|
XVII. PEMERINTAHAN ABU BAKR (2/3)
Sistem pemerintahan dalam Islam bukan
teokrasi
Sudah kita lihat bahwa yang dikenal Mesir zaman Firaun
itu bukanlah model kekuasaan agama, juga bukan yang dikenal
Eropa Abad Pertengahan. Abu Bakr tidak memperoleh kekuasaan
hukum itu dari Allah, tetapi dari mereka yang telah
membaiatnya. Wahyu yang sudah selesai tidak turun lagi
setelah Rasulullah wafat. Yang tinggal hanyalah Kitabullah
sebagai petunjuk bagi umat Islam semua, dan sebagai bukti
bag1 mereka semua. Itulah yang menjadi ikrar bagi
orang-orang beriman dan telah menerimanya dengan baik.
Itulah yang menjadi undang-undang dasarnya, yang akan
dijadikan pegangan oleh seorang kepala pemerintahan dalam
batas-batas yang tak akan dilampauinya. Kalau itu yang
dilakukan, maka ia harus ditaati; kalau tidak seorang Muslim
tak perlu taat kepadanya.
Pemerintahan Islam terikat oleh kehendak
rakyat dan oleh perintah dan larangan Allah
Inilah bentuk pemerintahan Islam yang sebenarnya, yang
memang jauh berbeda dari konsep teokrasi. Sebagaimana kita
lihat, pemerintahan ini konstitusional, sehingga tak mungkin
orang yang menjalankannya akan bertindak sewenang-wenang.
Yang sudah menjadi garis pemerintahan teokrasi ialah
absolut, mutlak, tak lagi mengenal ikatan apa pun selain
kemauan si penguasa dan keserakahannya hendak mempertahankan
kekuasaan. Dan keserakahan inilah yang menimbulkan anggapan
bahwa kehendak penguasa teokrat itu datang dari kehendak
Tuhan; karenanya, dia itulah undang-undang, bahkan ia di
atas undang-undang. Segalanya berada di tangan pemegang
kekuasaan, hukuman atau ampunan, penderitaan atau
kebahagiaan, hidup atau mati. Jauh sekali bedanya dengan
pemegang kekuasaan yang harus terikat dengan permusyawaratan
rakyat, dan dengan apa yang telah diwahyukan Allah dalam
Qur'an.
Ada kalangan yang berpendapat bahwa dengan terikat pada
wahyu Allah dalam Qur'an itu berarti ia menyia-nyiakan dan
menghilangkan kehendak rakyat, mencampuri perkembangan
legislasi, dan dengan demikian membuat pemerintahan Islam
itu pada dasarnya adalah pemerintahan teokrasi. Kritik ini
sebenarnya tak beralasan. Legislasi yang terdapat dalam
Qur'an tak akan melampaui dasar-dasar umum yang sudah
ditentukan oleh prinsip-prinsip keadilan dalam bentuknya
yang paling ideal. Adapun penjabaran beberapa dasar umum itu
menyangkut soal-soal yang pada dasarnya sangat terbatas.
Dasar-dasar urn um yang ditentukan oleh Qur'an memang perlu
sekali bagi kehidupan masyarakat merdeka. Jika yang demikian
dirusak berarti kehidupan tersebut pun akan rusak. Sejarah
sudah mencatat bahwa dengan meninggalkan prinsip-prinsip
itu, mustahil ia dapat berjalan di negeri yang sudah
terdapat keharmonisan antara kebebasan pribadi dengan sistem
kemasyarakatan, dan yang mengakui pula adanya hukum
keluarga, hak milik dan waris. Di samping itu ajaran
sosialisma yang sifatnya gotong royong dapat dipakai
seperlunya, dengan mengharuskan penerapan prinsip-prinsip
kasih sayang dan kemanusiaan, yang dalam Islam sudah
merupakan keharusan mendasar, bukan sekadar kelengkapan
rohani saja.
Pemerintahan Islam berada di bawah
pengawasan umat Islam
Andaikata batasan yang ada dalam Qur'an diserahkan ke
tangan kelompok yang dikhususkan untuk itu - seperti yang
terjadi pada kelompok pendeta dalam agama tertentu dengan
mengatasnamakan kehendak Tuhan - tentu wajar saja bila
timbul kekhawatiran bahwa kehendak rakyat akan jadi sia-sia.
