|
Libya dalam Demonologi*
Amerika Serikat (1/2)
Dalam sistem doktrinal Amerika, tidak ada orang yang
dilambangkan dengan begitu tandas sebagai "momok bengis
terorisme" seperti Muammar Qaddafi, si "anjing gila" di
dunia Arab, dan Libya di bawah kepemimpinannya telah menjadi
model utama bagi sebuah negara teroris. Penggambaran Libya
di bawah Qaddafi sebagai negara teroris memang pas. Laporan
terbaru Amnesti Internasional menyebut pembunuhan atas empat
belas warga negara Libya oleh negara teroris ini sepanjang
tahun 1985, empat di antaranya dihabisi di luar negeri;
aksi-aksi besar terorisme bolehlah dinisbatkan pada
Libya.1 Di tengah
hiruk-pikuk histeris yang dirancang untuk meraih
tujuan-tujuan lain, macam-macam tuduhan dilontarkan. Tetapi,
yang mendapat perhatian khusus adalah pernyataan seorang
pejabat senior intelijen AS pada April 1986, bahwa "beberapa
pekan lalu", Qaddafi "menggunakan rakyatnya terutama untuk
membunuh kaum penyempal Libya."2
"Beberapa pekan lalu," kata sang pejabat intelijen
melanjutkan, Qaddafi "membuat keputusan tegas untuk membidik
warga Amerika." Dugaan keputusan ini, yang dianggap sebagai
fakta mapan dalam sistem indoktrinasi, walau tak ada
sepotong pun bukti terpercaya yang disajikan untuk
menopangnya (seperti akan kita lihat), dikemukakan sesudah
insiden Teluk Sidra, ketika armada laut dan udara AS
menenggelamkan kapal-kapal Libya dengan menewaskan banyak
orang, dan dianggap sah belaka, malah dirasa sangat
terlambat, menurut doktrin-doktrin sinis sebagaimana dianut
oleh pemerintah Amerika Serikat dan diamini oleh para
komentator terpandang --sebagian sudah dikutip, sebagian
lagi akan segera kita sorot.
Laporan-laporan Amnesti Internasional menyatakan bahwa
pembunuhan-pembunuhan teroris Libya mulai berlangsung sejak
awal 1980, pada masa ketika (Presiden) Jimmy Carter
melancarkan perang teroris di El Salvador dengan kerelaan
Jose Napoleon Duarte untuk berperan sebagai pelindung guna
menjamin bahwa persenjataan akan mengalir ke tangan para
pembunuh. Sementara Libya membunuh empat belas warganya
sendiri, bersama segelintir orang lain, rezim klien AS El
Salvador menghabisi sekitar 50.000 warganya dengan cara yang
dilukiskan oleh Uskup Rivera Damas --pengganti Uskup Agung
Romero yang terbunuh-- pada Oktober 1980, sesudah tujuh
bulan teror berlangsung, sebagai "sebuah perang penggilasan
dan pemusnahan terhadap seluruh penduduk sipil yang tak
berdaya".3
Pasukan-pasukan keamanan yang melaksanakan tugas-tugas yang
diperlukan ini diacungi jempol oleh Duarte beberapa pekan
kemudian, karena mereka telah "mengabdi dengan gagah berani
bersama-sama rakyat melawan subversi", seraya mengakui bahwa
"massa berada di pihak gerilyawan" ketika penggilasan ini
mulai dilancarkan di bawah aliansi Carter-Duarte. Duarte
menyatakan pujian atas pembunuhan-pembunuhan massal ini
tatkala ia dilantik sebagai presiden Junta, dalam rangka
memberi kepresidenannya legitimasi dan menjamin arus pasokan
senjata setelah pembunuhan atas empat biarawati Amerika
--suatu tindakan yang umumnya dipandang tak patut di AS--
meskipun justifikasi-justifikasi pun sudah dikemukakan untuk
tewasnya para biarawati ini, oleh Jeane Kirkpatrick dan
(Menlu) Alexander Haig.
Sementara itu, media mencoba meyakinkan kita, "Tidak ada
argumen kuat bahwa kebanyakan dari korban-korban politik
yang jumlahnya ditaksir 10.000 orang pada 1980 adalah
korban-korban pasukan pemerintah atau milisi-milisi yang
punya hubungan dengan mereka" (Washington Post),
meskipun kemudian diakui diam-diam bahwa pada waktu itu para
pejabat dalam pemerintahan Carter menyampaikan berita kepada
media bahwa "pasukan-pasukan keamanan yang bertanggung jawab
atas 90 persen dari kekejian-kekejnan itu", bukan
"kelompok-kelompok sayap-kanan yang 'tak terkontrol'"
sebagaimana dilaporkan oleh pers.4
Sejak hari-hari pertama operasi-operasi teroris
Carter-Reagan di El Salvador, peran utama Duarte adalah
menjamin bahwa tidak akan ada rintangan bagi pembantaian
itu, seraya menyangkal kekejian-kekejian yang
terdokumentasikan rapi atau menjustifikasinya dengan alasan
bahwa para korban adalah "kaum komunis". Ia telah memainkan
perannya dengan amat baik, membangkitkan tepukan meriah di
jajaran spektrum politik Amerika Serikat, ketika pembantaian
buas terhadap penduduk sipil ini berbuah sesuai dengan yang
diinginkan, yaitu menghancurkan ancaman berupa demokrasi
sejati yang telah tumbuh pada 1970-an dengan munculnya
kelompok-kelompok swadaya masyarakat dukungan Gereja,
himpunan petani, serikat buruh, dan "organisasi-organisasi
rakyat" lainnya. Koresponden konservatif Amerika Tengah dari
Spectator London mengamati bahwa pasukan-pasukan maut
itu "melaksanakan persis tugas mereka: mereka menyembelih
serikat buruh dan ormas-ormas" dan menyebabkan orang-orang
yang selamat "mengungsi ke luar negeri atau bergabung dengan
gerilyawan", yang pada titik ini perang AS terhadap penduduk
pedesaan pindah ke persneling tinggi, dengan teror dan
pembantaian-pembantaian besar.
