|
||
|
|
Dalam Pengantar buku ini sudah saya sebutkan bahwa pemerintahan Abu Bakr punya jati diri sendiri serta pembentukannya yang sempurna, mencakup segala kebesaran jiwa yang sungguh luar biasa, bahkan sangat menakjubkan. Barangkali pembaca yang sudah sampai pada bagian penutup ini, dan mempelajari pekerjaan raksasa yang berjalan selama masa yang sangat singkat itu akan sependapat dengan saya seperti yang sudah saya uraikan di atas. Kita sama-sama merenungkan sebentar dengan menarik suatu kesimpulan dari pelajaran berharga masa itu, untuk melihat bagaimana kebudayaan bangsa-bangsa itu beralih dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain dengan interaksi faktor-faktor sosial selama beberapa generasi dan gurun waktu. Bila sudah tiba saatnya yang sudah digariskan oleh takdir mau tak mau transisi demikian ini harus terjadi, dan tak ada kekuatan di dunia ini yang dapat membendung atau mengalihkannya.
Dua imperium besar yang salah satunya mewakili kebudayaan Barat dengan segala unsurnya berupa ideologi, sistem hukum, seni, ilmu dan filsafat. Yang satu lagi mewakili kebudayaan Timur dengan unsur-unsumya berupa ideologi, sistem hukum, seni, ilmu dan filsafat. Rumawi mewakili kebudayaan Latin, Yunani, Funisia dan Firaun, sedang Persia mewakili kebudayaan Iran, India dan beberapa aliran di Timur Jauh secara keseluruhan. Yang pertama membentang dari Eropa Tengah, bahkan jauh dari sebelah baratnya sampai ke sebelah timur Laut Tengah, kemudian menyeberang sampai berakhir di pedalaman Syam. Sedang kebudayaan Persia membentang dari Asia Tengah, bahkan jauh di sebelah timurnya sampai ke lembah Tigris dan Furat, kemudian menyeberang sampai berakhir di pedalaman Syam. Di daerah pedalaman inilah bertemunya kedua kebudayaan itu, dibatasi oleh daerah-daerah gersang dan tandus selain oleh beberapa kabilah yang berimigrasi dari Semenanjung Arab. Mereka berpindah-pindah di sepanjang kawasan itu dan kemudian bermuara ke Persia atau ke Rumawi, sesuai dengan mata pencarian yang mereka senangi, seperti yang mereka lakukan dulu. Mereka berpindah-pindah di seluruh Semenanjung itu kemudian tinggal di tempat yang banyak terdapat padang rumput.
Kedua imperium yang saling berperang itu sangat mempesonakan, tak pernah reda sepanjang abad, dengan kekuatan dan kebesarannya masing-masing. Selain perang, tak ada jalan lain yang dapat meredam nafsu mereka untuk mencapai kejayaan, untuk melengkapi nasib mereka meraih kemewahan dan kemakmuran hidup.
Adakah satu sama lain mereka masih kekurangan mata pencarian maka sampai memilih jalan perang, yang selama berabad-abad tak terhitung banyaknya darah mengalir, nyawa manusia melayang percuma? Tidak! Kedua imperium itu malah sudah berkecukupan dengan segala hasil negeri-negeri yang mereka kuasai. Rumawi misalnya, ia cukup makmur dengan mengeksploitasi Mesir dan daerah-daerah jajahan Kaisar yang lain, terdiri dari hasil bumi dan industri, di samping peninggalan-peninggalan berharga lainnya yang ada di Mesir dan negeri-negeri jajahan dengan segala wadi dan lembahnya yang tandus, padang sahara yang gersang, dari mana pula akan dapat membangkitkan suatu umat atau kedaulatan! Mana pula kabilah-kabilah atau suku-suku di pedalaman yang hidupnya hanya bergantung pada serang-menyerang dan perampokan itu, akan memikirkan suatu peradaban, apalagi hendak membangunnya! Ketika lainnya berupa ilmu, sastra dan seni. Demikian juga Persia, dapat pula menikmati hasil negeri-negeri yang berada di bawah kekuasaan Kisra, dan yang memasoknya dengan pelbagai macam hasil buminya. Tetapi kedua kekuatan ini satu sama lain menganggap dirinya yang paling berhak atas kekayaan itu, yang tak boleh diambil oleh yang lain, dan untuk itu apa salahnya merampasnya dari pihak lain. Bukankah di tangannya sudah ada kekuatan dan ia mampu melakukan kekerasan?!
