Abu Bakr As-Siddiq

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

XI. PERSIAPAN KE ARAH PERLUASAN DAN KEDAULATAN ISLAM (2/3)

Keterikatan orang Arab dengan kebebasan

Agama Nasrani adalah agama samawi, penganutnya adalah Ahli Kitab. Kemurniannya yang mula-mula diakui oleh Islam. Tidak heran jika orang Arab yang menganut agama itu di Irak dan di Syam menjadi garda depan yang merintis perjuangan suci bangsa itu dan yang merintis kedaulatan Islam.

Sungguhpun di Irak dan di Syam mereka sudah lebih dulu menganut agama Nasrani, tetapi ciri-ciri khas mereka tidak berubah. Mereka tidak meninggalkan kebebasan dan keterikatan mereka dengan tata cara kehidupan orang Arab. Ketika Mawiyah bint al-Arqam bin al-Haris II memerintah Syam pada akhir abad keempat Masehi, pihak Rumawi ingin menguasai kerajaan itu. Tetapi ia mengadakan perlawanan yang akhirnya pihak Rumawi meminta damai. Kemudian Mawiyah membantu mereka dengan pasukan berkuda untuk memerangi Goth yang ingin menyerbu mereka. Dan memang benar, dengan sangat terpuji pasukan Arab itu mati-matian mempertahankan Konstantinopel.

Keinginan Banu Gassan mendapat otonomi dari Rumawi, dan Banu Lakhm dari Persia, serta keduanya yang sama-sama beragama Nasrani itu, namun ternyata semua itu tak dapat menyatukan mereka. Bahkan peperangan antara Banu Gassan dan Banu Lakhm terus berkecamuk, seperti halnya antara Persia dengan Rumawi yang juga tiada hentinya. Bukankah kehidupan kabilah itu juga yang menjadi tulang punggung kemakmuran orang-orang Arab? Seperti halnya dengan kabilah-kabilah Arab Semenanjung yang saling berperang, kabilah-kabilah Arab pedalaman Syam juga saling berperang.

Banu Lakhm dan Banu Gassan berada di puncak kejayaannya

Pada pertiga pertama abad keenam Masehi Banu Lakhm di Irak telah mencapai puncak kejayaannya, demikian juga Banu Gassan di Syam. Itu terjadi pada masa al-Munzir III dari Banu Lakhm dan masa al-Haris bin Jabalah dari Banu Gassan. Al-Munzir III putra Ma'us-Sama' menaiki takhta kerajaan pada tahun 513 sampai 562 pada masa Kobad (Kavadh), kemudian Kisra (Khosrau) Anusyirwan. Al-Haris bin Jabalah suami Maria Zat al-Qurtain, raja Banu Gassan antara tahun 529 dan 572 M. pada masa Justinian, kemudian masa Justin II. Al-Haris ini dijuluki "al-A'raj" (yang pincang), juga dinamai al-Haris "al-Wahhab" (yang dermawan).

Pada waktu itu perang masih terus berlangsung antara Persia yang bersekutu dengan Munzir, dengan Rumawi yang bersekutu dengan Haris. Dalam perang ini posisi Munzir sangat kuat, sehingga karenanya dalam perjanjian damai antara Persia dengan Rumawi, pihak Rumawi harus membayar upeti tiap tahun kepada Munzir.

Perjanjian damai ini bertahan lama. Sementara itu pihak Rumawi sudah memperkuat diri sehingga Kisra merasa khawatir juga. Tetapi Munzir sekutunya mendapat dorongan untuk memerangi Haris sampai akhirnya ia dapat mengalahkannya. Setelah itu perang pun Rumawi-Persia berkecamuk lagi sampai tahun 562 M. Dalam pada itu Munzir memang tak pernah lepas dari perang; memerangi musuh-musuhnya dan musuh Persia. Ia mengadakan penyusupan ke koloni-koloni Rumawi sampai ke perbatasan Mesir.

Kekuatan Munzir tidak berkurang dibandingkan dengan kekuatan Haris di pihak Rumawi. Sungguhpun begitu ia dipandang tetap mampu menghadapi Irak. Karena itu, sejak tahun 529 Kaisar Justinian mengangkatnya sebagai penguasa atas semua kabilah Arab di Suria dengan gelar Phylarque et Patrice,12 suatu gelar sesudah gelar gubernur Rumawi di Syam.

