|
XVII. PEMERINTAHAN ABU BAKR (3/3)
Sebabnya membiarkan pemerintahan tanpa
beraturan pada masa Abu Bakr
Abu Bakr tak punya waktu yang cukup untuk membuat suatu
sistem pemerintahan atas prinsip-prinsip tersebut di
negeri-negeri yang sudah dibebaskan oleh Muslimin pada masa
pemerintahannya itu. Kota-kota yang sudah dibebaskan oleh
Khalid bin Walid diserahkan kepada penduduk setempat
mengurus administrasinya, sementara pihak Muslimin masih
menjaga keutuhan politik negara dan mengatur segala
kepentingan umum. Dan ini tak dapat disebut organisasi
pemerintahan, melainkan suatu keadaan darurat yang berjalan
menurut strategi perang pada waktu peperangan sedang
berkecamuk antara pihak Muslimin dengan Persia. Keadaannya
masih berada di bawah komando militer.
Begitu juga di Syam ketika dibebaskan keadaannya sama
dengan di Irak. Buat kalangan daerah-daerah yang dibebaskan
oleh Muslimin pemerintahan atas dasar musyawarah terasa baru
sekali. Begitu juga Islam terasa baru di tengah-tengah
agama-agama yang ada di sekeliling Semenanjung itu. Pada
waktu itu yang ada adalah kekuasaan otoriter, kekuasaan
mutlak di tangan pribadi. Kalangan pendeta dan biarawan
serta pemukapemuka agama yang lain mendukung kekuasaan
otoriter itu. Mereka pula yang memberikan kepada penguasa
demikian itu kedudukan suci yang sungguh mengerikan, yang
karena hebatnya membuat jantung bergetarun, membuat semua
orang tunduk dan sujud di hadapannya.
Itu pula sebabnya, ketika orang melihat hukum yang baru
ditegakkan atas dasar persamaan dan keadilan - sejalan
dengan kehendak rakyat dalam batas-batas sesuai dengan
perintah dan larangan Allah - mereka bersemangat
menyambutnya. Sambutan mereka itu pulalah yang menyebabkan
kemenangan yang dianugerahkan Allah kepada kaum Muslimin.
Dalam waktu beberapa tahun saja kedaulatan besar itu
berkembang menggantikan imperium Rumawi dan Persia, dan yang
kemudian melangkah melampaui perbatasan mereka sampai ke
India di timur dan ke Afrika Utara di barat. Bendera Islam
akan berkibar menyertai bendera kebenaran, keadilan dan
keimanan yang sesungguhnya, ke mana pun perginya, menanamkan
prinsip-prinsip kemerdekaan, persaudaraan dan persamaan
dalam bentuknya yang paling layak bagi umat manusia, manusia
yang memang merindukan kesempurnaan.
Abu Bakr tak punya waktu yang cukup untuk membuat suatu
sistem pemerintahan di negeri-negeri yang baru dibebaskan
oleh Muslimin pada masa pemerintahannya itu. Juga untuk
menyusun suatu sistem yang tetap untuk pemerintahan di
negeri Arab sendiri waktunya tak cukup buat Abu Bakr. Semua
yang sudah kita baca dalam buku ini, dari pidatopidato
Khalifah pertama itu, dan kebijakannya menempatkan Umar bin
Khattab dalam bidang kehakiman, Usman bin Affan dan Zaid bin
Sabit dalam sekretariat negara, membuktikan bahwa konsep
Islam mengenai sistem pemerintahan sampai waktu itu masih
dalam tahap yang belum jelas. Dasar-dasarnya dalam Qur'an
dan sunah Rasulullah memang sudah jelas, tetapi
penjabarannya masih kabur. Mengenai ini tak banyak yang
dikatakan seperti orang berkata tentang pemerintahan Islam
masa Banu Umayyah dan Banu Abbas, bahkan pada masa
pemerintahan Umar dan masa Usman.
Hal ini wajar saja dalam suatu pemerintah yang sudah
ditakdirkan menjadi pemerintah transisi dari waktu ke waktu,
yang sangat berbeda dengan pendahulunya - dari segi
peradaban, keyakinan, cara berpikir dan dalam segala hal
yang berkaitan dengan seluk-beluk kehidupan.
