Abu Bakr As-Siddiq

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

XVIII. DARI SAKIT SAMPAI WAFATNYA (2/2)

Abu Bakr mengembalikan harta baitulmal yang dipakainya

Bukan itu saja yang bergejolak dalam pikiran Abu Bakr dan berkecamuk dalam hatinya selama dalam sakitnya itu. Kita masih ingat bahwa dia sudah meninggalkan segala urusan dagangnya supaya dapat mengkhususkan diri dalam mengurus kepentingan umat Islam. Untuk menunjang keperluannya dan keperluan keluarganya, oleh sahabat-sahabatnya disediakan belanja seperlunya dari baitulmal. Tetapi setelah ia merasa sudah mendekati kematiannya, ia merasa tak senang dengan segala yang diperolehnya dari baitulmal itu.

"Segala yang ada padaku dari harta Muslimin (baitulmal) kembalikanlah. Aku samasekali tak ingin menggunakan harta ini. Tanahku di tempat anu dan anu berikan untuk kepentingan kaum Muslimin sebagai ganti harta mereka yang kugunakan."

Umar menyisihkan harga tanah itu yang kemudian dikembalikannya ke baitulmal sesuai dengan permintaan Abu Bakr, sambil ia berkata: "Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Bakr! Ia tak ingin membiarkan ada orang mengatakan sesuatu sesudah dia tak ada."

Sumber lain menyebutkan Umar memakai kata-kata itu kepada keluarganya ketika ia menyampaikan kehendaknya dalam soal ini, kemudian dilanjutkan dengan katanya: "Aku sebagai pemegang kekuasaan sesudahnya, dan sudah kusampaikan kepada kalian."

Sumber ketiga menyebutkan bahwa Abu Bakr wafat tanpa meninggalkan harta barang satu dinar atau satu dirham pun, selain seorang budak yang mengurus anak-anaknya dan seekor hewan3 yang mengairi kebunnya, di samping selembar permadani seharga lima dirham, yang sudah dimintanya supaya dibawa kepada Umar bila sudah selesai mengurusnya. Setelah permadani itu dibawa kepada Umar ia menangis. "Abu Bakr telah membuat beban kepada orang yang ditinggalkannya, beban yang berat sekali!" katanya.

Kita masih menyangsikan kebenaran sumber ini kendati beberapa keterangan menyebutkan bahwa kalaupun ada harta yang ditinggalkan oleh Abu Bakr jumlahnya tak seberapa. Dia berwasiat mengenai seperlima hartanya dengan mengatakan: "Aku mengambil hartaku dari apa yang diambilkan Allah dari harta rampasan perang milik Muslimin," atau "Harta yang ada padaku yang sudah diridai Allah dari harta rampasan perang." Barangkali ada yang mengharapkan supaya Abu Bakr mewasiatkan lebih dari seperlima, maka jawabannya: "Bagiku lebih baik mewasiatkan seperlima daripada seperempat, mewasiatkan seperempat lebih baik bagiku daripada sepertiga, dan yang mewasiatkan sepertiga tak ada lagi yang ditinggalkan."

Andaikata tak ada harta yang ditinggalkan oleh Abu Bakr dan sumber yang berasal dari Aisyah benar bahwa dia mengatakan: "Abu Bakr tidak meninggalkan harta barang satu dinar atau satu dirham pun dari uang yang dikaruniakan Allah kepadanya," tentu ia tak akan mewasiatkan dengan seperlima atau kurang dari itu. Dia meninggalkan wasiat karena ada yang dimilikinya meskipun hanya sedikit.