Maka, wajarlah kalau para editor New Republic,
yang telah mendesak Reagan agar menggencarkan pembantaian
ini dengan tanpa peduli akan hak-hak asasi manusia ("ada
prioritas-prioritas Amerika yang lebih penting di sana")
dari "tak peduli berapa banyak pun yang terbunuh", kini
tentu melihat dengan gembira sukses-sukses di El Salvador,
yang merupakan "model nyata bagi pendukungnya guna mendorong
menuju demokrasi dalam lingkungan kita". Teror yang terus
berlangsung, yang didokumentasikan oleh Americas Watch,
Amnesti Internasional, dan --teramat jarang--oleh media,
merupakan hal yang sangat diabaikan di
Amerika.5
Pembantaian di El Salvador bukanlah sekadar terorisme
negara berskala besar, melainkan terorisme internasional,
mengingat pengorganisasiannya, pasukan persenjataannya,
pelatihnya, dan partisipasi langsung dari sang Penguasa
Separo Bumi. Demikian pula pembantaian atas sekitar 70.000
rakyat Guatemala pada tahun-tahun yang sama, ketika
persenjataan AS mengalir ke tangan para pembunuh dalam
jumlah yang jauh lebih besar daripada yang diperkirakan oleh
banyak orang, meskipun mereka perlu mengundang para centeng
Amerika --jenderal-jenderal Argentina neo-Nazi, Taiwan, dan
terutama Israel, yang menggadaikan keahliannya dengan penuh
semangat untuk urusan ini-- guna melakukan pembantaian
secara lebih efisien; pemerintah AS juga membangun suatu
saluran persenjataan yang melibatkan Belgia dan
kolaborator-kolaborator lainnya sebagai pelengkap, di bawah
pengarahan ilegal Pentagon dan CIA. Tatkala teror mencapai
puncak kebiadabannya, Reagan dan kawan-kawan memuji para
pembunuh dan penyiksa itu karena perbaikan-perbaikan yang
mereka lakukan di bidang hak-hak asasi manusia, dan
"pengabdian total mereka kepada demokrasi", seraya mencibir
timbunan dokumentasi tentang aneka kebiadaban sebagai
"ocehan ngawur".6
Terorisme internasional AS di El Salvador disanjung
sebagai suatu prestasi gemilang di bentangan spektrum
politik arus-utama di Amerika, lantaran ia meletakkan
landasan bagi apa yang disebut "demokrasi" --menurut langgam
Barat: yaitu kekuasaan kelompok-kelompok elite yang melayani
kebutuhan-kebutuhan sang Penguasa Dunia, seraya kepentingan
publik digerogoti oleh ratifikasi rutin keputusan elite
sehingga organisasi-organisasi rakyat yang dapat memberi
suatu landasan bagi demokrasi yang sejati-- sekarang
"disembelih" dan ditumpas. Pada 1982 dan 1984 Amerika
Serikat menyelenggarakan apa yang diaebut oleh Edward Herman
dan Frank Brodhead sebagai "eleksi-eleksi demonstrasi" untuk
menjinakkan front di dalam negeri. Eleksi ini
diselenggarakan dalam suasana "teror dan kekalutan,
desas-desus menakutkan, dan kenyataan yang mengerikan",
dalam kata-kata para pengamat dari Kelompok Hak Asasi
Manusia Parlemen Inggris. Sementara itu, pers AS menyambut
hangat demonstrasi dari komitmen-penuh kita terhadap
demokrasi ini, sebagaimana mungkin dilakukan juga oleh
Pravda dalam keadaan-keadaan
serupa.7
Guatemala juga dipandang sebagai sebuah sukses karena
alasan-alasan serupa. Ketika separo penduduk benar-benar
berbondong ke tempat-tempat pemungutan suara sesudah dibuat
trauma oleh kekerasan dukungan AS, para komentator masyhur
di Amerika gembira ria menyaksikan demonstrasi kecintaan
kita yang diperbarui kepada demokrasi ini; mereka tak risau
menyaksikan banyaknya pembunuhan oleh pasukan maut,
mendengar pengakuan terbuka sang presiden baru bahwa ia tak
akan berbuat apa-apa terhadap akar-akar kekuasaan aktual di
tangan militer dan oligarki dan bahwa pemerintah sipil itu
cuma "manajer-manajer yang menimbulkan kebangkrutan dan
kesengsaraan"8
dan fakta bahwa Amerika Serikat berperan mengubah aksi-aksi
tersebut menjadi suatu sarana bagi AS untuk berpartisipasi
lebih penuh dalam represi dan teror negara, sebagaimana di
El Salvador. Sesungguhnya, eleksi-eleksi di negara-negara
teroris asuhan AS acapkali merupakan suatu kebaikan yang
bercampur keburukan atau sebuah bahaya maut bagi penduduk
domestik, karena alasan yang amat penting ini.
Kedua contoh ini, sudah tentu, mewakili hanya sebagian
dari peran AS dalam terorisme internasional selama 1980-an,
dan catatan menyeramkan sudah tersusun sejak puluhan tahun
silam. "Ciri paling menonjol dalam kebiadaban-kebiadaban
Libya", tulis dua komentator yang mengulas studi Amnesti
Internasional tentang teror negara, "ialah bahwa mereka
merupakan (kebiadaban) yang jumlahnya cukup kecil sehingga
kasus-kasus individual dapat dihitung satu per satu", sangat
berbeda dengan Argentina, Indonesia, atau negara-negara
Amerika Latin, tempat sang Kaisar mengacau
dunia.9
Pendeknya, Libya memang sebuah negara teroris, tetapi
dalam kancah terorisme internasional ia nyaris tak memainkan
peran apa-apa.
Tetap ada saja jiwa-jiwa polos yang percaya bahwa
mungkinlah menemukan suatu tingkat vulgaritas dan pembelaan
bagi pembantaian dan teror yang tidak akan diberangus dalam
publikasi-publikasi terpandang Barat. Mereka dapat dikelabui
oleh ilusi-ilusi semacam ini dengan melihat segudang contoh
selama tahun-tahun teror paling buruk di Amerika
Tengah,10 atau
dengan menoleh ke jurnal "neokonservatif", The National
Interest, tempat mereka dapat membaca --dalam sebuah
kritik terhadap Washington Post karena bersikap lunak
terhadap Libya-- bahwa "Pastilah, misalnya, kalau
pemerintahan Jose Napoleon Duarte di El Salvador ataupun
setiap pemerintahan baru di Turki melakukan tindakan yang
kira-kira mendekati jumlah eksekusi yang telah dilakukan
Qaddafi, Post akan menyajikan kepada kita dengan
sangat terperinci, dan akan melaporkan munculnya oposisi
besar".11
Bukan hanya "terorisme" dirumuskan demi mengabdi
ideologi, seperti sudah saya bahas sebelumnya, melainkan
standar-standar pembuktian juga dipersiapkan berdasar
kesepakatan sedemikian rupa sehingga pas untuk mencapai
tujuan-tujuan sang Kaisar. Untuk memperlihatkan peranan
Libya sebagai sebuah negara teroris, cukuplah didasarkan
atas bukti yang paling samar, atau tidak ada sama sekali.
