|
|
Senin, 28/02/2000 Adil - Jakarta, Seorang pria dan dua wanita muda duduk bersila di pelataran Masjid Islamic Centre, Jl. Diponegoro, Bandung. Mereka terlihat sedang berdialog. Yang pria sambil memegang sebuah kitab tampak bersemangat berbicara, meski dengan nada setengah berbisik. Pembicaraan terhenti jika ada orang lain menghampiri. Kitab yang dipegang segera ditutupnya. Gerak-gerik seperti itu sering terlihat setiap Jumat dan Minggu sore, kantor pusat dakwah terbesar di Jawa Barat itu. Mereka terkesan tertutup dan kurang bersahabat terhadap orang lain. Adakalanya mereka muncul hanya sepasang muda-mudi. Tapi, sekalipun cuma ngobrol, keberadaan mereka di lingkungan masjid yang menjadi Pusat Dakwah Islam (Pusda'i) Jabar itu dinilai tak sedap. Pengurus Islamic Centre sering menegur pasangan muda-mudi yang berduaan itu. Keanehan lain, ketika datang waktu salat, mereka diam saja. Jika diingatkan kadang alasannya lucu, semuanya mengaku sedang 'berhalangan'. Praktek mereka sudah berlangsung lama. Pusda'i belakangan sadar, bahwa muda-mudi aneh itu adalah anggota gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Kehadiran kembali NII itu tak hanya mengagetkan pengurus Pusda'i. Sejak beberapa bulan terakhir ini masyarakat Bandung memang geger soal NII. Banyak orang tua resah karena anaknya terlibat. "Banyak mahasiswa, seperti di ITB dan Unpad, yang terjerat," kata K.H. Miftah Faridl, Direktur Pusat Dakwah Islam (Pusda'i) Jabar, yang juga Ketua Umum MUI Kodya Bandung, dan dosen ITB. Galamedia, salah satu koran di Bandung, dalam tiga minggu terakhir, gencar mengungkap 'kebangkitan' NII ini. Harian milik grup Pikiran Rakyat itu, mengungkapkan adanya 200 mahasiswa ITB yang terancam drop out (DO). Mereka mengalami kemerosotan prestasi akademis, dan malah diam-diam meninggalkan bangku kuliah, sambil menunggak SPP. Sebagian dari mereka, disinyalir terlibat kegiatan NII. Hasil penelusuran ADIL, menunjukkan NII memang lagi in di kampus-kampus. Rizal misalnya, sudah dua tahun tidak terlihat batang hidungnya sebagai mahasiswa Politeknik ITB. Anak seorang guru SMU swasta terkemuka di Kota Bandung itu, bukan saja lenyap dari kampus, tapi juga dari tengah-tengah keluarganya. Sesekali ia memberi kabar dirinya berada di Jakarta, ikut jemaah NII. Bisa jadi kabar dari Rizal itu benar. "Di Jakarta ini, gerakan yang mengatasnamakan NII itu, memang sudah lama beroperasi dan menyusup ke kampus-kampus perguruan tinggi negeri dan swasta," ungkap Iwan Ridwan, alumnus IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Menurut Andi Arifin, di sekitar kampus IAIN, di kawasan Ciputat bertebaran 'posko' NII gaya baru itu. YANG HARAM DIHALALKAN Kebangkitan NII ini menghebohkan masyarakat sekitar Bandung. Bukan hanya soal nama 'NII' yang membuat warga kota kembang itu resah. Tapi, juga keganjilan perilaku pengikut neo NII itu. "Mereka menghalalkan nyontek. Alasannya, ini kan ilmu dunia. Akhirnya banyak dosen menyamakan tabiat aktivis Islam lainnya dengan tabiat pengikut NII," kata Anif, aktivis Islam dari ITB. Yang juga aneh, perilaku pengikut NII gadungan itu jauh dari ajaran asli gerakan NII yang bersumber pada Al-Quran dan Hadis. Dakwah mereka boleh dibilang bertolak belakang dengan ajaran Al-Quran dan Hadis. Contohnya, mereka membolehkan para pengikutnya untuk melawan orang tua, meninggalkan keluarga, mencuri, mabuk, dan berzina. Soal dosa, bisa diurus tobatnya oleh sang imam. Menurut Asep Rodi (39), mantan pengikut neo NII, ajaran itu didasarkan pada sirah (sejarah) Nabi Muhammad SAW. Dulu, ketika periode Mekkah, Nabi memang belum mewajibkan salat, zakat dan berbagai ibadah lainnya. Ini karena saat itu belum turun wahyu salat. Wahyu tentang ibadah itu baru turun semasa Nabi di Madinah (periode Madinah). "Ini yang dipahami secara sempit oleh pengikut neo NII sekarang," jelas Asep. "Makanya