Pernah Abu Bakr menghibahkan kepada Aisyah sebidang tanah di Aliyah, yang dulu diberikan Nabi kepadanya. Sesudah tanah itu diolah dan ditanami diberikan kepada putrinya, Ummulmukminin. Tatkala sudah mendekati kematian sementara Aisyah merawatnya itu, ia duduk, membaca syahadat, kemudian katanya: "Anakku, orang kaya yang paling kucintai sesudahku adalah engkau, dan orang miskin yang paling kumuliakan sesudahku adalah engkau. Seperti kauketahui, dulu aku pernah memberikan tanahku kepadamu. Aku ingin tanah itu dapat kaukembalikan kepadaku, supaya dapat kubagikan juga kepada anakku yang laki-laki sesuai dengan ketentuan Kitabullah. Itu adalah harta waris, dan mereka adalah dua saudaramu laki-laki dan dua saudaramu perempuan." Aisyah hanya punya seorang saudara perempuan. Hal ini ditanyakannya kepada ayahnya. Abu Bakr menjawab: "Dia masih dalam perut Binti Kharijah4, dan kukira dia bayi perempuan."

Selama dalam sakitnya itu yang menjadi pikiran Abu Bakr selalu siapa nanti yang akan menggantikannya memimpin umat Islam. Juga ia sedang memikirkan hendak mengembalikan uang yang diterimanya selama ia bertugas sebagai Khalifah. Dipikirkannya apa yang harus diwasiatkan mengenai harta peninggalannya itu, bagaimana pemberiannya kepada putrinya Aisyah untuk dikembalikan kepada ahli waris. Semua itu dipikirkan karena ia ingin sekali meninggalkan dunia ini dalam keadaan benar-benar bersih. Dia akan kembali kepada Allah setelah dia bersih dari segala yang dikhawatirkan akan tercela dalam pandangan Allah. Setelah yakin dengan semua itu mulai ia memikirkan soal mati dan sudah pula akan bersiap-siap untuk itu. Maka ia berwasiat supaya dikafankan dengan sepasang pakaian yang biasa dipakainya, dengan mengatakan: "Kafanilah aku dengan pakaian itu; orang hidup lebih memerlukan barang baru daripada orang mati."5

Ia berpesan supaya dimandikan oleh istrinya Asma' bint Umais. Kalau dia tidak biasa supaya meminta bantuan anaknya Abdur-Rahman. Sementara ia sedang sibuk demikian tiba-tiba datang Musanna dari Irak. Oleh Abu Bakr ia diizinkan masuk. Musanna meminta bala bantuan dengan tenaga orang-orang yang dulu pernah murtad tapi sudah kembali kepada Islam. Ia berpesan kepada Umar untuk melaksanakan itu, dan jangan sampai kematiannya mengganggu segala kepentingan Muslimin. Ketika Abu Bakr sedang dalam keadaan sekarat itu ia didampingi oleh Aisyah putrinya. Melihat keadaan ayahnya demikian, Aisyah teringat pada sajak Hatim:

Demi hidupmu, harta kekayaan tiada guna
Bila sekarat sudah tiba, nafas sudah sesak di dada.

Ayah itu melihat kepada putrinya seperti sedang marah. Kemudian katanya: "Bukan begitu, Ummulmukminin, tetapi:

"Dan datanglah sakratulmaut yang membawa kebenaran: "Inilah yang dulu hendak kamu hindari." (Qur'an, 50. 19).

Sesudah sakitnya bertambah berat ia duduk di bagian kepalanya seraya membaca bait-bait ini:

Setiap yang punya unta akan diwariskan
dan setiap barang rampasan akan dirampas
Setiap yang kehilangan akan kembali
Tetapi hilang dengan kematian tak akan kembali.

Konon katanya Abu Bakr yang membaca kedua bait sajak itu, dan bahwa yang terakhir diucapkannya:

"Tuhan... ambillah nyawaku sebagai orang yang berserah diri (sebagai Muslim) dan tempatkanlah aku bersama orang-orang yang saleh." (Qur'an, 12. 101).

Abu Bakr wafat pada hari Senin malam dua puluh satu Jumadilakhir tahun 13 Hijri (22 Agustus 634) dalam usia 63 tahun. Ia wafat sore hari setelah terbenam matahari dan dimakamkan malam hari itu juga, setelah dimandikan oleh istrinya Asma' bint Umais dengan dibantu anaknya Abdur-Rahman dengan menuangkan air. Kemudian dibawa ke mesjid dengan tempat pembaringan yang dulu dipakai Rasulullah - untuk kemudian dimakamkan di samping Rasulullah saw. seperti diwasiatkan - di rumah Aisyah.