Judul sebuah editorial New York Times yang
menjustifikasi serangan teroris AS yang menewaskan sekitar
seratus orang di Libya (menurut laporan-laporan pers dari
tempat kejadian), berbunyi: "To Save the Next Natasha
Simpson" ("Menyelamatkan Natasha Simpson Berikutnya"). Yang
dirujuk adalah gadis Amerika berumur sebelas tahun yang
menjadi salah seorang korban dari serangan teroris di
bandara-bandara Roma dan Wina pada 27 Desember 1985;
korban-korban ini memberi kita hak mengebom kota-kota Libya
"untuk membikin gentar terorisme dukungan negara", tandas
para editor Times dengan serius. pemboman ini
hanyalah cacat kecil sehingga tak perlu ada bukti yang
ditampilkan untuk menunjukkan bahwa Libya terlibat dalam
aksi-aksi itu.
Pemerintah Italia dan Austria menyatakan bahwa para
teroris tersebut dilatih di daerah-daerah Lebanon yang
dikuasai Syria, dan tiba lewat Damaskus --suatu kesimpulan
yang ditiupkan oleh Menteri Pertahanan Israel Yitzhak Rabin.
Empat bulan kemudian, dalam tanggapan terhadap klaim AS
mengenai keterlibatan Libya dalam serangan Wina, Mendagri
Austria menandaskan bahwa "tidak ada bukti sedikit pun untuk
menuduh Libya", lalu kembali menyebut keterlibatan Syria dan
menambahkan bahwa Washington tak pernah menyajikan bukti
tentang keterlibatan Libya yang telah ia janjikan untuk
disampaikan kepada penguasa Austria. Ia juga menambahkan
komentar yang tepat, tapi tak diungkapkan di AS, bahwa
masalah terorisme yang berbasis di Lebanon itu sebagian
besar adalah akibat kegagalan dalam memecahkan problem
Palestina. Kegagalan ini menyebabkan orang-orang yang putus
asa tersebut beralih ke cara kekerasan --suatu akibat yang
memang diinginkan oleh AS-Israel guna dijadikan alasan bagi
penerapan terorisme mereka, sebagaimana dibahas dalam Bab
Kedua.12
Beberapa bulan kemudian, Mendagri Italia-seraya
menandatangani perjanjian kerja sama dengan AS untuk
"memerangi terorisme" --mengulangi posisi yang dinyatakan
oleh Italia "sejak Januari" bahwa mereka mencurigai
keterlibatan Syria dalam serangan Roma dan Wina itu.
Times melaporkan pernyataannya, namun tanpa merasa
perlu berkomentar tentang serangan pembalasan yang memang
layak terhadap Libya yang telah mereka sambut hangat pada
April --yang sesungguhnya merupakan terorisme tak beralasan
menurut laporan-laporan berita
mereka.13
Kalau seseorang yang terlibat dalam sebuah aksi teroris
pernah berkunjung ke Libya, atau diduga pernah mendapat
pelatihan atau dana dari Libya di masa lalu, itu sudah cukup
untuk mengutuk Qaddafi sebagai "anjing gila" yang harus
dilenyapkan. Standar-standar serupa dapat dituduhkan pada
CIA dalam berbagai pembunuhan oleh para pelarian Kuba, di
samping sejumlah besar cara lain. Ingatlah, apa yang terjadi
pada 1985 saja: salah seorang yang dicurigai mengebom jet
jumbo Air India di dekat Irlandia yang merupakan aksi
teroris paling buruk di tahun itu, menewaskan 329 orang,
dilatih di sebuah sekolah anti-Komunis untuk para serdadu
bayaran di Alabama; Jaksa Agung AS Edwin Meese, yang
mengunjungi India sembilan bulan kemudian, mengemukakan
sebuah pernyataan yang nyaris tak dilaporkan bahwa AS sedang
mengambil langkah-langkah "untuk mencegah para teroris
supaya tak memperoleh pelatihan atau sumber-sumber daya di
Amerika Serikat", dengan menunjuk pada kamp-kamp latihan
militer swasta yang telah dituduh oleh India sebagai tempat
pelatihan bagi ekstremis Sikh; pernyataan Meese ini tidak
benar --begitulah ia dianggap-- walaupun pers tak pernah
melakukan penyelidikan.14
Aksi teroris yang menelan paling banyak korban di Timur
Tengah adalah sebuah pemboman-mobil di Beirut pada Maret,
menewaskan 80 dan melukai 200 orang, yang dilakukan oleh
sebuah unit intelijen Lebanon yang dilatih dan didukung oleh
CIA, dalam suatu upaya untuk membunuh seorang pemimpin
Syi'ah yang diyakini terlibat dalam "serangan-serangan
teroris terhadap instalasi-instalasi AS" di
Beirut;15
istilah "terorisme" lazim digunakan oleh tentara-tentara
asing untuk menunjuk pada aksi-aksi melawan mereka oleh
penduduk lokal yang memandang mereka sebagai pasukan
pendudukan yang sedang berusaha memaksakan suatu pemecahan
politik menjijikkan yang ditegakkan oleh invasi asing, dalam
hal ini adalah "Orde Baru"-nya Israel. Dengan
standar-standar pembuktian seperti digunakan dalam kasus
Libya, AS sekali lagi menjadi kekuatan teroris utama di
dunia pada 1985, bahkan kalaupun kita tak memasukkan
terorisme besar-besaran yang diatur secara serampangan oleh
sistem propaganda.
Dilanjutkan pada 1986, aksi-aksi teroris paling serius di
kawasan Timur Tengah pada saat tulisan ini disusun
--terlepas dari terorisme Israel yang terus berlangsung di
Lebanon-- adalah pemboman AS atas Libya dan
pemboman-pemboman di Syria yang, menurut stasiun radio
partai Presiden Lebanon Amin Gemayel, Phalangis, menewaskan
lebih dari 150 orang pada April; Syria menuduh agen-agen
Israel yang melakukan pemboman-pemboman ini, tanpa
mengemukakan bukti, tetapi kredibilitasnya tak kurang
dibandingkan dengan tuduhan-tuduhan serupa AS terhadap siapa
saja yang menjadi bajingan pada saat itu --dan,
kadang-kadang, tak termasuk dalam "momok bengis teroris".
