|
Libya dalam Demonologi Amerika Serikat
(2/2)
Tingkat provokasi di Teluk Sidra dibikin terang oleh
jubir Pentagon Robert Sims, yang "mengatakan bahwa AS sudah
menggariskan kebijakan untuk menembak setiap kapal Libya
yang memasuki perairan internasional di Teluk Sidra, selama
masa armada AS masih beroperasi di kawasan itu --tak peduli
seberapa jauh pun jarak kapal tersebut dari kapal-kapal AS".
"Mengingat 'niat bermusuhan' yang diperlihatkan oleh Libya
ketika ia mencoba menembak jatuh pesawat-pesawat AS", tandas
Sims, maka setiap kapal militer Libya merupakan "ancaman
terhadap pasukan kita."30
Pendeknya, AS tetap berhak untuk menembak setiap kapal Libya
yang mendekati armada lautnya di lepas pantai Libya, untuk
"membela-diri", sementara Libya tak punya hak untuk
membela-diri di wilayah udara yang rentangnya sebanding
dengan yang diklaim oleh AS itu.
Masih ada lanjutan ceritanya. Wartawan Inggris David
Blundy mewawancarai para insinyur Inggris di Tripoli yang
sedang memperbaiki sistem radar buatan Rusia di sana: Salah
seorang, yang mengaku sedang memantau keseluruhan insiden
itu melalui layar-layar radar (yang, berlawanan dengan klaim
Pentagon, tetap dapat berfungsi), melaporkan bahwa "ia
melihat pesawat-pesawat tempur Amerika bukan hanya masuk dua
belas mil ke dalam wilayah perairan Libya, melainkan juga
terbang di atas daratan Libya". "'Saya melihat
pesawat-pesawat itu terbang hampir delapan mil ke dalam
wilayah udara Libya,' ungkapnya. 'Saya kira Libya tak punya
pilihan lain kecuali menghajarnya. Menurut pendapat saya,
mereka enggan untuk melakukan hal itu'." Insinyur tersebut
menambahkan bahwa "pesawat-pesawat tempur Amerika mendekat
dengan menggunakan rute lalu-lintas pesawat sipil biasa,
sehingga sinyal radarnya tak tampak di layar radar
Libya".31
Setahu saya, tak secuil pun informasi ini muncul di media
AS, terlepas dari sebuah laporan unggul khas Alexander
Cockburn, yang memainkan peranan personal lazimnya sebagai
pengimbang dari ketundukan dan distorsi media. Artikel
Blundy tidaklah dilenyapkan secara misterius oleh pers AS.
Ia dikutip oleh Joseph Lelyveld dari Times, tapi
dengan penghilangan bagian-bagian
pentingnya.32
Sebuah kemungkinan besar --dan jelas memang ditunggu--
dari akibat operasi Teluk Sidra itu adalah munculnya
aksi-aksi terorisme Libya sebagai pembalasan. Aksi-aksi ini
lalu akan menciptakan suatu keadaan teror di Amerika Serikat
dan, kalau mujur, juga di Eropa sehingga menyiapkan pentas
bagi ledakan berikutnya. Pemboman diskotek La Belle di
Berlin Barat pada 5 April, yang menewaskan seorang-serdadu
kulit-hitam Amerika dan seorang Turki,
33 langsung
saja dituduhkan kepada Libya, dan kemudian digunakan sebagai
dalih untuk pemboman 14 April atas Tripoli dan. Benghazi,
menewaskan banyak warga Libya, tampaknya sebagian terbesar
penduduk sipil (sekitar seratus orang, menurut pers Barat;
enam puluh orang menurut laporan resmi Libya). Pemboman ini
terjadi persis sehari sebelum DPR melakukan pemungutan suara
tentang bantuan kepada Contra. Dalam hal khalayak
lupa akan ihwalnya, para penulis pidato Reagan
menandaskannya. Berpidato di Konferensi Bisnis Amerika pada
15 April, ia berkata, "Saya ingin mengingatkan DPR yang
melakukan voting pekan ini bahwa gembong teroris ini
sudah mengirim 400 juta dolar dan segudang senjata serta
penasihat militer ke Nikaragua, untuk membawakan perang
internalnya ke Amerika Serikat. Dia membual bahwa dia
membantu orang-orang Nikaragua karena mereka memerangi
Amerika dengan alasannya sendiri.34
Gagasan bahwa si "anjing gila" sedang membawakan perang
internalnya ke AS dengan memberi persenjataan kepada
orang-orang yang sedang diperangi AS dengan pasukan centeng
terorisnya itu bagus betul, yang berlalu tanpa komentar
berarti, tapi operasi PR tak berhasil --untuk pertama
kalinya-- menggiring Kongres, walaupun pemboman atas Libya
itu mengobarkan semangat chauvinis.
Agaknya, untuk sebagian terbesar konsekuensi ini dapat
dilekatkan pada rasisme anti-Arab yang berlaku dan pada
langkanya reaksi yang waras terhadap episode-episode
histeris buatan terdahulu atas kejahatan-kejahatan Qaddafi,
yang sungguhan maupun yang tuduhan.
Serangan 14 April ini merupakan pemboman pertama dalam
sejarah yang digelar di televisi pada waktu-utama (prime
time). Sebagai lanjutan dari pertunjukan-pertunjukan
yang direkam di media-cetak, hujan bom ini dirancang cermat
agar tepat-waktu, sehingga akan dimulai persis pada pukul 7
malam Waktu Standar Timur (EST) --dan begitulah yang
kemudian terjadi,35
yaitu tepat pada saat ketiga saluran televisi nasional
menyiarkan program-program berita utama, yang tentu saja
sudah ditongkrongi oleh para penjaga gawang yang telah
teragitasi (para petugas televisi), yang langsung
mengalihkan siaran ke Tripoli untuk menyalurkan
pandangan-mata tentang peristiwa, yang merangsang ini.
Segera sesudah hujan bom berakhir, Gedang Putih mengutus
Larry Speakes untuk berpidato dalam sebuah konferensi pers,
yang diikuti oleh pentolan-pentolan lain, dengan demikian
menjamin dominasi total atas sistem propaganda selama
saat-saat awal yang sangat penting.
Orang mungkin menganggap bahwa pemerintah telah berjudi
dengan melancarkan operasi PR yang agak mencolok ini, karena
para wartawan bakal mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit,
tapi Gedung Putih rupanya cukup yakin bahwa tidak akan
terjadi hal-hal yang tak diinginkan, dan keyakinannya pada
ketaatan media terbukti sepenuhnya benar.
Jelas, pertanyaan-pertanyaan dapat dilontarkan. Untuk
menyebut hanya yang paling mencolok, Speakes menyatakan AS
mengetahui pada 4 April bahwa "Biro Rakyat" Libya di Berlin
Timur memberi tahu Tripoli sebuah serangan akan terjadi di
Berlin pada esok harinya, dan ia kemudian mengabarkan
Tripoli bahwa pemboman diskotek La Belle sudah terjadi,
seperti direncanakan. Jadi, AS sudah tahu pada 4-5 April
--dengan pasti, kata Gedung Putih-- bahwa Libya bertanggung
jawab langsung atas pemboman disko itu. Kalau begitu, orang
dapat bertanya kenapa laporan dari investigasi-investigasi
AS dan Jerman Barat dari 5 April sampai saat terjadinya
serangan terus saja menyatakan bahwa yang terlihat paling
jauh cuma kecurigaan-kecurigaan tentang keterlibatan Libya.