Di mesjid jenazah itu diletakkan di antara makam dengan mimbar, dan Umar yang bertindak sebagai imam dalam salat jenazah dengan empat kali takbir. Kemudian dibawa ke liang lahad dan Umar ikut masuk bersama Usman, Talhah dan Abdur-Rahman putra Abu Bakr. Abdullah putra Abu Bakr juga bermaksud akan masuk, tetapi Umar berkata: "Sudah cukup." Abu Bakr dikuburkan dalam lubang yang digali di samping makam Nabi, dan kepalanya di bahu Rasulullah, dan lahad dengan lahad itu berdampingan. Sesudah ditutup dengan tanah mereka pergi. Mereka telah mengantarkan sahabat dekat Rasulullah setelah keduanya disatukan kembali oleh kematian. Mereka mengantarkan seorang manusia yang paling dekat di kalbu Rasulullah, orang yang paling dicintainya dan yang menjadi pilihannya. Orang yang paling teguh imannya kepada Allah dan kepada Rasul-Nya.

Sebuah eulogi oleh Ali bin Abi Talib

Medinah guncang dengan kematian Abu Bakr. Orang terkejut sekali, seperti dulu ketika Rasulullah wafat. Ali bin Abi Talib datang tergesa-gesa sambil menangis. Begitu sampai di pintu ia berkata:

"Abu Bakr, semoga Allah memberi rahmat kepadamu. Engkaulah orang yang pertama masuk Islam, dengan iman yang begitu murni, keyakinan yang begitu kuat dengan kekayaan terbesar. Engkaulah yang sangat memperhatikan Rasulullah saw. dan sangat peduli terhadap Islam. Besar sekali pengorbananmu hendak melindungi umat. Engkaulah yang terdekat kepada Rasulullah dari segi akhlak, kemuliaan, sikap dan pandanganmu terhadap agama.6 Semoga Allah memberi balasan baik kepadamu, demi Islam, demi Rasulullah dan demi segenap umat Muslimin. Engkau sudah percaya kepada Rasulullah tatkala orang masih mendustakannya, engkau begitu dermawan dan bermurah hati di kala orang sangat kikir kepadanya. Engkau yang selalu siap bersamanya sementara yang lain masih bermalasmalas. Allah telah memberimu gelar as-Siddiq7 dalam Kitab-Nya: Orang yang membawa kebenaran dan yang membenarkannya. (39. 33). Yang dimaksud ialah Muhammad dan engkau. Demi Allah engkau adalah benteng Islam dan malapetaka bagi si kafir. Pegangan dan alasanmu tidak sesat, wawasanmu tak pernah lemah dan engkau tak pernah jadi penakut. Engkau seperti gunung yang tak tergoyahkan oleh badai dan topan, tak remuk karena benturan halilintar. Engkau seperti dikatakan Rasulullah saw. lemah dalam jasmani, kuat dalam agama, rendah hati dalam dirimu, agung dalam pandangan Allah, mulia di bumi, besar di mata kaum Muslimin. Engkau tak terdorong oleh ambisi dan nafsu. Orang yang lemah di matamu adalah kuat, orang yang kuat dalam pandanganmu adalah lemah, sesudah kauambil hak si kuat dan kauberikan kepada si lemah. Semoga Allah memberikan sebagian pahalamu kepada kami dan tidak tersesat karena kami jauh darimu."

Eulogi oleh Aisyah Ummulmukminin

Putrinya Aisyah Ummulmukminin juga menyampaikan takziah dalam kata-kata penuh duka, katanya:

"Ayahanda, semoga Allah melimpahkan cahaya-Nya ke wajahmu, dan memuji segala usahamu yang sangat bermanfaat. Engkaulah orang yang tak terpesona oleh gemerlapnya dunia, dengan cara menjauhinya; engkau menjunjung tinggi kehidupan akhirat, dengan hati terbuka menyambutnya. Kalau ada rasa duka terbesar menimpa kami setelah ditinggalkan Rasulullah saw. maka duka inilah, dan kalau ada peristiwa terbesar yang terjadi sesudahnya tentu karena kehilanganmu ini pula. Dengan bersabar atas kepergianmu, Kitabullah menjanjikan ganti yang terbaik kepada kita. Aku siap melaksanakan janji Allah tentang engkau dengan bersabar, dan meminta pertolongan dengan banyak istigfar untukmu. Semoga Allah memberikan keselamatan kepadamu; aku melepasmu tanpa rasa dendam, tanpa rasa kesal atas takdir yang terjadi terhadapmu."