16
AS, sudah tentu, menyangkal bertanggung jawab bagi
aksi-aksi para teroris yang telah dilatihnya: orang-orang
Kuba, Lebanon, para pembunuh massal, seperti Rios Montt di
Guatemala, dan sejumlah besar lainnya di Amerika Latin dan
tempat-tempat lain. Dalam kasus pemboman, misalnya, CIA
membantah terlibat, walaupun sangkalan ini "diragukan oleh
beberapa pejabat pemerintah dan Kongres, yang menyatakan
bahwa CIA sedang bekerja sama dengan kelompok tersebut pada
saat pemboman itu" --sebuah kesimpulan yang juga ditarik
oleh penyelidikan Washington Post, yang menandaskan
bahwa Washington menangguhkan operasi rahasia sesudah
pemboman itu, yang dilakukan tanpa pengesahan
CIA.17 Kalaupun
kita menerima pernyataan bahwa CIA tak mengesahkan pemboman
tersebut dan tak lagi berurusan dengan kelompok teroris yang
telah dilatihnya itu, dalih pemerintah segera dapat
dicampakkan oleh standar-standar yang biasa diterapkan bagi
musuh-musuh resmi oleh para pembela terorisme AS dan Israel,
baik di pemerintahan maupun media. Ingat, bahwa "tanggung
jawab moral yang amat besar bagi kekejian-kekejian ...
semuanya ada pada Arafat" karena "dia adalah bapak
pendiri kekerasan Palestina dewasa ini", dan dengan
demikian, AS boleh menangkap Arafat lantaran ia "bertanggung
jawab bagi aksi-aksi terorisme internasional" secara sangat
luas, entah dia terlibat atau tidak.18
Jadi, "tanggung jawab sangat besar" dalam kasus-kasus yang
sudah disebut dan banyak lagi lainnya "semuanya ada
pada Washington", apa pun fakta-fakta yang ada mengenai
keterlibatan langsungnya.
Seperti disebut dalam Bab
Pendahuluan, kampanye Reagan terhadap "terorisme
internasional" merupakan sebuah pilihan wajar bagi sistem
propaganda guna menggencarkan agenda pokoknya: perluasan
sektor negara dalam ekonomi, pengalihan sumber-sumber daya
dari golongan miskin kepada kaum kaya, dan suatu kebijakan
luar negeri yang lebih "aktif" (yaitu agresif dan
teroristis). Kebijakan-kebijakan semacam ini mengharuskan
supaya rakyat merasakan ketakutan sehingga patuh pada musuh
garang yang mengancam mau menghancurkan kita, tetapi
perlulah dihindarkan --karena terlalu berbahaya-- untuk
berkonfrontasi langsung dengan si Setan Besar sendiri.
Terorisme internasional oleh centeng-centeng Imperium Setan
merupakan kandidat yang paling andal, dan para ahli PR
pemerintah segera menggarap tugas menyusun jaring
kebenaran-kebenaran semu dan dusta yang bermanfaat,
memperkirakan dengan tepat bahwa permainan informasi
(charade) ini bakal dianggap sungguhan oleh para
komentator yang berpikiran cetak.
Libya benar-benar pas untuk memenuhi kebutuhan ini.
Qaddafi merupakan sasaran empuk kebencian, khususnya
mengingat merajalelanya rasisme anti-Arab di Amerika Serikat
dan komitmen mendalam kelas-kelas terpelajar --dengan amat
sedikit perkecualian-- terhadap rejeksionisme dan kekerasan
AS-Israel. Qaddafi telah menciptakan sebuah masyarakat yang
buruk dan represi, dan betul-betul bersalah melakukan
terorisme balasan, terutama terhadap rakyat Libya, seperti
sudah disebutkan. Hukuman mati yang dijatuhkan Qaddafi atas
pembangkang Libya, serta aksi-aksi terorisnya itu sebenarnya
bisa saja dicegah, menurut para analis intelijen AS dan
Israel, tapi itu konsekuensinya adalah akan ketahuan bahwa
sandi rahasia Libya (yang rupanya mudah ditebak) itu sudah
dipecahkan. "Seorang analis Israel menyatakannya secara
lebih lugas, 'Buat apa kita membuka rahasia metode dan
sumber kita demi sebagian rakyat
Libya?"'19
Libya itu lemah dan tak berdaya sehingga perang boleh
digencarkan terhadapnya dan, kalau perlu, pembunuhan rakyat
Libya dapat dilakukan dengan enteng. Kemenangan militer yang
gemilang di Grenada, suatu kulminasi dari keagresifan dan
kebencian ekstrem pemerintahan-pemerintahan Carter-Reagan
setelah pemerintahan Uskup itu dianggap membahayakan karena
menggubris kebutuhan mayoritas miskin, dilakukan untuk
mencapai tujuan serupa. Hal ini sangat dirasakan di luar
negeri. Wartawan Amerika Donald Neff, yang menulis di sebuah
jurnal Inggris tentang insiden Teluk Sidra pada Maret 1986,
berkomentar bahwa "ini merupakan sebuah operasi yang kurang
bergaya Rambo dibandingkan dengan demonstrasi gertakan yang
dimaksud untuk memancing pertempuran. Ini adalah gaya khas
Reagan. Selama lima tahun menjabat, ia berkali-kali
bertingkah sok kuasa atas nasib orang-orang lemah. Kali ini,
ia juga melakukannya". Adalah kenyataan yang menarik tentang
kebudayaan Amerika bahwa pameran kepengecutan dan kekejaman
ini tampaknya disambut baik oleh masyarakat, sebagaimana ia
kadang-kadang terjadi pula di luar negeri.