Masih dalam pengaruh keadaan perang
Juga wajar sekali dalam masa perjuangan dan peperangan
pemerintahnya lebih menyerupai pemerintah militer daripada
pemerintah sipil. Peraturan-peraturan sipil di waktu perang
itu makin beringsut dan hampirhampir habis ditelan oleh
peraturan-peraturan militer. Ini terjadi di negeri yang
peraturan-peraturan sipilnya sudah lama berlangsung dari
generasi ke generasi. Apalagi dibandingkan dengan negeri
Arab, yang sebelum Islam tak pernah mengalami suatu
peraturan sipil dan persatuan yang mantap! Tidak heran dalam
hal ini segala peraturan perang dan perjuangan menguasai
semua peraturan yang ada, dan kehidupan sipil sangat
terpengaruh oleh kejadian-kejadian perang.
Kalau kita katakan bahwa perang ini pada tahun pertama
pemerintahan Abu Bakr adalah perang saudara, dan perang itu
terjadi untuk menegakkan pemerintahan dengan segala
peraturannya, kemudian kita katakan bahwa ketika mulai
menghadapi Persia di Irak perang saudara itu sudah
berkecamuk, dan ketika menghadapi Rumawi di Syam perang Irak
juga sedang panas-panasnya, yakinlah kita bahwa pemikiran
untuk menyusun pemerintahan yang stabil dan jelas terinci
bukanlah hal yang mudah. Dengan menghadapi dua singa
raksasa, Persia dan Rumawi, Abu Bakr sudah terlalu sibuk
untuk mengurus yang lain selain untuk menggalang dan
menyatukan perjuangan kaum Muslimin dan untuk mencapai
kemenangan dalam menghadapi musuh.
Sistem pemerintahan militer ini lebih mirip dengan
cara-cara badui yang memang menguasai negeri Arab berikut
kabilah-kabilahnya sejak sebelum Islam. Tak ada pasukan
militer yang teratur, malah setiap orang Arab bisa jadi
prajurit atas dasar kepahlawanan atau keksatriaan. Kalau
genderang perang sudah ditabuh dan orang sudah berseru untuk
perang, kabilah-kabilah dan penduduk desa keluar
beramai-ramai masing-masing dipimpin oleh seorang kepala
suku dan kepada desa. Sudah kita lihat bagaimana orang-orang
Arab pedalaman penduduk selatan itu keluar tatkala mendengar
seruan untuic memerangi pihak Rumawi di Syam dengan membawa
istri dan anak-anak mereka, membawa perbekalan dan
barangbarang simpanan mereka, tanpa ada paksaan dari
pemerintah pusat, dan penghasilan mereka pun bergantung pada
barang-barang rampasan perang itu.
Mereka dulu mendapat empat perlima hasil rampasan perang,
dan seperlima dikirimkan kepada Khalifah untuk baitulmal dan
untuk mengatur segala kepentingan umum yang tak seberapa
banyak yang dikelola langsung. Yang paling diutamakan oleh
Khalifah dari seperlima ini pengeluaran untuk kaum fakir
miskin penduduk Medinah dan orang-orang yang datang ke kota
itu. Abu Bakr ingin menjaga pembagian rampasan perang itu
kepada mereka dan kepada setiap orang yang berhak
menerimanya dari baitulmal. Oleh karena itu baitulmal ini
berada di rumahnya di Sunh. Sesudah ia pindah ke Medinah
baitulmal itu juga dipindahkan ke Medinah. Dalam hal ini ada
yang mengusulkan kepadanya supaya diadakan penjagaan. Tetapi
dia menolak sebab apa yang disimpan di dalamnya memang tidak
memerlukan penjagaan, juga tidak menyimpan barang yang perlu
dikhawatirkan akan dijarah orang.
Berkembangnya pemerintahan Islam demikan
di masa Abu Bakr
Bentuk pemerintahan Abu Bakr membuktikan bahwa memang
lebih dekat pada kesederhanaan orang-orang Arab badui dan
menurut tradisi Arab semata-mata, yang samasekali tak
terpengaruh oleh sistem-sistem lain yang ada ketika itu, di
Rumawi atau di Persia. Kendati dalam kesederhanaannya itu ia
merupakan mata rantai yang kuat menyambung masa pemerintahan
di zaman Rasulullah dengan masa kedaulatan besar itu.
