| |
|
HARTA PENGHASILAN MENURUT PARA SAHABAT DAN TABI'IN 1. IBNU ABBAS Abu Ubaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang seorang laki-laki yang memperoleh penghasilan "Ia mengeluarkan zakatnya pada hari ia memperolehnya." Demikian pula diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Abbas. Hadis tersebut shahih dari Ibnu Abbas, sebagaimana ditegaskan Ibnu Hazm. Hal itu menunjukkan ketiadaan ketentuan satu tahun bagi harta penghasilan, menurut yang difahami dari perkataan Ibnu Abbas. Tetapi Abu Ubaid berbeda pendapat mengenai itu, "Orang menafsirkan bahwa Ibnu Abbas memaksudkan penghasilan Itu berupa emas dan perak sedangkan saya menganggapnya tidak demikian. Menurut saya ia sama sekali tidak mengatakan demikian karena tidak sesuai dengan pendapat umat. Ibnu Abbas sesungguhnya memaksudkannya zakat tanah, karena penduduk Madinah menamakan tanah harta benda. Bila Ibnu Abbas tidak memaksudkan demikian, maka saya tidak tahu apa maksud hadis tersebut. Abu Ubaid adalah imam dan ahli dalam persoalan zakat harta benda dan ini tidak bisa diragukan. Ia memiliki beberapa ijtihad dan tarjih yang cemerlang, yang sering saya kutip, namun saya menilai pendapatnya dalam masalah ini lemah; karena tidak sesuai dengan apa yang difahami dengan serta merta oleh umat dan dengan apa yang difahami oleh para ulama sebelumnya. Bila memang yang salah itu yang dimaksudkan maka ia tidak akan dipandang istimewa oleh Ibnu Abbas, yang banyak meriwayatkan darinya. Pada dasarnya hadis tersebut harus difahami menurut zahirnya tanpa penafsiran, kecuali bila terdapat sesuatu yang menghambat pemahaman menurut zahirnya tersebut tetapi penghambat itu tidak ada. Pendapat Abu Ubaid yang menyatakan terdapat penghambat untuk menerima pengertian zahir hadis tersebut tidak dapat diterima karena: 1. Ibnu Abbas tidak pernah menyendiri dari pendapat umat. Yaitu yang telah disepakati oleh Ibnu Mas'ud, Mu'awiyah, yang kemudian diikuti orang-orang sesudahnya seperti Umar bin Abdul Aziz, Hasan, Zuhri dan lain-lainnya. 2. Tidak merupakan keharusan bagi seorang sahabat yang mujtahid dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya, untuk menunggu pendapat ulama yang lain, kemudian mengumumkan pendapat dan ijtihadnya bila sesuai dan tidak mengumumkannya bila tidak sesuai dengan ulama yang lain. Bila demikian, maka tentu tak seorang mujtahid pun mau mengeluarkan pendapatnya. Yang benar adalah seorang- mujtahid harus mengeluarkan pendapatnya baik sesuai dengan pendapat yang lain atau tidak, yang kadang-kadang betul terjadi kesepakatan secara konkrit tetapi kadang-kadang tidak terjadi. 3. Sahabat yang mempunyai pendapat sendiri merupakan hal yang tak dapat dielakkan, dan hal tersebut tidak jarang terjadi dalam warisan hukum fikih kita. Ibnu Abbas misalnya mempunyai pendapat sendiri tentang perkawinan mut'ah, daging himar peliharaan, dan lain-lain. Pendapat Ibnu Abbas tersebut-bila benar-tidak bisa dibawa keluar dari zahirnya untuk disesuaikan dengan pendapat sahabat lainnya. Abu Ubaid sendiri tidak mengharuskan penafsiran tersebut mesti diumumkan, tetapi mengatakan saya duga atau saya mengira, dan dalam penutup ia mengatakan; "Bila ia (Ibnu Abbas) tidak memaksudkan, maka saya tidak tahu apa maksud hadis tersebut?" 2. IBNU MAS'UD Abu Ubaid meriwayatkan pula dari Hubairah bin Yaryam, Abdullah bin Mas'ud memberikan kami keranjang-keranjang kecil kemudian menarik zakatnya. Abu Ubaid menafsirkan lain hal itu bahwa zakatnya ditarik karena memang benda itu sudah wajib dikeluarkan zakatnya waktu itu, bukan karena diberikan. Penafsiran lain itu kadang-kadang dilakukan takwil serampangan yang berbeda maksudnya dengan makna yang dapat langsung difahami, dan berbeda pula dengan pendapat yang berasal dari Ibnu Mas'ud bahwa maksud penarikan zakat diatas adalah penarikan zakat atas pemberian Hubairah mengatakan bahwa lbnu Mas'ud mengeluarkan zakat