Sebagai contoh, Paul Johnson mengecam "bau busuk
kepengecutan murni di udara", dan pemboman AS atas
"basis-basis teroris" (yaitu sasaran-sasaran sipil) di Libya
membangkitkan keraguan. Johnson memuji "kegagahan sang
Koboi", yang memamerkan keberaniannya dengan mengirim
bomber-bombernya untuk membunuhi penduduk sipil yang tak
berdaya.20
Ahli-ahli PR pemerintahan Reagan memahami manfaat Libya
sebagai musuh dan hanya perlu membuang sedikit waktu dengan
menghadapi lawan yang berbahaya ini. Libya sekaligus juga
dirancang sebagai agen utama dalam "jaringan teroris" yang
didukung Soviet, dan pada Juli 1981 rencana CIA untuk
menggulingkan dan membunuh Qaddafi dengan suatu kampanye
teror paramiliter di Libya bocor kepada
pers.21
Kita dapat mencatat sepintas bahwa dengan standar-standar
AS, rencana ini mengesahkan Qaddafi untuk melakukan aksi
teror terhadap sasaran-sasaran Amerika sebagai "pembelaan
diri terhadap serangan di masa depan" --kalimat yang dipakai
oleh juru bicara Gedang Putih Larry Speakes ketika
mengemukakan justifikasi resmi untuk pemboman atas Tripoli
dan Benghazi. Justifikasi serupa diulangi lagi di PBB oleh
Vernon Walters dan Herbert Okun. Pemerintah bahkan dengan
kurang ajar menegaskan bahwa hak ini --yang bahkan Hitler
pun tak mengatakannya dan yang, jika dikemukakan oleh
negara-negara keras lainnya, niscaya meluluhlantakkan
ketertiban dunia dan hukum internasional yang masih sedikit
tersisa-- sejalan dengan Piagam PBB. Tidak ada bentuk
kemustahilan legal yang dapat tandas menyatakan bahwa "itu
sudah diterima baik di Peoria" --dan di Cambridge, New York,
dan Washington. Toh Reagan disanjung oleh Anthony
Lewis untuk keyakinannya "pada suatu argumen legal bahwa
kekerasan adalah sah sebagai tindakan membela-diri". Alasan
mengapa AS menjustifikasi serangan itu "atas dasar perlunya
menyerang lebih dulu, yang dapat dipandang sebagai sebuah
bentuk pembelaan-diri, bukan atas dasar aksi pembalasan"
dijelaskan oleh seorang pejabat Deplu, yang menyebut bahwa
Piagam PBB secara tegas melarang penggunaan kekerasan
kecuali untuk membela-diri. Sesungguhnya, membela-diri
terhadap serangan bersenjata, hanya boleh setelah PBB
bertindak sesudah permohonan resmi kepada Dewan Keamanan
oleh negara yang merasa dirinya sebagai korban dari serangan
bersenjata mendadak dan besar-besaran. Sementara "argumen
legal" tersebut diacungi jempol di dalam negeri, umumnya ia
dicibir di luar negeri. Di luar negeri hanya sedikit orang
yang tidak sepakat dengan mantan dubes Kanada di PBB George
Ignatief --anggota delegasi pertama Kanada ke PBB dan kini
kanselir Universitas Toronto-- yang menolak permohonan hak
membela diri yang ditetapkan dalam Piagam PBB itu sebagai
tidak beralasan.22
Pada Agustus 1981, pesan anti-Qaddafi "diterapkan dengan
menggelar perangkap untuk Libya di Teluk Sidra", sebuah
perangkap "yang direncanakan dengan seksama oleh pihak AS"
guna memancing konfrontasi yang di dalamnya jet-jet Libya
dapat ditembak jatuh, sebagaimana memang kemudian terjadi,
menurut Edward Haley dalam studi anti-Qaddafi-nya yang
garang tentang hubungan AS dan Libya. Salah satu tujuan
utamanya, tandas Haley dengan logis, adalah untuk
"memanfaatkan 'ancaman Libya' guna meraih dukungan bagi
langkah-langkah (Pemerintah) yang ingin menggencarkan
'konsensus' Menlu Haig terhadap Uni Soviet, dan sebagai
unsur dalam kesepakatan-kesepakatan yang diperlukan untuk
menciptakan Pasukan Gerak Cepat" --sebuah pasukan intervensi
yang sasaran utamanya adalah Timur Tengah. Pada November,
Pemerintah membuat dongeng menggelikan tentang gali-gali
Libya yang berkeliaran di jalan-jalan Washington untuk
membunuh Pemimpin Kita, menyebabkan media langsung
ramai-ramai mengomentari dengan agak skeptis, tapi waktu itu
skeptisismenya sangat kecil.
Ketika ditanya tentang rencana ini, Reagan menjawab,
"Kami punya bukti, dan (Qaddafi)
mengetahuinya."23
Ceritanya pelan-pelan menguap ketika tujuannya sudah
terpenuhi, dan pers bersikap cukup disiplin sehingga tak
melaporkan penyingkapan di pers Inggris bahwa "para
pembunuh" yang namanya tercantum dalam daftar resmi AS
--yang bocor di Inggris-- adalah anggota-anggota teras Amal
Lebanon (yang sangat anti-Libya), termasuk pemimpinnya Nabih
Berri dan tokoh tua komunitas
Syi'ah.24
Dongeng-dongeng lain mencakup ancaman Libya untuk
menyerbu Sudan dengan menyeberangi 600 mil gurun pasir
(sementara pasukan-pasukan udara Mesir dan AS tak berdaya
menghalangi penyerbuan ini), dan rencana penggulingan
pemerintah Sudan pada Februari 1983. Untungnya rencana ini
diketahui pada saat kelompok reaksioner dalam pemerintahan
sedang menggarapnya dengan militansi yang tak memadai
--sebuah rencana yang begitu subtil sehingga intelijen Sudan
dan Mesir tak tahu apa-apa, sementara para wartawan AS yang
pergi ke Khartoum dapat dengan segera mengetahuinya. AS
menanggapi plot isapan jempol ini dengan suatu pameran besar
kekuatan, memungkinkan Menlu Shultz, yang sudah dikecam
terlalu pengecut, untuk menggebuk tantangan-tantangan herois
di layar televisi seraya mengumumkan bahwa Qaddafi "kembali
ke dalam kotak yang mengurungnya" karena Reagan bertindak
"cepat dan tegas" terhadap ancaman bagi ketertiban dunia
ini. Lagi-lagi, peristiwa ini dilupakan segera sesudah
tujuan-tujuannya tercapai. Media umumnya memainkan peranan
yang sudah digariskan untuk mereka, dengan hanya
sekali-sekali menggerutu. 25
Peristiwa-peristiwa Maret-April 1986 membuat pola lazim
ini menjadi sempurna. Operasi Teluk Sidra pada Maret
merupakan saat yang tepat untuk mengobarkan histeris
nasionalisme-ekstrem (jingoist), beberapa saat
sebelum pemungutan suara penting di Senat guna menentukan
bantuan buat Contra bertepatan pula dengan "invasi"
palsu Nikaragua atas Honduras --suatu operasi PR yang
berhasil gemilang sebagaimana terlihat dari reaksi garang
para anggota lunak Kongres dan semua media, juga hasil
pemungutan suara di Senat (lihat Bab
Kedua). Permainan informasi ini juga mengizinkan
Pemerintah untuk memberikan bantuan militer senilai dua
puluh juta-dolar kepada Honduras, yang menurut pernyataan
resmi Honduras bantuan ini tak diminta --dan yang sudah
pasti "hilang" di kamp-kamp Contra-- namun tetap
dipakai cara lain yang memungkinkan gerombolan ilegal di
Washington itu mengelakkan pembatasan-pembatasan
kongresional yang lunak atas kekejaman
mereka.26
Provokasi Teluk Sidra juga merupakan sebuah sukses,
memungkinkan pasukan AS menenggelamkan sejumlah kapal Libya,
membunuh lebih dari 50 orang Libya dan, seperti diharapkan,
mendorong Qaddafi untuk melakukan aksi-aksi teror terhadap
warga Amerika, sebagaimana kemudian dinyatakan.