Tetapi karena Islam menolak adanya pengkhususan kelompok
semacam itu mengingat semua orang sama dalam menjaga segala
perintah dan larangan Allah serta turut mengawasi
kebijaksanaan penguasa, maka konsep teokrasi dalam
pemerintahan Islam jelas tak dapat diterima dan samasekali
tak mendapat tempat.
Pemerintahan Islam yang konstitusional ini berada di
bawah pengawasan umat Islam seluruhnya. Setiap pribadi boleh
meminta pertanggungjawaban pihak penguasa. Dalam soal-soal
pemerintahan tak ada suatu golongan yang lebih diistimewakan
dari golongan lain. Kita sudah melihat bagaimana Abu Bakr
begitu ketat berpegang pada Qur'an dan ketentuan Rasulullah
dalam menahan diri dari segala godaan dunia, dengan
keyakinan bahwa barang siapa memegang tanggung jawab yang
berhubungan dengan urusan rakyat lalu mengambil keuntungan
untuk dirinya, maka ia telah berlaku zalim terhadap dirinya
dan terhadap rakyat.
Abu Bakr begitu ketat menahan diri sehingga menurut
anggapan generasi kita sekarang ia sudah melampaui batas.
Kedudukannya sebagai Khalifah dan sebagai pemimpin umat tak
sampai mengubah cara hidupnya. Ia tidak pindah dari rumahnya
sendiri ke rumah lain. Sejak mengurus kepentingan kaum
Muslimin ia sudah melupakan dirinya, melupakan keluarga dan
anak-anaknya. Ia hanya mau mengabdi kepada Allah secara
mutlak. Ia sudah berikrar untuk ikut merasakan lemahnya kaum
yang lemah dan miskinnya orang yang dalam kemiskinan,
sebagai realisasi dari arti persaudaraan dalam bentuknya
yang paling tinggi, yang sekaligus suatu perwujudan bahwa ia
tak terdorong oleh keinginan pribadi, dan untuk itu ia ingin
menegakkan keadilan yang sempurna tanpa pilih kasih, tetapi
dalam batas-batas ketentuan Allah agar semua orang merasakan
keadilan, hidup terhormat, aman dan tenteram.
Pemerintahan Islam bukan
aristokrasi
Pemerintahan yang demikian, yang tak kenal despotisma,
tak kenal kekuasaan mutlak dan tak ada tempat untuk kaum
pendeta, tak mungkin bercorak teokrasi. Pemerintahan ini
juga bukan aristokrasi, pemilihan Khalifah dengan
mengutamakan kalangan Muhajirin dan Ansar samasekali tak ada
hubungannya dengan cara-cara aristokrasi. Mereka adalah
orang-orang yang terdiri dari berbagai macam golongan. Yang
mereka utamakan hanya untuk menjaga dan memelihara sistem
yang sudah ada. Di samping itu mereka adalah kelompok
sementara yang akan berakhir dengan meninggalnya
pribadi-pribadi itu kelak. Tak ada orang yang akan mewarisi
mereka, dan kedudukan mereka pun tak akan digantikan oleh
kelompok lain. Bahkan seperti yang sudah kita lihat penduduk
Mekah mau menyaingi mereka sebagai pihak yang sudah lebih
dulu dalam Islam. Pihak Banu Umayyah, kemudian Banu Abbas
yang pernah memegang pimpinan umat Islam merupakan bukti
yang kuat sekali bahwa di kalangan Muslimin yang mula-mula
konsep aristokrasi itu memang tak pernah ada.
Pemerintahan Abu Bakr adalah
pemerintahan Syura
Dari pembentukannya yang pertama dengan segala
kecenderungannya pemerintahan Abu Bakr adalah pemerintahan
syura - pemerintah dengan dasar permusyawaratan. Abu Bakr
dibaiat atas dasar pemilihan umum, yang dipilih karena
sifat-sifat pribadinya serta kedudukannya di sisi
Rclsulullah, bukan karena keluarga atau kabilahnya. Bukan
Abu Bakr sendiri yang menuntut untuk dibaiat, bahkan ia
mencalonkan Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Jarrah.