Umar bin Khattab menyampaikan kata-kata singkat sekali, seolah musibah duka itu telah mengekang lidahnya. Ketika masuk setelah Abu Bakr tiada ia berkata: "Wahai Khalifah Rasulullah! Sepeninggalmu, sungguh ini adalah suatu beban yang sangat berat yang harus kami pikul. Sungguh engkau tak tertandingi, bagaimana pula hendak menyusulmu!"8

Berita-berita itu kini sudah menyebar ke seluruh penjuru tanah Arab, di kota-kota dan di pedalaman. Hati mereka rasa tersentak dengan air mata berlinangan. Penduduk Mekah rasa terguncang mendengar berita duka itu. Hal ini sampai juga kepada Abu Quhafah. "Ada apa ini?!" tanyanya.

"Anakmu berpulang," kata mereka.

"Suatu musibah terhormat!" katanya. "Di tangan siapa pimpinan sesudah dia?"

"Umar."

"Sahabatnya," katanya tidak lebih.

Mereka bermaksud mengantarkan apa yang menjadi haknya dari peninggalan Abu Bakr, tetapi dia menolak: "Anak-anaknya lebih berhak." Apa lagi yang diharapkan orang tua yang sudah lanjut usia ini setelah musibah yang sungguh berat itu selain hendak menyusul putranya di sisi Allah. Ia wafat enam bulan kemudian setelah kematian Abu Bakr.

Adakah kata-kata singkat yang diucapkan Abu Quhafah itu mengisyaratkan bahwa dia termasuk orang Arab yang paling sabar menerima takdir Allah terhadap Khalifah Rasulullah itu?! Ataukah keharuan atas kematian anaknya itu yang membuat dia terdiam, dan yang juga itu pula yang mempercepat ia menghadap Tuhannya?! Rasanya tak ada ketabahan seorang ayah dalam menghadapi musibah terjadi terhadap anaknya hanya untuk sekadar menenggang, kendati dalam usianya yang sudah tua renta. Itu sebabnya, kesedihan Abu Quhafah tidak sama dengan kesedihan orang-orang Arab yang lain. Mereka merasa sedih karena khawatir terhadap apa yang akan terjadi kelak, setelah laki-laki yang begitu besar jasanya kepada mereka itu kini berkalang tanah, orang yang penuh kasih, sehingga demi kepentingan mereka ia melupakan dirinya. Sungguhpun begitu ia sangat berhasil dan dapat diterima dalam memerintah mereka serta menjalankan politik negara. Tetapi Abu Quhafah, kesedihannya karena buah hati idaman hidup kini telah pergi; terasa remuklah hatinya, gairah hidupnya jadi hambar.

Suasana itu begitu berat menekan perasaan Aisyah Ummulmukminin sehingga tak tertahankan lagi ia meratap, diikuti oleh Umm Farwah saudara perempuan Abu Bakr dan kedua istrinya Asma' bint Umais dan Habibah bint Kharijah serta perempuan-perempuan Medinah yang sedang berkumpul di sana. Setelah kejadian itu disampaikan kepada Umar ia datang ke rumah Aisyah dan melarang mereka meratap demikian, tetapi mereka tak dapat dibendung. Kata Umar kepada Hisyam bin Walid:

"Kau masuk dan suruh ke mari Umm Farwah bint Quhafah, saudara Abu Bakr."

Kata-kata Umar itu didengar oleh Aisyah dan ia berkata kepada Hisyam: "Aku melarang kau memasuki rumahku."

"Masuklah," kata Umar. "Aku yang memberi izin kepadamu."

