Fatwa-fatwa Kontemporer

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

HAK DAN KEWAJIBAN KELUARGA SI SAKIT DAN TEMAN-TEMANNYA (22/25)
Dr. Yusuf Qardhawi
 
KETIKA SEKARAT DAN MENDEKATI KEMATIAN
 
Apabila  keadaan  si  sakit  sudah berakhir dan memasuki pintu
maut  --yakni  saat-saat  meninggalkan  dunia  dan  menghadapi
akhirat,   yang   diistilahkan  dengan  ihtidhar  (detik-detik
kematian/kedatangan tanda-tanda  kematian)--  maka  seyogianya
keluarganya   yang   tercinta  mengajarinya  atau  menuntunnya
mengucapkan kalimat  laa  ilaaha  illallah  (Tidak  ada  tuhan
selain  Allah)  yang merupakan kalimat tauhid, kalimat ikhlas,
dan kalimat takwa, juga merupakan perkataan paling utama  yang
diucapkan Nabi Muhammad saw. dan nabi-nabi sebelumnya.
 
Kalimat  inilah  yang  digunakan seorang muslim untuk memasuki
kehidupan  dunia  ketika  ia  dilahirkan  dan   diazankan   di
telinganya   (bagi  yang  berpendapat  demikian;  Penj.),  dan
kalimat ini pula yang ia pergunakan untuk mengakhiri kehidupan
dunia.  Jadi,  dia  menghadapi  atau memasuki kehidupan dengan
kalimat tauhid dan meninggalkan kehidupan pun  dengan  kalimat
tauhid.
 
Ulama-ulama   kita   mengatakan,  "Yang  lebih  disukai  untuk
mendekati si sakit ialah famili yang paling sayang  kepadanya,
paling  pandai  mengatur,  dan  paling  takwa kepada Tuhannya.
Karena tujuannya adalah mengingatkan  si  sakit  kepada  Allah
Ta'ala, bertobat dari maksiat, keluar dari kezaliman, dan agar
berwasiat.  Apabila  ia  melihat  si  sakit  sudah   mendekati
ajalnya,   hendaklah   ia   membasahi   tenggorokannya  dengan
meneteskan air atau meminuminya dan membasahi  kedua  bibirnya
dengan   kapas,   karena   yang   demikian   dapat  memadamkan
kepedihannya    dan    memudahkannya    mengucapkan    kalimat
syahadat."94
 
Kemudian  dituntunnya  mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah
mengingat hadits  yang  diriwayatkan  Muslim  dari  Abi  Sa'id
secara marfu':
 
    "Ajarilah orang yang hampir mati diantara kalian dengan
    kalimat laa illaaha illallah."95
 
Orang yang hampir  mati  didalam  hadits  ini  disebut  dengan
"mayit"  (orang mati) karena ia menghadapi kematian yang tidak
dapat dihindari.
 
Jumhur  ulama  berpendapat  bahwa  menalkin  (mengajari   atau
menuntun)  orang  yang  hampir  mati dengan kalimat laa ilaaha
illallah ini hukumnya mandub (sunnah), tetapi  ada  pula  yang
berpendapat wajib berdasarkan zhahir perintah. Bahkan sebagian
pengikut mazhab Maliki mengatakan telah disepakati wajibnya.96
 
Hikmah menalkin  kalimat  syahadat  ialah  agar  akhir  ucapan
ketika  seseorang  meninggal  dunia  adalah  kalimat tersebut,
mengingat hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad  dan  Hakim
serta disahkan olehnya dari Mu'adz secara marfu':
 
    "Barangsiapa yang akhir perkataannya kalimat laa
    ilaaha illallah, maka ia akan masuk surga."97
 
Dicukupkannya  dengan  ucapan  laa  ilaaha   illallah   karena
pengakuan akan isi kalimat ini berarti pengakuan terhadap yang
lain, karena dia mati berdasarkan tauhid yang  diajarkan  Nabi
Muhammad saw., disamping itu agar jangan terlalu banyak ucapan
yang diajarkan kepadanya.
 
Sebagian  ulama  berpendapat  agar  menalkinkan  dua   kalimat
syahadat, karena kalimat kedua (Muhammad Rasulullah) mengikuti
kalimat pertama. Tetapi yang lebih utama ialah  mencukupkannya
dengan syahadat tauhid, demi melaksanakan zhahir hadits.
 
Seyogyanya,   dalam   menalkinkan   kalimat   tersebut  jangan
diperbanyak dan jangan diulang-ulang, juga  janganlah  berkata
kepadanya:    "Ucapkanlah   laa   ilaaha   illallah,"   karena
dikhawatirkan ia merasa dibentak sehingga merasa  jenuh,  lalu
ia  mengatakan,  "Saya  tidak mau mengucapkannya," atau bahkan
mengucapkan perkataan lain yang tidak layak. Hendaklah kalimat
ini  diucapkan  kepadanya  sekiranya  ia  mau mendengarnya dan
memperhatikannya, kemudian mau mengucapkannya .
 
Atau mengucapkan apa yang dikatakan oleh sebagian ulama, yaitu
berdzikir   kepada  Allah  dengan  mengucapkan:  "Subhanallah,
walhamdulillah, wa laa ilaaha illallah."
 