Dalam hal ini terpikir oleh Haris ingin melepaskan diri dari Munzir. Kalaupun dalam medan perang ia tak mampu, maka senjata lain yang dapat digunakan ialah dengan jalan mengecohnya. Sementara perang antara keduanya masih berkecamuk, suatu hari ia mengirim pasukan sebagai utusan yang terdiri dari seratus orang bersama putrinya yang masih gadis Halimah untuk bertemu dengan raja Hirah itu dan melaporkan bahwa raja Gassan bersedia tunduk kepadanya. Salah seorang dari mereka menggunakan kesempatan ini dengan menyergap Munzir dan membunuhnya. Ketika itu tentara Irak jadi panik. Tetapi pasukan Haris segera menyerang dan membuat mereka porak-poranda. Peristiwa itulah yang kemudian disebut "Peristiwa Halimah."13

Orang-orang Arab yang tinggal di pedalaman Syam dan sekitarnya yang berdekatan dengan Irak dan Syam waktu itu sedang berada di puncak kejayaannya. Kejayaan demikian dengan segala keagungannya itu tampak dalam sastra jahiliah. Nama Munzir inilah yang dihubungkan dengan "hari bahagia dan hari sial." Dialah yang membunuh Ubaid al-Abras pada hari sialnya, dan dia pula yang ada hubungannya dengan cerita Syarik bin Amr. Banyak penyair Semenanjung yang mengunjunginya. Haris ini sezaman dengan penyair an-Nabigah az-Zubyani dan Alqamah al-Fahl.

Raja Hirah yang terakhir

Amr bin Hindun kemudian menjadi raja Irak menggantikan ayahnya al-Munzir III. Pada tahun ke-9 ia memegang kekuasaan, Rasulullah lahir. Sesudah Amr, kemudian berturut-turut yang naik takhta raja Hirah anak-anak al-Munzir sampai naiknya Abu Qabus an-Nu'man anak al-Munzir IV, teman penyair al-A'sya Maimun bin Qais, - antara tahun 583 dan 605 M. Kerajaan Nu'man di Persia meluas sampai Tigris, tempat dibangunnya kota an-Nu'maiya di dekat Ctesiphon, ibu kota Kisra. Meskipun mukanya buruk Nu'man hidup dalam serba mewah dan kesukaannya yang enak-enak dan hidup senang. Ia mengawini istri ayahnya al-Mutajarridah yang amat cantik. Al-Munakhkhal al-Yasykari juga mencintai perempuan itu, tetapi oleh Nu'man laki-laki itu dibunuh. Nu'man membangun taman-taman bunga dan mendatangkan berbagai macam bunga ke sana. Bunga syaqa'iq an-nu'man (bunga anemone) itu dianggap berasal dari taman ini.

Rupanya Kisra Parvez tidak senang dengan kekuasaan yang telah dicapai oleh Nu'man dengan segala kesenangannya itu. Ia dipenjarakan kemudian dibunuh. Selanjutnya semua kekuasaan Banu Lakhm dikikis habis. Sebagai gantinya yang menjadi raja Hirah ialah Iyas bin Qubaisah, bersama-sama dengan seorang marzaban Persia bernama Bahrajan. Pada masa Iyas inilah Nabi diangkat sebagai rasul, dan pada masanya juga terjadi peristiwa Zu Qar. Iyas adalah raja terakhir. Sesudah dia Dazuweh orang Persia diangkat sebagai marzaban, kuasa Kisra di Irak.

Perang Zu Qar menjadi cerita Arab yang turun-temurun. Disebutkan bahwa Nu'man bin al-Munzir menitipkan hartanya kepada Hani' bin Qubaisah ketika mengetahui kemarahan Kisra. Setelah Nu 'man dibunuh Kisra menuntut harta titipan itu, tetapi Hani menolak. Terbunuhnya Nu'man itu menimbulkan kemarahan Banu Bakr bin Wa'il. Mereka menyerang pedesaan Irak dan melakukan penjarahan. Kisra bermaksud hendak menghajar mereka. Ketika itu kekuatan keduanya bertemu di Zu Qar. Pihak Arab mendapat kemenangan besar menghadapi Persia. Disebutkan bahwa Nabi berkata mengenai peristiwa Zu Qar itu:

"lnilah hari pertama orang Arab menuntut keadilan dari Ajam dan dapat mengalahkan mereka untukku;"14 sebab Nabi diutus sebagai rasul ketika terjadi peristiwa Zu Qar itu.