Hisyam masuk dan mengajak Umm Farwah menemui Umar, yang kemudian oleh Umar dicambuknya beberapa kali sambil berkata: "Kalian ingin Abu Bakr disiksa karena tangisan kalian ini! Rasulullah saw. berkata: [huruf Arab] 'Mayat itu disiksa karena tangisan keluarganya.'"

Pengaruh Abu Bakr dalam kehidupan Islam

Melihat apa yang terjadi dengan Umm Farwah mereka yang meratap itu bubar, dan Aisyah juga tak mampu mencegah Umar.

Karena perasaan sedihnya yang begitu dalam kepada Abu Bakr barangkali Umar merasa terganggu dengan ratapan itu. Rasanya tak ada kesedihan yang lebih berat di hati kita daripada suara perempuan-perempuan yang sedang meratapi mayat. Terasa begitu pedih perpisahan itu menyayat hati kita. Sudah pada tempatnya jika Umar, dan setiap Muslim, akan merasa makin risau ketika itu. Bahkan kita sekarang ikut merasakan kerisauan mereka mengingat kekhawatiran yang mereka rasakan, meskipun kita tahu kemenangan yang diberikan Allah kepada Muslimin di masa Umar, serta karena karunia-Nya pula politik Abu Bakr berhasil dan mendapat kemenangan. Sejak Nabi hijrah ke Medinah, Islam belum pernah mengalami ujian yang begitu berat seperti pada masa Abu Bakr. Kaum Muslimin yang dalam menghadapi penderitaan, kesengsaraan dan suasana kacau, baru ketika itu mencapai moral yang begitu tinggi, justru berkat keimanan dan keteguhan hati Abu Bakr. Allah telah menguji orang-orang beriman pada masa kekhalifahannya itu, dan mereka pun tabah menghadapinya. Berkat keimanan dan keteguhan hati Khalifah, agama yang baru tumbuh ini berhasil melintasi titik-titik yang paling rawan, sehingga dapat berdiri tegak, penuh daya hidup, penuh tanggung jawab untuk menaungi dunia dengan panji kemajuan dan kebebasan, dan untuk mengangkatnya ke tingkat peradaban yang tinggi sesuai dengan martabat umat manusia. Jiwa Abu Bakr inilah yang telah menjadi sumber segala kekuatan ini. Masihkah Islam memerlukan pancaran jiwanya itu? Ataukah selama dua tahun tiga bulan ini sesudah ia melampaui titik-titik bahaya itu sekarang sudah tiba waktunya untuk melangkah dengan tenang dan damai, dan mengulurkan pertolongan kepada umat manusia yang ketika itu sedang gelisah; untuk mengukuhkan tali persaudaraan dan perdamaian!?

Barangkali kita tidak tahu apa yang terjadi sekiranya Abu Bakr tidak mencalonkan Umar sebagai pengganti, tidak keluar dari apa yang selama itu menjadi pegangannya dan tidak melakukan apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah! Pekerjaan terakhir dalam sejarah hidup As-Siddiq Abu Bakr itu merupakan mata rantai yang kuat sekali, yang telah mengangkat Islam ke tempat yang tinggi, dan yang sudah menjadi kehendak Allah juga untuk menyelesaikan ajaran-Nya dan untuk membela agama-Nya. Bagaimana sekiranya Abu Bakr memilih Usman, adakah Islam akan tersebar seperti pada masa Umar, kemudian pada kekhalifahannya akan makin tersebar?! Ataukah dengan memilih Umar itu merupakan suatu sukses yang diberikan Allah kepada Abu Bakr, karena ternyata Umar al-Faruq9 adalah pahlawan lapangan dan anak zamannya?!

Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Bakr

Rasanya tak perlu lagi sekarang kita mengemukakan soal ini dengan suatu penilaian. Tetapi yang tak dapat diragukan lagi bahwa Abu Bakr dan Umar intinya adalah sama kendati lahirnya tampak berbeda. Yang seorang sangat lembut sedang yang seorang lagi terlalu keras. Yang mengisi jiwa - kedua tokoh itu ialah keimanan yang murni kepada Allah, hati dan pikiran mereka yang bersih membuat mereka berada di atas segala kekotoran duniawi. Pengabdian keduanya semata-mata hanya untuk Allah. Yang menjadi pegangan keduanya hanyalah keadilan, kasih sayang dan membuang kepentingan pribadi serta berusaha membela kebenaran dan terpeliharanya hukum dan kehendak Allah. Dengan demikian penggantian Umar merupakan suatu langkah yang baik dan tepat yang dikehendaki Allah guna memuliakan agama-Nya dan untuk membuktikan kebenaran firman Allah di muka bumi, menjunjung segala kebaktian dan ketakwaan yang setinggi-tingginya.

Semoga Allah melimpahkan rahmat dan rida-Nya kepada Abu Bakr dan menempatkannya bersama orang-orang yang saleh.

Catatan kaki:

  1. Beberapa sumber mengutip nas wasiat itu sebagai berikut: "Aku menunjuk kau menjadi penggantiku sesudahku, dan berpesan agar kau bertakwa kepada Allah. Bagi Allah ada amal di malam hari yang tak diterima di siang harinya, ada pula amal di siang hari yang tak dapat diterima di malam hari. Demikian juga yang sunah itu tak dapat diterima sebelum yang wajib dilaksanakan. Beratnya timbangan (oleh pahala) bagi barang siapa yang pada hari kiamat berat timbangannya, sebab selama di dunia mereka berpegang pada kebenaran, dan beratnya timbangan (pahala) itu buat mereka sendiri. Dan kebenaran suatu neraca hanya akan menimbang kebenaran yarig berat (timbangannya). Ringannya timbangan (karena dosa) bagi barang siapa yang pada hari kiamat ringan timbangannya, sebab selama di dunia mereka berpegang pada yang batil, dan ringannya timbangan (dosa) itu buat mereka sendiri. Dan kebenaran suatu neraca hanya akan menimbang kebatilan yang ringan (timbangannya).* Ketika Allah menyebutkan penghuni surga, yang disebut-Nya hanya amal mereka yang baik sedang kesalahan-kesalahan mereka tidak disebutkan. Kalau teringat ini, dalam hati aku berkata bahwa aku takut tidak termasuk golongan mereka. Dan ketika menyebutkan penghuni neraka, yang disebut-Nya hanya perbuatan mereka yang terburuk sedang kebaikan mereka tidak disebutkan. Kalau teringat ini, dalam hati aku berkata bahwa aku sungguh berharap untuk tidak termasuk golongan mereka. Allah menyebutkan ayat rahmat dan ayat azab supaya ada harapan dan rasa takut pada hamba-Nya. Yang diharapkan dari Allah hanyalah kebenaran dan jangan menjerumuskan diri ke dalam bencana. Jika kau jaga wasiatku ini tak ada barang gaib yang lebih kausukai dari kematian dan ini pasti akan mendatangimu. Tetapi kalau wasiatku ini kauabaikan, maka yang paling kaubenci adalah kematian, dan kau tak akan dapat mengalahkan kehendak Allah." Disebutkan bahwa setelah Umar keluar dari tempat Abu Bakr, Abu Bakr mengangkat tangannya dan berkata: "Allahumma ya Allah, bahwa dengan itu yang kukehendaki hanyalah kebaikan dan aku khawatir m reka akan ditimpa fitnah. Maka aku bekerja untuk mereka dengan apa yang sudah lebih Kauketahui. Aku sudah berijtihad dengan suatu pendapat untuk mereka, maka untuk memimpin mereka kutempatkan orang yang terbaik di antara mereka, yang terkuat menghadapi mereka dan paling menjaga agar mereka menempuh jalan yang benar. Dengan perintah-Mu mereka sudah datang ke mari, maka gantikanlah aku dengan orang yang akan memimpin mereka. Mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan pemimpin-pemimpin mereka di tangan-Mu. Allahumma ya Allah, perbaikilah keadaan mereka, dan jadikanlah mereka sebagai khalifah-khalifah-Mu yang benar - menjadi khulafa' rasyidun - dan rakyat akan menjadi baik."