Sementara pasukan AS berhasil membunuh sejumlah besar
orang Libya, mereka ajaibnya tak mampu menyelamatkan
orang-orang yang lolos. Tugas ini rupanya bukanlah mustahil
sebab enam belas orang yang lolos dari serangan AS itu
kenyataannya diselamatkan dari sekoci oleh sebuah kapal
minyak Spanyol.27
Tujuan resmi dari operasi militer AS adalah memantapkan
hak untuk menempati Teluk Sidra, yang sepenuhnya
omong-kosong, sebab pengiriman sebuah armada laut hampir tak
diperlukan atau merupakan cara yang kurang kena guna
mencapai tujuan ini: sebuah deklarasi pun sudah cukup. Jika
langkah-langkah lebih lanjut dianggap perlu karena alasan
tertentu, selalu tersedia cara-cara yang sesuai dengan
hukum. Kalau seseorang berselisih dengan tetangganya
mengenai suatu hak, ada dua cara untuk menyelesaikannya:
yang pertama adalah membawa persoalannya ke
pengadilan, kedua adalah menarik picu senjata dan
membunuh si jiran. Pilihan pertama jelas tersedia dalam
kasus Teluk Sidra ini.
Oleh karena terang tak ada urgensinya, dimungkinkanlah
untuk menerapkan cara-cara legal guna menetapkan hak untuk
menempati secara wajar. Tetapi, sebuah negara teroris dan
tak menggubris hukum tentulah akan memilih
prioritas-prioritas yang berbeda. Ditanya kenapa AS tak
membawa persoalannya ke Mahkamah Intemasional, Brian Hoyle,
direktur Dinas Kebijakan dan Hukum Laut di Departemen Luar
Negeri, mengatakan bahwa urusannya "akan memakan waktu
bertahun-tahun. Saya kira dengan begitu, kita tak dapat
hidup"28
--memberi pembenaran tegas bagi armada-armada laut AS
untuk beroperasi di Teluk Sidra jika Amerika Serikat ingin
tetap hidup sebagai sebuah bangsa.
Tentang alasan-alasan yang lebih sempit, posisi AS
plinplan. Pers terus-menerus bicara tentang "hukum
laut", tapi Amerika Serikat nyaris tak punya dasar yang
jelas untuk menanggapi doktrin ini hanya lantaran
Pemerintahan Reagan menolak Undang-Undang Perjanjian Laut.
Tambahan pula, Libya menembak pesawat-pesawat AS, bukan
kapal-kapal, dan "hukum udara" sama sekali belum tersusun
rapi. Negara-negara melontarkan macam-macam klaim mengenai
masalah ini. Amerika, misalnya, mengklaim Zona Identifikasi
Pertahanan Udara sejauh 200 mil, yang di dalamnya ia berhak
menerapkan "pembelaan-diri" terhadap pesawat penerobos yang
dianggap bermusuhan. Tidak ada keraguan bahwa armada udara
AS masuk ke dalam rentang 200 mil wilayah Libya menurut
Pentagon malah 40 mil --dan bahwa mereka bersikap bermusuhan
sehingga berdasarkan standar-standar AS, Libya berhak untuk
menangkap mereka. Ihwal ini disebut oleh ahli hukum
konservatif Alfred Rubin dari Sekolah Fletcher Universitas
Tufts, yang berkomentar bahwa "dengan mengirim armada udara,
kita sudah bertindak melampaui apa yang telah jelas dilarang
menurut Hukum Laut" guna melakukan "provokasi yang tak
perlu".29 Tapi,
buat sebuah negara bandit, hal-hal semacam itu tak relevan,
dan tindakan tersebut merupakan sebuah sukses setidaknya di
dalam negeri.
Catatan kaki:
* Dari kata demon
(hantu, memedi, lelembut). Demonologi, dengan demikian,
bermakna "perekayasaan sistematis untuk menempatkan sesuatu
agar ia dipandang sebagai ancaman yang sangat
menakutkan-penerj.
1 Amnesty International
Report-1985' (London, 1985); Political Killing's by
Governments (AI Report, London, 1983).
2 William Beecher, BG, 15
April 1986.
3 Pemerintah AS
menyatakan bahwa sejak September 1980, Nikaragua mengirim
persenjataan kepada kelompok gerilyawan yang umumnya
terdorong oleh Perang Teroris Carter-Duarte terhadap
penduduk; kiriman senjata ini jumlahnya sangat kecil, bahkan
kalaupun kita menelan saja bukti dokumenter yang disodorkan.
Bukti tentang arus senjata sejak awal 1981 sebetulnya nol
(bandingkan dengan TTT dan kesaksian analis CIA,
David Mac Michael di depan Mahkamah Internasional; UN A/40/
907, S/17639; 19 November 1985). Tentu saja, sudah tak
dipersoalkan di sini bahwa memberikan persenjataan kepada
rakyat yang sedang berusaha membela-diri terhadap perang
teroris yang dilancarkan oleh Amerika Serikat merupakan
kejahatan, kalau bukan bukti tentang usaha menaklukkan
Separo Belahan Bumi. Pada 27 Juni 1981, Mahkamah
Internasional menetapkan bahwa pemasokan senjata itu telah
berlangsung sampai bulan-bulan pertama 1981, walaupun
tindakan-tindakan lebih jauh "tak dirumuskan dengan tegas",
dan penetapan soal semacam pemasokan senjata sebagai masalah
hukum, kalaupun benar, tidaklah berarti membenarkan AS untuk
merespons dengan "serangan bersenjata", sebagaimana
dinyatakan oleh pemerintah AS. Karena itu, Mahkamah
Internasional mendapati tindakan-tindakan AS "telah
melanggar prinsip (Piagam PBB) yang melarang pemakaian
ancaman atau penggunaan kekerasan" dalam masalah
internasional, disamping melarang bentuk kejahatan-kejahatan
lain. Kalangan di AS umumnya tak menggubris penilaian
Mahkamah dan menganggapnya tak relevan, sementara para
pentolan penganjur Ketertiban Dunia menyimpulkan bahwa AS
tak perlu tunduk kepada yurisdiksi Mahkamah Internasional,
sebab Amerika "masih memerlukan kebebasan untuk melindungi
kebebasan", seperti di Nikaragua (Thomas M. Franck,
NYT,17 Juli 1986). Pelobi Contra, Robert Leiken dari
Lembaga Carnegi untuk Perdamaian Internasional, "mencela
pengadilan itu, yang dia katakan bercacat karena 'persepsi
yang semakin berkembang' bahwa ia punya hubungan erat dengan
Uni Soviet"-hubungan erat yang tiba-tiba muncul sejak
Mahkamah yang sama menetapkan keputusan yang menguntungkan
AS dalam Kasus Iran pada 1980 (Jonathan Karp, WP, 28
Juni 1986). Semua ini, sekali lagi, merupakan reaksi yang
dapat diharapkan oleh seseorang di sebuah pusat utama
terorisme internasional.
