Abu Bakr As-Siddiq

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

XVII. PEMERINTAHAN ABU BAKR (1/3)

Khalifah menurut gambaran Abu Bakr - 322; Khalifah Rasulullah dalam memimpin Muslimin dan politiknya saja - 323; Khalifah terpilih - 324; Mengapa Umar memakai gelar Amirulmukminin - 324; Hubungan politik antar negeri-negeri Arab di masa Rasulullah - 325; Kesatuan agama adalah perkembangan awal dalam sistem politik - 326; Pelantikan Abu Bakr dan perkembangan sistem politik - 327; Abu Bakr berbeda pendapat dengan Umar - 328; Sistem pemerintahan dalam Islam bukan teokrasi - 329; Pemerintahan Islam terikat oleh kehendak rakyat dan oleh perintah dan larangan Allah - 330; Pemerintahan Islam berada di bawah pengawasan umat Islam - 330; Pemerintahan Islam bukan aristokrasi - 331; Pemerintahan Abu Bakr adalah pemerintahan Syura - 332; Pemerintah Abu Bakr merintis kesatuan politik - 333; Kedaulatan Islam dan dasar yang menjadi Iandasannya - 334; Dasarnya kebebasan berkeyakinan - 334; Perbedaan kedaulatan Islam dengan kedaulatan lain - 335; Sebabnya membiarkan pemerintahan tanpa beraturan pada masa Abu Bakr - 336; Masih dalam pengaruh keadaan perang - 337; Berkembangnya pemerintahan Islam demikian di masa Abu Bakr - 339; Perkembangannya selama berabad- abad kemudian - 339; Pengaruh orang-orang asing dalam menyusun pemerintahan di dunia Islam - 340.

Setelah Abu Bakr dibaiat seseorang memanggilnya dengan kata-kata,"Ya Khalifatullah." Abu Bakr tidak membiarkan orang itu meneruskan bicaranya, melainkan langsung diputus: "Aku bukan Khalifah Allah tapi Khalifah Rasulullah."

Khalifah menurut gambaran Abu Bakr

Kata-kata ini diungkapkan oleh para sejarawan sebagai bukti tentang sifat Abu. Bakr yang sangat rendah hati dan bijak. Menurut hemat saya kata-kata itu perlu kita renungkan dengan arti yang lebih dalam, yang ada hubungannya dengan kepribadianan dan watak Abu Bakr, yakni betapa jelasnya Muslimin dahulu itu melukiskan konsep pemerintahan. Berabad-abad sudah berlalu sebelum pemerintahan Rasulullah, disusul dengan berabad-abad pula sesudahnya, dalam pada itu sudah sekian banyak bangsa dengan raja-raja dan penguasa-penguasanya yang menganggap diri khalifah Allah, wakil Tuhan di bumi. Oleh pengikut-pengikutnya memang dianggap demikian. Dengan begitu mereka menyandang kesucian, yang tak ada pada orang lain, seperti halnya di Mesir pada zaman Firaun dahulu kala, di antara mereka ada yang berkata kepada bangsanya: "Akulah Tuhanmu Yang Tertinggi." Kebanyakan orang Mesir ketika itu mempercayai sifat-sifat ketuhanan itu pada raja-raja mereka, lalu kepercayaan demikian tambah diperdalam oleh propaganda para pendetanya. Demikian pula halnya di Asiria, di Iran, di India dan lain-lain yang semasa dengan Firaun. Raja-raja yang paling rendah hati masa itu menganggap diri wakil Tuhan di bumi.

Pada abad-abad pertengahan di Eropa banyak dari kalangan pendeta yang menganggap para raja itu memang benar-benar suci, kesucian yang diperoleh dari Tuhan sehingga kekuasaan mereka atas manusia sudah tak terbatas lagi, dan menganggap mereka wakil-wakil Tuhan. Kata-kata mereka turun seperti wahyu dan perintah mereka seperti perintah Tuhan yang tak boleh ditolak. Sampai abad ke-15 pandangan ini masih diterima baik di Eropa, dan sampai abad ke-17 pada beberapa bangsa lain. Orang tak dapat mengatasi hal itu, meskipun ilmu pengetahuan sudah berkembang dan peradaban sudah maju. Kecuali dengan revolusi-revolusi kekerasan yang menelan ribuan, bahkan puluhan ribu manusia, yang mereka korbankan demi prinsip-prinsip yang mereka perjuangkan: kemerdekaan, persaudaraan dan persamaan.

