PENUTUP (3/3)
Mengapa Abu Bakr mendorong Muslimin
berperang?
Inilah prinsip-prinsip yang sudah jelas dalam Islam,
dilukiskan oleh cita-cita luhur yang mulia dan mengajak
orang ke sana. Jadi mengapa Abu Bakr mendorong kaum Muslimin
memerangi kaum murtad dan membebaskan Irak dan Syam? Mengapa
dalam hal ini para pemimpin sesudahnya mengambil cara yang
sama dan menempuh jalan yang ditempuhnya? Abu Bakr orang
yang paling dekat berhubungan dengan Nabi dan paling setia
melaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang
dilarang. Bukankah itu sudah dapat dijadikan bukti bahwa
Islam - menekankan pada prinsip-prinsip kasih sayang,
toleransi dan pemaafan - para penganjurnya yang mengajak ke
arah itu tak segan-segan untuk menyebarkannya dengan jalan
kekerasan?! Itu sebabnya mereka memerangi dan memerintah
negeri-negeri itu lalu mengajak penduduknya menganut agama
mereka.
Sudah tentu Abu Bakr melaksanakan Perang Riddah itu
sesuai dengan firman Allah dalam Qur'an Surah Taubah:
"Tetapi bila mereka bertobat, mendirikan salat,
mengeluarkan zakat, mereka saudara-saudaramu seagama. itulah
Kami jelaskan ayat-ayat bagi orang-orang yang tahu. Jika
mereka melanggar sumpah sesudah ada perjanjian, dan
menyerang agamamu, perangilah pemuka-pemuka kufur itu -
tidak mengenal sumpah - mereka dapat menahan diri."
(Qur'an, 9. 11-12).
Abu Bakr tidak melampaui dari apa yang diperintahkan
Allah kepadanya ketika ia setuju mengadakan serangan ke Irak
dan Syam. Dan tidak berarti bahwa perang ini adalah
cita-cita luhur dan mulia, cita-cita yang sangat ideal yang
diajarkan oleh Islam, yang menempatkan perdamaian sebagai
tujuannya. Tetapi artinya ialah bahwa yang timbul sebagai
akibatnya adalah sebagian dari suara naluri manusia dalam
tahap kesadaran rohaninya yang masih kekanak-kanakan. Sama
halnya dengan sebagian suara naluri ini pada zaman kita
sekarang, kesadaran rohani manusia masih beranjak ke jenjang
remaja, dan sebagai remaja tentu tak lepas dari sikap nekat
dan gelora mudanya.
Suara naluri itu sering berakibat jadi
tersandung-sandung, seperti anak kecil yang jalannya masih
tersandung-sandung, membuatnya letih, terasa sakit. Tetapi
akhirnya ia dapat berjalan tegak lurus, dengan langkah yang
lebih cepat ke jenjang remaja dan sampai dapat berpikir
dewasa.
Menilai kenyataan dari naluri
manusia
Ketika melukiskan cita-cita luhur bagi umat manusia Islam
tidak melupakan, bahwa tujuan cita-cita itu baru akan
tercapai bila kesadaran rohani manusia sudah sampai pada
kematangannya. Dan ini baru akan sampai setelah melalui
beberapa puluh bahkan ratusan generasi berturut-turut dengan
berusaha cepat untuk dapat mengejarnya. Oleh karena itu,
Islam hanya menilai umat manusia dan apa yang disuarakan
oleh nalurinya dari kenyataan, dan membukakan jalan yang
akan ditempuh untuk berangsurangsur mendekatkannya kepada
tujuan.