Banu Gassan, sampai akhir kekuasaannya

Demikianlah nasib Banu Lakhm di Irak. Sebaliknya Banu Gassan di Syam, mereka tetap memegang kekuasaan, amir demi amir sampai kepada Jabalah bin al-Aiham sebagai penguasa Arab Syam ketika Umar bin Khattab memasuki Irak. Di antara mereka yang berkuasa ialah Amr al-Asgar pada tahun 587 M. Ketika melarikan diri dari Nu'man bin al-Munzir penguasa Hirah, Nabigah az-Zubyani (penyair terkemuka) berlindung kepadanya. Sesudah dia Abu Karib an-Nu'man VI anak Haris al-Asgar yang berkuasa. Ia disanjung-sanjung oleh Nabigah dengan sajak-sajaknya yang terbaik. Kemudian naik pula beberapa amir yang menandakan banyaknya jumlah mereka dalam membagi-bagi kerajaan Banu Gassan di Syam itu, yang akhirnya sampai kepada Aiham II, kemudian anaknya Jabalah bin al-Aiham.

Sudah sejak lama kekuasaan di Syam itu dibagi-bagi menjadi sekian banyak amir. Barangkali memang sudah menjadi politik Rumawi supaya jangan ada perlawanan menentang kekuasaannya jika mereka bersatu. Hal ini diperkuat oleh tak adanya ibu kota Banu Gassan di Syam, seperti halnya dengan Hirah ibu kota Banu Lakhm di Irak. Bahkan al-Jabiah, Tadmur, Jaulan, Jillaq di dekat Damsyik, masing-masing punya ibu kota sendiri. Yang demikian ini sejalan dengan politik pemerintah pusat yang sudah menjadi ketentuan imperium Rumawi, seperti halnya dengan perluasaan kekuasaan penguasa Hirah yang sejalan dengan politik desentralisasi imperium Persia.

Di atas sudah kita sebutkan bahwa Arab Irak dan Arab Syam itu sangat berpegang teguh pada kebebasan pribadi dan pada tata cara Arabnya. Oleh karena itu bahasa penduduk kawasan Semenanjung itu adalah bahasa mereka sendiri. Di Irak, bahasa Persia tak mampu menghapusnya, dan di Syam bahasa Yunani dan Latin tak pula mampu menggesernya. Itu sebabnya hubungan raja-raja di Hirah dengan raja-raja Banu Gassan di Semenanjung itu tetap kuat. Mereka yang masih mengagungkan raja-raja dan memperoleh hadiah-hadiah penghargaan adalah para penyair Semenanjung itu. Buku-buku sastra dan kumpulan-kumpulan puisi oleh penyair-penyair semacam Nabigah az-Zubyani, A'sya Qais, Alqamah al-Fahl dan yang lain banyak berkisah tentang raja-raja dan kedermawanan mereka serta sampai berapa jauh kebudayaan dan kemewahan pada zaman mereka itu. Penyair Nabi, Hassan bin Sabit, sebelum Islam erat sekali berhubungan dengan Jabalah bin al-Aiham.

Orang-orang Arab yang pindah dari Semenanjung ke pedalaman Syam itu tetap memelihara ciri-ciri mereka yang khas, adat istiadat serta bahasa Arab. Mereka itulah yang menjadi pelopor dalam merintis jalan terbentuknya kedaulatan Islam. Nanti akan kita lihat bagaimana orang-orang Arab itu sering sekali bergabung ke dalam pasukan Muslimin, dan bagaimana pula mereka yang tadinya sekutu-sekutu Rumawi dan Persia itu berperang di barisan Muslimin.