Ideologi yang menguasai dunia selama berabad-abad itu, dan menguasai Eropa sampai belum lama ini, itulah yang ditolak oleh Abu Bakr dengan kata-katanya: "Aku bukan Khalifah Allah, tapi Khalifah Rasulullah."

Khalifah Rasulullah dalam memimpin Muslimin dan politiknya saja

Abu Bakr tidak menolak bahwa dia memang Khalifah Rasulullah, tetapi dia menggantikan Rasulullah saw. dalam memimpin kaum Muslimin serta mengurus segala kepentingan mereka dalam batas-batas yang sesuai dengan apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah. Tetapi yang di balik itu, yang dikhususkan Allah hanya bagi Rasul-Nya, tak pernah terlintas dalam pikiran Abu Bakr bahwa dia juga mewakilinya, juga khalifahnya. Bagaimana hal ini akan terpikirkan, bukankah Rasulullah penutup para nabi dan para rasul, tak seorang pun dapat menggantikan kenabian dan kerasulannya! Dia sudah menjadi pilihan Allah, yang diberi Kitab dengan segala kebenarannya, agama orang-orang beriman yang sudah dilengkapi dengan kenikmatan, sudah disempurnakan bagi mereka. Itulah yang diucapkan oleh Abu Bakr dalam pidato pelantikannya dengan mengatakan:

"Dalam hal ini saya sudah terpilih, dan saya menerimanya dengan rasa berat hati. Demi Allah, yang saya harapkan sekiranya ada di antara kalian yang dapat menggantikan saya. Sungguh, jika kalian menugaskan saya untuk bekerja seperti yang dikerjakan oleh Rasulullah saw. saya tidak sanggup. Rasulullah saw. seorang hamba yang diberi kehormatan oleh Allah dengan wahyu, yang akan membebaskannya dari kesalahan. Tetapi saya seorang manusia biasa dan saya bukanlah yang terbaik di antara kamu sekalian. Awasilah saya; jika kalian melihat saya berlaku baik, taatilah saya, dan kalau kalian melihat saya sudah menyimpang luruskanlah."

Sudah kita lihat bagaimana Abu Bakr memerangi mereka yang mengaku-ngaku nabi, dan mereka yang murtad dari agama Allah serta keimanan kepada Rasul-Nya, dan bagaimana gigihnya ia memerangi mereka itu semua, sampai akhirnya mereka kembali kepada agama dan petunjuk yang benar.

Khalifah terpilih

Sesudah Rasulullah, atas pilihan dan kehendak umat Abu Bakr yang memegang pucuk pimpinan umat Islam dengan segala persoalannya. Allah tidak mengutus seorang khalifah untuk mereka sebagaimana Muhammad yang diutus kepada mereka itu, dan dia tidak lebih diutamakan dari yang lain kecuali dengan takwa. Tidak pula ia merasa berhak memerintah umat Muslimin di luar batas-batas Kitabullah dan sunah Rasulullah. Itulah yang diucapkan Abu Bakr ra. dalam pidato pelantikannya: "Taatilah saya selama saya taat kepada (perintah) Allah; tetapi bila saya menyimpang dari perintah-Nya, maka gugurlah kesetiaanmu kepada saya."

Mengapa Umar memakai gelar Amirulmukminin

Umar bin Khattab yang kemudian menggantikan Abu Bakr tidak menggunakan gelar Khalifah Rasulullah. Bahkan ia minta diberi gelar Amirul Mu'minin (amirulmukminin). Soalnya ia mau menghindari pengulangan gelar itu menjadi Khalifah Khalifah Rasulullah, pengulangan yang akan berkepanjangan tanpa batas dengan adanya khalifah-khalifah berikutnya. Kalau dia bergelar Khalifah Khalifah Rasulullah tentu Usman yang sesudahnya akan bergelar Khalifah Khalifah Khalifah Rasulullah dan Ali bin Abi Talib akan bergelar Khalifah Khalifah Khalifah Khalifah Rasulullah.

Umar memakai gelar Amirulmukminin justru untuk menghindari pengulangan itu, seperti kata-kata Abu Bakr, 'Saya bukan Khalifatullah melainkan Khalifah Rasulullah' yang lebih bermakna dan lebih jelas artinya seperti yang dimaksud oleh Abu Bakr. Tujuannya dalam arti bahasa untuk waktu-waktu yang akan datang. Dialah yang menggantikannya memimpin umat setelah Rasulullah wafat. Sekiranya gelar Khalifah ketika itu dimaksudkan bukan dalam pengertian bahasa, tentu Umar bergelar Khalifah Rasulullah seperti Abu Bakr dan tak perlu lagi pengubahan gelar ini dengan gelar Amirulmukminin.