amalan NII pun jadi rancu. Mencuri dianggap ibadah fa'i (mengambil rampasan perang), dan salat tidak perlu dilakukan karena menyamakan diri dengan periode Mekkah, di mana belum ada wahyu kewajiban salat," papar mantan pengikut NII (1987-1997) itu. Dan seperti halnya kelompok Islam puritan lainnya, kelompok NII merasa sebagai penganut Islam yang paling benar. Maka tidak segan-segan mengkafirkan orang yang bukan kelompoknya. Ajaran menghalalkan segala cara, itu untuk --yang mereka bilang-- mewujudkan sebuah cita-cita besar: mendirikan negara Islam! Menurut Asep, NII yang sekarang banyak berkembang di kampus-kampus itu sebenarnya merupakan salah satu pecahan dari faksi NII yang dulu pernah ada semasa dipimpin Kartosuwiryo. Kelompok NII ini menyebut dirinya sebagai NII Komandemen Wilayah 9 (KW 9). NII KW 9 ini merekrut pengikut dari kalangan Islam abangan atau yang sedang berupaya mendalami ajaran Islam. Setelah dicuci otak dengan sebuah doktrin yang membangkitkan semangat radikal, mereka di bawa ke sebuah tempat rahasia dengan sebuah kendaraan sambil matanya ditutup kain. Penutup mata baru dibuka di sebuah ruangan, tempat baiat dilangsungkan. Sumpah setia itu dilakukan oleh tiga atau empat orang pria berdasi. Lagak mereka seperti eksekutif. Proses baiat ini tidak gratis. Mereka dipungut 'infak' dalam jumlah tak terbatas. Pasarannya Rp 350.000 per orang. Jika ada yang cuma mampu Rp 50.000, pasti diledek. "Masak untuk perjuangan Islam setorannya kecil?" kata si 'imam' berpenampilan necis itu. Sehabis mengikuti baiat selama sekitar tiga jam, mata mereka kembali ditutup kain, dan dikembalikan ke tempat asal. Setelah itu, kewajiban mereka membayar iuran bulanan, malah ada yang harian, dalam jumlah ratusan ribu sampai jutaan rupiah. Alasannya untuk dana perjuangan. Ada juga yang sampai menyumbang mobil. MIRIP praktek MLM Untuk membesarkan jumlah pengikutnya, NII ini juga mewajibkan setiap anggotanya melebarkan sayap. Dalam sebulan ada yang ditugasi merekrut anggota baru sampai 10 orang. Keberhasilan rekrutmen itu akan menjadi tiket untuk naik pangkat. Misalnya, dari kelas RT menjadi RW, lurah, camat, dan penguasa daerah (setingkat bupati/walikota). Kehadiran anggota baru jelas akan menambah income organisasi. Bagi anggota yang punya andil besar menggemukkan anggota sehingga dapat meraih jabatan camat, diberi gaji sekitar Rp 300.000 per bulan. Cara kerjanya ini mirip jaringan multi level marketing (MLM). Ada downline (anak buah) ada upline (atasan). Cuma, berbeda dengan MLM semakin tinggi posisi di dalam jaringan bukannya semakin untung. Bahkan malah bisa lebih 'sial'. "Seorang camat, misalnya kendati mendapat gaji lebih, kewajiban iuran seorang camat jauh lebih besar lagi. Akibatnya, besar pasak daripada tiang," ungkap Asep. REKAYASA LAMA Kehadiran neo NII itu dinilai banyak kalangan amat mencurigakan. Soalnya NII baru ini benar-benar menyimpang dari 'pakem' NII yang pernah ada yakni NII Kartosuwiryo. Penyimpangan itu selain terlihat pada ajaran para pengikutnya juga tampak dari soal nama NII KW 9. Menurut seorang pengikut NII asli, NII tak pernah mengenal KW 9. Ketika Kartosuwiryo diberangus, terakhir KW yang tarbentuk adalah KW 6. Karena itulah mantan pengikut NII asli mengutuk ajaran sesat berkedok NII itu. "Masya Allah, itu provokasi dan dusta. Itu NII palsu, hasil rekayasa," ujar Abdul Fatah Wirananggapati (76), (bekas) Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi Angkatan Perang NII (KUKT/NII) pimpinan almarhum S.M. Kartosuwiryo. Siapa yang merekayasa? "Wallau a'lam," jawab Abu, nama panggilannya. "NII murni tidak seperti itu," tambah Andi Arifin (46), anak buah Abu yang terlibat di NII sejak 1974. Ia beranggapan, terutama sejak Orde Baru, telah terjadi manipulasi gerakan NII oleh tangan-tangan kotor penguasa. Kantung-kantung transmigrasi, konon, ikut