Abu Bakr As-Siddiq

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

XVII. PEMERINTAHAN ABU BAKR (2/3)

Sistem pemerintahan dalam Islam bukan teokrasi

Sudah kita lihat bahwa yang dikenal Mesir zaman Firaun itu bukanlah model kekuasaan agama, juga bukan yang dikenal Eropa Abad Pertengahan. Abu Bakr tidak memperoleh kekuasaan hukum itu dari Allah, tetapi dari mereka yang telah membaiatnya. Wahyu yang sudah selesai tidak turun lagi setelah Rasulullah wafat. Yang tinggal hanyalah Kitabullah sebagai petunjuk bagi umat Islam semua, dan sebagai bukti bag1 mereka semua. Itulah yang menjadi ikrar bagi orang-orang beriman dan telah menerimanya dengan baik. Itulah yang menjadi undang-undang dasarnya, yang akan dijadikan pegangan oleh seorang kepala pemerintahan dalam batas-batas yang tak akan dilampauinya. Kalau itu yang dilakukan, maka ia harus ditaati; kalau tidak seorang Muslim tak perlu taat kepadanya.

Pemerintahan Islam terikat oleh kehendak rakyat dan oleh perintah dan larangan Allah

Inilah bentuk pemerintahan Islam yang sebenarnya, yang memang jauh berbeda dari konsep teokrasi. Sebagaimana kita lihat, pemerintahan ini konstitusional, sehingga tak mungkin orang yang menjalankannya akan bertindak sewenang-wenang. Yang sudah menjadi garis pemerintahan teokrasi ialah absolut, mutlak, tak lagi mengenal ikatan apa pun selain kemauan si penguasa dan keserakahannya hendak mempertahankan kekuasaan. Dan keserakahan inilah yang menimbulkan anggapan bahwa kehendak penguasa teokrat itu datang dari kehendak Tuhan; karenanya, dia itulah undang-undang, bahkan ia di atas undang-undang. Segalanya berada di tangan pemegang kekuasaan, hukuman atau ampunan, penderitaan atau kebahagiaan, hidup atau mati. Jauh sekali bedanya dengan pemegang kekuasaan yang harus terikat dengan permusyawaratan rakyat, dan dengan apa yang telah diwahyukan Allah dalam Qur'an.

Ada kalangan yang berpendapat bahwa dengan terikat pada wahyu Allah dalam Qur'an itu berarti ia menyia-nyiakan dan menghilangkan kehendak rakyat, mencampuri perkembangan legislasi, dan dengan demikian membuat pemerintahan Islam itu pada dasarnya adalah pemerintahan teokrasi. Kritik ini sebenarnya tak beralasan. Legislasi yang terdapat dalam Qur'an tak akan melampaui dasar-dasar umum yang sudah ditentukan oleh prinsip-prinsip keadilan dalam bentuknya yang paling ideal. Adapun penjabaran beberapa dasar umum itu menyangkut soal-soal yang pada dasarnya sangat terbatas. Dasar-dasar urn um yang ditentukan oleh Qur'an memang perlu sekali bagi kehidupan masyarakat merdeka. Jika yang demikian dirusak berarti kehidupan tersebut pun akan rusak. Sejarah sudah mencatat bahwa dengan meninggalkan prinsip-prinsip itu, mustahil ia dapat berjalan di negeri yang sudah terdapat keharmonisan antara kebebasan pribadi dengan sistem kemasyarakatan, dan yang mengakui pula adanya hukum keluarga, hak milik dan waris. Di samping itu ajaran sosialisma yang sifatnya gotong royong dapat dipakai seperlunya, dengan mengharuskan penerapan prinsip-prinsip kasih sayang dan kemanusiaan, yang dalam Islam sudah merupakan keharusan mendasar, bukan sekadar kelengkapan rohani saja.

Pemerintahan Islam berada di bawah pengawasan umat Islam

Andaikata batasan yang ada dalam Qur'an diserahkan ke tangan kelompok yang dikhususkan untuk itu - seperti yang terjadi pada kelompok pendeta dalam agama tertentu dengan mengatasnamakan kehendak Tuhan - tentu wajar saja bila timbul kekhawatiran bahwa kehendak rakyat akan jadi sia-sia. Tetapi karena Islam menolak adanya pengkhususan kelompok semacam itu mengingat semua orang sama dalam menjaga segala perintah dan larangan Allah serta turut mengawasi kebijaksanaan penguasa, maka konsep teokrasi dalam pemerintahan Islam jelas tak dapat diterima dan samasekali tak mendapat tempat.