Barangkali ada sebab lain maka Umar menggunakan gelar Amirulmukminin untuk dirinya itu. Dia melihat sistem pemerintahan di negeri Arab dan di negeri-negeri yang sudah dibebaskan pada masa Abu Bakr itu sudah mengalami perkembangan, sementara yang sekarang ini masih dalam batas-batas perintah dan larangan Allah. Perkembangan di Semenanjung Arab itu dan sekitarnya begitu pesat sehingga dunia dan para sejarawan merasa bingung. Baik dalam Qur'an maupun dalam sunah Rasulullah memang tidak dirinci bagaimana seharusnya sistem pemerintahan itu berlaku, walaupun yang dijadikan dasar hukum oleh Qur'an ialah musyawarah.

Firman Allah yang ditujukan kepada Nabi: [huruf Arab] Bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (3: 159) dan [huruf Arab] dan persoalan mereka dimusyawarahkan antara sesama mereka (42. 3).

Sesuai dengan daerah yang dibebaskan yang kini sudah makin luas, dan untuk menjamin keamanan dan ketenteraman warganya, mau tak mau Umar harus memperhatikan sistem itu secara lebih saksama. Sama halnya dengan seorang panglima pasukan yang menyusun dan mengatur mobilisasi pasukan yang disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam suatu pertempuran dan apa yang harus dilakukannya dengan pasukannya dalam berhadapan dengan pasukan musuh, tanpa harus terikat pada ketentuan lama selama masih dalam garis-garis ketaatan kepada Allah dan berpedoman kepada ketentuan Rasul-Nya.

Hubungan politik antar negeri-negeri Arab di masa Rasulullah

Kalau kita kembali memperhatikan perkembangan yang begitu cepat ini kita akan bertambah kagum kepada Abu Bakr. Sikapnya yang tenang dan lemah lembut dalam menghadapi semua persoalan, itulah pula sumber kekuatannya dan keberhasilan politiknya. Sampai pada masa Rasulullah negeri-negeri Arab terbagi antara kehidupan kota dengan kehidupan pedalaman, dengan kepercayaan agama yang beraneka macam. Utara dan selatan hampir tak saling mengenal. Yaman yang berada di bawah kekuasaan Persia, bertetangga dengan agama-agama Nasrani, Yahudi dan penyembah berhala. Bahasanya pun bahasa Arab Himyar yang dalam dialek umumnya berbeda dengan bahasa Arab Kuraisy, khususnya dengan bahasa Arab Mudar. Di samping itu dari generasi ke generasi Yaman merupakan tempat peradaban.

Kebalikannya dari Hijaz, yang lebih dekat dengan kehidupan pedalaman sahara. Kota-kotanya, Mekah, Yasrib dan Ta'if masing-masing berdiri dengan caranya sendiri, seperti setiap kabilah yang masing-masing punya cara sendiri pula. Agama-agama Yahudi dan Nasrani yang bertetangga dengan mereka di Yasrib tak sampai mengubah kemerdekaan mereka, juga di Mekah yang bertetangga dengan agama Nasrani dan penyembahan berhala kemerdekaan mereka tidak terpengaruh. Setelah dakwah Nabi yang mengajak kepada tauhid ini tersebar di seluruh Semenanjung Arab dan dengan izin Allah agama ini merata ke segenap kawasan itu, Yaman pun lepas dari cengkeraman Persia dan kembali merdeka, dengan cara-caranya sendiri seperti sediakala. Begitu juga kota-kota lain di Hijaz dan kabilah-kabilahnya tetap berpegang pada Islam, agama yang diturunkan dengan wahyu kepada Rasulullah. Dengan demikian negeri-negeri Arab itu sudah seperti perserikatan bangsa-bangsa Arab, disatukan oleh satu akidah. Semua sudah bernaung di bawah agama yang dibawa oleh Muhammad dan mereka setia menganut ajaran-ajarannya. Sebagai kewajiban kepada Allah untuk menunaikan salah satu rukun agama yang sudah mereka yakini itu, yang masih kurang hanyalah dalam menunaikan zakat.

Kesatuan agama adalah perkembangan awal dalam sistem politik

Tetapi kesatuan agama ini merupakan perkembangan yang mula-mula dalam sistem politik negeri-negeri itu yang tadinya tak mendapat perhatian masyarakat Arab. Kabilah-kabilah dan penduduk. kota sudah bersekutu hendak mempertahankan kebebasan beragama dan akan memerangi kaum musyrik yang akan merintangi orang dari jalan Allah. Setelah pasukan Medinah di bawah pimpinan Rasulullah berangkat hendak memasuki kota Mekah, kabilah-kabilah dari Sulaim, Muzainah, Gatafan dan yang lain bergabung dengan kaum Muhajirin dan Ansar untuk membebaskan kota suci itu. Mekah pun membuka pintu dan penduduknya menyerah, dan bersama-sama dengan Rasulullah pemuda-pemudanya berangkat ke Hunain dan Ta'if.