Persia dan Rumawi setelah hancurnya kekuasaan Barat

Terpengaruhkah hubungan Persia-Rumawi untuk menghabiskan kerajaan Hirah? Tidak! Perang antara kedua mereka tetap berlangsung sesudah itu, perang yang memang sudah berjalan tak berkesudahan selama tujuh abad terus-menerus. Imperium Rumawi yang pada waktu itu merupakan ajang kegelisahan dan kekacauan, mendorong Persia untuk menyerang Syam. Phocas, Kaisar Rumawi ketika itu, sedang sibuk menghadapi pemberontakan Heraklius kepadanya. Oleh karena itu pasukan Persia makin merajalela memasuki daerah Syam, yang kemudian mereka kuasai dan terus menyusur ke Baitulmukadas. Beberapa kota yang mereka kepung kemudian dengan jalan kekerasan mereka duduki pula. Tatkala Persia sedang menuju ke Baitulmukadas itu Heraklius turun tangan, tetapi ia tak dapat membendung mereka atau mencegah tindakan mereka merusak segala peninggalan Kristen dan Yahudi di kota Yerusalem itu. Di samping itu pihak Yahudi ternyata bergabung dengan pihak Majusi dan membantunya dalam memerangi kaum Nasrani. Sesudah keadaan di Syam stabil, Persia menyerbu Mesir dan menggantikan kekuasaan Rumawi. Mengenai kemenangan-kemenangan Persia yang terus-menerus terhadap Rumawi ini, Allah berfirman:

"Alif Lam Mim. Kerajaan Rumawi telah dikalahkan. Di negeri yang dekat; tetapi setelah mengalami kekalahan mereka akan menang; dalam beberapa tahun lagi. Keputusan pada Allah, di masa silam dan di masa depan; dan pada hari orang-orang beriman akan bergembira, dengan pertolongan Allah." (Qur'an, 30. 1-5).

Mahabenar Allah. Dalam beberapa tahun kemudian Heraklius kembali memerangi Persia. Mereka dikeluarkan dari Mesir dan dari Syam. Mereka diusir sampai ke Mada'in (Ctesiphon). Salib Besar (The True Cross) pun dapat direbutnya kembali, yang kemudian dikembalikannya ke Baitulmukadas dalam upacara besar-besaran. Kekuasaan Persia jadi porakporanda dan kemenangan Rumawi itu kelak memberi dampak besar kepada orang Arab dalam merintis penyiaran dan kedaulatan Islam.

Sikap Abu Bakr tentang Persia dan Rumawi

Apa yang telah menimpa Rumawi, dan kemudian menimpa Persia, bukan tidak diketahui oleh penduduk Mekah dan Medinah. Juga mereka sudah tahu mengenai orang-orang Arab saudara sepupu mereka di pedalaman Syam dan yang bertetangga dengan Irak dan Syam itu. Bagi mereka kedua imperium besar itu bukan masalah. Lebih-lebih lagi setelah ada seorang nabi tampil dari kalangan Arab dan bergabungnya negerinegeri Arab di bawah panji Islam. Tetapi sungguhpun begitu, pihak Arab sendiri tak terdorong atau terpikir untuk menyerangnya, sekalipun mereka yakin bahwa Semenanjung itu harus merdeka dari Persia dan Rumawi, dan kemerdekaan itu kemudian harus dipertahankan.

Oleh karena itu, Yaman dan daerah selatan seluruhnya harus lepas dari genggaman Persia. Di samping itu, sebagian besar tujuan Rasulullah alaihissalam untuk mengamankan perbatasan negeri Arab di utara itu dari tentara Rumawi. Tak terlintas dalam pikiran kaum Muslimin bahwa mereka akan menyerbu Syam, atau ajakan Nabi kepada Heraklius supaya masuk Islam itu menjadi alasan untuk masuk ke sana. Akan berpegang pada kebijaksanaan inikah Abu Bakr dengan tidak melampauinya, sedang Rasulullah sudah memberi teladan yang begitu baik buat dia? Ataukah mau untung-untungan saja memerangi Kaisar itu, sebab pertolongan Allah akan diberikan kepada siapa saja?