Sesungguhnya, semua wartawan yang mendengarkan keterangan
Pemerintah mengantongi --kecuali kalau kita mengandaikan
inkompetensi yang amat mengherankan dari orang-orang di
ruang berita-- sebuah laporan AP dari Berlin yang
masuk ke pesawat teleks pada pukul 18:28 EST, satu jam
sebelum pemboman atas Tripoli. Laporan ini menyatakan bahwa
"komando militer Sekutu (di Berlin Barat) tidak melaporkan
perkembangan-perkembangan dalam investigasi atas pemboman
disko itu" dan bahwa "para pejabat AS dan Jerman Barat telah
mengatakan bahwa Libya mungkin melalui kedutaannya di
Berlin Timur yang dikuasai Komunis --dicurigai
terlibat dalam pemboman diakotek La Belle" (penekanan
--huruf miring-- dari saya).36
Wartawan sebetulnya dapat bertanya, bagaimana mungkin
hanya beberapa menit sebelum serangan itu AS dan Jerman
Barat paling jauh hanya mempunyai kecurigaan-kecurigaan
tentang keterlibatan Libya --sebagaimana pada seluruh
periode berikutnya-- sementara pada 4-5 April, atau sepuluh
hari sebelumnya, mereka mengetahui pasti mengenai hal ini.
Tapi, waktu itu tak ada pertanyaan-pertanyaan yang
menyudutkan, tak pula pernah dilontarkan sejak itu, dan
fakta-fakta yang relevan pun umumnya dibenamkan.
Reagan menyatakan pada malam 14
April bahwa "kami punya bukti kuat, akurat, tak terbantah".
Ini mirip dengan "Kami punya buktinya, dan (Qaddafi)
mengetahuinya" dalam kasus para gali Libya. Mereka merasa
tidak perlu menyebut tentang keterlibatan Sandinista dalam
perdagangan obat bius, pengumuman mereka mengenai "revolusi
tanpa perbatasan", tentang dukungan Helmut Kohl dan Bettino
Craxi untuk serangan atas Libya (yang dibantah dengan geram
oleh para pejabat yang "sangat kaget" di Jerman dan
Italia),37 dan
sejumlah besar kebohongan lain yang dilakukan oleh sebuah
pemerintahan yang sudah sangat jauh melampaui
standar-standar dusta yang lazim. Namun, mereka terus saja
"melakukan macam-macam kejahatan, kebohongan, pengelabuan"
--dalam kata-kata sang pemimpin tituler itu, mengacu pada
model-model Stalinisnya-- untuk meraih tujuan-tujuannya.
Mereka yakin bahwa penyingkapan sekali-sekali dalam
berita-berita kecil, yang dimuat jauh sesudah peristiwa
terjadi, tak akan merintangi arus konstan kebohongan dalam
mengarahkan perdebatan dan meninggalkan kesan-kesan positif
yang sudah tertanam dengan kukuh, persis sebagaimana
terjadi.
Namun demikian, di luar batas negara AS ketaatan tak
bercokol. Di Jerman, sepekan setelah Washington menyatakan
pengetahuan pastinya tentang keterlibatan Libya atas
pemboman disko itu sepuluh hari sebelumnya (4-5 April),
Der Spiegel (21 April) melaporkan bahwa
penyadapan-penyadapan telepon yang terkenal ampuh itu
tampaknya tak ada, dan bahwa intelijen Berlin Barat hanya
mempunyai kecurigaan-kecurigaan tentang keterlibatan Libya,
juga mencurigai "kelompok-kelompok pedagang obat bius yang
saling bersaing" di antara kemungkinan-kemungkinan lain
(termasuk klan atau kelompok-kelompok neo-Nazi, menurut
dugaan sebagian orang; disko itu sendiri sering dikunjungi
oleh GI berkulit hitam dan para imigran Dunia Ketiga).
Perang Washington adalah "alat politik", Der Spiegel
melanjutkan, "sepanjang lawannya sekecil Grenada dan Libya
--dan musuhnya se-ideal si bangsat Qaddafi", dan tidak ada
pemimpin Eropa yang perlu berilusi bahwa keprihatinan atau
kepentingan Eropa akan dipertimbangkan jika AS sudah
memutuskan untuk menaikkan suhu kekerasan internasional,
bahkan sampai ke tingkat Perang Dunia final, tambah editor
Rudolf Augstein. 38
Dalam sebuah wawancara pada 28 April dengan wartawan jurnal
Angkatan Darat AS, Stars and Stripes, Manfred
Ganschow, kepala Staatschutz Berlin dan ketua tim
seratus orang yang menyelidiki pemboman disko itu,
mengatakan, "Saya tak punya bukti yang lebih kuat bahwa
Libya terlibat dalam pemboman ini daripada yang saya punyai
ketika Anda pertama kali menghubungi saya dua hari setelah
aksi ini. Tak ada sedikitpun bukti." Ia sepakat bahwa ini
merupakan "sebuah kasus yang sangat politis" dan menyiratkan
keraguan besar tentang apa yang dikatakan dan akan
diungkapkan oleh "para politikus" mengenai hal
ini.39
Pers AS menyembunyikan keraguan-keraguan yang diungkapkan
oleh media dan tim penyelidik di Jerman. Tetapi, pembaca
yang cermat akan mampu mengendusnya dalam laporan-laporan
tentang penyelidikan yang terus berlangsung, ketika
orang-orang yang dicurigai punya hubungan dengan Syria dan
pihak-pihak lain diperiksa. Pernyataan-pernyataan pemerintah
AS bahwa ia punya "pengetahuan pasti" pada 4-5 April telah
merosot menjadi kualifikasi-kualifikasi seperti "dilaporkan"
dan "diduga". Inilah indikasi bahwa media tahu betul bahwa
pernyataan-pernyataan itu meragukan atau bohong, tapi
terlalu loyal, atau kelewat takut, untuk berkata begitu
--maka, kadang-kadang, mereka mengungkapkan keterlibatan
mereka sendiri dalam pemboman teroris
itu.40"
Keraguan ini, kualifikasi-kualifikasi ini, penyurutan dari
penegasan yakin sebelumnya, dan pengutipan tak langsung atas
bukti yang menggugurkan klaim-klaim pemerintah --semuanya
merupakan muslihat yang digunakan oleh media untuk
mengisyaratkan bahwa mereka sangat sadar bahwa mereka sama
sekali tak mampu kalau diminta memaparkan bukti yang jelas
bagi kasus yang mereka sokong dengan penuh semangat.