pemberian yang ia terima sebesar dua puluh lima dari seribu. Ibnu Abi Syaibah, dan at Tabrani, juga meriwayatkan demikian. Hubairah sendiri sebenarnya mengakui riwayat pertama yang ditakwilkan oleh Abu Ubaid. Pemotongan sebesar tertentu itu hampir sama dengan apa yang disebut oleh para ahli perpajakan sekarang dengan Pengurangan Sumber, bukan diambil karena kekayaan asal memang sudah wajib bayar pajak karena sudah lewat masa setahunnya. Bila Ibnu Mas'ud mengambil zakat dari pemberian lain tentu ia tidak akan mengeluarkan zakat dari pemberian yang dikenakan dari kekayaan asalnya sebesar dua puluh lima dari setiap seribu yang mungkin lebih sedikit atau lebih banyak dari seharusnya. Barangkali Abu Ubaid belum mengetahui riwayat itu, sehingga dia memberikan takwil tersebut. 3. MU'AWIYAH Malik dalam al-Muwaththa dari Ibnu Syihab bahwa orang yang pertama kali mengenakan zakat dari pemberian adalah Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Barangkali yang ia maksudkan adalah orang yang pertama mengenakan zakat atas pemberian dari khalifah, karena sebelumnya sudah ada yang mengenakan zakat atas pemberian yaitu Ibnu Mas'ud sebagaimana sudah kita jelaskan. Atau barangkali dia belum mendengar perbuatan Ibnu Mas'ud tersebut, karena Ibnu Mas'ud berada di Kufah, sedangkan Ibnu Syihab berada di Madinah. Yang jelas adalah bahwa Mu'awiyah mengenakan zakat atas pemberian menurut ukuran yang berlaku dalam negara Islam, karena ia adalah khalifah dan penguasa umat Islam. Dan yang jelas adalah bahwa zaman Mu'awiyah penuh dengan kumpulan para sahabat yang terhormat, yang apabila Mu'awiyah melanggar hadis Nabi atau ijmak yang dapat dipertanggungjawabkan para sahabat tidak begitu saja akan mau diam. Para sahabat pernah tidak menyetujui Mu'awiyah tentang masalah lain, ketika Mu'awiyah memungut setengah sha' gandum zakat fitrah untuk imbalan satu sha' bukan gandum, seperti diberitakan hadis Abu Said al-Khudri sedangkan Mu'awiyah sendiri - meski dikatakan bahwa ucapannya terlalu berlebih-lebihan dan banyak salah- tidak bermaksud menyanggah sunnah yang tegas dari Rasulullah s.a.w. 4. UMAR BIN ABDUL AZIZ Empat periode Mu'awiyah, datanglah pembaru seratus tahun pertama yaitu khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pandangan baru yang diterapkannya adalah pemungutan zakat dari pemberian, hadiah, barang sitaan, dan lain Abu Ubaid menyebutkan bahwa bila Umar memberikan gaji seseorang ia memungut zakatnya, begitu pula bila ia mengembalikan barang sitaan. Ia memungut zakat dari pemberian bila telah berada di tangan penerima. Dengan demikian ucapan ('Umalah) adalah sesuatu yang diterima seseorang karena kerjanya, seperti gaji pegawai dan karyawan pada masa sekarang. Harta sitaan (mazalim) ialah harta benda yang disita oleh penguasa karena tindakan tidak benar pada masa-masa yang telah silam dan pemiliknya menganggapnya sudah hilang atau tidak ada lagi, yang bila barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya merupakan penghasilan baru bagi pemilik itu. Pemberian (u'tiyat) adalah harta seperti honorarium atau biaya hidup yang dikeluarkan oleh Baitul mal untuk tentara Islam dan orang-orang yang berada dibawah kekuasaannya. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, bahwa Umar bin Abdul Aziz memungut zakat pemberian dan hadiah. Itu adalah pendapat Umar. Bahkan hadiah-hadiah atau bea-bea yang diberikan kepada para duta baik sebagai pemberian, tip, atau kado, ditarik zakatnya. Hal itu sama dengan apa yang dilakukan oleh banyak negara sekarang dalam pengenaan pajak atas hadiah-hadiah tersebut. (sebelum, sesudah) |
|
--------------------------------------------------- HUKUM ZAKAT Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur'an dan Hadis Dr. Yusuf Qardawi Litera AntarNusa dan Mizan, Jakarta Pusat Cetakan Keempat 1996, ISBN 979-8100-34-4 ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |