| |
|
Adil - Jakarta, Waktu menunjukkan pukul 23.00 WIB. Suasana sunyi menyelimuti daerah Kelapa Dua, Depok. Tiga lelaki tampak menghampiri sebuah rumah bercat putih di kawasan tersebut. Seseorang mengetuk pintu, dua lainnya menunggu di depan rumah. Tak lama berselang, seorang lelaki keluar dari dalam rumah. Sang tuan rumah terlihat bercakap dengan tamunya. Sejurus kemudian, keduanya bergegas beranjak meninggalkan rumah. Dua rekan lainnya, turut membuntuti dari belakang. Tak banyak yang tahu ke mana mereka pergi. Pun kedua orang tua Abdullah, begitu remaja tadi dipanggil. Pastinya, mereka berempat berangkat menuju suatu tempat diadakannya pengajian ekslusif. Mereka menyebut dirinya sebagai gerakan Negara Islam Indonesia (NII). "Sejak setahun lalu saya menjadi anggota NII, " ujar Abdullah kepada ADIL. NII bangkit kembali? Boleh jadi benar. Salah satu pentolan gerakan Darul Islam --merupakan penggagas konsep NII-- Al Chaidar menandaskan gerakan NII tidak pernah mati. Selama obsesi mewujudkan Negara Islam Indonesia belum terwujud, kelompok-kelompok NII akan selalu ada. "Tujuan kita mendirikan negara Islam," tandas Al Chaidar kepada ADIL. Memang, tak banyak yang mengetahui keberadaan kelompok-kelompok NII saat ini. Pasalnya, keberadaan kelompok tersebut sukar dideteksi. Tempat berkumpul kelompok ini pun selalu berpindah-pindah. Gerak-geriknya pun cukup ekslusif. Tidak sembarang orang bisa masuk. Bahkan, seseorang harus dibaiat terlebih dahulu sebelum menjadi anggota. Ia juga dilarang bercerita kepada siapa pun, kecuali sesama anggota kelompok "N sebelas" begitu sebutan lain untuk NII. Tak hanya itu. Kelompok ini pun telah mempunyai struktur organisasi yang solid. Ibarat sebuah negara, kelompok ini telah memiliki struktur pemerintahan dari atas sampai bawah. Mulai dari presiden, menteri, gubernur, bupati hingga RT dan RW. Begitu pula dengan angkatan perangnya. Mereka cukup kuat dan dibekali dengan persenjataan modern. Hanya saja, dalam hubungannya seorang anggota tidak bisa mengenal presidennya secara langsung. Sistem komando diterapkan dalam kelompok ini. Seorang anggota biasa paling banter hanya bisa berhubungan dengan seorang yang menjabat sebagai Ketua RT. Ketua RT hanya bisa berhubungan dengan Ketua RW, yang merupakan satu tingkat di atasnya. Begitu seterusnya. "Saya saja tidak bisa bertemu langsung dengan Ketua RW," ungkap Abdullah yang keanggotaannya hanya merupakan "rakyat biasa". Sejumlah iming-iming dijanjikan kepada pengikut kelompok NII. Dengan syarat menegakkan syariat Islam dengan benar, para anggota NII dijanjikan akan diterima masuk surga. Selain itu, secara duniawi segala kebutuhan mereka akan dipenuhi. Sekalipun untuk itu para anggota NII diwajibkan menyedekahkan hartanya. Besarnya antaranggota berbeda-beda. Tergantung posisi dan jabatan. Semakin tinggi posisi dan jabatan, semakin banyak pula uang yang harus dikeluarkan. NII merupakan isu serius yang tak pernah pupus. Keberadaan NII pertama kali diproklamirkan oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo pada 7 Agustus 1949. Daerah Tasikmalaya, Jawa Barat menjadi basis pertama NII. Gerakan serupa kemudian meluas di Sulawesi Selatan dengan di pimpin Kahar Muzakar pada 20 Januari 1952. Kemudian disusul pembentukan NII di Aceh oleh Abu Daud Beureuh pada 21 September 1953. Namun, pembentukan negara dalam negara ini semuanya berhasil dipatahkan. Meski begitu, upaya mendirikan Negara Islam Indonesia terus dilakukan. Menurut Al Chaidar, hingga kini terdapat 14 faksi yang setia memperjuangkan berdirinya kembali NII. Semisal Faksi Abdullah Sungkar, Faksi Abdul Fatah Wiranagapati, Faksi Mahfud Sidik, Faksi Aceh, Faksi Sulawesi Selatan, Faksi Madura, Faksi Kahwi 7, Faksi Kahwi 9, serta beberapa faksi lainnya. Basis NII sendiri berada di tiga tempat. Untuk wilayah Jawa, basis NII berada di Garut. Wilayah Sumatera berbasis di Aceh, dan untuk bagian Indonesia Timur berbasis di Sulawesi. Jumlah penganut ajaran NII ini telah mencapai sekitar 18 juta orang. Berbagai kalangan terlibat dalam kelompok ini. Mulai dari rakyat bisa, petani, mahasiswa, militer, hingga pejabat. Kesemuanya tersebar di seluruh Indonesia dan Asia Tenggara. Di antara faksi atau kelompok yang ada tidak terdapat perbedaan yang mencolok. Hanya saja, Al Chaidar menuding ada satu kelompok yang menyimpang jauh dari misi dan falsafah awal gerakan NII. Kelompok ini adalah kelompok Kahwi 9 pimpinan Abu Toto. "Kelompok ini memperbolehkan anggota tidak salat, serta melakukan hal yang dilarang agama," katanya. Tudingan Al Chaidar tentu bukan tanpa alasan. Beberapa bulan lalu, kelompok NII Kahwi 9 ini sempat membikin geger kota Bandung dan