Pemerintahan Islam yang konstitusional ini berada di bawah pengawasan umat Islam seluruhnya. Setiap pribadi boleh meminta pertanggungjawaban pihak penguasa. Dalam soal-soal pemerintahan tak ada suatu golongan yang lebih diistimewakan dari golongan lain. Kita sudah melihat bagaimana Abu Bakr begitu ketat berpegang pada Qur'an dan ketentuan Rasulullah dalam menahan diri dari segala godaan dunia, dengan keyakinan bahwa barang siapa memegang tanggung jawab yang berhubungan dengan urusan rakyat lalu mengambil keuntungan untuk dirinya, maka ia telah berlaku zalim terhadap dirinya dan terhadap rakyat.

Abu Bakr begitu ketat menahan diri sehingga menurut anggapan generasi kita sekarang ia sudah melampaui batas. Kedudukannya sebagai Khalifah dan sebagai pemimpin umat tak sampai mengubah cara hidupnya. Ia tidak pindah dari rumahnya sendiri ke rumah lain. Sejak mengurus kepentingan kaum Muslimin ia sudah melupakan dirinya, melupakan keluarga dan anak-anaknya. Ia hanya mau mengabdi kepada Allah secara mutlak. Ia sudah berikrar untuk ikut merasakan lemahnya kaum yang lemah dan miskinnya orang yang dalam kemiskinan, sebagai realisasi dari arti persaudaraan dalam bentuknya yang paling tinggi, yang sekaligus suatu perwujudan bahwa ia tak terdorong oleh keinginan pribadi, dan untuk itu ia ingin menegakkan keadilan yang sempurna tanpa pilih kasih, tetapi dalam batas-batas ketentuan Allah agar semua orang merasakan keadilan, hidup terhormat, aman dan tenteram.

Pemerintahan Islam bukan aristokrasi

Pemerintahan yang demikian, yang tak kenal despotisma, tak kenal kekuasaan mutlak dan tak ada tempat untuk kaum pendeta, tak mungkin bercorak teokrasi. Pemerintahan ini juga bukan aristokrasi, pemilihan Khalifah dengan mengutamakan kalangan Muhajirin dan Ansar samasekali tak ada hubungannya dengan cara-cara aristokrasi. Mereka adalah orang-orang yang terdiri dari berbagai macam golongan. Yang mereka utamakan hanya untuk menjaga dan memelihara sistem yang sudah ada. Di samping itu mereka adalah kelompok sementara yang akan berakhir dengan meninggalnya pribadi-pribadi itu kelak. Tak ada orang yang akan mewarisi mereka, dan kedudukan mereka pun tak akan digantikan oleh kelompok lain. Bahkan seperti yang sudah kita lihat penduduk Mekah mau menyaingi mereka sebagai pihak yang sudah lebih dulu dalam Islam. Pihak Banu Umayyah, kemudian Banu Abbas yang pernah memegang pimpinan umat Islam merupakan bukti yang kuat sekali bahwa di kalangan Muslimin yang mula-mula konsep aristokrasi itu memang tak pernah ada.

Pemerintahan Abu Bakr adalah pemerintahan Syura

Dari pembentukannya yang pertama dengan segala kecenderungannya pemerintahan Abu Bakr adalah pemerintahan syura - pemerintah dengan dasar permusyawaratan. Abu Bakr dibaiat atas dasar pemilihan umum, yang dipilih karena sifat-sifat pribadinya serta kedudukannya di sisi Rclsulullah, bukan karena keluarga atau kabilahnya. Bukan Abu Bakr sendiri yang menuntut untuk dibaiat, bahkan ia mencalonkan Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Jarrah. Kaum Muslimin diminta mencalonkan siapa saja dari keduanya yang mereka kehendaki. Ketika mereka dicalonkan kaum Ansar menentang kaum Muhajirin dan menuduh bahwa mereka ingin memaksa. Semua itu berlangsung dalam sebuah rapat umum, yaitu rapat Saqifah, dengan masing-masing telah menyampaikan pidatonya, masing-masing berusaha hendak pengaruh-mempengaruhi pemilihan itu dengan cara yang sangat indah sekali. Setelah kemudian orang datang untuk melaksanakan baiat itu, kaum Muhajirin tidak pula mendahului kaum Ansar. Yang pertama membuka jalan ialah Umar dan Abu Ubaidah yang kemudian diteruskan sampai selesai.