Inilah yang terlintas dalam pikiran Abu Bakr tatkala ia mendapat kemenangan menumpas kaum murtad. Sejak Khalid bin Walid berhasil membungkam Musailimah di Yamamah, Muhajir bin Abi Umayyah dan Ikrimah bin Abi Jahl berjaya mengibarkan panji Islam di Yaman dan sekitarnya, seluruh Semenanjung itu yakin bahwa dengan izin Allah kemenangan akan di tangan Abu Bakr, Khalifah Rasulullah. Tetapi Abu Bakr rupanya cukup arif untuk tidak dininabobokkan oleh kemenangan itu lalu melupakan dendam yang masih tersembunyi dalam hati orang-orang Arab yang kemudian akan dapat menimbulkan gejolak lagi. Ataukah akan lebih baik jika mengarahkan perhatian orang-orang Arab itu ke balik perbatasan Semenanjung sehingga mereka lupa akan segala dendam itu?! Di pedalaman Syam kabilah-kabilah Arab itu tersebar di mana-mana. Mereka itulah yang seharusnya menyambut seruan agama baru ini seperti orang-orang Arab di Semenanjung. Barangkali kabilah-kabilah itu jika mendengarkan seruan ini - karena bagaimanapun juga masih ada pertaliannya dengan leluhur - akan mengingatkan mereka ke masa silam, lalu cepat-cepat mengikuti saudara sepupunya yang sudah mendapat petunjuk Allah kepada agama yang benar, dan ikut bersama-sama mengucapkan kalimat syahadat, bahwa tiada tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.

Pikiran Abu Bakr setelah perang Riddah

Pikiran itulah yang mempengaruhi Abu Bakr ketika ia sedang di rumahnya yang amat bersahaja itu di Medinah, ketika sedang berada dalam majelis di mesjid, juga ketika ia sedang menyusup ke pelosok-pelosok kawasan miskin dengan menyamar di tengah malam. Ia membantu kaum duafa, mengobati orang yang menderita luka dan menenteramkan kaum fakir miskin yang sedang merintih. Abu Bakr tak pernah berpikir tentang dirinya, ingin memegang kekuasaan sendiri atau kekuasaan yang lebih besar. Tetapi yang diinginkannya supaya Muslimin merasa tenteram dengan agamanya dan dengan kebebasan berdakwah. Kaum Muslimin akan merasa puas apabila hukum berjalan atas dasar keadilan mutlak, lepas dari segala pengaruh nafsu. Hukum atas dasar ini akan berjalan bila pihak penegak hukum atau penguasa dapat menempatkan diri di atas kepentingan pribadi, bila keadilan dan kasih sayang berjalan seiring.

Pegangan Abu Bakr dalam mengendalikan pemerintahan ialah altruisma - melepaskan kepentingan pribadi - dan bekerja hanya demi Allah semata. Ia merasakan apa yang menjadi beban si lemah, apa yang diperlukan orang yang sedang dalam kekurangan, dan dengan rasa keadilannya ia dapat mengatasi segala nafsu pribadi. Untuk semua itu ia lupa dirinya sendiri, ia lupa anak-anak dan keluargunya. Di samping semua itu, ia mengikuti segala persoalan negara sampai ke soal yang sekecil-kecilnya, dengan segala kejelian dan kepekaannya.

Kebijaksanaan Abu Bakr pada tahun pertama sebagai Khalifah hampir sepenuhnya hanya untuk menumpas kaum murtad dan pemimpin-pemimpinnya. Masih adakah kaum Muslimin yang tinggal di Medinah yang masih mempersoalkan perbedaan pendapat sementara keluarga mereka semua sudah berangkat dalam dinas militer untuk menumpas pemberontakan dan segala pengacauan, dan dalam pada itu mereka terus mengikuti beritaberita dan berdoa untuk kemenangan mereka!?

Abu Bakr mengangkat Umar bin Khattab untuk bidang kehakiman di Medinah. Selama setahun penuh memegang jabatan itu ia pernah berselisih dalam menghadapi berbagai perkara. Abu Ubaidah bin al-Jarrah diserahi bidang keuangan yang diterima dari zakat, mengawasi pembagiannya sesuai dengan keperluan kaum Muslimin. Tugas Usman bin Affan sebagai sekretaris Khalifah, di samping Zaid bin Sabit. Wakil-wakil Khalifah di beberapa daerah dan kabilah sudah dapat dipercaya dan mereka mampu mengurus bidang administrasi. Selanjutnya dalam menjalankan kebijakan mereka selalu mengadakan kontak dengan Khalifah. Selama perang Riddah berlangsung, korespondensi dengan mereka sudah sering kita lihat. Kalau Abu Bakr memang sedang dalam kesibukan oleh peperangan selama tahun pertama kekhalifahannya, maka untuk memimpin jemaah haji tahun itu digantikan oleh Attab bin Asid, wakilnya di Mekah.

