|
PENDAHULUAN (1/2)
St. Augustinus menuturkan cerita tentang seorang bajak
laut yang tertangkap oleh Alexander Agung. Kemudian, menurut
St. Augustinus, terjadilah dialog seperti berikut ini:
"Mengapa kamu berani mengacau lautan?" tanya Alexander
Agung.
"Mengapa kamu berani mengacau seluruh dunia?" jawab si
pembajak, "Karena aku melakukannya hanya dengan sebuah
perahu kecil, aku disebut maling; kalian, karena
melakukannya dengan kapal besar, disebut kaisar".
Jawaban pembajak itu, "Sangat bagus dan jitu," ujar St.
Augustinus. Kisah di atas menggambarkan dengan cukup akurat
hubungan antara Amerika Serikat dan berbagai aktor kecil di
panggung terorisme internasional dewasa ini: Libya,
faksi-faksi PLO, dan lain-lain. Lebih luas lagi, cerita St.
Augustinus mengungkapkan makna konsep terorisme
internasional dalam penggunaannya di Barat dewasa ini, dan
menyentuh inti-kebiadaban menyangkut peristiwa-peristiwa
terorisme tertentu yang hari-hari ini --dirancang dengan
sinisme yang paling kasar-- sebagai selimut untuk menutupi
kekerasan Barat.
Istilah "terorisme" mulai digunakan pada akhir abad
ke-18, terutama untuk menunjuk aksi-aksi kekerasan
pemerintah yang dimaksudkan untuk menjamin ketaatan rakyat.
Konsep ini, pendeknya, cukup menguntungkan bagi para pelaku
terorisme negara yang, karena memegang kekuasaan, berada
dalam posisi mengontrol sistem pikiran dan perasaan. Dengan
demikian, arti aslinya terlupakan, dan istilah "terorisme"
lalu diterapkan terutama untuk "terorisme pembalasan" oleh
individu atau kelompok-kelompok.1
Walaupun istilah ini pernah diterapkan kepada para kaisar
yang menindas rakyat mereka sendiri dan dunia, sekarang
pemakaiannya dibatasi hanya untuk pengacau-pengacau yang
mengusik pihak yang kuat.
Dengan membebaskan diri kita dari sistem indoktrinasi
itu, kita akan menggunakan istilah "terorisme" untuk
menunjuk ancaman atau penggunaan kekerasan untuk menindas
atau memaksa (biasanya buat tujuan-tujuan politik), entah
itu terorisme besar-besaran oleh sang Kaisar ataupun
terorisme pembalasan oleh si pembajak.
Pengibaratan pembajak tersebut hanya menjelaskan sebagian
dari konsep "terorisme internasional" yang muncul dewasa
ini. Perlulah ditambahkan ciri kedua: sebuah tindakan
terorisme masuk dalam kitab undang-undang hanya jika ia
dilakukan oleh "pihak mereka", bukan kita. Lihatlah,
misalnya, kampanye humas (Public Relations) tentang
"terorisme internasional" yang dilancarkan pada awal 1981
oleh pemerintah Reagan. Teks utamanya adalah sebuah buku
karangan Claire Sterling,2
yang menyajikan bukti cerdas bahwa terorisme internasional
merupakan alat yang "ditunjang Soviet, yang bertujuan
menggoyahkan masyarakat demokratis Barat". Pendapat ini
sangat mengesankan para pengamat terorisme lainnya,
khususnya Walter Laqueur, yang menulis bahwa Sterling telah
mengungkapkan "bukti luas" bahwa terorisme "hampir hanya
terjadi di negara-negara demokratis atau relatif
demokratis."3
Tesis Sterling itu benar, sungguh-sungguh benar per
definisi, karena berarti memberi jalan bagi istilah
"terorisme" yang ditetapkan oleh sang Kaisar dan para sobat
karibnya. Karena, hanya aksi-aksi yang dilakukan oleh "pihak
mereka", yang dianggap sebagai terorisme, Sterling niscaya
benar, apa pun kenyataannya. Dalam dunia nyata, ceritanya
sangat lain. Korban-korban utama, terorisme
internasional4
pada beberapa dasawarsa yang lalu adalah rakyat Kuba,
Amerika Tengah, dan penduduk Lebanon. Namun, menurut
definisinya, tak satu pun di antara mereka yang masuk
hitungan. Ketika Israel membom kamp-kamp pengungsi Palestina
dengan menewaskan banyak penduduk sipil --bahkan sering
tanpa maksud mengadakan "Pembalasan"-- atau mengirim
pasukannya ke desa-desa Lebanon untuk operasi "kontrateror"
di mana mereka membunuh dan mengobrak-abrik, atau membajak
kapal dan tempat berisi ratusan sandera di kamp-kamp tahanan
yang kondisinya menyeramkan, itu bukan "terorisme" malahan,
satu-dua pemrotes dikutuk habis-habisan oleh para penganut
Garis Partai*
yang loyal karena "anti-Semitisme" dan "standar ganda"
mereka, yang diperlihatkan oleh kealpaan mereka untuk
bergabung dalam koor-pujian bagi "negeri yang menghargai
kehidupan manusia,"5
yang "tujuan moral luhurnya"6
menjadi sasaran pujian dan kekaguman yang tak
henti-hentinya; sebuah negeri yang, menurut para pengunjung
Amerikanya," dijalankan berdasarkan hukum yang luhur
sebagaimana ditafsirkan untuknya oleh para wartawan" (Walter
Goodman)7
Demikian pula, bukanlah terorisme ketika pasukan-pasukan
paramiliter yang bergerak dari pangkalan-pangkalan AS dan
dilatih oleh CIA membombardemen hotel-hotel Kuba,
menenggelamkan kapal-kapal penangkap ikan dan menyerang
kapal-kapal Rusia di pelabuhan-pelabuhan Kuba, meracun hasil
panen dan lumbung pangan, mencoba membunuh Castro, dan
seterusnya, dalam misi-misinya yang pada puncaknya
berlangsung hampir setiap minggu.8
Aksi-aksi ini dan segudang perbuatan serupa oleh pihak
Kaisar beserta para anak-buahnya, tidak menjadi bahan
konferensi. dan buku pelajaran yang tebal-tebal itu, atau
ihwal bagi komentar getir dan kecaman tajam di media dan
jurnal jurnal opini.