Inilah pembaiatan yang diciptakan oleh musyawarah. Baik di Prancis, maupun di Amerika sekalipun, tak lebih bebas dari ini. Setelah Abu Bakr memimpin pemerintahan, pidatonya yang pertama ialah mengukuhkan dasar-dasar musyawarah. Bukankah dia yang mengatakan kepada khalayak ramai selesai pelantikannya: "Saya sudah terpilih untuk memimpin kamu sekalian, dan saya bukanlah orang yang terbaik di antara kamu. Kalau saya berlaku baik, bantulah saya, dan kalau saya salah luruskanlah."? Bukankah dia berkata kepada mereka: "Taatilah saya selama saya taat kepada (perintah) Allah dan Rasul-Nya. Tetapi apabila saya melanggar (perintah) Allah dan Rasulullah maka gugurlah kesetiaanmu kepada saya!"

Inilah pernyataan yang sungguh tegas mengenai hak pendapat umum dan hak rakyat dalam memberikan pengawasan dan bimbingan kepadanya, jika Khalifah melanggar dan berpaling dari perintah Allah. Akibatnya yang wajar untuk menetapkan dasar pelanggaran itu ialah pemyataan bagi pelanggar untuk diturunkan dari kekuasaan. Rasanya tak ada makna yang lebih dalam dari pernyataan ini untuk menetapkan dasar-dasar musyawarah itu.

Seperti kita lihat, meskipun pada masa Abu Bakr perang masih berlanjut, pemerintahnya tetap berpegang pada musyawarah, baik dalam soalsoal besar maupun kecil. Ia tidak melaksanakan sµatu pekerjaan sebelum mengadakan musyawarah. Dalam memutuskan suatu perkara ia tak pernah membeda-bedakan suatu golongan dengan golongan yang lain. Dia sendiri tidak mengenal kemegahan hidup seperti raja atau penguasa di dunia. Semua Muslim di hadapannya sama. Mereka yang masuk Islam bukan dari asal Islam, haknya sama dengan kaum Muslimin yang lain. Tetapi Abu Bakr menolak mengikutsertakan kaum murtad yang kemudian kembali kepada Islam, dalam perang dengan Persia karena ia ingin menjaga keamanan dan keselamatan negara. Sesudah bahaya itu tak ada lagi, ia berpesan kepada Umar agar membantu Musanna dengan tenaga mereka dalam perang dengan Irak.

Pemerintah Abu Bakr merintis kesatuan politik

Dengan demikian Abu Bakr telah merintis perkembangan sistem pemerintahan seperti sudah kita sebutkan, dan menyediakan segala sarana untuk kesatuan politik negeri Arab, setelah kesatuan agama dapat diselesaikannya. Sikap dan kebijaksanaan Abu Bakr yang lemah lembut merupakan faktor utama dalam merintis kesatuan politik ini. Kita lihat bagaimana ia memaafkan pemimpin-pemimpin pemberontak di Yaman dan di tempat lain yang pernah memberontak karena ingin berdiri sendiri. Ia telah memaafkan Qurrah bin Hubairah, Amr bin Ma'di Karib dan Asy'as bin Qais serta pemuka-pemuka Arab yang lain. Kepemaafannya kepada mereka itu setelah ia memperlihatkan sikap keras dan tegas sambil mengajak mereka dan golongannya untuk bersatu dengan Medinah. Sistem musyawarah yang dijalankan Abu Bakr dalam pemerintahannya itu makin memperkuat persatuan itu. Dengan pembebasan Irak dan Syam persatuan semua masyarakat Arab kini makin kuat.