Misalnya ketika kita membesarkan anak kita untuk mencapai
kesempumaan jasmani dan akal pikirannya sesuai dengan yang
kita inginkan, kita tak akan membiarkannya berperilaku
seperti orang dewasa; keinginan masa kanak-kanak dan masa
remajanya adakalanya kita turutkan, kadang kita tahan. Dalam
pada itu, juga kita menjumpai anak kecil dan remaja yang
keras kepala, yang adakalanya dapat menghambat kemajuan anak
itu sendiri. Kalau yang kita dapati ketangkasan dan
kecerdasannya, ini akan mempercepat kemajuannya. Kalau yang
kita lihat keras kepalanya tak dapat dijinakkan, malah kita
yang bersikap lunak kepadanya untuk melunakkan keras
kepalanya. Kalau kita lihat ia maju kita pacu dia supaya
terus melangkah maju dan dapat lebih cepat. Tetapi kecepatan
itu barangkali akan membuatnya tersendat-sendat dan dia akan
merasa terganggu karenanya.
Demikian juga Islam, ia akan mengimbangi perjalanan
kesadaran rohani atau batin manusia itu dalam tahapannya
dari masa anak-anak sampai remaja. Yang menjadi tujuan utama
ialah mendidik kesadaran rohani ini, sama seperti kita, yang
menjadi tujuan utama ialah mendidik anak kita. Dengan begitu
Islam mengimbangi jalannya naluri manusia agar menjadi tegak
lurus. Kadang dengan sikap lunak, kadang dengan sikap keras,
supaya perhatiannya selalu tertuju ke arah yang akan
mendekatkannya ke tujuan yang dikehendakinya, dan cita-cita
luhur yang sudah direncanakan untuk itu.
Perkembangan kesadaran rohani manusia
menuju kematangan
Kesadaran rohani manusia adakalanya jadi jumud sehingga
dikira ia sudah tak akan maju lagi. Tetapi kadang melangkah
begitu maju sehingga dikhawatirkan akan tersandung-sandung.
Adakalanya langkahnya itu terhenti atau berubah arah.
Ternyata kekuatan ya g mendorongnya maju itu terbentur
dengan dunia yang beraneka macam. Itulah yang terjadi saat
umat Islam di mana-mana menjadi jumud, menjadi beku, dan
prinsip-prinsip yang diajarkan Islam pun ikut menjadi jumud.
Tetapi kejumudan dan kemacetan bukanlah kodrat hidup.
Karenanya, kedua sifat yang selalu menyembunyikan
unsur-unsur pendorong yang selama itu diam tiba-tiba muncul
kembali, dan temyata umat manusia masih dapat melanjutkan
kemajuannya. Kemajuan inilah yang membuat kita percaya bahwa
kesadaran rohani manusia pada suatu hari pasti mencapai
tujuan kematangannya, meskipun itu akan memerlukan ratusan
generasi berturut-turut. Kalau sudah sampai ke sasaran itu
maka orang akan sampai pula ke cita-cita luhur seperti
dilukiskan oleh Islam. Ketika itulah bumi akan dinaungi oleh
ketenteraman, oleh kedamaian dari Allah, dan Allah
mengabulkan doa orang di Rumah-Nya yang suci itu: "Tuhan,
Engkaulah Sumber Kedamaian dan dari Engkaulah datangnya
kedamaian. Tuhan, berilah kami hidup dalam kedamaian."
Dari generasi ke generasi semua orang perlu mendengarkan
ajakan kepada kebenaran di belahan bumi in.i untuk memajukan
kesadaran rohaninya setahap demi setahap menuju kematangan
rohani, dan kematangan rohani ini tak akan mencapai
tujuannya sebelum merata ke segenap umat manusia. Tetapi
jika kesadaran rohani yang sudah matang itu hanya di
sebagian dunia saja, sementara naluri anak kecil dan gelora
muda anak remaja di bagian lain masih tetap sebagai
penggeraknya, maka secara hukum kekuasaan naluri dan gelora
muda itulah yang akan memperpanjang konflik dan perang.
Seorang jenderal jenius semacam Khalid bin Walid memang
diperlukan untuk menjadi wahana d lam mendidik orang yang
bertingkah laku aneh-aneh, yang kesadaran rohaninya belum
matang, di mana pun ia berada. Dalam hal ini sama dengan
seorang pendidik ketika menghadapi murid-muridnya yang
bertingkah laku aneh.
Pengaruh Islam terhadap majunya
kesadaran rohani
Dengan penuh rasa gembira kita akan mencatat
langkah-langkah kemajuan kesadaran rohani manusia dari masa
kanak-kanak sampai masa remaja, kita tak dihambat oleh
sempitnya langkah-langkah serta gangguannya itu. Kemajuan
ini besar sekali pengaruhnya terhadap Islam, dan kelak pun
sama pengaruhnya seperti ini sampai sempurnalah suara Tuhan
dan manusia di segenap penjuru dunia percaya pada cita cita
yang mulia itu.
Juga sementara mencatat semua ini dengan segala senang
hati saya ingin mengutip kata-kata pengarang besar Inggris
Bernard Shaw yang memperkuat pendapat saya tersebut:
"Saya selalu memberikan penghargaan yang setinggi-tinggi
kepada agama Muhammad karena vitalitasnya yang begitu hebat.
Seperti apa yang saya lihat, itulah agama tauhid yang punya
daya cerna dalam tingkat kehidupan yang beraneka rupa, dan
yang mampu menarik manusia setiap generasi.
Tak perlu diragukan lagi bahwa dunia telah mencatat
ramalan tokoh-tokoh besar dengan penuh penghargaan.
Diramalkan bahwa Eropa nanti akan menyambut agama Muhammad
ini, yang sekarang sudah mulai diterima.
Kalangan gereja abad-abad pertengahan sengaja melukiskan
Islam dalam warna yang paling suram. Soalnya karena
kebodohannya atau karena fanatisma buta. Memang mereka
sangat membenci Muhammad dan agamanya secara berlebihan dan
menganggapnya sebagai musuh Yesus. Tetapi saya merasa
berkewajiban menamakan Muhammad sebagai penyelamat umat
manusia. Saya yakin bahwa jika orang semacam dia memimpin
dunia modern, segala permasalahannya akan berhasil ia
selesaikan. Dunia akan damai dan sejahtera, dan dua hal
inilah yang sangat diperlukan dunia dewasa ini.
Para pemikir yang obyektif dalam abad ke-19 sudah dapat
memahami nilai identitas agama Muhammad ini, seperti
misalnya Carlyle, Goethe dan Gibbon. Karenanya di Eropa
telah terjadi suatu perubahan sikap yang tepat sekali
terhadap Islam. Eropa memang sedang mengalami suatu kemajuan
yang luar biasa pada penghujung abad ke-20 ini, yakni mulai
mencintai ajaran Muhammad. Dalam abad yang akan datang
mungkin sudah akan melangkah lebih jauh lalu mengakui
perlunya ajaran ini untuk mengatasi beberapa problema yang
sedang dihadapi.
Dewasa ini sudah banyak bangsaku dan penduduk Eropa yang
menganut agama Muhammad. Dengan demikian. kita dapat
mengatakan bahwa masa peralihan Eropa kepada Islam sudah
dimulai."3
Ucapan ini yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
sepuluh tahun lalu memperkuat apa yang sudah saya kemukakan
itu. Sekarang kita mendengar ucapan tokoh-tokoh dunia itu
menggemakan kembali cita-cita Islam yang luhur, mengajak
orang untuk memahaminya dan menganggap perang untuk itu
adalah soal kecil. Perjalanan umat manusia masih penuh
kecemasan di tengah-tengah besarya badai penderitaan,
pengorbanan dan air mata. Pengorbanan itu kini berlipat
ganda banyaknya dibandingkan pengorbanan abad-abad yang
silam.
Sudahkah diperkirakan apa yang selama ini dicita-citakan
itu akan tercapai, dan dapat hidup di bawah naungan
kebebasan, cinta kasih dan perdamaian? Mungkinkah tata nilai
yang baru ini, yang disebut-sebut oleh tokoh-tokoh dunia itu
dapat mewujudkan kebebasan bangsa-bangsa, seperti
pemberontakan-pemberontakan masa lalu yang telah dapat
mewujudkan kebebasan pribadi? Benarkah itu dapat melepaskan
mereka semua dari belenggu ketakutan dan kemiskinan, dan
dapat saling membantu dengan ikhlas demi Allah, membuat
manusia di belahan bumi ini hidup bahagia? Sungguh ini suatu
harapan yang sedap, yang menjadi harapan semua orang, yang
melekat di hati semua bangsa. Besar nian keinginan manusia
sekiranya semua itu terlaksana dan terlaksana pula suara
kebenaran dan kedamaian itu!