Umat manusia, sebagai bangsa atau pribadi, masih ada.yang percaya pada kekuatan ini. Bukankah di antara kita masih ada yang melihat unsurunsur kemewahan itu sebagai suatu keperluan pokok yang tak boleh tidak harus ada? Sungguhpun begitu ia tak akan mengubah pandangannya. Bukankah ia sudah melihat tetangganya yang hanya hidup pas-pasan untuk dirinya dan keluarganya! Dan undang-undang disusun untuk membela kekuatan itu. Soalnya karena kekuatan itulah yang menjadi dasar undang-undang, dilaksanakan dan orang diharuskan menghormatinya. Demi undang-undang kekuatan itu diperoleh, yang dianggap perlu sekali demi kelanjutan hidupnya. Demi kekuatan dan demi peradaban untuk mencapai kemewahan hidup yang akan menjamin adanya tingkat yang pantas untuk kedudukan di tengah-tengah bangsa-bangsa lain, negara-negara itu lalu mengobarkan perang.
Itu sebabnya kedua imperium itu berperang selama tujuh abad terus menerus, yang membuat dunia terpesona karena kemampuan kekuatan mereka dan tingginya kebudayaan mereka. Kalah memang silih berganti di antara mereka, dan karena masing-masing sudah begitu hebat, tak ada di antara mereka yang menyerah kalah. Bangsa-bangsa kecil di sekitarnya hanya melihat saja kalah-menang yang bergantian di antara mereka. Yang hari ini kalah, besok gilirannya akan menang, dengan mengira bahwa nasib memang sudah menentukan keduanya harus tetap ada, dan keduanya merupakan kekuatan yang tetap stabil dalam peredaran alam, seperti matahari, bulan dan bintang-bintang.
Sementara bangsa-bangsa hanya mengenal dua nama itu, dan yang menjadi bahan pembicaraan hanya perilaku mereka, tiba-tiba ada satu umat bangkit, yang samasekali di luar dugaan mereka. Di Semenanjung Arab dengan segala wadi dan lembahnya yang tandus, padang sahara yang gersang, dari mana pula akan dapat membangkitkan suatu umat atau kedaulatan! Mana pula kabilah-kabilah atau suku-suku di pedalaman yang hidupnya hanya bergantung pada serang-menyerang dan perampokan itu, akan memikirkan suatu peradaban, apalagi hendak membangunnya! Ketika itu Kisra di Persia menamakan mereka tukang gembala unta dan kambing, dan Kaisar Rumawi melukiskan mereka sebagai orang-orang yang berkaki ayam, telanjang dan kelaparan. Dari mereka itukah, dari gembala-gembala yang berkaki ayam itukah kemudian lahir sebuah umat, yang oleh Rumawi dan Persia kemudian ternyata sangat diperhitungkan?!
Bagaimanapun juga, umat atau bangsa ini bangkit. Ia menghadapi dua singa raksasa, Rumawi dan Persia, yang dalam perang mereka kalah. Sepanjang yang sudah kita uraikan dalam buku ini dapat kita Iihat bahwa orang-orang Arab yang dapat mengalahkan kedua singa itu ternyata bukan disebabkan oleh perlengkapan senjata atau tenaga manusianya, melainkan mereka menang karena akidah yang tangguh, karena iman yang tak tergoyahkan. Dengan kemenangan itu kemudian berdiri sebuah kedaulatan Islam yang memikul beban kebudayaan dunia ini selama sepuluh abad berturut-turut, dan menyebarkan Islam ke segenap penjuru imperium itu sampai ke seberang: ke India, Tiongkok, Turkestan dan ke kerajaankerajaan lain di Asia, ke Mesir dan ke seberangnya sampai ke Samudera Atlantik di Afrika, ke Konstantinopel, ke Rusia, Spanyol dan beberapa bangsa lagi di Eropa.