Dalam New York Review of
Books,41
Shaul Bakhash menandaskan bahwa Hindawi bersaudara asal
Yordania "tidak bertanggung jawab atas pemboman diskotek di
Berlin Barat" dan "sampai sekarang tidak ada bukti
meyakinkan" bahwa mereka "direkrut oleh Syria (bukan oleh
Libya sebagaimana mungkin dianggap orang berdasarkan
beberapa pernyataan resmi pada waktu itu)". Terlepas dari
fakta bahwa dia melaju melampaui bukti yang ada, rumusan
Bakhash ini memancing minat. Bukan karena "beberapa
pernyataan resmi" sehingga "orang mungkin menganggap" bahwa
Libya terlibat. Semua pernyataan resmi --yang
disajikan dengan yakin dan tanpa kualifikasi serta diulang
dengan cara ini oleh media sampai kasusnya mulai tersingkap
berminggu-minggu kemudian-- yang secara tegas menandaskan
keterlibatan Libya dan menjustifikasi pemboman dan
pembunuhan warga sipil Libya atas dasar ini. Lebih jauh,
bukanlah dukungan media, bukan pula pernyataan ini yang
mengantarkan kita kepada kesimpulan yang jelas: jika
pemerintahan Reagan berdusta tentang buktinya yang "kuat",
"akurat" dan "tak terbantah", pemboman itu dapat ditandaskan
sebagai terorisme negara --dan ditutupi oleh media yang
loyal, yang menghindari pertanyaan-pertanyaan yang jelas
pada saat ketika mereka mengungkapkan dukungan bergelora
atas serangan tersebut seraya mengajukan dalih-dalih yang
ganjil guna menjustifikasi keterlibatan mereka dalam
terorisme (misalnya, dongeng para redaktur Times
tentang "Natasha Simpson berikutnya").
Operasi PR ini jelas merupakan sebuah sukses di dalam
negeri, setidaknya untuk jangka-pendek. Ia "sudah diterima
baik di Peoria", seperti dilaporkan pers, sebuah contoh
sukses mengenai "rekayasa persetujuan demokratis" yang
tentu, sebagaimana dimaksudkan, "memperkuat tangan Presiden
Reagan dalam berhadapan dengan Kongres tentang isu-isu
seperti anggaran militer dan bantuan buat kaum 'Contra'
Nikaragua"42.
Bagi banyak negara, AS menjadi negara yang amat ditakuti,
lantaran "pemimpin koboi garang"-nya gemar melakukan
tindakan-tindakan "sinting" dengan mengorganisasikan
"gerombolan pembunuh" untuk menyerang Nikaragua dan main bom
secara gila-gilaan di tempat-tempat lain, dalam kata-kata
sebuah jurnal ternama Kanada, yang secara umum
berkecenderungan lunak dan sangat
pro-Amerika.43
Pemerintahan Reagan memainkan ketakutan-ketakutan ini dengan
berhasil, memanfaatkan strategi "orang gila"-nya Nixon. Pada
pertemuan puncak negara-negara maju di Tokyo pada Mei,
Pemerintahan Reagan mengedarkan sebuah tulisan tentang
posisinya. Didalamnya dinyatakan bahwa salah satu alasan
mengapa Eropa sebaiknya bertindak bijaksana dan berdiri
sejalur dengan perjuangan AS adalah "keperluan untuk
melakukan sesuatu agar orang-orang gila Amerika tidak akan
lagi main hakim sendiri". Ancaman ini berhasil mendorong
lahirnya sebuah pernyataan menentang terorisme, yang hanya
menyebut nama Libya.44
Ancaman eksplisit ini selalu tak digubris oleh media yang
asyik menyoraki "sukses" pemboman atas Libya, yang akhirnya
membuat orang-orang Eropa yang "lembek" mengambil
langkah-langkah yang diperlukan untuk menangkis ancaman.
Libya terhadap peradaban Barat.
Reaksi atas pemboman Libya di dalam dan luar negeri
sangat berbeda. Kedua belas anggota Masyarakat Ekonomi Eropa
mengimbau AS supaya menghindari "eskalasi ketegangan militer
lebih jauh di kawasan yang mengidap segenap bahaya inheren
itu". Beberapa jam kemudian, pesawat-pesawat tempur AS
beraksi, saat Menlu Jerman Barat Hans-Dietrich Genscher
sedang dalam perjalanan ke Washington untuk menjelaskan
posisi MEE. Juru bicaranya mengatakan bahwa "Kami ingin
melakukan segala yang kami mampu untuk menghindari eskalasi
militer". Pemboman ini mengobarkan protes luas di hampir
seluruh Eropa, termasuk demonstrasi-demonstrasi besar, dan
menyulut kutukan editorial di bagian terbesar dunia. Koran
besar Spanyol yang independen, El Pais, mengecam
pemboman ini, menulis bahwa "Aksi militer Amerika Serikat
itu bukan hanya pelanggaran hukum internasional dan ancaman
maut terhadap perdamaian di Mediterania, melainkan juga
suatu penghinaan atas sekutu-sekutu Eropanya, yang tak
menemukan alasan untuk menerapkan sanksi-sanksi ekonomi
terhadap Libya dalam sebuah pertemuan hari Senin, meskipun
sebelumnya terdapat tekanan untuk menerapkan sanksi". Koran
konservatif, South China Morning Post, di Hong Kong
menulis bahwa "Tindakan Presiden Reagan untuk mengatasi si
'anjing gila Timur Tengah' mungkin terbukti lebih berbahaya
dibandingkan dengan penyakitnya", dan tindakannya "mungkin
pula mendorong kekompakan untuk mengobarkan kebakaran yang
lebih luas" di Timur Tengah. Di Mexico City, El
Universal menulis bahwa AS "tak punya hak untuk
menobatkan diri sebagai pembela kebebasan dunia",
menyarankan penyelesaian dengan cara-cara legal melalui PBB.
Masih banyak lagi reaksi-reaksi serupa.
Pers AS, sebaliknya, amat sangat gembira. New York
Times menulis bahwa "warga yang paling 'dingin' pun
dapat menyetujui dan menyambut gembira serangan-serangan
Amerika atas Libya", melukiskan serangan ini sebagai hukuman
yang adil: "Amerika Serikat telah menghukum (Qaddafi) secara
hati-hati, proporsional --dan adil." Bukti mengenai
keterlibatan Libya atas pemboman disko itu "sekarang sudah
terungkap secara jelas kepada publik"; "Lalu datanglah juri,
yaitu pemerintahan-pemerintahan Eropa yang dikirimi utusan
oleh Amerika Serikat untuk menyampaikan bukti itu dan
sama-sama melancarkan aksi terhadap pemimpin Libya."
Rupanya, tidaklah relevan bahwa sang juri tidak yakin akan
bukti tersebut, dan mengeluarkan suatu "penilaian" yang
meminta supaya sang eksekutor menahan diri dari segala
tindakan. Sama seperti pers AS yang tidak merasa perlu untuk
mengemukakan komentar editorial tentang fakta (yang kini
diam-diam diakui) bahwa bukti itu sangat kurang, kalau bukan
tak ada sama sekali.
Pemerintah-pemerintah umumnya mengecam aksi ini, walaupun
tak semua.
Inggris dan Kanada tampil mendukung, kendatipun respons
masyarakat sangat berbeda, dan ada pula dukungan dari
Perancis yang cuaca mutakhirnya dilanda kefanatikan
Reaganisme. Radio pemerintah Afrika Selatan menyebut
serangan ini "menandaskan komitmen sang pemimpin dunia Barat
yang telah dipancang untuk mengambil tindakan tegas terhadap
terorisme"; AS dibenarkan dalam menyerang Qaddafi, "yang
namanya betul-betul sinonim dengan terorisme internasional".