Eratnya hubungan dari segi duniawi ini lebih mirip dengan
masa Rasulullah. Ia tak pernah mengerjakan sesuatu yang
tidak dikerjakan oleh Nabi, dan tidak pula meninggalkan apa
pun yang dikerjakan oleh Nabi. Tetapi dia tak sampai menjadi
orang jumud, yang hanya bertaklid. Bahkan kesedihannya
ditinggalkan Rasulullah membuka pintu ijtihad lebar-lebar
baginya dalam bidang politik kaum Muslimin. Karena
ijtihadnya jugalah maka Allah memberikan kemenangan
kepadanya dalam membebaskan Irak dan Syam. Kemudian setelah
itu ia merintis jalan untuk sebuah pemerintah kesatuan di
negeri Arab atas dasar permusyawaratan dalam batas-batas
perintah dan larangan Allah. Dalam menghadapi suatu masalah
ia tak pernah bersikap fanatik secara berlebihan, tetapi ia
menempuh jalan di bawah cahaya Allah, demi kepentingan
hamba-hamba Allah juga. Yang sering mengantarkan imannya ke
jalan yang lurus ialah karena pertanggungjawabannya kepada
Allah, juga pertanggungjawabannya kepada hamba-Nya. Allah
keras sekali dalam membuat perhitungan.
Perkembangannya selama
berabad-abad kemudian
Sesudah Abu Bakr pemerintahan Islam berkembang dalam
berbagai bentuknya. Umar bin Khattab di masa pemerintahannya
membentuk dewan, dengan mengambil contoh sistem pemerintahan
di Persia dan Rumawi dengan tetap berpegang pada Kitabullah
dan batas-batas hukumnya. Kemudian pada pemerintahan Usman
sudah mulai mendekati pemerintahan otoriter yang tak sesuai
dengan tradisi Arab. Inilah yang menjadi pencetus
pemberontakan, yang berakhir dengan terbunuhnya Usman
sendiri. Kepemimpinan pemerintahan pada masa Banu Umayyah
telah pula berubah menjadi kerajaan tirani, diwariskan
turun-temurun kepada keluarga. Begitu juga halnya dengan
pemerintahan Banu Abbas. Di tengah-tengah kondisi semacam
ini tangan-tangan asing dari Persia dan Rumawi pun mulai
pula tampak pengaruhnya. Barangkali tadinya di masa Umar dan
Usman masih tersembunyi. Kemudian mulai tampak jelas sedikit
demi sedikit di masa Banu Umayyah, untuk kemudian muncul
terang-terangan di masa Banu Abbas.
Pengaruh orang-orang asing dalam
menyusun pemerintahan di dunia Islam
Dalam pada itu ulama-ulama Islam - sebagian besar
orang-orang asing - menyusun dasar-dasar dan penjabarannya
untuk pemerintahan dengan mengacu kepada Qur'an dan sunah
Rasulullah. Antara para ulama itu terjadi perbedaan pendapat
sekitar sistem ini. Itulah penyebab terjadinya
pemberontakan-pemberontakan, yang kadang berkesudahan dengan
penguasa itu yang terjungkir, kadang pemberontakan itu yang
ditumpas dengan tangan besi dan keadaan kembali di tangan
penguasa. Alangkah besarnya perbedaan antara pemerintah Abu
Bakr dengan tradisi Arab yang serba sederhana itu, yang
masih terpengaruh oleh kehidupan orang-orang pedalaman
sahara, dengan pemerintah-pemerintah Banu Umayyah dan Banu
Abbas, dengan para ulama dan fukahanya yang telah
menyusunkan beberapa sistem yang cukup terinci serta
dasar-dasar yang begitu luas.
Keimanan Abu Bakr bahwa dia bertanggung jawab kepada
Allah dan kepada manusia itulah yang memberi petunjuk jalan
kepadanya. Karena rasa tanggung jawab itulah pula, maka
setiap tindakan yang akan dilakukannya ia musyawarahkan
terlebih dulu dan beristikharah kepada Allah. Jika Allah
sudah memberikan pilihan kepadanya maka barulah ia
bertindak. Kalau sudah mengambil suatu keputusan ia tak
pernah ragu. Setiap masalah yang dikemukakannya kepada kaum
Muslimin telah dipertimbangkannya matang-matang.