    Memang tak mudah buat kita mengecek benar tidaknya sumber mengenai wasiat dan doa itu. Bahkan barangkali boleh saja orang yang menyangsikan sebagian wasiat dan doa yang dihubungkan dengan Abu Bakr ra. itu. Cukup kiranya jika kita sebut kata-kata terakhir dalam wasiat itu: "jadikanlah mereka sebagai khalifah-khalifah-Mu yang benar," dan di samping itu kita ingat ketika orang memanggilnya dengan "Khalifah Allah" ia tolak dengan kata-katanya: Tetapi aku Khalifah Rasulullah. Hal ini kita kemukakan supaya alasan pokoknya jelas buat orang yang menyangsikannya. Apalagi bila di samping itu kita tambahkan pula adanya sumber-sumber sekitar biografi Abu Bakr yang saling berbeda dan lemah, sumber demikian seharusnya kita hadapi dengan lebih berhati-hati.
    -----------------------
    * Bandingkan Qur'an: "Dan neracalah hari itu yang menjadi kebenarannya. Barang siapa yang timbangannya berat (oleh kebenaran), mereka itulah yang beruntung. Dan barang siapa timbangannya ringan mereka itulah yang rugi sendiri." (Qur'an, 7. 8-9). (A).
  2. Orang yang menolak keterlambatan Ali membaiat tidak menyebutkan adanya kata-kata ini. Juga para narasumber tidak pula menyebutkan tentang apa yang dikatakan orang bahwa Abu Bakr ingin menanyakan kepada Rasulullah tentang beberapa hal, di antaranya menyangkut kaum Ansar, berhakkah mereka memegang kekuasaan.
  3. Nadih dapat berarti unta, kerbau atau keledai yang mengangkut air. Sebagian sumber menyebutkan nama yang berbeda-beda mengenai arti ini: unta yang baru dilahirkan.
  4. Sesudah hijrah, di Medinah Abu Bakr menikah dengan Habibah binti Kharijah, ibu tiri Aisyah. Ibu Aisyah sendiri Umm Rauman binti Amir bin Uwaimir di Mekah. Lihat h. 3 (A).
  5. Ada sekian banyak sumber mengenai wasiat pengafanan Abu Bakr ini, dan semuanya mengacu kepada Aisyah. Di antaranya bahwa dengan masih mengenakan pakaiannya dia berkata: Kalau aku mati cucilah pakaianku ini dan bungkuskanlah lagi dengan dua pakaian baru dan kafanilah aku dengan tiga lapis pakaian. "Tidak semua saja pakaian baru?" tanya Aisyah. "Tidak!" kata Abu Bakr, "Itu hanya untuk mayat yang sudah bernanah. Orang hidup lebih berhak dengan pakaian baru daripada orang mati." Di antaranya lagi Abu Bakr berkata kepada Aisyah, Berapa kafan untuk Rasulullah saw. Dijawab: Dengan tiga helai pakaian. Kata Abu Bakr, Cucilah kedua pakaianku ini dan belikan pakaian satu lagi buat aku. Aku berkata: Ayah, kita mampu. Kata Abu Bakr: Hai putriku! Orang hidup lebih berhak dengan pakaian baru daripada orang mati. Tak lebih itu hanya untuk mayat yang sudah bernanah. Di samping itu masih banyak sumber lain yang dikutip Ibn Sa'd dalam Tabaqat.
  6. Samtan wa hadyan, sikap dan pandangan yang mulia dalam beragama (N, LA) (A).
  7. Orang yang benar, tulus hati dan baik serta jujur dan istikamah dalam kata, prasangka, perbuatan dan segala yang baik mengenai sesuatu dan orang. Mu'jam Alfazil Qur'anil Karim (A).
  8. Ketiga eulogi yang disampaikan Ali bin Abi Talib, putri Abu Bakr Aisyah Ummulmukminin dan Umar bin Khattab ini sangat mengharukan, dengan kata-kata dan retorika yang indah sekali. (A).
  9. Gelar Umar bin Khattab. (A).

(sebelum, sesudah)


Abu Bakr As-Siddiq - Yang Lembut Hati
Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi
 
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
Penerbit P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel./Fax. (0251) 330505, Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-29-8
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. INTERMASA, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team