4 Editorial, WP
(Manchester Guardian Weekly, 22 Februari 1981); Alan
Riding, NYT, 27 September 1981. Lihat TTT
untuk rujukan-rujukan yang tak disebut di sini atau di
bawah.
5 Ambrose
Evans-Pritchard, Spectator, 10 Mei 1986; dengan
ditunaikannya tugas penyembelihan, katanya melanjutkan,
sejumlah besar mayat 'bergelimpangan dan tubuh-tubuh
dilemparkan ke tengah Danau Ilopango, hanya sedikit sekali
yang dibuang ke tepian danau untuk mengingatkan orang-orang
yang mandi di sana bahwa represi masih terus berlangsung.
Editorial-editorial New Republic, 2 April 1984, 7
April 1986. Tentang kebiadaban-kebiadaban mutakhir, lihat
Americas Watch, Settling into Routine (Mei 1986),
yang melaporkan bahwa pelenyapan dan pembunuhan-pembunuhan
politik --90 persen oleh pasukan bersenjata Duarte-- terus
terjadi dengan rata-rata empat kasus per hari di negara
teroris ini beserta sejumlah besar kekejian pemerintah
lainnya.
6 Chris Krueger dan Kjell
Enge, Security and Development Conditions in the
Guatemalan Highlands (Washington Office on Latin
America, 1985); Alan Nairn, "The Guatemala Connection",
Progressive, Mei, September 1986. Tentang koneksi
Israel, di Amerika Tengah dan kawasan-kawasan lain, lihat
Benjamin Beit-Hallahmi, From Manila to Managua: Israel's
World War (Pantheon, akan terbit).
7 Herman dan Brodhead,
Demonstration Elections (South End, 1984). Mereka
mendefinisikan konsep ini untuk menunjuk kepada muslihat
dari intervensi asing yang didalamnya pemilihan-pemilihan
"diorganisasikan dan dirancang oleh suatu kekuatan asing,
terutama untuk menjinakkan penduduk yang resah"; mereka
membahas sejumlah contoh lain dan juga memperlihatkan secara
terperinci bahwa pemilihan-pemilihan tersebut tak kurang
lucunya dibanding eleksi-eleksi yang diselenggarakan oleh
penguasa Soviet. Istilah mereka, "pemilihan-pemilihan
demonstrasi", dipinjam dan sangat disalahgunakan dengan
menunjuk kepada Nikaragua oleh Robert Leiken (New York
Review, 5 Desember 1985), sebagai bagian dari
kampanyenya guna mendukung pasukan centeng teroris itu.
Lihat surat Brodhead dan Herman, yang diterbitkan setelah
ditunda selama setengah tahun bersama surat-surat lain oleh
para pengamat Parlemen Inggris (26 Juni 1986), dan tanggapan
Leiken, yang diam-diam mengakui ketepatan kritik mereka
(dengan menghapusnya), seraya menegaskan bahwa mereka
menyusun konsep mereka "sebagai cara untuk memusatkan
perhatian kepada Imperialisme Barat, sembari menjauhkannya
dari Imperialisme Soviet ... sejalan dengan keyakinan mereka
yang mencolok bahwa hanya ada satu adidaya yang bejat"; ini
merupakan tanggapan standar dari para pembela teror negara
yang kebohongannya tersingkap dalam hal ini, mereka perlu
membenamkan kritik keras Brodhead dan Herman atas
pemilihan-pemilihan di Polandia, selain banyak kritik lain
mereka. Bagian-bagian lain dari tanggapan Leiken dan
artikel-artikelnya sendiri mengandung tingkat integritas
yang tinggi dan perlu dibaca dengan cermat oleh mereka yang
tertarik dengan cara kerja sistem ideologi AS. Lihat
terutama kritik Alexander Cockburn (Nation, 29
Desember 1985, 10 Mei 1986) dan keengganan Leiken untuk
memberikan tanggapan (NYRB, 26 Juni); juga Pengantar saya
untuk Morley dan Petras, op. cit.
8 Council on Hemispheric
Affairs, Washington Report on the Hemisphere, 16
April 1986. Dari pelantikan Cerezo pada bulan Januari sampai
Juni, pembunuhan-pembunuhan diperkirakan terjadi 700 kali,
meningkat 10 persen dibanding tahun sebelumnya; tak
diketahui berapa banyak yang bersifat politik, ataupun
berapa jumlah sesungguhnya (Edward Cody, WP, 6 Juli
1986). Alan Nairn dan Jean Marie Simon menaksir pembunuhan
politik terjadi lebih dari 60 kali setiap bulan; mereka
merupakan korban dari "suatu sistem terorisme politik yang
efisien" yang dijalankan oleh militer Guatemala dengan
menggunakan siasat-siasat seperti "arsip komputer tentang
wartawan, mahasiswa, pemimpin, kelompok kiri, politisi, dan
lain-lain" --sebuah sistem yang diberikan kepada mereka oleh
Israel, meskipun fakta ini dan koneksi Israel pada umumnya,
tak disebut, dan secara umum tak disingung-singgung dalam
jurnal ini (New Republic, 30 Juni 1986). "Birokrasi
Guatemala untuk urusan kematian tampak lebih mulus jalannya
dibandingkan dengan saat kapan pun sejak pertengahan
1960-an", mereka menyimpulkan, menyebut bahwa "Presiden
Cerezo toh tak mengecam satu pun pembunuhan oleh
tentara" dan bahwa "menteri dalam negerinya mengatakan bahwa
pembunuhan-pembunuhan politik tak lagi jadi masalah"
--sebuah pendirian yang mudah dimengerti, kalau tidak
demikian, maka mereka sendiri juga akan lenyap di negara
klien teroris ini.
9 John Haiman dan Anna
Meigs, "Khaddafy: Man and Myth", Africa Events,
Februari 1986.
10 Lihat TTT
untuk seleksi yang luas; juga Bab Kedua, catatan kaki no.
17, 44,
dan rujukan-rujukan yang dikutip di atas.
11 Michael Ledeen,
National Interest, Musim Semi 1986. Lihat catatan
kaki no. 4 dan teks.
12 Editorial,
NYT, 20 April 1985; WP, 11 Januari 1986;
Rabin, BG, 25 Januari 1986; El Pais (Madrid),
25 April 1986.
13 E .J. Dionne, "Syria
Terror Link Cited by Italian", 25 Juni 1986; para redaktur
Times jelas mengetahui bahwa bagian kasus pemerintah
AS yang telah mereka dukung sudah ambruk, seperti akan kita
lihat langsung.