Standar-standar bagi sang Kaisar dan istananya itu unik
dalam dua hal yang berkait erat. Pertama, aksi-aksi
teror mereka dikeluarkan dari kitab undang-undang seperti
sudah disebut; kedua, sementara serangan-serangan
teroris terhadap mereka ditanggapi dengan keseriusan yang
sangat berlebihan-bahkan sampai memerlukan kekerasan untuk
"membela-diri terhadap serangan di masa depan" seperti akan
kita lihat --serangan-serangan teroris yang sebanding atau
lebih serius terhadap pihak lain tidak patut dibalas atau
ditindak lebih dulu; seandainya mereka melakukan respons
semacam itu, pastilah berkobar kemarahan histeris tanpa
henti di sini (Amerika).
Sesungguhnya, arti serangan-serang4n teroris semacam itu
sangatlah remeh sehingga hampir tak perlu dilaporkan, dan
jelas tak perlu diingat.
Bayangkanlah, misalnya, pasukan laut Libya menyerang tiga
kapal Amerika di Pelabuhan Haifa Israel, menenggelamkan
sebuah diantaranya dan merusakkan yang lain, dengan
menggunakan rudal-rudal buatan Jerman Timur. Saya tak
memerlukan komentar tentang bagaimana reaksi yang akan
muncul. Kembali ke dunia nyata, "pada tanggal 5 Juni
(1986)," begitu laporan pers Inggris, "pasukan laut Afrika
Selatan menyerang tiga kapal Rusia di pelabuhan Angola
selatan Namibia, menenggelamkan sebuah di antaranya," dengan
menggunakan "rudal-rudal Scorpion (Gabriel) buatan
Israel."9
Seandainya Uni Soviet menanggapi serangan teroris
terhadap kapal dagang ini sebagaimana telah dilakukan AS
dalam situasi-situasi serupa --mungkin dengan menghujani bom
yang niscaya menghancurkan Johannesburg, yang skala
aksi-responsnya lumrah bagi "pembalasan" AS dan Israel--
Amerika sangat mungkin mempertimbangkan suatu gempuran
nuklir sebagai "pembalasan" yang sah terhadap si setan
Komunis. Di dunia nyata, sekali lagi, Uni Soviet tak
menanggapi, dan peristiwanya dianggap sedemikian sepele
sehingga hampir tak disebut dalam pers
Amerika.10
Bayangkanlah Kuba menyerbu Venezuela pada akhir 1976
dalam rangka membela diri terhadap serangan teroris, berniat
membangun sebuah "Orde Baru" di sana dengan menghimpun
unsur-unsur yang berada di bawah kontrolnya, menewaskan 200
orang Amerika pendukung suatu sistem pertahanan udara,
memberondong Kedutaan AS di Caracas, dan akhirnya menduduki
Kedutaan beberapa hari selama penjarahannya atas Caracas,
dengan melanggar perjanjian gencatan
senjata.11
Bakal seperti apakah respons AS? Pertanyaan ini akademis
sebab sedikit saja terdapat tanda bahwa ada seorang serdadu
Kuba di dekat Venezuela, kemungkinan besar serangan nuklir
sudah menghajar Havana. Kembali lagi ke dunia nyata, pada
1982 Israel menyerang
Lebanon dengan dalih (sepenuhnya dibuat-buat) melindungi
Galilee terhadap serangan teroris, dan berniat membangun
"Orde Baru" di sana dengan mengorganisasikan unsur-unsur
yang berada di bawah kontrolnya, membunuh 200 orang Rusia
pendukung sistem pertahanan udara (Syria), menembaki habis
Kedutaan Rusia di Beirut dan akhirnya menduduki Kedutaan dua
hari selama penjarahannya atas Beirut Barat, dengan
melanggar perjanjian gencatan
senjata.12
Fakta-fakta ini dilaporkan sepintas di sini (Amerika),
dengan konteks dan latar belakang penting yang diabaikan
atau disangkal (seperti akan kita lihat). Untunglah, tidak
ada tanggapan Soviet. Kalau ada, tentulah sekarang kita tak
berada di sini untuk membahas ihwalnya.