Di Israel, PM Shimon Peres menyatakan bahwa aksi AS jelas
sah "karena membela-diri": "Kalau pemerintah Libya
mengeluarkan perintah untuk membunuh serdadu-serdadu AS di
Beirut dengan darah-dingin, di tengah malam, Anda pikir
Amerika Serikat harus bagaimana? Menyanyi haleluya. Atau
mengambil tindakan untuk membela-diri?" Gagasan bahwa AS
bertindak untuk "membela-diri" terhadap sebuah serangan atas
pasukan di Beirut dua setengah tahun sebelumnya merupakan
inovasi yang amat menarik, bahkan kalaupun kita
mengesampingkan situasi-situasi yang menyulut aksi
"terorisme" dulu itu.45
Di AS, Senator Mark Hatfield, salah seorang dari
segelintir tokoh politik di negeri ini yang patut menyandang
gelar terhormat "konservatif", mengutuk gempuran bom AS ini
"pada sebuah sidang Senat yang nyaris senyap", dan dalam
secarik surat kepada Times. Para pemimpin sejumlah
denominasi besar Kristen mengecam pemboman, tapi
pentolan-pentolan Yahudi umumnya memujinya --antara lain
Rabbi Alexander Schindler, presiden Serikat
Kongregasi-Kongregasi Yahudi Amerika, yang "menyatakan bahwa
pemerintah AS 'telah menanggapi dengan setimpal dan dahsyat
terorisme sinting"' Qaddafi. Profesor Hubungan Internasional
Harvard, Joseph Nye, mengatakan, Reagan harus merespons
"senapan-berasap dalam peristiwa Berlin itu. Kecuali itu,
apa lagi yang mau Anda lakukan terhadap terorisme
dukungan-negara?" --seperti terorisme dukungan-negara di
Amerika Tengah dan Lebanon Selatan, misalnya,
tempat,"senapan-berasap" melimpah-ruah sebagai bukti. Eugene
Rostow mendukung pemboman ini sebagai "memang seharusnya dan
sudah agak terlambat", sebagai bagian dari "pertahanan yang
lebih aktif terhadap proses ekspansi Soviet" --suatu
campuran aneh dari jingoisme dungu dan fantasi Maois yang
toh memperoleh penghormatan dalam komentar tentang
masalah internasional dewasa ini.
"Penggulingan rezim Qaddafi," katanya menjelaskan,
"sepenuhnya dapat dibenarkan menurut hukum internasional
yang berlaku," sebab Qaddafi "telah terang-terangan dan
terus-menerus melanggar aturan-aturan ini." "Maka, wajarlah
kalau setiap negara yang pernah diganggu oleh aksi-aksi
Libya memiliki hak, baik secara sendirian maupun bersama
negara-negara lain, untuk menggunakan kekuatan apa saja yang
dirasa perlu guna mengakhiri perilaku ilegal Libya. Libya
itu pembajak barbar jika dilihat dari sisi
legal"46 ia
mendesak NATO untuk "mengeluarkan deklarasi tentang tanggung
jawab negara-negara bagi aksi-aksi ilegal yang dilakukan
dari wilayah mereka."47
Maka, secara a fortiori NATO harus mengutuk sang
Kaisar, bukan hanya si pembajak, dan negara-negara dari
Indocina sampai Amerika Tengah serta Timur Tengah --antara
lain-- harus berhimpun untuk menggunakan kekuatan apa saja
yang perlu untuk menyerang Amerika Serikat, Israel, dan
negara-negara teroris lainnya.
Bagi koresponden ABC, Charles Glass, yang melaporkan
pemboman beserta akibatnya dari kancah, peristiwa ini
dilambangkan oleh secarik surat tulisan-tangan seorang gadis
berusia tujuh tahun, yang ditemukan di reruntuhan rumah
keluarganya, sebuah keluarga berpendidikan Amerika yang ia
kunjungi. Surat itu berbunyi:
Pak Reagan yang Terhormat,
Mengapa Anda membunuh satu-satunya saudara
perempuan saya, Rafa, dan kawan saya, Racha, yang umurnya
baru sembilan tahun, dan boneka bayi saya, Strawberry.
Benarkah Anda mau membunuh kami semua karena ayah saya
orang Palestina, dan Anda ingin membunuh Qaddafi karena
ia mau membantu kami untuk kembali ke rumah dan negeri
ayah saya.
Nama saya Kinda 48
Orang lain melihat persoalan ini secara berbeda. Michael
Walzer tak sependapat dengan orang-orang Eropa yang
mengkritik pemboman atas Libya sebagai kasus "terorisme
negara". "Itu bukan ('terorisme negara')," katanya, "sebab
sasarannya adalah target-target militer yang tertentu, dan
para pilot menempuh sejumlah risiko dalam usaha mereka untuk
memukul target-target tersebut sambil menghindari sasaran
lain." Kalaupun pemboman malam hari atas sebuah kota terjadi
dengan menghajar daerah-daerah permukiman berpenduduk padat
di Tripoli, yang menewaskan banyak warga sipil, itu cuma
ekses tak sengaja.49
Rupanya inilah yang harus kita harapkan dari seorang moralis
yang sangat terpandang dan pencetus teori tentang perang
yang adil, yang mencoba meyakinkan kita bahwa.invasi Israel
atas Lebanon dapat dibenarkan berdasarkan konsep ini; bahwa
operasi-operasi militer Israel di Lebanon Selatan merupakan
"sebuah contoh yang baik mengenai perang yang seimbang", dan
bahwa sekiranya warga sipil "terkena risiko" selama pemboman
Israel atas Beirut, "tanggung jawab bagi risiko itu terletak
pada PLO".50
Keterlibatan media dalam aksi terorisme-negara ini tak
berakhir dengan perilaku patriotis pada saat pemboman,
sebagaimana baru saja diulas --suatu akibat logis dari
dukungan sebelumnya atas dongeng ngawur apa saja yang
dibikin pemerintah. Perlu juga diperlihatkan bahwa pemboman
ini merupakan sebuah sukses dalam mengenyahkan terorisme
Libya, seperti terbukti dari langkanya aksi-aksi teroris
yang dikaitkan dengan Qaddafi setelah pemboman. Sudah tentu,
untuk memantapkan tesis ini, dirasa perlu untuk
menyembunyikan fakta bahwa tidak pula ada kaitan-kaitan yang
masuk akal sebelum pemboman selain dari hal-hal yang sudah
disebut terdahulu, yang jelas tak relevan. Lagi-lagi, media
membuktikan diri sangat andal menjalankan tugas yang
diembannya.