Kaum Muslimin diminta mencalonkan siapa saja dari keduanya
yang mereka kehendaki. Ketika mereka dicalonkan kaum Ansar
menentang kaum Muhajirin dan menuduh bahwa mereka ingin
memaksa. Semua itu berlangsung dalam sebuah rapat umum,
yaitu rapat Saqifah, dengan masing-masing telah menyampaikan
pidatonya, masing-masing berusaha hendak
pengaruh-mempengaruhi pemilihan itu dengan cara yang sangat
indah sekali. Setelah kemudian orang datang untuk
melaksanakan baiat itu, kaum Muhajirin tidak pula mendahului
kaum Ansar. Yang pertama membuka jalan ialah Umar dan Abu
Ubaidah yang kemudian diteruskan sampai selesai.
Inilah pembaiatan yang diciptakan oleh musyawarah. Baik
di Prancis, maupun di Amerika sekalipun, tak lebih bebas
dari ini. Setelah Abu Bakr memimpin pemerintahan, pidatonya
yang pertama ialah mengukuhkan dasar-dasar musyawarah.
Bukankah dia yang mengatakan kepada khalayak ramai selesai
pelantikannya: "Saya sudah terpilih untuk memimpin kamu
sekalian, dan saya bukanlah orang yang terbaik di antara
kamu. Kalau saya berlaku baik, bantulah saya, dan kalau saya
salah luruskanlah."? Bukankah dia berkata kepada mereka:
"Taatilah saya selama saya taat kepada (perintah) Allah dan
Rasul-Nya. Tetapi apabila saya melanggar (perintah) Allah
dan Rasulullah maka gugurlah kesetiaanmu kepada saya!"
Inilah pernyataan yang sungguh tegas mengenai hak
pendapat umum dan hak rakyat dalam memberikan pengawasan dan
bimbingan kepadanya, jika Khalifah melanggar dan berpaling
dari perintah Allah. Akibatnya yang wajar untuk menetapkan
dasar pelanggaran itu ialah pemyataan bagi pelanggar untuk
diturunkan dari kekuasaan. Rasanya tak ada makna yang lebih
dalam dari pernyataan ini untuk menetapkan dasar-dasar
musyawarah itu.
Seperti kita lihat, meskipun pada masa Abu Bakr perang
masih berlanjut, pemerintahnya tetap berpegang pada
musyawarah, baik dalam soalsoal besar maupun kecil. Ia tidak
melaksanakan sµatu pekerjaan sebelum mengadakan
musyawarah. Dalam memutuskan suatu perkara ia tak pernah
membeda-bedakan suatu golongan dengan golongan yang lain.
Dia sendiri tidak mengenal kemegahan hidup seperti raja atau
penguasa di dunia. Semua Muslim di hadapannya sama. Mereka
yang masuk Islam bukan dari asal Islam, haknya sama dengan
kaum Muslimin yang lain. Tetapi Abu Bakr menolak
mengikutsertakan kaum murtad yang kemudian kembali kepada
Islam, dalam perang dengan Persia karena ia ingin menjaga
keamanan dan keselamatan negara. Sesudah bahaya itu tak ada
lagi, ia berpesan kepada Umar agar membantu Musanna dengan
tenaga mereka dalam perang dengan Irak.
Pemerintah Abu Bakr merintis kesatuan
politik
Dengan demikian Abu Bakr telah merintis perkembangan
sistem pemerintahan seperti sudah kita sebutkan, dan
menyediakan segala sarana untuk kesatuan politik negeri
Arab, setelah kesatuan agama dapat diselesaikannya. Sikap
dan kebijaksanaan Abu Bakr yang lemah lembut merupakan
faktor utama dalam merintis kesatuan politik ini. Kita lihat
bagaimana ia memaafkan pemimpin-pemimpin pemberontak di
Yaman dan di tempat lain yang pernah memberontak karena
ingin berdiri sendiri. Ia telah memaafkan Qurrah bin
Hubairah, Amr bin Ma'di Karib dan Asy'as bin Qais serta
pemuka-pemuka Arab yang lain. Kepemaafannya kepada mereka
itu setelah ia memperlihatkan sikap keras dan tegas sambil
mengajak mereka dan golongannya untuk bersatu dengan
Medinah. Sistem musyawarah yang dijalankan Abu Bakr dalam
pemerintahannya itu makin memperkuat persatuan itu. Dengan
pembebasan Irak dan Syam persatuan semua masyarakat Arab
kini makin kuat.
Sudah wajar sekali pemerintahan masa itu akan berpegang
pada dasar-dasar musyawarah. Islam lahir di tanah Arab,
Kitab Sucinya dalam bahasa Arab dan Rasulullah orang Arab.
Ketika itu negeri Arab hidup dalam kebebasan yang
sebebas-bebasnya. Soalnya bagi seorang manusia Arab
kebebasan itu merupakan sesuatu yang paling berharga, baik
yang di pedalaman sahara atau yang berada daerah di
pemukiman. Sejak dulu, dan sampai sekarang, cita persamaan
memang sudah mendarah daging di kalangan masyarakat
pedalaman. Ajaran Islam temyata tambah memperkuat cita itu,
sebab di hadapan Al-Khalik persamaan itu lebih luhur dan
lebih sempuma lagi. Di hadapan-Nya tak ada perbedaan manusia
kecuali dari amalnya. Kalau bukan karena ketakwaannya orang
Arab tak lebih mulia dari yang bukan Arab.
Tentang persaudaraan yang dikaitkan dengan kebebasan dan
persamaan sebagai simbol pemerintahan rakyat masa kita
sekarang ini, dalam Islam sudah diperjelas demikian rupa
seperti dalam ucapan Rasulullah: "Tak sempurna iman
seseorang sebelum ia mencintai saudaranya seperti mencintai
dirinya." Tidak heran, dengan ajaran-ajaran Islam yang
disampaikan Rasulullah kepada umat manusia, dan sejalan
dengan watak orang Arab yang paling dijunjung tinggi,
persatuan mereka itu akan bertambah kuat dalam sistem yang
dasar-dasarnya oleh Abu Bakr sudah diperkuat, dan akan
menjurus pada perkembangan yang lebih cepat ke arah
persatuan dan stabilitas.
Kedaulatan Islam dan dasar yang menjadi
landasannya
Pemerintahan Abu Bakr sekarang sudah meluas sampai ke
luar perbatasan kawasan Arab, dan membuka jalan untuk
kedaulatan2 Islam yang membentang luas. Adakah
itu kebetulan semata yang didorong oleh nasib baik, atau
karena perkembangan seperti yang kita lukiskan di atas, dan
Islam yang baru tumbuh itu telah pula memastikan kemenangan
ini, dan bertambah luas ketika kedaulatan Islam sudah lebih
luas?
Tanpa ragu saya dapat mengatakan bahwa perkembangan itu
sudah merupakan suatu keharusan, sebab dengan sendirinya
sudah terkandung dalam ajaran-ajaran Islam. Pada dasarnya
Islam adalah sebuah kedaulatan besar, tetapi intinya adalah
juga kebangsaan, kendati konsep kedaulatan besar itu dalam
prinsip dan tujuannya berbeda dengan konsep kedaulatan besar
masa kita dewasa ini. Perbedaan itu terletak pada bahwa
Islam mengajak kepada kebebasan berkeyakinan, dan mewajibkan
orang yang mempercayainya untuk membelanya dengan harta dan
nyawa. Dengan menyerukan pada kebebasan berkeyakinan ini
tidak mengharuskan orang untuk menganutnya dengan paksa,
sebab tak ada paksaan dalam agama. Tetapi tujuannya ialah
setiap orang bebas melihat dan menilai, sampai ia mau
mendengarkan kata-kata yang baik dan mengikuti yang terbaik.
Islam yakin bahwa jika manusia sudah memahami
ajaran-ajarannya ia akan mengikutinya, sebab Islam mengajak
orang pada apa yang dapat diterima aka!, dan sesuai dengan
kodrat manusia yang mumi dan sehat.
Dasarnya kebebasan
berkeyakinan
Kebebasan menganut suatu keyakinan memang masih
memerlukan pembelaan dan pengorbanan demi keyakinannya itu.
Manusia yang sewenang-wenang tentu tidak menyukainya, bahkan
membencinya. Mereka yang ingin mengeksploitasi rakyat,
segala yang buruk dan merusak dalam paham mereka digambarkan
kepada rakyat sebagai yang indah. Dalam hal ini mereka
adalah musuh besar orang-orang yang berpikir bebas, yang
berjuang untuk mengadakan perbaikan. Yang dikehendaki Islam,
ialah berusaha mengadakan perbaikan sedapat mungkin,
didasarkan pada pandangan yang bebas, dan yang akan membuat
orang puas dan yakin lalu menerimanya. Setelah itu ia akan
mengatur sendiri kepentingannya di dunia ini sesuai dengan
kehendaknya, sebab mengenai persoalan dunianya dia
sendirilah yang lebih tahu. Jadi konsep kedaulatan besar
dalam Islam sifatnya rohani dan kemanusiaan, dengan tujuan
pertamanya membebaskan pikiran manusia dari segala tekanan
dan kezaliman.