Terwujudnya harapan ini menjadi taruhan, bahwa kesadaran
rohani manusia harus sudah mencapai kematangannya Dengan
suratan takdir dari Yang Maha Pengasih itu dapatkah segala
penderitaan dan pengorbanan yang ditanggung oleh dunia pada
penghujung abad ke-20 ini melahirkan kematangan?! Saya yakin
bahwa umat manusia akan melangkah ke arah ini, kalaupun kita
belum mampu mewujudkannya sekarang, bagaimanapun juga dengan
itu setidaknya kita sudah merasa gembira, dan setelah itu
kita masih dapat mengharapkan adanya langkah yang lebih
besar. Jarak dunia dewasa ini sudah makin diperdekat, sarana
komunikasi antar-sesama sudah bertambah banyak. Pada abad
yang lalu pers dipandang sebagai kekuatan yang paling besar
untuk mempermudah saling pengertian. Pers Amerika misalnya,
ketika itu baru dapat mencapai kawasan Timur Tengah beberapa
minggu kemudian setelah diterbitkan. Tetapi apa yang terjadi
sekarang di dunia, dengan radio melalui gelombang udara,
ketika itu juga dapat diterima orang di segenap penjuru
belahan bumi ini. Siaran radio yang sekarang sibuk
menyiarkan berita-berita perang berikut propagandanya dengan
segala akibatnya yang mengerikan, kelak akan sibuk mengajak
kepada perdamaian dunia dan kepada martabat umat manusia
yang lebih tinggi. Segala sarana untuk itu sudah dapat
digambarkan dan disiapkan. Ajakan ini dapat meningkatkan
kesadaran rohani kita dan mendekatkannya pada kematangan,
menciptakan keadilan yang bersih dari pengaruh nafsu dan
menjauhkan manusia dari perang. Dengan demikian, segala
pengorbanan, penderitaan, darah dan air mata dapat
dihindari.
Kapan fajar hari itu akan menyinging, kapan matahari itu
akan terbit!? Kita melihatnya masih jauh, tetapi Allah
melihatnya sudah dekat. Satu hari menurut Allah seperti
seribu tahun dalam perhitungan kamu. Hari itulah matahari
terbit bagi umat manusia, manusia yang sudah matang
kesadaran rohaninya. Hari itulah kesempumaan akan tercapai,
dan cita-cita luhur yang mulia itu merupakan wujud yang
nyata. Ketika itu pula jiwa manusia bersih dari segala noda
yang selama itu mencemarinya. Jiwa itu akan berada jauh di
atas suara naluri duniawi, akan tunduk pada prinsip-prinsip
keadilan, kasih sayang, kebaktian dan ketakwaan dengan
segala kebersihan dan kesuciannya, yang kemudian akan
menjadi rahasia hidupnya Bila terlintas bayangan yang hendak
melawannya, ditolaknya dan dianggapnya seperti benalu dan
perintang yang hendak mengganggu dan merusaknya.
Saat itulah iman semua manusia mencapai kesempurnaan,
satu sama lain akan saling mencintai, seperti mencintai diri
sendiri. Kepada orang yang dalam niat atau perbuatannya
masih tampak ada noda egoisma atau letupan nafsu, mereka
masing-masing melihatnya dengan pandangan penuh rasa
kasihan, merasa sedih. Maka mereka merasa berkewajiban
mengusahakan pengobatannya serta membantunya dengan
obat-obatan. Kalau sembuh itulah yang diharapkan, kalau
tidak, akan ditinggalkannya agar tidak menyebarkan
penularan, dengan harapan selama dalam pengasingannya ia
dapat mendengarkan suara kearifan. Kalau terdengar ia sudah
sembuh dan sudah kembali kepada masyarakat dan sudah sama
seperti mereka, kesadaran rohaninya akan menjadi hakimnya
sendiri dan akan membuat perhitungan terhadap dirinya dan ia
akan berlaku adil dan jujur terhadap orang yang menegurnya,
yang mengoreksi pikirannya. Hati yang sudah sembuh itu tidak
lagi kembali mendorong orang kepada kejahatan. Itulah yang
akan membuat semua orang lebih mencintai orang lain daripada
dirinya sendiri dan akan lebih mengutamakannya daripada
dirinya sendiri.
