari segala
pengaruh nafsu. Hukum atas dasar ini akan berjalan bila
pihak penegak hukum atau penguasa dapat menempatkan diri di
atas kepentingan pribadi, bila keadilan dan kasih sayang
berjalan seiring.
Pegangan Abu Bakr dalam mengendalikan pemerintahan ialah
altruisma - melepaskan kepentingan pribadi - dan bekerja
hanya demi Allah semata. Ia merasakan apa yang menjadi beban
si lemah, apa yang diperlukan orang yang sedang dalam
kekurangan, dan dengan rasa keadilannya ia dapat mengatasi
segala nafsu pribadi. Untuk semua itu ia lupa dirinya
sendiri, ia lupa anak-anak dan keluargunya. Di samping semua
itu, ia mengikuti segala persoalan negara sampai ke soal
yang sekecil-kecilnya, dengan segala kejelian dan
kepekaannya.
Kebijaksanaan Abu Bakr pada tahun pertama sebagai
Khalifah hampir sepenuhnya hanya untuk menumpas kaum murtad
dan pemimpin-pemimpinnya. Masih adakah kaum Muslimin yang
tinggal di Medinah yang masih mempersoalkan perbedaan
pendapat sementara keluarga mereka semua sudah berangkat
dalam dinas militer untuk menumpas pemberontakan dan segala
pengacauan, dan dalam pada itu mereka terus mengikuti
beritaberita dan berdoa untuk kemenangan mereka!?
Abu Bakr mengangkat Umar bin Khattab untuk bidang
kehakiman di Medinah. Selama setahun penuh memegang jabatan
itu ia pernah berselisih dalam menghadapi berbagai perkara.
Abu Ubaidah bin al-Jarrah diserahi bidang keuangan yang
diterima dari zakat, mengawasi pembagiannya sesuai dengan
keperluan kaum Muslimin. Tugas Usman bin Affan sebagai
sekretaris Khalifah, di samping Zaid bin Sabit. Wakil-wakil
Khalifah di beberapa daerah dan kabilah sudah dapat
dipercaya dan mereka mampu mengurus bidang administrasi.
Selanjutnya dalam menjalankan kebijakan mereka selalu
mengadakan kontak dengan Khalifah. Selama perang Riddah
berlangsung, korespondensi dengan mereka sudah sering kita
lihat. Kalau Abu Bakr memang sedang dalam kesibukan oleh
peperangan selama tahun pertama kekhalifahannya, maka untuk
memimpin jemaah haji tahun itu digantikan oleh Attab bin
Asid, wakilnya di Mekah.
Pikiran Abu Bakr dalam soal apa pun tak dapat diganggu
kecuali jika ada hubungannya dengan perang Riddah, seperti
sudah kita singgung ketika membahas masalah tersebut di
atas. Tetapi sesudah kaum murtad itu sekarang tak berdaya,
tak ada lagi penduduk kota dan pedalaman yang mau peduli
atau merasa takut akan bahaya itu. Jadi, tidakkah lebih baik
buat Abu Bakr kini berspekulasi memerangi Kaisar? Kalau
tindakan ini yang diambilnya penduduk Arab Semenanjung itu
akan melupakan dendamnya, dan merupakan suatu kebanggaan
dapat menghilangkan rasa kebenciannya kepada kota Yasrib dan
penduduknya, dan selanjutnya membukakan jalan untuk
sama-sama menyampaikan dakwah ke segenap imperium Rumawi
yang begitu luas itu.
Serangan kepada Rumawi suatu risiko
besar
Tetapi memerangi Rumawi jika tak membawa kemenangan akan
merupakan suatu risiko besar. Tokoh-tokoh Muslimin di
Semenanjung akan berada dalam bahaya oleh pemberontakan yang
sudah dipadamkan selama perang Riddah. Dengan menantang
Rumawi dan kekuasaannya, berarti mengundang malapetaka baru
yang akan mengguncang pemerintahan Medinah. Mungkin juga
kaum Muslimin akan dibelokkan dari keyakinan agamanya.
Menghadapi Rumawi itu tidak mudah. Kalau Abu Bakr telah
mendapat kemenangan menghadapi kaum murtad di Semenanjung,
soalnya karena Islam telah mengikis paganisma (penyembahan
berhala) di sana. Mengenai beberapa faktor yang menyebabkan
Tulaihah, Musailimah dan Aswad memberontak, beberapa kabilah
berpendapat bahwa pemberontakan mereka itu menyalahi
perjanjian yang telah dibuat dengan Rasulullah, ketika
utusan mereka datang ke Medinah menyatakan masuk Islam dan
bergabung ke dalam panji Islam. Sedang orang-orang Rumawi,
mereka itu menganut agama Nasrani, Ahli Kitab seperti
Muslimin. Di samping itu, mereka merupakan kekuatan yang
mengendalikan roda politik dunia ketika itu.
Memang benar, antara Rumawi dengan Persia terjadi perang
berkepanjangan, yang akan memakan waktu sampai
bertahun-tahun. Pada mulanya kemenangan berada di pihak
Persia, tetapi kemudian berakhir dengan kemenangan di tangan
Rumawi. Peperangan ini tidak sedikit menghabiskan tenaga
kedua kerajaan besar itu, dan untuk memulihkannya memerlukan
perjuangan berat selama bertahun-tahun. Tetapi kemenangan
dalam suatu peperangan adalah mahkota yang sinarnya akan
berkilauan di kepala si pemenang, dan karenanya, mata orang
akan jadi silau. Orang enggan memerangi pihak yang menang.
Masyarakat Arab ini tak pernah mencobakan nasibnya dalam
perang semacam itu dengan menghadapi risiko yang sangat
berbahaya, bahkan yang harus ditakuti.
Mengingat tak adanya hubungan Hijaz dengan Persia, perang
dengan kerajaan ini belum terlintas dalam pikiran Abu Bakr.
Pemurtadan itu berkecamuknya di negeri-negeri Arab yang
berbatasan dengan Persia. Abu Bakr tak dapat mempercayai
penduduk semacam itu untuk memerangi suatu kerajaan dengan
anggota pasukan yang begitu banyak dan perlengkapan yang
begitu besar, meskipun sudah dikalahkan oleh Rumawi.
Tidakkah lebih baik apabila Khalifah mencurahkan
perhatiannya untuk memantapkan keamanan sampai ke
pelosok-pelosok di Semenanjung itu, menggalang mereka semua
ke dalam satu persatuan, untuk menambah kekuatan, untuk
membuat politik yang lebih harmonis!
|