Bagaimana keajaiban demikian ini terjadi!? Dengan jumlah orang-orang Arab yang kecil, kebudayaan mereka yang sangat bersahaja, ilmu dan seni yang masih terbelakang, bagaimana mereka sampai mendapat kemenangan menghadapi Persia dan Rumawi dengan jumlah yang begitu besar, kebudayaan, ilmu dan seni, yang sampai sekarang sejarah masih bicara dengan penuh takjub?! Adakah itu secara kebetulan saja, yang tak dapat ditafsirkan dari segi hukum alam? Tidak! Bilamana apa yang terjadi pada masa Abu Bakr itu suatu kebetulan, tentu ia tak akan bertahan dan berkesinambungan sepanjang sejarah. Tentu Persia dan Rumawi akan menghadang orang-orang Arab itu dan akan memukul mereka mundur. Tetapi kemajuan orang-orang Arab yang terjadi pada masa Umar dan Usman di bumi kedua imperium raksasa itu sampai dapat menghancurkan mereka, sudah tak perlu disangsikan lagi bahwa yang terjadi itu sudah dapat dipastikan merupakan ketentuan hukum alam. Oleh karena itu ia berlangsung wajar dan buahnya ialah kebudayaan Islam. Apa yang namanya kebetulan tidak akan menghasilkan kebudayaan serupa itu, yang berkembang di bawah naungan nilai-nilai kebudayaan. Kebudayaan Islam sudah dapat menghimpun segala ilmu, sastra, seni dan berbagai macam peradaban, menggantikan peradaban Yunani dengan segala ilmu, sastra, seni dan filsafatnya. Sebelum itu Yunani sendiri memang sudah mewarisi Mesir, Asiria dan kebudayaan umat manusia yang mula-mula.
Jadi memang sudah tak ada jalan lain. Terhadap gejala alam semesta yang besar ini kita harus mencari suatu penafsiran lain dari hukum alam supaya dapat mengungkapkan rahasia berdirinya kebudayaan ini dan berkembangnya pengaruh itu di dunia yang selama berabad-abad tetap hidup. Yang sudah menjadi hukum alam salah satunya ialah bahwa bangsabangsa dan kebudayaan-kebudayaan itu akan mengalami ketuaan seperti yang terjadi terhadap manusia. Bila sudah mulai mengalami ketuaan, jaringan-jaringan tubuhnya pun mulai mengalami kerusakan, lalu berangsur rapuh, kemudian sebagai gantinya akan muncul pula suatu bangsa baru yang masih muda dengan kebudayaan yang muda pula.
Di sana sini dalam buku ini sudah sering saya singgung bahwa faktor-faktor kerusakan dan kekacauan dari waktu ke waktu timbul di Persia dan di Rumawi. Pada abad keenam Masehi faktor-faktor ini sudah mengakar dan terasa makin berbahaya. Sebagai akibatnya, di Persia kekacauan itu timbul dalam istana, di sana sini tersebar intrik-intrik yang digerakkan oleh mereka yang berambisi ingin menduduki takhta. Ada pula untuk mencapai tujuan itu dengan jalan pengkhianatan. Bencana ini sudah dimulai dari atas, menjalar terus ke bawah. Kelompok-kelompok dan aliranaliran tumbuh subur. Orang jadi kehilangan pegangan karena sudah kebingungan. Mereka masing-masing hanyut hanya ingin memperkaya diri, dan dengan cara itu mereka mencari kedudukan dan kemewahan.
Masalahnya, di Persia terdapat kelompok-kelompok yang tidak sedikit jumlahnya dengan tujuan yang beraneka macam pula, mau berkuasa dengan menunggangi orang awam. Dengan pemerasan dan penindasan mereka ingin mencapai segala kesenangan hidup. Dengan demikian semangat dan rasa kebangsaan di Persia sudah tak ada lagi, kekuatan mo1al mereka hancur, dan segala nilai-nilai yang ideal habis terkikis menjadi tak lebih dari sekadar kesenangan hidup duniawi belaka. Dengan keadaan semacam itu sudah wajar jika persatuan mereka mulai rontok, perlawanan mereka jadi lemah, terutama jika berhadapan dengan kekuatan moral yang lebih tinggi, kekuatan yang bersendikan cita-cita rohani sebagai lambangnya.
Faktor-faktor demikian ini dalam imperium Rumawi tidak pula kurang pengaruhnya dari apa yang ada di Persia. Di sana sini timbul pemberontakan-pemberontakan yang disebabkan oleh adanya pertentangan: kadang percekcokan antara sekta-sekta Na.srani, kadang pertentangan memperebutkan takhta. Dan ini pula yang merupakan penyebab kelemahan sampai kehancurannya. Kendati Justinian sudah berhasil mengembahk n kehormatan dan harga diri kerajaan yang sebesar-besarnya di mata dunia ketika itu, dengan kebijakannya yang agung, dengan keadilan dan keberaniannya, namun faktor-faktor kelemahan itu sudah begitu dalam pengaruhnya untuk dapat diperbaiki oleh para penggantinya. Mereka tidak akan sebijak dan seberani dia. Setelah memasuki abad ketujuh Masehi Phocas naik takhta dan menjalankan pemerintahannya dengan tangan besi. Heraklius - yang ketika itu gubernur Afrika di bawah Rumawi - mengadakan pemberontakan, yang berakhir dengan kemenangan dan Phocas dibunuh. Dia sendiri kemudian menggantikannya naik takhta.
Pada akhir kekuasaan Phocas itu Persia sudah dapat mengalahkan Rumawi dan Heraklius mulai melangkah menjalankan pemerintahannya. Setelah melihat ada kesempatan, Heraklius segera mengadakan pembalasan dengan mengadakan serangan balik terhadap Persia dan berhasil mengalahkannya. Dengan demikian ia dapat memperkuat kekuasaan imperiumnya, sehingga semua orang membayangkan bahwa zaman Justinian pasti kembali. Di samping itu ia berusaha hendak memperkuat kekuasaannya dengan menghilangkan semua penyebab kelemahan yang timbul dan perpecahan sekta-sekta agama di seluruh kerajaan, dengan mencoba menyatukan sekta agama Nasrani itu yang berlaku bagi semua orang di segenap penjuru imperium. Untuk melaksanakan maksudnya itu semua musuh mazhab resmi itu di Mesir dan di luar Mesir ditindas. Itulah yang menyebabkan timbulnya dan berkobarnya pemberontakan, dan ini pula penyebab bertambahnya kelemahan yang oleh Heraklius hendak dihilangkan dari imperiumnya itu.1
Faktor-faktor ini membuat tulang-tulang kedua imperium besar itu jadi rapuh dan membuat mereka cepat menjadi tua renfa. Sudah menjadi ketentuan hukum alam juga bahwa suatu bangsa yang masih muda akan lahir menggantikan kedudukan mereka, membimbing dunia dan menentukan pula tujuannya. Keberhasilan itu menjadi jaminan bangsa ini, membawa pesan ke dunia dengan begitu memikat hati orang yang mendengarnya. Mereka melihat apa yang akan dapat menyelamatkan mereka dari bahaya yang selama ini menekan dan menjadi beban buat mereka.
Please direct any suggestion to Media Team