Dalam pada itu Rasulullah telah pula mengirim pembantu-pembantunya ke daerah-daerah yang penduduknya sudah beragama Islam untuk mengajarkan Qur'an dan seluk-beluk agama. Pembantu-pembantu Rasulullah itu dulu sudah pernah mengatur zakat dan pemungutannya lalu dikirimkan ke Medinah atau dibagi-bagikan kepada kaum fakir miskin, penduduk yang sudah menganut agama Allah. Wajar saja akibat revolusi agama ini akan melahirkan suatu perkembangan baru dalam sistem politik yang cenderung pada persatuan tanah Arab yang tak pernah dialami sebelumnya. Tetapi penduduk negeri-negeri itu, di Yaman dan di luar Yaman tidak memperkirakan adanya perkembangan ini, dan tak terlintas dalam pikiran siapa pun bahwa setelah Rasulullah perkembangan itu masih akan berjalan. Bahkan mereka mengira bahwa ajaran-ajaran yang disebarkan oleh Rasulullah di kalangan mereka itu asli milik mereka. Mereka kemudian akan kembali ke politik mereka yang lama, setiap golongan dan kabilah berdiri sendiri-sendiri dan dengan caranya masing-masing seperti sediakala.

Itulah sebab timbulnya pemberontakan di negeri-negeri itu setelah Rasulullah wafat, dan yang kemudian menimbulkan Perang Riddah. Abu Bakr menginginkan negeri-negeri itu tetap seperti pada zaman Rasulullah, sedang negeri-negeri tersebut ingin sepenuhnya kembali kepada kemerdekaan politiknya. Abu Bakr yang sudah begitu kuat imannya kepada Allah dan kepada Rasul-Nya, sangat beralasan sekali dengan kegigihannya supaya setiap Muslim melaksanakan segala yang diwajibkan oleh Allah seperti yang dilaksanakan kepada Rasulullah. Kawasan itu menganggap dirinya berhak merdeka dan mengurus diri sendiri seperti Medinah. Oleh karena itu mereka menolak kaum Muhajirin dan Ansar setelah tak ada lagi seorang utusan Allah yang menerima wahyu, dan yang dengan penuh iman akan mereka jalankan perintahnya, sebab itu adalah perintah Allah swt.

Pelantikan Abu Bakr dan perkembangan sistem politik

Apa yang terjadi dengan pelantikan Abu Bakr di Medinah patut kita renungkan, seperti yang dilakukan orang-orang Arab ketika itu. Mengapa kaum Muhajirin dan Ansar menghendaki pemilihan khalifah dari kalangan mereka sendiri, bukan dari kalangan Arab yang lain? Apa yang menunjukkan adanya perkembangan sistem politik ketika itu? Adakah dengan memilih Abu Bakr mereka berpendapat karena dialah yang lebih dulu masuk Islam, dan dalam membela Islam ia berada di baris terdepan, sehingga ia menjadi orang yang sangat menentukan dalam urusan orang Arab dan menjadi orang yang patut ditampilkan dalam memimpin mereka? Barangkali kita masih ingat keberatan Umar bin Khattab terhadap Abu Bakr ketika mau mengajak kalangan Mekah bermusyawarah untuk membebaskan Syam dan meminta bantuan mereka setelah memerangi penduduk Mekah yang murtad, seperti yang dilakukan oleh kaum Muhajirin dan Ansar. Kemudian juga dalam hal ini kita barangkali masih ingat kata-kata Suhail bin Amr kepada Umar serta jawaban Umar. Kata Suhail:

"Bukankah kami saudara-saudara kalian dalam Islam dan saudara seayah dalam keturunan?! Karena dalam hal ini Allah telah memberi kedudukan yang baik kepada kalian, yang tak ada pada kami, lalu kalian mau memutuskan hubungan silaturahmi dan tidak menghargai hak kami?!"

Umar menjawab: "Seperti yang kaukatakan, apa yang sudah kusampaikan kepada kalian itu hanyalah sebagai nasihat dari orang yang sudah lebih dulu dalam Islam, dan lebih sesuai dengan keadilan yang berlaku antara kalian dengan Muslimin yang lebih berjasa daripada kalian."