14 NYT, 27 Juni
1985; CSM, 25 Maret 1986. Serdadu-serdadu bayaran Kuba yang
bertempur dengan tentara centeng AS yang menyerang Nikaragua
menduga bahwa mereka dilatih di sebuah basis paramiliter di
Florida; Stephen Kinzer, NYT, 26 Juni 1986. Tetapi,
pemerintah AS menangkap para perencana percobaan
penggulingan diktator Suriname di New Orleans (dilukiskan
oleh kejaksaan AS sebagai "sebuah 'titik-lompat' bagi
serdadu-serdadu bayaran yang ingin terlibat di Amerika
Tengah dan Selatan"), mendakwa mereka melanggar UU
Netralitas AS (CSM, 30 juli 1986), sebagaimana ia
tempo hari membendung usaha-usaha penggulingan rezim ganas
Duvalier yang didukungnya di Haiti, yang berarti menunjukkan
komitmen kukuhnya kepada Rule of Law.
15 Bob Woodward dan
Charles R. Babcock, WP, 12 Mei.
16 Ihsan Hijazi
NYT, 20 April 1986. Pembaca cermat Times akan
menemukan sebuah kutukan terhadap terorisme oleh Presiden
Syria, Assad-yang tak diungkap oleh laporan Henry Kamm dari
Athena (29 Mei 1986) --yang secara khusus menyebut
pembunuhan atas 144 warga Syria dalam sebuah "aksi teroris
besar", agaknya menunjuk pada pemboman terhadap bus-bus
Syria.
17 Philip Shenon,
NYT, 14 Mei 1985; Lou Cannon, Bob Woodward, et
al., WP, 28 April 1986.
18 New Republic,
20 januari 1986; Edwin Meese, AP, 14 April 1986;
lihat Bab Kedua.
19 Frank Greve,
Philadelphia Inquirer, 18 Mei 1986.
20 Nef, Middle East
International (London), 4 April 1986; Johnson, Sunday
Telegraph (London), 1 juni 1986. Komentar-komentar
Johnson mencerminkan pendirian tipikal pembela terorisme
negara yang sangat terpandang ini. Demikianlah, dalam sebuah
konferensi propaganda tentang terorisme yang diselenggarakan
oleh Israel di Washington lihat Bab Pendahuluan, catatan
kaki no. 15), ia memuji Israel karena mengambil
"langkah-langkat cepat" untuk memerangi "kanker teroris"
seperti dengan invasinya atas Lebanon pada 1982:
"Kenyataannya, dengan keberanian fisik dan moral di atas
formalitas hak-hak negara, Israel untuk pertama kalinya
mampu memukul tepat di jantung kanker itu, meredam
pertumbuhannya dan membuangnya langsung ke dalam liangnya
(Wolf Blitzer, Jerusalem Post, 29 juni 1984)
--bertentangan tajam dengan maksud Israel, seperti dibahas
dalam Bab Kedua.
21 Haley, Qaddaf and
the U.S., 271 dst.
22 Larry Speaks, TV
nasional, pukul 19:30,14 April; NYT, 16 April; AP 14
April, NYT, 15 April; Lewis, NYT, 17 April;
Bernard Weinraub, NYT, 15 April, 1986; left Sallot,
Globe &Mail (Toronto), 24 April 1986. Seperti
disebut sebelumnya, Mahkamah Internasional telah menolak
keyakinan AS (menyangkut El Salvador, bukan, katakanlah,
Afghanistan, Angola atau Kamboja) bahwa pemasokan senjata
kepada kelompok gerilyawan membolehkan "serangan
bersenjata". Lihat catatan kaki no. 3.
23 Haley, Qaddafi
and the U.S., 8, 264.
24 New
Statesman, 16 Agustus 1985.
25 Lihat FT, 210;
Haley, op.cit., yang melakukan upaya yang patut
dipuji untuk menjadikan komedi ini serius.
26 "Dinas Intelijen
Pusat (CIA), yang tak boleh memberi bantuan militer kepada
pemberontak Nikaragua, diam-diam mengalirkan beberapa juta
dolar kepada para pemberontak tersebut untuk proyek-proyek
politik selama tahun lalu, kata pejabat- pejabat pemerintah
AS", juga memungkinkan "CIA untuk melestarikan pengaruh kuat
atas gerakan pemberontakan itu, walaupun larangan Kongres
tetap berlaku dari Oktober 1984 sampai September 1985, yang
tak mengizinkan CIA untuk mengeluarkan uang 'yang akibatnya
akan berarti mendukung, langsung maupun tak langsung,
operasi-operasi militer atau paramiliter di Nikaragua', kata
para pejabat tersebut". Salah satu tujuan dari apa yang
dilukiskan oleh para pejabat AS sebagai "sebuah program
besar" adalah "menciptakan keadaan tertentu agar
(kelompok Contra) menjadi entitas politik aktual di
kalangan sekutu-sekutu kita di Eropa". Anggota Kongres Sam
Gejdenson menyatakan bahwa "Kami curiga bahwa CIA tak pernah
benar-benar mengundurkan diri dari kancah, tapi tingkat
keterlibatan langsungnya dalam perang Contra boleh
jadi mencengangkan pengamat yang paling dingin sekalipun".
Dokumen-dokumen UNO (Contra) yang diperoleh AP
"memperlihatkan bahwa banyak dana politik UNO mengalir ke
organisasi-organisasi militer yang punya hubungan dengan
kelompok penghimpun" yang dibentuk oleh AS, sementara
sebagian dana dipakai untuk menyuap para pejabat Honduras
dan Costa Rica "untuk memungkinkan pemberontak beroperasi di
negara-negara itu". Sebagian besar uang ini disalurkan
melalui sebuah bank di Bahama yang berpusat di London. AP,
14 April; BG, 14 April 1986. Penyingkapan-penyingkapan ini
berlalu tanpa dikomentari pada waktu itu, dan sedikit
dikomentari sesudahnya. Kemudian, Miami Herald
melaporkan bahwa lebih dari 2 juta dolar dari 27 juta dolar
yang diberikan oleh Kongres untuk "bantuan kemanusiaan"
telah digunakan untuk membayar pejabat-pejabat Honduras
"agar menutup mata terhadap kegiatan-kegiatan ilegal
Contra di negeri Honduras" (editorial BG, 13
Mei 1986), beserta sejumlah bukti tentang korupsi yang
mendapat pcrhatian terbatas, sampai tak ada pengaruh sama
sekali.
27 Al; 27 Maret 1986,
mengutip El Pais (Madrid).
28 R.C. Longworth,
Chicago Tribune, 30 Maret 1986.
29 Richard Higgins, BG,
25 Maret 1986.
(bagian pertama, kedua)
|