Ketika itulah kesadaran rohani manusia akan menjadi
neraca keadilan, dengan timbangan yang lurus. Jangan ada
lagi suatu bangsa lebih baik daripada bangsa lain, jangan
ada ras yang lebih tinggi daripada ras yang lain dan warna
kulit lebih baik daripada warna kulit yang lain.
Bangsa-bangsa itu akan menjadi pribadi-pribadi yang
bersaudara, mereka akan terikat oleh keadilan dan kasih
sayang, dan mengajak orang sating membantu atas dasar
kebaikan dan ketakwaan. Bangsa-bangsa yang lebih besar akan
lebih mengutamakan bangsa-bangsa yang lebih kecil.
Bangsa-bangsa yang lemah dan kuat sama-sama mengusahakan
kebaikan demi mencari keridaan Allah semata.
Ketika itulah dengan senang hati anak-anak kita akan
melihat dari dunia mereka yang bahagia itu dunia kita yang
sudah ditelan oleh masa lampau dan menelan kita
bersama-sama. Mungkinkah mereka berbincang-bincang dengan
sesama mereka tentang rasa haru melihat apa yang dulu
menjadi ban bapak-bapak itu karena terbawa oleh naluri dan
nafsu? Adakah mereka tersenyum mengejek nafsu dan naluri
itu, dan karena orang mau tunduk dan menyerah kepadanya?
Ataukah mereka akan bersikap adil terhadap kita, karena
kesadaran batin yang sudah matang itu dengan sendirinya
adil, dan mereka menilai bahwa naluri kita, nafsu kita,
penderitaan dan pengorbanan kita itulah yang mengantarkan
mereka kepada kedamaian dan kebahagiaan yang sekarang mereka
nikmati?! Tetapi apa yang kita lihat mereka memang adil
kalau mereka memusatkan pandangan ke masa lampau selama masa
Abu Bakr dan melihat hasil pekerjaannya yang begitu
cemerlang pada masa kekhalifahannya yang hanya sebentar itu,
mereka akan berkata: Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu
Bakr, teman pilihan Nabi terdekat!
Abu Bakr orang yang lemah tubuhnya, tetapi kuat imannya!
Dengan kekuatan iman ini ia telah mendorong dunia, sehingga
panji kebenaran mampu berkibar dan kata-katanya diakui. Kata
yang baik seperti pohon yang baik, akarnya tertanam kukuh
dan cabangnya menjulang ke langit; menghasilkan buahnya
setiap waktu, dengan izin Tuhannya. Dan mereka yang berjuang
adalah orang-orang beriman, untuk memperkuat suara kebenaran
itu. Mereka akan mendapat balasan dari Tuhan sebagai
orang-orang yang tulus hati dan pencinta kebenaran, Alangkah
indahnya persahabatan ini.
Inilah suara mereka. Inilah suara sejarah yang adil. Kita
mengatakannya sekarang dan akan dikatakan orang sesudah kita
sepanjang sejarah. Adakah kata-kata yang lebih baik daripada
orang yang menjadikan kebenaran itu sebagai pegangannya, dan
keadilan sebagai tujuannya!
Catatan kaki:
- Lihat Fathul 'Arab li Misr bab pertama dan
ketiga belas.
- Lihat Fajrud-Damir (The Dawn of Concience)
oleh Burstadt, diterjemahkan Salim Hasan.
- Kata-kata Bernard Shaw ini dikutip dari majalah Nurul
Islam Nomor 40, h. 5720 tahun 1352 H.
|