Sudah wajar sekali pemerintahan masa itu akan berpegang pada dasar-dasar musyawarah. Islam lahir di tanah Arab, Kitab Sucinya dalam bahasa Arab dan Rasulullah orang Arab. Ketika itu negeri Arab hidup dalam kebebasan yang sebebas-bebasnya. Soalnya bagi seorang manusia Arab kebebasan itu merupakan sesuatu yang paling berharga, baik yang di pedalaman sahara atau yang berada daerah di pemukiman. Sejak dulu, dan sampai sekarang, cita persamaan memang sudah mendarah daging di kalangan masyarakat pedalaman. Ajaran Islam temyata tambah memperkuat cita itu, sebab di hadapan Al-Khalik persamaan itu lebih luhur dan lebih sempuma lagi. Di hadapan-Nya tak ada perbedaan manusia kecuali dari amalnya. Kalau bukan karena ketakwaannya orang Arab tak lebih mulia dari yang bukan Arab.

Tentang persaudaraan yang dikaitkan dengan kebebasan dan persamaan sebagai simbol pemerintahan rakyat masa kita sekarang ini, dalam Islam sudah diperjelas demikian rupa seperti dalam ucapan Rasulullah: "Tak sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya." Tidak heran, dengan ajaran-ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah kepada umat manusia, dan sejalan dengan watak orang Arab yang paling dijunjung tinggi, persatuan mereka itu akan bertambah kuat dalam sistem yang dasar-dasarnya oleh Abu Bakr sudah diperkuat, dan akan menjurus pada perkembangan yang lebih cepat ke arah persatuan dan stabilitas.

Kedaulatan Islam dan dasar yang menjadi landasannya

Pemerintahan Abu Bakr sekarang sudah meluas sampai ke luar perbatasan kawasan Arab, dan membuka jalan untuk kedaulatan2 Islam yang membentang luas. Adakah itu kebetulan semata yang didorong oleh nasib baik, atau karena perkembangan seperti yang kita lukiskan di atas, dan Islam yang baru tumbuh itu telah pula memastikan kemenangan ini, dan bertambah luas ketika kedaulatan Islam sudah lebih luas?

Tanpa ragu saya dapat mengatakan bahwa perkembangan itu sudah merupakan suatu keharusan, sebab dengan sendirinya sudah terkandung dalam ajaran-ajaran Islam. Pada dasarnya Islam adalah sebuah kedaulatan besar, tetapi intinya adalah juga kebangsaan, kendati konsep kedaulatan besar itu dalam prinsip dan tujuannya berbeda dengan konsep kedaulatan besar masa kita dewasa ini. Perbedaan itu terletak pada bahwa Islam mengajak kepada kebebasan berkeyakinan, dan mewajibkan orang yang mempercayainya untuk membelanya dengan harta dan nyawa. Dengan menyerukan pada kebebasan berkeyakinan ini tidak mengharuskan orang untuk menganutnya dengan paksa, sebab tak ada paksaan dalam agama. Tetapi tujuannya ialah setiap orang bebas melihat dan menilai, sampai ia mau mendengarkan kata-kata yang baik dan mengikuti yang terbaik. Islam yakin bahwa jika manusia sudah memahami ajaran-ajarannya ia akan mengikutinya, sebab Islam mengajak orang pada apa yang dapat diterima aka!, dan sesuai dengan kodrat manusia yang mumi dan sehat.

Dasarnya kebebasan berkeyakinan

Kebebasan menganut suatu keyakinan memang masih memerlukan pembelaan dan pengorbanan demi keyakinannya itu. Manusia yang sewenang-wenang tentu tidak menyukainya, bahkan membencinya. Mereka yang ingin mengeksploitasi rakyat, segala yang buruk dan merusak dalam paham mereka digambarkan kepada rakyat sebagai yang indah. Dalam hal ini mereka adalah musuh besar orang-orang yang berpikir bebas, yang berjuang untuk mengadakan perbaikan. Yang dikehendaki Islam, ialah berusaha mengadakan perbaikan sedapat mungkin, didasarkan pada pandangan yang bebas, dan yang akan membuat orang puas dan yakin lalu menerimanya. Setelah itu ia akan mengatur sendiri kepentingannya di dunia ini sesuai dengan kehendaknya, sebab mengenai persoalan dunianya dia sendirilah yang lebih tahu. Jadi konsep kedaulatan besar dalam Islam sifatnya rohani dan kemanusiaan, dengan tujuan pertamanya membebaskan pikiran manusia dari segala tekanan dan kezaliman.

Bukti yang paling nyata mengenai hal ini kaum Muslimin tidak memaksakan agamanya ke negeri-negeri yang sudah dibebaskan itu dan tak pernah memaksa orang harus beriman. Semua orang bebas menjalankan agama menurut keyakinannya. Bagi yang sudah masuk Islam hak dan kewajibannya sama, dan kalau memilih agama di luar Islam dia hanya membayar jizyah. Jizyah pun bukanlah semacam uang jaminan atau denda yang diwajibkan kepada setiap orang yang tak mampu. Jizyah sama dengan zakat yang diwajibkan menurut hukum agama kepada kaum Muslimin untuk pembangunan negara dan untuk membela keberadaannya. Kita sudah melihat perjanjian perdamaian yang diadakan kaum Muslimin dengan pihak Irak dan Syam, bahwa jizyah itu diadakan sebagai imbalan perlindungan terhadap harta mereka yang bukan Muslim, dan untuk kebebasan mereka melaksanakan keyakinan dan upacara-upacara keagamaan mereka. Karenanya perjanjian-perjanjian itu mencakup juga adanya perlindungan terhadap biara-biara, gereja-gereja dan tempat-tempat peribadatan serta pendeta-pendeta dan pemuka-pemuka agama mereka itu. Kalau pihak Muslimin tidak melaksanakan kewajiban yang sudah ditentukan dalam perjanjian itu, orang bukan Muslim dibebaskan dari kewajiban membayar jizyah sesuai dengan isi perjanjian yang jelas-jelas mencantumkan hal itu.

Perbedaan kedaulatan Islam dengan kedaulatan lain

Kedaulatan besar yang didasarkan pada asas-asas ini tujuannya berbeda dengan tujuan kedaulatan besar (imperium) dalam pengertian bangsa Rumawi dan dalam pengertian kita dewasa ini, suatu perbedaan yang sangat mendasar. Dalam kedaulatan Islam tujuannya bukan untuk membuat orang tunduk kepada bangsa Arab atau ras itu sendiri, tetapi tujuan pertamanya supaya manusia hidup merdeka, dan menanamkan tali kasih sayang, keakraban dan keadilan di antara mereka. Hak dan kewajiban pihak yang dibebaskan sama dengan hak dan kewajiban pihak yang membebaskan. Karena pemerintahan dalam Islam berasaskan permusyawaratan, maka semua bangsa yang sudah dibebaskan oleh kaum Muslimin dasarnya harus juga musyawarah. Warga di tempat-tempat tersebut akan menikmati hak-hak yang sama dengan orang Arab. Bagi orang yang masuk Islam hak dan kewajibannya sama dengan orang Arab yang Islam. Bagi yang bukan Muslim hak dan kewajibannya dengan orang Arab yang bukan Muslim. Penduduk Irak atau penduduk Suria yang beragama Nasrani, sama dengan penduduk yang beragama Nasrani di Najran dan di tempattempat lain di negeri Arab itu.

Yang menjadi ikatan negeri-negeri yang beragama Islam ini ialah satu, yaitu ikatan tauhid dan ajakan kepada tauhid dengan tetap mempertahankan kebebasan berdakwah. Segala yang di luar itu, soal negeri yang tergabung dalam kedaulatan Islam sama dengan negeri Arab di masa Rasulullah, liga bangsa-bangsa yang berusaha mencapai tujuan umat manusia yang luhur, berjuang untuk itu dan bekerja untuk menjunjung firman-Nya. Dan jalan untuk mencapai tujuan itu dengan cara yang bijaksana dan pesan yang baik, dan jika berdebat hendaknya dengan cara yang terbaik.

"Barang siapa menerima petunjuk, maka itulah petunjuk untuk dirinya sendiri, dan barang siapa tersesat, maka ia menyesatkan dirinya sendiri; dan aku tidak mewakili kamu." (Qur'an, 10. 108).

(sebelum, sesudah)


Abu Bakr As-Siddiq - Yang Lembut Hati
Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi
 
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
Penerbit P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel./Fax. (0251) 330505, Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-29-8
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. INTERMASA, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team