Kita sudah melihat dulu apa yang telah dilakukannya,
kemudian kita lihat juga bagaimana ketika ia dalam keadaan
sakit mendengarkan laporan Musanna asy-Syaibani yang baru
kembali dari Irak dengan mengusulkan agar memakai tenaga
orang-orang yang pernah murtad dan sudah kembali kepada
Islam untuk menghadapi Persia, dan bagaimana pula ia
berpesan kepada Umar agar memberikan bantuan kepada Musanna
dengan menyertakan mereka bersamanya berangkat ke medan
perang. Selama dalam sakitnya itu Abu Bakr begitu banyak
memikirkan masalah-masalah kaum Muslimin, lebih-lebih
mengenai persatuan mereka. Yang sangat dikhawatirkannya jika
sampai terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat. Oleh
karena itu ia berwasiat, dan wasiatnya ini merupakan
pekerjaannya yang terakhir mengenai pemerintahan, demi
kebaikan Islam dan kaum Muslimin.
Catatan kaki:
- Saya tidak mengklaim bahwa kata "pemerintah
keagamaan" persis berarti pemerintah "teokrasi." Demikian
juga mengenai kata-kata "pemerintah kebangsawanan" dan
"pemerintah kerakyatan" persis sama dengan "aristokrasi"
dan "demokrasi." Ketidaktepatan arti itu tampak lebih
jelas lagi untuk waktu sekarang setelah pelbagai macam
sistem pemerintahan negara makin berkembang. Pemerintahan
yang tak berdasarkan agama dewasa ini berlaku untuk
setiap pemerintah yang tidak mengakui kelas para pendeta
atau pemuka agama dan tak ada agama resmi tertentu untuk
negara. Tetapi di luar pemerintahan yang tak berdasarkan
agama ini mengakui adanya kelas-kelas ini dan menentukan
suatu agama resmi untuk negara, kendati ia menganut
sistem sekuler sepenuhnya, dengan menetapkan kebebasan
menganut kepercayaan dalam arti yang seluas-luasnya.
Pemerintahan demikian ini samasekali tak ada hubungannya
dengan pemerintahan teokrasi. Penguasa pemerintahan
teokrasi memperoleh kekuasaan dan sekaligus perlindungan
dari Tuhan. Contohnya terlihat dalam kekuasaan Firaun dan
yang semacamnya, dan pada raja-raja di Eropa sampai abad
ke-15, seperti yang sudah kita sebutkan pada awal bab
ini. Sistem demikian ini dalam dunia kita sekarang sudah
tak ada lagi. Sedang sistem aristokrasi dipegang oleh
kelompok kaum ningrat atau bangsawan, atau katakanlah
seperti kelompok kepala-kepala kabilah dan suku yang suka
berperang dan menjarah. Kelompok ini selama sekian waktu
dipegang oleh kalangan bangsawan itu, kemudian timbul
persaingan oleh kalangan ningrat dan bangsawan yang lain.
Setelah itu orang lalu bicara tentang aristokrasi modal
dan kaum kapitalis, tentang aristokrasi intelektual, dan
kata ini sekarang sudah pula kehilangan maknanya yang
lama. Tinggal lagi pengertian demokrasi, yang kemudian
berkembang dalam berbagai bentuknya sejak zaman Atena
lama yang terus berkuasa sampai masa kita sekarang ini.
Dan dunia dewasa ini sedang melangkah ke suatu krisis,
yang pangkalnya adalah sistem pemerintahan. Paham
demokrasi tetap mempertahankan keberadaannya, dan sistem
yang lain berusaha hendak menggantikannya.
Dalam pemerintahan Abu Bakr yang kita lukiskan itu
barangkali pembaca dapat melihat - dari segi penerapannya
dengan salah satu bentuk ini, atau mirip tidaknya - yang
akan membawa arti seperti yang kita maksud serta bentuk
yang sudah kita coba melukiskannya itu.
- Lihat Catatan pada Prakata halaman xix (A).
|