menjadi sasaran 'proyek' intelijen itu. Di tangan mereka, masih tutur Andi, NII jadi gerakan menyeramkan dan melakukan permainan kotor. Padahal, 'NII murni' gerakannya tidak menyimpang dari ajaran Islam. Tapi NII ini memang divonis 'berdosa' pada negara dengan tuduhan memberontak pemerintah RI. Padahal yang dilakukannya 'cuma' melawan kaum penjajah. "Orde Baru telah menyebarkan sekitar 6.000 anggota ABRI ke banyak daerah untuk menyamar sebagai imam NII. Lalu mereka melakukan pengkaderan, tapi mereka sendiri yang mengumpankan pengikutnya kepada aparat," kata Andi Arifin, bekas Penghubung Luar Negeri Angkatan Perang NII. Ia juga curiga, Warsidi --pimpinan kelompok Islam sempalan yang diberangus di Lampung-- perlu diteliti siapa dia sebenarnya. "Jangan-jangan dia juga anggota ABRI," jelasnya. Kejadian kasus Lampung, menurut Andi, juga terjadi di daerah Gununghalu, pinggiran kota Bandung, Jawa Barat. Di daerah itu disinyalir terdapat praktek rekayasa pengkaderan NII. Sesekali mereka digerebek, tapi kelestariannya dijaga, untuk 'diproyekkan' pada waktu-waktu tertentu. "Analoginya, ada kambing mengembik di depan harimau lapar, lantas diterkamnya. Ada juga kambing mengembik, tapi dibiarkan oleh sang harimau," kata Andi Arifin pula. Pengalaman Asep menguatkan sinyalemen Andi. Selama 10 tahun menjadi pengikut 'NII sesat', sering terdengar ada penangkapan terhadap jemaah dan imam NII. Tapi tidak lama kemudian mereka, terutama imamnya, dikeluarkan lagi, konon dengan bantuan orang dalam ABRI. "Mereka mengesankan seperti punya link khusus ke sana," katanya. Karena ada rekayasa semacam ini, wajah NII murni menjadi buruk di mata umat. KONTROVERSI BERITA Gencarnya pemberitaan NII di Bandung beberapa pekan terakhir sebenarnya sempat melahirkan kontroversi. Masalahnya, kabar itu terus menerus dilansir oleh koran Galamedia, salah satu perusahaan yang bernaung di bawah grup Pikiran Rakyat (PR). Pada mulanya, Galamedia rajin memberitakan fenomena NII ini. Walaupun tak ada koran lain yang mengikuti isu itu, saban hari mereka menulisnya di halaman depan. 'Rajinnya' Galamedia itu mendatangkan curiga, mengapa kok hanya Galamedia yang memberitakan kasus itu? Koran-koran lain di Bandung justru menulis indikasi adanya 'udang' di balik penulisan NII besar-besaran itu. Serta-merta Galamedia pun diisukan telah diperalat pihak Kodam III/Siliwangi. Maksudnya, Kodam sengaja memasok bahan-bahan tentang NII untuk mengalihkan perhatian masyarakat pada isu tertentu yang sedang bergolak di negeri ini. Tujuan mereka ingin menciptakan ketakutan pada Islam. Masih menurut kabar angin itu, niat busuk ini, konon tak seperti yang diharapkan. Pemberitaan itu justru menimbulkan kecurigaan adanya rekayasa dalam kebangkitan neo NII. Tapi, betulkah Kodam telah 'bermain api' seperti itu? Pimpinan militer tertinggi di Jawa Barat menolak tudingan itu. "Anda jangan menuduh Kodam seperti itu!" ucap Mayjen TNI Slamet Supriadi, Pangdam III/Siliwangi, lantang dan penuh emosi kepada ADIL. Dadan Hendaya, Koordinator Liputan Galamedia, juga menepis 'cibiran' PR dan tudingan telah diperalat Kodam. "Kami tidak membuat berita bohong, dan tidak bermain mata dengan Kodam. Sampai saat ini tidak ada yang komplain, malah banyak telepon dari para korban dan orang tuanya, mendukung pemberitaan itu," ujarnya. Yang jelas, neo NII ini tidak bisa dianggap nihil. "Faktanya ada. Mereka menjual 'gerakan khayalan', yang motifnya bisa ekonomi atau politis. Mereka tidak memiliki komitmen keislaman, malah ingin merusak citra Islam," kata K.H. Hilman Rosyad Syihab, Lc., pimpinan Majelis Ta'lim Ummul Quro (Bandung), yang sering berhubungan dengan mantan pengikut NII gadungan. Banyak cara, memang, untuk mengobok-obok Islam.
(sebelum, sesudah) |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota Please direct any suggestion to Media Team |