Pikiran Abu Bakr dalam soal apa pun tak dapat diganggu kecuali jika ada hubungannya dengan perang Riddah, seperti sudah kita singgung ketika membahas masalah tersebut di atas. Tetapi sesudah kaum murtad itu sekarang tak berdaya, tak ada lagi penduduk kota dan pedalaman yang mau peduli atau merasa takut akan bahaya itu. Jadi, tidakkah lebih baik buat Abu Bakr kini berspekulasi memerangi Kaisar? Kalau tindakan ini yang diambilnya penduduk Arab Semenanjung itu akan melupakan dendamnya, dan merupakan suatu kebanggaan dapat menghilangkan rasa kebenciannya kepada kota Yasrib dan penduduknya, dan selanjutnya membukakan jalan untuk sama-sama menyampaikan dakwah ke segenap imperium Rumawi yang begitu luas itu.

Serangan kepada Rumawi suatu risiko besar

Tetapi memerangi Rumawi jika tak membawa kemenangan akan merupakan suatu risiko besar. Tokoh-tokoh Muslimin di Semenanjung akan berada dalam bahaya oleh pemberontakan yang sudah dipadamkan selama perang Riddah. Dengan menantang Rumawi dan kekuasaannya, berarti mengundang malapetaka baru yang akan mengguncang pemerintahan Medinah. Mungkin juga kaum Muslimin akan dibelokkan dari keyakinan agamanya. Menghadapi Rumawi itu tidak mudah. Kalau Abu Bakr telah mendapat kemenangan menghadapi kaum murtad di Semenanjung, soalnya karena Islam telah mengikis paganisma (penyembahan berhala) di sana. Mengenai beberapa faktor yang menyebabkan Tulaihah, Musailimah dan Aswad memberontak, beberapa kabilah berpendapat bahwa pemberontakan mereka itu menyalahi perjanjian yang telah dibuat dengan Rasulullah, ketika utusan mereka datang ke Medinah menyatakan masuk Islam dan bergabung ke dalam panji Islam. Sedang orang-orang Rumawi, mereka itu menganut agama Nasrani, Ahli Kitab seperti Muslimin. Di samping itu, mereka merupakan kekuatan yang mengendalikan roda politik dunia ketika itu.

Memang benar, antara Rumawi dengan Persia terjadi perang berkepanjangan, yang akan memakan waktu sampai bertahun-tahun. Pada mulanya kemenangan berada di pihak Persia, tetapi kemudian berakhir dengan kemenangan di tangan Rumawi. Peperangan ini tidak sedikit menghabiskan tenaga kedua kerajaan besar itu, dan untuk memulihkannya memerlukan perjuangan berat selama bertahun-tahun. Tetapi kemenangan dalam suatu peperangan adalah mahkota yang sinarnya akan berkilauan di kepala si pemenang, dan karenanya, mata orang akan jadi silau. Orang enggan memerangi pihak yang menang. Masyarakat Arab ini tak pernah mencobakan nasibnya dalam perang semacam itu dengan menghadapi risiko yang sangat berbahaya, bahkan yang harus ditakuti.

Mengingat tak adanya hubungan Hijaz dengan Persia, perang dengan kerajaan ini belum terlintas dalam pikiran Abu Bakr. Pemurtadan itu berkecamuknya di negeri-negeri Arab yang berbatasan dengan Persia. Abu Bakr tak dapat mempercayai penduduk semacam itu untuk memerangi suatu kerajaan dengan anggota pasukan yang begitu banyak dan perlengkapan yang begitu besar, meskipun sudah dikalahkan oleh Rumawi. Tidakkah lebih baik apabila Khalifah mencurahkan perhatiannya untuk memantapkan keamanan sampai ke pelosok-pelosok di Semenanjung itu, menggalang mereka semua ke dalam satu persatuan, untuk menambah kekuatan, untuk membuat politik yang lebih harmonis!

(sebelum, sesudah)


Abu Bakr As-Siddiq - Yang Lembut Hati
Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi
 
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
Penerbit P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel./Fax. (0251) 330505, Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-29-8
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. INTERMASA, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team