Bukti yang paling nyata mengenai hal ini kaum Muslimin
tidak memaksakan agamanya ke negeri-negeri yang sudah
dibebaskan itu dan tak pernah memaksa orang harus beriman.
Semua orang bebas menjalankan agama menurut keyakinannya.
Bagi yang sudah masuk Islam hak dan kewajibannya sama, dan
kalau memilih agama di luar Islam dia hanya membayar jizyah.
Jizyah pun bukanlah semacam uang jaminan atau denda yang
diwajibkan kepada setiap orang yang tak mampu. Jizyah sama
dengan zakat yang diwajibkan menurut hukum agama kepada kaum
Muslimin untuk pembangunan negara dan untuk membela
keberadaannya. Kita sudah melihat perjanjian perdamaian yang
diadakan kaum Muslimin dengan pihak Irak dan Syam, bahwa
jizyah itu diadakan sebagai imbalan perlindungan terhadap
harta mereka yang bukan Muslim, dan untuk kebebasan mereka
melaksanakan keyakinan dan upacara-upacara keagamaan mereka.
Karenanya perjanjian-perjanjian itu mencakup juga adanya
perlindungan terhadap biara-biara, gereja-gereja dan
tempat-tempat peribadatan serta pendeta-pendeta dan
pemuka-pemuka agama mereka itu. Kalau pihak Muslimin tidak
melaksanakan kewajiban yang sudah ditentukan dalam
perjanjian itu, orang bukan Muslim dibebaskan dari kewajiban
membayar jizyah sesuai dengan isi perjanjian yang
jelas-jelas mencantumkan hal itu.
Perbedaan kedaulatan Islam dengan
kedaulatan lain
Kedaulatan besar yang didasarkan pada asas-asas ini
tujuannya berbeda dengan tujuan kedaulatan besar (imperium)
dalam pengertian bangsa Rumawi dan dalam pengertian kita
dewasa ini, suatu perbedaan yang sangat mendasar. Dalam
kedaulatan Islam tujuannya bukan untuk membuat orang tunduk
kepada bangsa Arab atau ras itu sendiri, tetapi tujuan
pertamanya supaya manusia hidup merdeka, dan menanamkan tali
kasih sayang, keakraban dan keadilan di antara mereka. Hak
dan kewajiban pihak yang dibebaskan sama dengan hak dan
kewajiban pihak yang membebaskan. Karena pemerintahan dalam
Islam berasaskan permusyawaratan, maka semua bangsa yang
sudah dibebaskan oleh kaum Muslimin dasarnya harus juga
musyawarah. Warga di tempat-tempat tersebut akan menikmati
hak-hak yang sama dengan orang Arab. Bagi orang yang masuk
Islam hak dan kewajibannya sama dengan orang Arab yang
Islam. Bagi yang bukan Muslim hak dan kewajibannya dengan
orang Arab yang bukan Muslim. Penduduk Irak atau penduduk
Suria yang beragama Nasrani, sama dengan penduduk yang
beragama Nasrani di Najran dan di tempattempat lain di
negeri Arab itu.
Yang menjadi ikatan negeri-negeri yang beragama Islam ini
ialah satu, yaitu ikatan tauhid dan ajakan kepada tauhid
dengan tetap mempertahankan kebebasan berdakwah. Segala yang
di luar itu, soal negeri yang tergabung dalam kedaulatan
Islam sama dengan negeri Arab di masa Rasulullah, liga
bangsa-bangsa yang berusaha mencapai tujuan umat manusia
yang luhur, berjuang untuk itu dan bekerja untuk menjunjung
firman-Nya. Dan jalan untuk mencapai tujuan itu dengan cara
yang bijaksana dan pesan yang baik, dan jika berdebat
hendaknya dengan cara yang terbaik.
"Barang siapa menerima petunjuk, maka itulah petunjuk
untuk dirinya sendiri, dan barang siapa tersesat, maka ia
menyesatkan dirinya sendiri; dan aku tidak mewakili
kamu." (Qur'an, 10. 108).
|