Para redaktur Washington Post memuji pemboman atas
Libya dengan alasan bahwa "tidak ada lagi aksi-aksi teroris
yang punya hubungan dengan" Kolonel Qaddafi, yang kini
menggariskan suatu "kebijakan yang melunak". Yang lebih
penting adalah dampaknya terhadap sekutu-sekutu Barat, yang
kebanyakan "membutuhkan sebuah shock" yang diberikan
oleh "contoh tentang ketegasan, ketepatan intelijen yang tak
terbantah, akibatnya berupa keterkucilan Libya yang mencolok
dan, tak kurang pentingnya, kemerosotan dalam pariwisata"
--dan, tak kurang pentingnya, adalah bahaya berupa
"orang-orang sinting Amerika" yang cenderung main hajar
secara serampangan (lihat bahasan di atas), bahaya yang
ditekankan oleh kabar yang disampaikan oleh kapal-kapal AL
AS dalam jarak hanya beberapa mil dari garis-pantai Soviet
di Laut Hitam pada saat yang sama.51
Lihat betapa pada saat belakangan ini, redaksi Post
masih merasa mungkin untuk menunjuk pada "ketepatan
intelijen yang tak terbantah". David Ignatius menulis bahwa
pemboman ini "berlangsung dengan sangat baiknya terhadap
Muammar Qaddafi Libya", menuntaskan "perubahan-perubahan
yang agak menakjubkan --dan amat menguntungkan-- di Libya,
Timur Tengah, dan Eropa". Pemboman ini membuktikan bahwa
Qaddafi itu "lemah, terkucil, dan rapuh", "sedemikian
rapuhnya sehingga pesawat-pesawat tempur Amerika mampu
beroperasi dengan bebas di dalam wilayah udaranya yang
dijaga ketat" --sebuah kemenangan yang betul-betul gemilang,
dan sebuah penemuan yang paling mencengangkan tentang
adidaya ini. Untuk memperlihatkan "psikologi yang telah
memungkinkan Qaddafi untuk mengintimidasi banyak bagian
dunia", Ignatius tak mengutip aksi-aksi-sebab dia tahu bahwa
tidak ada contoh yang layak tetapi cuma menyatakan, dengan
agak bimbang, bahwa kalaupun "Orang-orang Libya dapat
kembali melancarkan terorisme, skalanya tidak akan sebesar
seperti yang mereka lakukan pada awal tahun ini", ketika
"Intelijen AS mengetahui bahwa Libya sudah memerintahkan
'Biro-Biro Rakyat'-nya untuk menggencarkan serangan teroris
di sekitar selusin kota". Sebagai wartawan yang sangat
andal, Ignatius paham bahwa pernyataan-pernyataan pemerintah
AS tentang apa yang telah "diketahui" oleh intelijen itu
kosong belaka; pemaparannya tentang "sukses" dari operasi
tersebut, sehubungan dengan buyarnya rencana-rencana yang
dikatakan sudah disusun itu, merupakan caranya untuk
mengatakan dengan hati-hati bahwa akibat-akibat dari
"tindakan bejat" itu sama sekali tidak
ada.52
Demikian pula, George Moffett mencatat bahwa serangan
teroris Libya "sudah berhenti" --yakni, mereka telah
mengurangi aksinya dari hampir-nol menjadi hampir-nol; ini
merupakan salah satu "perkembangan positif" yang "tampil
untuk mempertahankan kebijakan pemerintah Reagan mengenai
pembalasan militer"; dan rekannya, John Hughes, mencatat
dengan penuh gelora bahwa "sejak hukuman gempuran udara
terhadap Libya ... tak ada lagi serangan-serangan besar
teroris atas warga Amerika yang didalangi oleh Kolonel
Muammar Qaddafi" sebagaimana memang tidak pernah ada satu
pun sebelumnya, sepanjang yang
diketahui.53
Pesan kepada para teroris negara ini gamblang saja: Kami
pihak pers, akan mengikuti perintah-perintah Anda
(Pemerintah AS) bila Anda melakukan serangan terorisme yang
menekan dunia, kalau Anda menyelenggarakan aksi teroris
besar untuk menghukum kebiadaban ini, dan jika Anda
mengumumkan bahwa sebagai hasil dari heroisme Anda, sang
penjahat jadi bertekuk lutut. Fakta-fakta ala kadarnya tak
akan pernah membuat kami enggan untuk
patuh.54
Tercatat, "telah terjadi kira-kira
delapan belas insiden teroris anti-Amerika di Eropa Barat
dan Timur Tengah dalam waktu tiga bulan sejak pemboman atas
Libya, sedangkan selama tiga setengah bulan sebelumnya hanya
terjadi kira-kira lima belas kali," sementara ."Di seluruh
dunia, tingkat terorisme anti-Amerika tampak hanya berbeda
sedikit dibandingkan dengan tahun lalu," ulas
Economist (seraya menyanjung aksi gagah Reagan); dan
ahli terkemuka tentang terorisme dari Rand Corporation
mencatat bahwa serangan-serangan teroris setelah pemboman
itu berjumlah kira-kira sama dengan sebelumnya "
Melengkapi rekaman ini, pada 3 Juli FBI mengeluarkan
laporan 41 halaman, yang mengulas insiden-insiden teroris di
Amerika Serikat pada 1985. Jumlahnya tujuh insiden, dengan
menewaskan dua orang. Pada 1984, terjadi tiga belas aksi
teroris. Angkanya menurun setiap tahun sejak 1982, ketika
tercatat lima puluh satu insiden
teroris.55
Liputan media mengenai laporan FBI ini menarik. Toronto
Globe & Mail memuat sebuah berita AP pada 4
Juli, dengan judul: "Para ekstremis Yahudi dituduh atas dua
kematian". Alinea pembukanya berbunyi: "Para ekstremis
Yahudi melakukan empat dari tujuh aksi teroris yang
menewaskan dua orang di Amerika Serikat, menurut laporan
Biro Investigasi Federal kemarin". Laporan selanjutnya
menguraikan perincian "insiden-insiden yang dikaitkan dengan
para ekstremis Yahudi" yang "menewaskan dua orang dan
melukai sembilan orang, kata laporan itu (hanya dua orang
itulah yang tewas), bersama dengan insiden-insiden lainnya.
Sebaliknya, New York Times tak memuat sepotong
pun berita mengenai laporan FBI itu. Satu-satunya rujukannya
kepada laporan ini hanya terdapat dalam alinea kesebelas
dari sebuah kolom pada 17 Juli, yang berbunyi: "Menurut
laporan tahunan FBI tentang terorisme, empat dari tujuh
kasus terorisme dalam negeri pada 1985 diyakini melibatkan
'kelompok-kelompok teroris Yahudi'. Tidak ada dakwaan yang
dihasilkan dari semua investigasi ini". Koran nasional
terbesar kedua, Washington Post, memuat sebuah berita
mengenai laporan FBI pada 5 juli, berjudul "Terorisme
Domestik Menurun Tahun Lalu, Kata Laporan FBI". Disebut
bahwa "kedua orang yang tewas dan sembilan yang cedera itu
dikatakan merupakan korban-korban dari empat aksi teroris
oleh para ekstremis Yahudi" (dari tujuh aksi yang
dilaporkan); ini diulangi dalam sebuah berita pada 17 Juli
tentang penyelidikan FBI atas pembunuhan Alex Odeh, dan
disebut bahwa "kelompok-kelompok ekstremis Yahudi dicurigai
sebagai pelakunya".56
Hanya tiga kalimat itulah isi liputan pers nasional atas
kesimpulan-kesimpulan dari Laporan FBI mengenai
sumber-sumber terorisme domestik pada 1985. Saya tak melihat
adanya editorial atau komentar-komentar lain yang mengangkat
berita pemboman AS terhadap Tel Aviv atau Jerusalem untuk
melenyapkan "kanker" dan "menjinakkan" si "anjing gila" yang
telah menyajikan "momok bengis terorisme" ke negeri kita.
Orang boleh bertanya, kenapa hal itu tidak pantas.