Apabila ia sudah mengucapkan kalimah syahadat satu kali,  maka
hal  itu  sudah cukup dan tidak perlu diulang, kecuali jika ia
mengucapkan perkataan lain sesudah  itu,  maka  perlu  diulang
menalkinnya  dengan  lemah  lembut  dan  dengan cara persuasif
(membujuknya agar mau mengucapkannya), karena  kelemahlembutan
dituntut  dalam  segala  hal  terlebih  lagi  dalam kasus ini.
Pengulangan  ini  bertujuan  agar  perkataan   terakhir   yang
diucapkannya adalah kalimat laa ilaaha illallah.
 
Diriwayatkan  dari  Abdullah  bin  al-Mubarak  bahwa ketika ia
kedatangan tanda-tanda kematian (yakni hampir meninggal dunia)
ada    seorang    laki-laki    yang    menalkinkannya   secara
berulang-ulang, lantas Abdullah  berkata,  "Seandainya  engkau
ucapkan  satu  kali  saja,  maka  saya  tetap atas kalimat itu
selama saya tidak berbicara lain."
 
Dalam hal ini, sebaiknya orang yang menalkinkannya ialah orang
yang  dipercaya oleh si sakit, bukan orang yang diduga sebagai
lawannya (ada rasa permusuhan dengannya) atau orang yang hasad
kepadanya, atau ahli waris yang menunggu-nunggu kematiannya.98
 
Sementara  itu,  sebagian ulama menyukai dibacakan surat Yasin
kepada orang yang hampir mati berdasarkan hadits:
 
    "Bacakanlah surat Yasin kepada orang yang hampir mati
    diantara kamu."99
 
Namun demikian, derajat hadits ini tidak sahih,  bahkan  tidak
mencapai derajat hasan, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.
 
Disamping  itu, disukai menghadapkan orang yang hampir mati ke
arah kiblat jika memungkinkan --karena kadang-kadang si  sakit
tengah  menjalani perawatan di rumah sakit hingga ia menghadap
ke arah yang sesuai dengan posisi ranjang tempat ia tidur.
 
Yang menjadi dalil bagi hal ini adalah hadits Abu Qatadah yang
diriwayatkan  oleh  Hakim,  bahwa  ketika  Nabi saw. datang di
Madinah, beliau bertanya tentang al-Barra'  bin  Ma'rur,  lalu
para  sahabat menjawab bahwa dia telah wafat, dan dia berpesan
agar dihadapkan ke kiblat ketika hampir wafat, lalu Rasulullah
saw. bersabda:
 
    "Sesuai dengan fitrah."100
 
Imam Hakim berkata, "Ini adalah hadits sahih, dan  saya  tidak
mengetahui  dalil  tentang menghadapkan orang yang hampir mati
ke arah kiblat melainkan hadits ini."101
 
Ada  dua  macam  pendapat  dari  para  ulama   mengenai   cara
menghadapkan orang sakit ke arah kiblat ini:
 
Pertama,  ditelentangkan  di  atas  punggungnya, kedua telapak
kakinya ke arah kiblat, dan kepalanya  diangkat  sedikit  agar
wajahnya  menghadap  ke arah kiblat, seperti posisi orang yang
dimandikan. Pendapat  ini  dipilih  oleh  beberapa  imam  dari
mazhab Syafi'i, dan ini merupakan pendapat dalam mazhab Ahmad.
 
Kedua, miring ke kanan dengan menghadap kiblat, seperti posisi
dalam liang lahad. Ini merupakan pendapat mazhab  Abu  Hanifah
dan  Imam  Malik, dan nash Imam Syafi'i dalam al-Buwaithi, dan
pendapat yang mu'tamad (valid) dalam mazhab Imam Ahmad.
 
Sebagian ulama memperbolehkan kedua cara tersebut,  mana  yang
lebih  mudah.  Sedangkan Imam Nawawi membenarkan pendapat yang
kedua,  kecuali  jika  tidak  memungkinkan  cara  itu   karena
tempatnya  yang sempit atau lainnya, maka pada waktu itu boleh
dimiringkan  ke  kiri  dengan  menghadap  kiblat.  Jika  tidak
memungkinkan, maka di atas tengkuknya atau punggungnya.102
 
Imam  Syaukani  berkata,  "Yang  lebih  cocok  ialah menghadap
kiblat dengan miring ke kanan,  berdasarkan  hadits  al-Barra'
bin Azib dalam Shahihain:
 
    "Apabila engkau hendak naik ke tempat tidurmu maka
    berwudhulah seperti wudhumu ketika hendak shalat,
    kemudian berbaringlah di atas lambungmu sebelah kanan."
 
Dalam riwayat lain disebutkan:
 
    "Jika engkau meninggal dunia pada malam harimu itu, maka
    engkau berada pada fitrah (kesucian)."103
 
Dari riwayat ini tampak bahwa  seyogyanya  orang  yang  hampir
meninggal dunia hendaklah dalam posisi seperti itu.
 
Diriwayatkan  juga  dalam  al-Musnad dari Salma Ummu Walad Abu
Rafi' bahwa Fatimah binti Rasulullah saw. radhiyallahu  'anha,
ketika  akan meninggal dunia beliau menghadap kiblat, kemudian
berbantal dengan miring ke kanan.104
 
(Bagian: 01, 02, 03, 03a, 04, 05, 06, 07, 08, 09, 10, 11, 12,
     13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 21a, 22, 23, 24, 25)
 
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team