Dalam dunia nyata, kita menerima sebagai hal yang wajar
bahwa Uni Soviet dan musuh-musuh resmi lainnya yang
kebanyakan lemah --bersikap tenang dalam menanggung
provokasi dan kekerasan yang bakal menyulut reaksi garang,
secara verbal dan militer, seandainya sang Kaisar beserta
istananya yang menjadi korban.
Catatan kaki:
* Istilah yang lazim di
negara-negara totaliter, untuk menunjuk pada ideolog partai
(tunggal) yang berkuasa, Garis Partai adalah sesuatu
yang mutlak dipatuhi. oleh pejabat negara dan masyarakat
luas. Sudah tentu di sini pengarang menggunakannya dalam
pengertian sarkatis, untuk menyindir bahwa Amerika Serikat
atau Israel --yang terkenal sebagai negara-negara demokratis
liberal-- pada dasarnya sama saja dengan negara-negara
totaliter, setidaknya dalam hal-hal tertentu. --penerj.
1 "Origins and
Fundamental Causes of International Terroriam", Sekretariat
PBB, dimuat dalam M. Cherif Bassiouni (ed.),
International Terrorism and Political Crimes (Charles
Thomas, 1975).
2 The Terror
Network (Holt, Rinehart & Winston, 1981).
3 Untuk rujukan dan
pembahasan, lihat buku saya, Towards a New Cold War
(Pantheon, 1982, 47 dst.; selanjutnya disebut TNCW), dalam
bab saya dalam Chomsky Jonathan Steele, dan John Gittings,
Superpowers in Collision (Penguin, 1982, edisi
revisi, 1984). Untuk pembahasan luas dan dokumentasi
mengenai topik ini, lihat Edward S. Herman, The Real
Terror Network (South End, 1982).
4 Di sini saya tak
memasukkan agresi langsung, seperti dalam kasus serangan AS
terhadap Vietnam Selatan, kemudian seluruh Indocina; invasi
Soviet ke Afghanistan; serangan yang didukung AS ke Lebanon
oleh klien Israelnya dan lain-lain.
5 Washington Post,
30 Juni 1985.
6 Time, 11
Oktober, 1982.
7 New York Times,
7 Februari 1984.
8 Lihat rujukan-rujukan
pada catatan kaki nomor 3 di atas.
9 Economist, 14
Juni; Victoria Brittain, Guardian (London), 6 Juni;
Anthony Robinson, Financial Times, 7 Juni 1986, dari
Johanesburg. Laporan ini juga diajarkan oleh Kantor Berita
BBC. Kapal yang tenggelam ini tampaknya milik Kuba. Lihat
juga Israeli Foreign Affairs, Juli 1986.
10 Sama sekali tak
disebut dalam New York Times, Wall Street
Journal, Christian Science Monitor,
majalah-majalah mingguan, dan jurnal lain yang tercantum
dalam indeks majalah. Washington Post memuat berita
120 kata dari Moskow pada 8 Juni, h. 17, yang melaporkan
kutukan Soviet atas serangan Afrika Selatan ini.
11 Untuk latar
belakang, pada Oktober 1976 sebuah pesawat penumpang Kuba
hancur dibom ketika sedang terbang, menewaskan 73 orang
termasuk seluruh tim anggar Kuba peraih medali emas
Olimpiade (ingatlah "Pembantaian Munich", salah satu puncak
terorisme Palestina). Aksi teror ini dihubungkan dengan
Orlando Bosch, agaknya tokoh paling kondang dalam terorisme
internasional, yang telah dilatih oleh CIA bersama
rekan-rekannya dalam urusan perang teror melawan Kuba, dan
"punya hubungan intim (dan mendapat bayaran dari) polisi
rahasia Chile dan Venezuela", yang juga, "dididik oleh CIA
dan menjalin hubungan akrab dengannya sampai sekarang"
(Herman, Real Terror Network, 63).
12 Tentang invasi
Israel ke Lebanon, lihat Bab Kedua dan rujukan-rujukan yang
dikutip. Angka sekitar 200 orang Rusia yang tewas "ketika
sedang beroperasi di daerah pasukan pertahanan udara Syria"
selama serangan Israel (yang tak beralasan dan tak terduga)
atas pasukan Syria di Lebanon (yang sudah menandatangan
perjanjian dengan AS dan Israel, dan disepakati untuk
menyelesaikan kehadiran enam tahunnya sejak musim panas itu
--mungkin inilah salah satu alasan serangan Israel
tersebut), diungkapkan oleh Aviation Week & Apace
Technology, 12 Desember 1983. Tentang
peristiwa-peristiwa ini, lihat buku saya, Fateful
Triangle (South End, 1983; selanjutnya disebut FT).
(bersambung)
|