Kenyataannya, Israel membantah bertanggung jawab bagi
aksi-aksi para "ekstremis Yahudi" itu dan mengecam aksi-aksi
para teroris, demikian pula anggota Knesset Rabbi Kahane
yang bekas kelompoknya, Liga Pertahanan Yahudi (JDL),
dicurigai FBI sebagai pelaku aksi-aksi tersebut, sebagaimana
AS menyangkal bertanggung jawab atas aksi-aksi teroris oleh
orang-orang yang telah dilatih dan didukungnya. Namun,
seperti sudah saya sebutkan, dalih-dalih ini sama sekali tak
berlaku menurut standar-standar yang lazim diterapkan kepada
Muammar Qaddafi dan Yasser Arafat, yang juga mengutuk
aksi-aksi teroris dan membantah bertanggung jawab bagi
aksi-aksi tersebut. Ingatlah lagi doktrin bahwa "tanggung
jawab moral yang besar bagi kebiadaban-kebiadaban ...
semuanya berada di pundak Passer Arafat", karena "dia sejak
dulu sampai sekarang adalah bapak pendiri kekerasan
Palestina kontemporer", dan dengan demikian, AS dapat
menangkap Arafat lantaran "bertanggung jawab atas aksi-aksi
terorisme internasional" secara sangat luas, entah dia
terlibat atau tidak 57
Jadi, "tanggung jawab moral yang besar" bagi aksi-aksi yang
dilakukan para ekstremis Zionis semuanya terletak
pada Israel.
Pers selalu menyembunyikan kecaman Arafat atas aksi-aksi
teroris Palestina. Untuk menyebut sebuah contoh yang teramat
mencolok, pada 3 Juni 1982, kelompok teroris pimpinan Abu
Nidal --yang telah divonis mati oleh PLO beberapa tahun
sebelumnya-- mencoba membunuh Dubes Israel Shlomo Argov di
London. Peristiwa ini kontan membuat Israel menginvasi
Lebanon --sebuah "pembalasan" yang dipandang sah oleh
pemerintah AS, media, dan kalangan terpelajar umumnya.
Washington Post berkomentar bahwa usaha pembunuhan
Argov merupakan hal yang "memalukan" bagi PLO, yang
"mengklaim mewakili semua orang Palestina, tapi ...
cenderung bersikap selektif dalam soal mengakui tanggung
jawab atas aksi-aksi kekerasan yang dilakukan orang
Palestina" (7 Juni 1982).
Kalau aksi teroris oleh sebuah kelompok Palestina yang
berseteru dengan PLO merupakan hal yang "memalukan" bagi PLO
atas dasar alasan-alasan ini, maka teranglah aksi-aksi
teroris oleh para ekstremis Yahudi --yang menewaskan dua dan
melukai sembilan orang-- adalah hal yang "memalukan" bagi
Israel. Apalagi menurut undang-undang, Israel adalah "Negara
Orang Yahudi", termasuk mereka yang bertebaran di mana-mana
(bukan negara warga negaranya, yang seperenam di antaranya
non Yahudi). Maka, sejalan dengan logika pemerintah AS, para
komentator ternama, dan hampir semua media, AS jelas berhak
--kalau bukan wajib-- mengebom Tel Aviv "sebagai
pembelaan-diri terhadap serangan-serangan di masa
depan".
Orang boleh curiga bahwa rasa "malu" terhadap akibat
logis dari doktrin-doktrin yang mereka canangkan inilah yang
menjelaskan mengapa laporan FBI tersebut diperlakukan secara
ganjil dalam media AS, walaupun dugaan ini barangkali
meremehkan kemampuan mereka dalam bersikap
self-contradiction. Orang dapat pula membayangkan
bahwa media menganggap sebagian besar aksi-aksi teroris di
AS, beserta segala korbannya, dilakukan oleh orang-orang
Arab-Amerika yang punya hubungan dengan unsur-unsur
ekstremis PLO atau yang dicurigai merupakan bagian dari
kelompok teroris yang didirikan oleh seorang pejabat
pemerintah Libya.
Pemboman AS atas Libya tak ada sangkut-pautnya dengan
"terorisme", bahkan dalam pengertian sinis Barat atas kata
ini. Sesungguhnya, sudah jelas bahwa operasi Teluk Sidra dan
pemboman kota-kota Libya hanya akan memicu terorisme balasan
semacam itu. Inilah alasan pokok kenapa sasaran-sasaran
Eropa yang mungkin dibidik memohon kepada AS agar tidak
melakukan aksi semacam itu.
Ini bukanlah aksi kekerasan pertama yang dilakukan dengan
harapan memancing terorisme balasan. Invasi Israel atas
Lebanon yang didukung AS merupakan kasus serupa, sebagaimana
dibahas dalam Bab Kedua. Serangan
atas Libya cepat atau lambat dapat pula menyulut aksi-aksi
teroris, yang akan dimanfaatkan untuk memobilisasi opini di
dalam dan luar negeri guna mendukung rencana-rencana AS di
dalam maupun luar negeri. Jika orang Amerika bereaksi dengan
cara histeria massa, sebagaimana telah terjadi, termasuk
takut berwisata ke Eropa (padahal wisatawan akan seratus
kali lebih aman daripada di kota Amerika mana pun), ini juga
merupakan laba bersih karena alasan-alasan serupa.
Alasan sebenarnya serangan AS atas
Libya tak ada hubungannya dengan pembelaan-diri terhadap
"serangan teroris" atas pasukan AS di Beirut pada Oktober
1983, sebagaimana dinyatakan Shimon Peres. Tidak Pula dengan
aksi yang dikaitkan secara tepat ataupun keliru kepada
Libya, atau dengan "pembelaan-diri terhadap serangan di masa
depan" sesuai dengan doktrin luar biasa yang dicanangkan
oleh pemerintah Reagan dan disambut hangat di dalam negeri.
Terorisme Libya itu gangguan sepele saja bagi AS, tapi
Qaddafi merintangi rencana-rencana AS di Afrika Utara, Timur
Tengah, dan kawasan-kawasan lain. Qaddafi mendukung
Polisario dan kelompok-kelompok anti-AS di Sudan, bersekutu
dengan Maroko, melakukan intervensi di
Chad,58 dan
secara umum merongrong usaha-usaha AS dalam membentuk
"konsensus strategis" di kawasan itu dan dalam memaksakan
kemauannya di tempat-tempat lain. Semua ini merupakan
kejahatan, yang harus dihukum.
Lebih lanjut, serangan atas Libya bertujuan, dan
berdampak, menyiapkan opini di dalam dan luar negeri
mengenai aksi-aksi kekerasan AS berikutnya. Tanggapan
spontannya boleh jadi negatif, tapi begitu sudah terserap,
tingkat harapannya meninggi dan AS dapat melancarkan
eskalasi lebih jauh jika kebutuhan muncul.
Ada dua kawasan utama yang paling mungkin dijadikan ajang
eskalasi itu. Pertama adalah Amerika Tengah. Tentara-centeng
AS memang berhasil dalam tugas besarnya, yakni "memaksa
(kelompok Sandinista) mencurahkan sumber-sumber daya
langkanya pada peperangan dan bukan pada program sosial",
sebagaimana dinyatakan terus terang oleh para pejabat
pemerintah 59
--suatu keterusterangan yang amat jarang. Namun,
ternyata mereka tak mampu "melenyapkan kanker itu" (meminjam
retorika gaya Nazi yang dipakai oleh George Shultz dan
lain-lain60).
Maka, ancaman berupa pembangunan independen yang berhasil,
yang mungkin menyejahterakan rakyat yang sengsara di
negara-negara klien AS, akan tetap ada. Tekanan
internasional dan domestik mencegah AS dari melakukan
serangan langsung, seperti ketika AS menyerang Vietnam pada
1962 dan kemudian seluruh Indocina. Cara-cara teror yang
kurang langsung, meskipun umumnya berhasil di El Salvador,
ternyata tak mempan untuk Nikaragua. Karena itu, wajarlah
kalau AS turun ke gelanggang yang lebih mungkin ia
menangkan: konfrontasi internasional. AS berhasil menggertak
sebagian besar sekutunya supaya tak memberikan bantuan yang
berarti kepada Nikaragua. Tercapailah tujuan yang
diniatkannya, yaitu memaksa Sandinista untuk bersandar pada
blok Soviet agar tetap hidup. Perdebatan di Kongres mengenai
bantuan sesungguhnya tak ada artinya. Pihak Pemerintah yang
tak mengenal hukum akan menemukan cara-cara untuk membiayai
Tentara terorisnya, apa pun yang diputuskan Kongres. Yang
penting adalah kemenangan yang lain: otorisasi Kongresional
bagi keterlibatan langsung CIA dan eskalasi dengan cara-cara
lainnya.
Cara yang jelas adalah mengancam pelayaran Soviet dan
Kuba. Nikaragua tak akan mampu untuk merespons, tapi Uni
Soviet dan Kuba sanggup. Seandainya mereka berusaha
melindungi kapal-kapal mereka, sistem propaganda AS pasti
akan bereaksi dengan garang terhadap bukti baru agresi
komunis ini. Ini memungkinkan Pemerintah menciptakan krisis
internasional yang didalamnya, dapat diperkirakan, Uni
Soviet akan mundur sehingga Nikaragua akan ditelikung dengah
mudah. Jika mereka tak merespons, akan tercapai hasil
serupa. Sudah tentu dunia bisa jadi berantakan, tapi itu
kurang penting dibandingkan dengan perlunya memotong si
kanker. Opini masyarakat Amerika dan Eropa harus
dipersiapkan untuk akibat-akibat akhir ini. Pemboman atas
Libya mengubah persneling ke tingkat lain.
Kawasan kedua tempat opini dunia harus dipersiapkan bagi
kemungkinan eskalasi adalah Timur Tengah. AS telah
merintangi penyelesaian politik atas konflik Arab-Israel
paling sedikit sejak tahun 1971 sampai sekarang, seperti
sudah dibahas. Dalam situasi konfrontasi militer yang timbul
dari rejeksionisme AS-Israel, Israel tidak akan membiarkan
setiap penghimpunan negara-negara Arab yang dapat
mengimbangi kekuatan militernya, sebab itu artinya ia
menghadapi ancaman kehancuran.
Perjanjian Camp David berhasil menyingkirkan negara besar
Arab, Mesir, dari konflik. Dengan demikian, Israel
dimungkinkan memperluas langkahnya dalam mengintegrasikan
daerah-daerah pendudukan dan menyerang tetangga utaranya.
Tapi, Syria tetap merupakan ancaman besar dan, cepat atau
lambat, Israel harus bertindak untuk melumatkannya. Di
Israel perang terus-menerus dibicarakan, yang umumnya
dialamatkan kepada ancaman dan kegarangan Syria, tapi
menyembunyikan niat Israel untuk bertindak guna
menghancurkan saingan militer potensial --dan memang
tindakan ini diperlukan, sepanjang pemecahan politik bisa
dihindari. Media AS, seperti biasa, menurut saja.
Sementara itu, pemerintah AS jelas ingin agar
pilihan-pilihannya tetap terbuka. Masuk akal jika serangan
Israel terhadap Syria disertai dengan pemboman oleh AS; yang
pertama didalihkan dengan "serangan lebih dulu" untuk
"membela-diri terhadap serangan di masa depan", yang kedua
dikemas untuk konsumsi Barat sebagai "pembelaan-diri"
terhadap terorisme dukungan Syria. Partisipasi langsung AS
bertujuan memperingatkan Uni Soviet bahwa perang global
bakal meledak dari setiap usaha mereka untuk mendukung
sekutu Syria mereka. Opini Eropa dan Amerika harus
dipersiapkan bagi kemungkinan tindakan semacam ini. Serangan
atas Libya, beserta kampanye propaganda selanjutnya,
membantu menyiapkan panggung, membuat AS lebih leluasa
mempertimbangkan pilihan-pilihan ini seandainya kemudian
mereka dirasa perlu. Sekali lagi, kemungkinan meletusnya
perang nuklir tidaklah kecil, tetapi AS telah berulang-ulang
memperlihatkan bahwa ia siap menghadapi bahaya ini untuk
mencapai tujuan-tujuannya di Timur Tengah, sebagaimana di
tempat-tempat lain.
Kelicikan dan sinisme dari kampanye propaganda tentang
"terorisme internasional" telah tersingkap bagi segelintir
kecil publik yang dapat dijangkau oleh opini disiden di
Amerika Serikat, tapi kampanye itu sendiri terus meraih
sukses luar biasa dalam mempengaruhi pendapat masyarakat
luas. Dengan kesetiaan media massa untuk mengabdi kepada
kepentingan sistem propaganda negara, yang secara sistematis
membenamkan setiap komentar yang dapat menelanjangi ihwal
sesungguhnya di depan mata mereka ataupun setiap pembicaraan
rasional mengenainya, prospek bagi sukses-sukses propaganda
ini di masa depan tetap cerah. Dukungan setia kelas-kelas
terpelajar bagi terorisme internasional besar-besaran ini
memberikan sumbangan bagi brutalitas dan penderitaan besar,
dan dalam jangka panjang, membawa serta bahaya-bahaya serius
berupa konfrontasi adidaya dan, akhirnya, perang nuklir.
Namun, kemungkinan-kemungkinan ini dianggap sepele
dibandingkan dengan keperluan untuk menjamin bahwa tidak
akan muncul ancaman terhadap "stabilitas" dan "ketertiban"
atau tantangan terhadap privilese dan kekuasaan.
Dalam hal ini, kiranya tidak ada yang membikin heran
pelajar sejarah mana pun yang jujur.[]
Catatan kaki:
30 Fred Kaplan, BG, 26
Maret 1986.
31 London Sunday
Times, 6 April 1986.
32 Cockburn, Wall
St. Joumal, 17 April; juga Nation, 26 April 1986.
Lelyveld, NYT, 18 April 1986.
33 Serdadu GI lain
berkulit hitam yang cedera, meninggal beberapa bulan
kemudian.
34 NYT, 16 April
1986.
35 NYT, 18 April
1986; Times melaporkan bahwa pada pukul 7 malam
pesawat-pesawat F-111 mengebom sasaran-sasaran militer
"dekat Tripoli" dan "dekat Benghazi", dan bahwa pada pukul
7:06 malam mereka mengebom "bandara Tripoli, sasaran final".
Sesungguhnya, sebagaimana diketahui oleh para redaktur
Times, pesawat-pesawat F-111 mengebom sebuah
permukiman penduduk di Tripoli.
36 AP, 14 April
1986.
37 James M. Markham,
NYT, 25 April 1986.