Kalaulah begitu pendapat Umar dan orang-orang yang sependapat dengan dia mengenai Mekah dan penduduknya, alangkah tepatnya jika pendapat mereka itu juga sama mengenai kalangan Arab yang lain. Kata-kata Suhail itu sudah jelas sekali menolak pendapat Umar, begitu juga tuntutan penduduk Mekah yang gigih atas hak yang sama dalam musyawarah dengan hak penduduk Medinah.

Jelas sekali dialog ini menggambarkan unsur-unsur yang interaksi untuk membentuk sistem politik dalam negara yang baru tumbuh itu. Kalau untuk menjaga keutuhan negara yang memang diperlukan sehingga kaum Muhajirin dan Ansar di Medinah ketika itu cepat-cepat mengadakan pemilihan dan membaiat khalifah, maka dengan selesainya Abu Bakr dibaiat dan diterima dengan senang hati oleh umat Islam, keadaan darurat demikian itu sudah pula selesai. Mekah dan Ta'if sudah ikut memperkuat Islam dan bahu membahu dalam memerangi kaum murtad. Karenanya hak menyatakan pendapat pada keduanya sama seperti pada penduduk Medinah.

Adakah kaum Muhajirin dan Ansar yang karena lebih dulu dalam Islam lalu akan dijadikan alasan untuk diprioritaskan dari semua kaum Muslimin dan dijadikan alasan pula untuk lebih diutamakan dari kalangan Arab yang lain? Itulah pendapat Umar bin Khattab, dengan mengambil dasar dialog antara kaum Muhajirin dengan Ansar yang terjadi di Saqifah Bani Sa 'idah dulu. Penduduk Mekah sendiri sudah merasa jemu dengan hal itu, dan atas nama mereka Ikrimah bin Abi Jahl dan Suhail bin Amr juga menolaknya.

Abu Bakr berbeda pendapat dengan Umar

Dalam hal ini Abu Bakr tidak sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Umar itu, kendati ketika di Saqifah Bani Sa'idah dulu, dengan alasan yang kuat sekali Abu Bakr-lah yang mendukung hak kaum Muhajirin untuk memegang pimpinan, karena mereka sudah lebih dulu dalam Islam daripada kaum Ansar dan demi semua itu mereka sudah memikul segala macam penderitaan. Soalnya, dia berpendapat bahwa selain penduduk Medinah, yang lain yang sudah kuat Islamnya, mereka samasama bahu membahu dalam memerangi kaum murtad, dan ada pula yang berangkat menghadapi perang Irak. Sudah tentu adil sekali bilamana mereka juga mendapat hak menyatakan pendapat dan pandangan mereka seperti penduduk Medinah. Karenanya ia mengajak penduduk Mekah bermusyawarah untuk menghadapi perang dengan Syam dan meminta bantuan mereka. Juga emas yang dulu diperoleh dari sebuah tambang di dekat Medinah dibaginya rata antara kaum Muslimin. Ketika dikatakan tentang orang yang sudah lebih dulu dalam Islam lebih utama ia menjawab: "Mereka menyerahkan diri kepada Allah dan untuk itu mereka patut mendapat balasan; Dia Yang akan memberi ganjaran di akhirat. Dunia ini hanya tempat menyampaikan."

Dengan sikapnya yang arif itu ia telah dapat merintis perkembangan politik di negeri-negeri Arab dengan cara yang lemah lembut dan luwes.

Perbedaan pendapat sekitar soal ini kembali terulang pada masa pemerintahan Umar dan ia tetap berpegang pada pendapatnya yang semula, berlawanan dengan pandangan dan kebijakan Abu Bakr. Kemudian pada akhir masa jabatannya ia berusaha hendak kembali kepada pendapat pendahulunya itu tetapi ajal sudah mendahuluinya sebelum maksudnya terlaksana.

Kebijaksanaan politik Abu Bakr itu membawa perkembangan masyarakat Arab ke arah kesatuan politik, dan membuat mereka melihat Medinah sebagai ibu kota negara mereka dan sumber segala kebijakan mereka. Oleh karena itu harapan mereka hanya .tertuju ke sana, mereka berlindung di bawah kekuasaan dan panji Medinah.

Bagaimana corak kekuasaan itu? Dalam bentuk teokrasi (keagamaan), aristokrasi (pemerintah kebangsawanan) atau demokrasi (pemerintah kerakyatan)?1

(sebelum, sesudah)


Abu Bakr As-Siddiq - Yang Lembut Hati
Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi
 
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
Penerbit P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel./Fax. (0251) 330505, Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-29-8
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. INTERMASA, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team