sekitarnya. Sejumlah kampus di Bandung, seperti ITB berhasil di susupi kelompok ini. Mahasiswa menjadi ladang garapan yang mudah, karena di sinilah proses pencarian jati diri berlangsung. Sayangnya, terjadi penyimpangan dalam ajaran yang diberikan. Mereka diperbolehkan melawan orang tua, mencuri, atau pun meninggalkan salat. Tak hanya itu, para anggotanya pun diwajibkan membayar iuran bulanan dalam jumlah ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Akibatnya, tak jarang para anggota yang kebanyakan mahasiswa, harus berhutang ke sana ke mari atau bahkan mencuri. "Ini jelas menyimpang dari NII asli," timpal K.H. Miftah Faridl, Ketua MUI Kotamadya Bandung kepada ADIL. Memang, tampaknya berkembangnya ajaran NII sukar untuk dibendung. Terlebih lagi begitu banyak kelompok sempalan yang timbul. Akankah gerakan ini menjadi ancaman bagi pemerintahan Gus Dur? Sukar memberikan jawaban pasti. Namun, Al Chaidar mengaku kelompoknya tidak akan menggulingkan pemerintahan yang sah. Sekalipun pemerintahan saat ini dinilainya masih merupakan pemerintahan yang zalim. (jar) Pantang Bertindak RadikalSosoknya tidak menunjukkan kalau dia merupakan salah satu pelanjut dari perjuangan DI/TII yang didirikan oleh Kartosuwiryo. Bapaknya adalah anak buah sekaligus kawan dekat dengan Kartosuwiryo. Ia sendiri merupakan generasi kedua sebagai penerus perjuangan DI/TII. Di rumahnya yang terletak di kawasan Bandung Barat, Budiman, sebut saja nama begitu, dikenal sebagai ustad di lingkungannya. Sejak tahun 1962, Budiman harus turun gunung. Perintah yang didapatnya sebagai anggota DI/TII adalah kembali ke pos masing-masing. Artinya, setiap anggota harus kembali berintegrasi ke dalam masyarakat. Bapak dari sembilan anak dan dua cucu ini mengaku sukar menyembunyikan identitasnya sebagai anggota NII. Meski begitu, kehidupan sehari-harinya berjalan dengan normal. Tidak terjadi pengucilan-pengucilan. Dan, memang Budiman pantang melakukan tindakan radikal. Semisal, mengajak anak muda untuk melakukan segala cara yang tidak terpuji untuk menghimpun dana, mengkafirkan orang, atau pun memusuhi orang yang berbeda pemikirannya dengan mereka dalam membela Islam. "Karena memang begitu doktrin atau perintah dari ajaran DI/TII," tegasnya pada ADIL. Karenanya, Budiman mempertanyakan keabsahan kelompok-kelompok yang mengaku NII tetapi menggunakan cara-cara radikal. "Jadi, kalau sekarang ini ada beberapa komponen yang mengaku NII dan radikal, terus terang saja, itu perlu ditanyakan. Karena setahu saya, kami memiliki kebijakan dengan jalan berintegrasi pada masyarakat," tambahnya. Dengan garis kebijakan seperti itu, selama ini aktivitas yang mereka lakukan dengan cara pembinaan pada masyarakat. Bentuk pembinaannya terbagi dalam dua garis besar. Pembinaan ke diri pribadi Muslim itu sendiri dan pembinaan rumah tangga agar menghasilkan keluarga yang sakinah. Namun di beberapa faksi yang lain, Budiman tak menampik bila ada yang masih memakai format perjuangan atau format tempur. Sekalipun tugas sebenarnya pengikut DI/TII adalah berintegrasi dengan masyarakat, namun Budiman mengaku ada beberapa anggota atau kader yang melakukan gerakan-gerakan. Semisal membentuk organisasi, atau pun menyelenggarakan kongres. Di usianya yang menjelang senja, Budiman tetap akan meneruskan perintah dari ajaran DI/TII. "Mewujudkan masyarakat yang menjalankan syariat Islam dengan benar adalah suatu kewajiban," ujarnya. Hal senada pun diungkapkan seorang kader NII di Bandung Timur. Kepada ADIL, Hariyanto --sebut saja namanya begitu-- mengaku kelompoknya mengharamkan cara-cara radikal. Dalam menyebarkan ajarannya, kelompoknya menggunakan format pendekatan kekeluargaan. Karyawan BUMN di Bandung ini, mengaku tertarik mengikuti ajaran NII ketika ia mengikuti sebuah pesantren kilat. Kala itu, ia masih duduk dibangku SMU. Ajaran NII yang menyiratkan penegakan syariat Islam bisa dilakukan tanpa cara radikal, menggugah keingintahuannya. Sejak itulah, ia bergabung dengan kelompok NII. Kini, Haryanto memiliki tugas tersendiri. Ia bertugas melakukan pembinaan penyadaran pada generasi muda mengenai hakikat dan filosofi perlunya seorang Muslim menerima hukum Islam. Haryanto menyadari belakangan ini banyak pihak yang ingin memancing agar kelompoknya berubah menjadi radikal. Namun, ia mengaku kelompoknya sama sekali tidak terpengaruh. Mereka tetap pada komitmen semula untuk berintegrasi pada masyarakat, berdakwah dengan cara kekeluargaan, serta menyampaikan hakikat demi tegaknya syariat Islam. "Sampai kapan pun, tujuan kami tetap namun mungkin strategi kami yang berbeda," ungkapnya mengakhiri.
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |