Jema'ah Tabligh di Mata Anggota
Sumber: Hidayatullah.com
Tanggal:Oktober 1999/Jumadil Akhir-Rajab 1420
Wisnu Jatmiko
Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Komputer UI
Saya terlibat dalam aktivitas JT sekitar tujuh tahun lalu
(1991). Waktu itu, saya masih duduk di kelas dua SMA (tahun
1991). Kemudian melanjutkan pada Jurusan Elektro Fakultas
Teknik Universitas Indonesia, lulus 1997). Sempat bekerja di
PT Phillips hampir setahun. Kemudian melanjutkan kuliah pada
Program Pasca Sarjana Ilmu Komputer UI sampai sekarang.
Awal-awalnya saya sering diajak para aktivifis JT yang
sering berkunjung di masjid dekat rumah. Mereka mengajak
khuruj, tapi karena saya masih sekolah, maka hanya bisa
mengikuti satu hari saja.
Ada dua hal yang menyebabkan saya tertarik pada JT.
Pertama, materi-materi yang disampaikan dalam taklim-taklim
itu memberikan dorongan yang cukup kuat bagi saya untuk
rajin beribadah. Itulah yang menyebabkan saya tertarik.
Kedua, saya juga mendapat dorongan dan motivasi yang kuat
untuk sukses dalam studi. Ceritanya begini, saya terlibat
lebih jauh setelah banyak teman-teman yang pindah rumah
(1994). Akibatnya saya harus menjadi penggeraknya. Bahkan
saya sempat khuruj 40 hari lamanya.
Tapi, saya juga sempat bertanya-tanya. Kenapa
aktivitasnya hanya begini-begini saja. Toh, tanpa terlibat
saya juga bisa jadi orang baik. Apalagi ketika itu ada yang
marah, karena saya menolak untuk ikut khuruj. Kebetulan saya
ada udzur. Hingga akhirnya saya bertemu dengan orang dari
India dan Amerika yang menyebabkan saya semangat lagi.
Karena menurut mereka, aktivitas di JT tak perlu berakibat
kewajiban lain tertinggal. Buktinya banyak di antara
pengikut JT yang doktor dan profesor serta hapal Al Qur'an.
Saya sempat ditegur mereka karena aktivitas di JT
menyebabkan Indeks Prestasi (IP) saya rendah. Waktu itu saya
ingat sedang ujian mata kuliah "Sistem Kendali." Bahkan
mereka berkali-kali menyuruh saya pulang untuk belajar.
Yang saya peroleh setelah aktif di JT, pada diri saya
seakan muncul kembali semangat untuk mewarnai keluarga yang
semula agak pudar dalam beragama. Saya menghidupkan taklim
dan musyawarah harian di rumah. Yang laki-laki sholat di
masjid, sedang yang wanita memakai jilbab rapat. Bahkan kini
kakak saya juga ikut aktif bersama saya.
Suatu ketika saya dipilih menjadi pimpinan rombongan
khuruj, yang terdiri dari pelajar SMA dan bapak-bapak yang
kurang dari segi pendidikan. Saya sempat bingung ketika itu.
Apalagi pimpinan rombongan harus mengurus perijinan ke
lurah, camat, sospol, kadang-kadang ke Kodim. Pokoknya
seluruh aparat Muspida. Saya sering dimarah-marahi, dibentak
oleh aparat itu. Tapi, bagi saya itu sudah merupakan
konsekuensi pimpinan rombongan. Sehingga, pengalaman itu
membuat saya bertambah semangat dan tak takut berpaling dari
Allah swt.
Ada pengalaman menarik lagi, sewaktu ikut khuruj di
Bengkulu, saya merasa tertekan. Ketika itu saya tak
mendapatkan masjid. Muspida di sana sempat menaruh curiga
dan tanya melulu mengenai acara rombongan saya. Ke mana pun
pergi seperti ada yang mengawasi. Itulah titik yang paling
berkesan.
Kenapa harus khuruj? Untuk melatih mental dan banyak lagi
yang sulit diceritakan. Pengalaman pribadi yang membuat jiwa
kita terbina. Soal dana, itu dari tabungan kita sendiri.
Keluarga yang ditinggalkan? Sebelum melakukan khuruj,
pembinaan keluarga penting, terutama ibu-ibu dan wanita
diadakan taklim ibu-ibu atau namanya masturot. Artinya:
tertutup, terhijab. Dalam pembinaan itu, wanita atau ibu-ibu
dilatih mandiri. Sehingga ketika ditinggal khuruj, mereka
sudah bisa berperan sebagai kepala rumah tangga di rumah.
Tapi, belakangan JT juga sudah mulai memprogram khuruj
bersama-sama semuhrim, lelaki dan perempuan.
|