38 Der Spiegel,
21 April 1986; gambar sampulnya bertuliskan "Teror terhadap
Teror", sebuah slogan Gestapo yang terkenal, agaknya bukan
dipilih secara kebetulan. Lihat juga artikel Norman
Birnbaum, edisi yang sama.
39 Teks wawancara yang
diberikan oleh seorang wartawan Amerika kepada Stars and
Stripes di Jerman.
40 Lihat, misalnya,
James M. Markham, NYT, 31 Mei, yang mengutip seorang
"penyelidik polisi Berlin Barat" yang "mengatakan ia yakin
bahwa Kedutaan Libya di Berlin Timur 'mengetahui' serangan
tersebut" --ringkasan padat dari "kepastian-kepastian" yang
ditandaskan sebelumnya-- dan mengutip Manfred Ganschow, tapi
tak menyertakan bantahannya tentang semua bukti; atau Robert
Suro, NYT, 3 Juli, tentang kemungkinan keterlibatan
Syria dan kelompok teroris anti-Arafatnya Abu Nidal dalam
pemboman diskotek ini; menunjuk pada "bukti yang
dilaporkan memperlihatkan" keterlibatan Libya
(penekanan --huruf miring-- dari saya); atau Bernard
Weinraub, NYT, 9 Juni, menunjuk pada kemungkinan
keterlibatan Syria dan apa yang "dikatakan" oleh para
pejabat pernerintah AS bahwa mereka mengetahui
penyadapan-penyadapan oleh Libya.
41 Bakhash,
op.cit.
42 CSM, 22 April
1986; lihat Bab Pertama, catatan kaki no. 3.
43 Toronto Globe
& Mail, editorial-editorial, 5, 18, 28 Maret 1986,
menunjuk khusus pada Nikaragua.
44 Lihat AP,
International Herald Tribune, 6 Mei, untuk pembahasan
luas; NYT 6 Mei 1986, yang menyebut secara lebih
singkat, dan teks pernyataan terhadap terorisme itu.
45 AP, 14 April; survei
tentang reaksi pers dunia, AP, 15 April; survei
tentang reaksi editorial AS, 16 April; editorial,
NYT, 15 April 1986; Peres, NYT, 16 April.
46 Setelah pemboman
atas Libya, terdapat sejumlah besar rujukan pada
ekspedisi-ekspedisi Amerika untuk menghukum para pembajak
Barbar; tampaknya tak satu pun yang surut beberapa tapak
dalam sejarah, untuk menggambarkan masa ketika "NewYork
telah menjadi sebuah pasar pencoleng (sic), tempat
para pembajak merampas barang-barang yang kemudian dibawa
dengan mengarungi lautan-lautan besar", ketika pembajakan
memperkaya koloni-koloni Amerika, sebagaimana dilakukan
Inggris sebelum mereka (Nathan Miller, The Founding
Finaglers, David McKay, 1976, 25-6). Pembajakan bukanlah
ciptaan orang Libya yang digilas dengan penuh gelora oleh
para pengawal ketertiban Amerika.
47 AP, 21 April;
NYT, 20 April; survei tentang reaksi kalangan agama,
AP; 17 April; juga 19 April yang melaporkan konferensi 14
kelompok komunitas dan agama yang mengutuk pemboman ini,
berlawanan dengan dukungan terhadapnya oleh Dewan Rabbi
Washington Barat; NYT, BG, 16 April; Rostow,
NYT, 27 April.
48 Charles Glass,
Spectator (London), 3 Mei 1986. Faksimili surat
aslinya disampaikan kepada pers di AS sebagai surat pembaca,
tapi tak dimuat. Teks ini diterbitkan oleh Alexander
Cockburn (In These Times, 23 Juli 1986), dengan kesan
bahwa sebab Presiden dan Ny. Reagan "sangat suka membaca
pesan-pesan dari anak kecil, mereka mungkin akan
menyampaikan yang satu ini pada kesempatan yang baik
nanti".
49 Dissent,
Musim Panas 1986. Mengamati dari kancah, Ramsey Clark
menyimpulkan berdasarkan pola pemboman bahwa daerah
pinggiran kota yang makmur, tempat jatuhnya korban-korban
sipil paling buruk, pasti merupakan sasaran yang disengaja;
Nation, 5 Juli 1986. Pertanyaan ini tak relevan bagi
isu terorisme, sebagaimana setiap orang yang moralnya tidak
idiot akan langsung memahaminya (Clark, tentu saja, tak
menyarankan sebaliknya).
50 New Republic,
6 September 1982; untuk contoh-contoh lain tentang
pendapat-pendapat tokoh terpandang ini, lihat Bab Pertama,
Kedua, dan FT.
51 WP edisi
mingguan, 4 Agustus 1986.
52 Ignatius, mingguan
WP, 28 Juli 1986.
53 CSM, 25 Juni,
16 Juli 1986.
54 Economist
(London), 26 Juli 1986; CSM, 24 Juli 1986.
55 Orang harus menerima
angka-angka ini dengan hati-hati, mengingat adanya
pertimbangan ideologi yang masuk ke dalam pendefinisian
suatu aksi sebagai "teroris". Demikianlah, pemboman atas
klinik-klinik aborsi tak dimasukkan dalam kategori
"terorisme" pada suatu waktu, dan mungkin sampai sekarang.
Menurut kolumnis Cal Thomas dari Mayoritas Moral, terjadi
300 pemboman "atas bangunan-bangunan tempat aborsi
dilakukan" dari 1982 sampai akhir 1984, yang ia pandang
"mungkin bukan gagasan yang baik ... dari segi taktis, dan
juga dari sudut politik" walaupun agaknya sangat baik
"secara moral"; BG, 30 November 1984.
56 AP, Globe &
Mail (Toronto), 4 Juli 1986; Stephen Engelberg, "Para
Pejabat Mengatakan FBI Mencurigai Peledakan Dilakukan oleh
Yahudi Ekstremia", NYT,17 Juli 1985; WP,
Peyman Pejman,15,17 Juli.
57 New Republic,
20 Januari 1986; Edwin Meese, AP, 4 April 1986; lihat
Bab Kedua. Ingat bahwa terorisme
Zionis terhadap penduduk sipil sudah berlangsung sejak lama,
jauh sebelum pembentukan Negara Israel; lihat FT, 164
dst.
58 Intervensi pertama
Libya terjadi setelah pengiriman pesawat, penasihat, dan
pasukan Legiun Asing Perancis (Haley, op. cit., 98), tapi
intervensi Perancis di Afrika adalah sah, bahkan patut
dipuji; seperti dikomentari Business Week dengan
gembira, pasukan Perancis membantu "mengamankan Afrika Barat
dari jarahan pemburu minyak Perancis, Amerika dan
orang-orang asing lainnya" (l0 Agustus 1981), dan
melaksanakan pengabdian-pengabdian serupa di tempat-tempat
lain.
59 Julia Preston,
BG, 9 Februari 1986.
60 Berbicara di
Universitas Negeri Kansas, Shultz "mendapat tepukan panjang
ketika ia berkata, 'Nikaragua itu kanker, dan kita harus
memotongnya'." Ia juga menjelaskan bahwa
"Perundingan-perundingan menjadi eufimisme bagi kapitulasi
jika bayang-bayang kekuasaan tak disertakan di meja
tawar-menawar" --sebuah gagasan yang juga lazim.
(bagian pertama,
kedua)
|