1. Kisah Tentang-Majelis Syura dan Pelantikan
Usman (2/2)
-
Usman bin Affan
Kekerabatan Usman bin Affan dengan Rasulullah tidak
sedekat mereka itu. Kakeknya, Abu al-As bin Umayyah bin
Abdu-Syams bin Abdu-Manaf bin Qusai kakek Rasulullah yang
kelima. Tetapi dia juga menantu Nabi yang menikah dengan
putrinya Ruqayyah dan kemudian dengan Um Kulsum. Sebelum
kerasulannya Rasulullah sudah menikahkan kedua putrinya
dengan kedua anak pamannya, Abu Lahab. Sesudah ia menjadi
Rasul permusuhan Abu Lahab begitu sengit kepadanya dan
menyuruh kedua anaknya itu menceraikan kedua putri Nabi.
Lalu Usman menikah dengan Ruqayyah dan ikut bersama-sama
dalam dua kali hijrah ke Abisinia, dan tetap bersamanya
sampai sesudah hijrah ke Medinah. Sebelum terjadi Perang
Badr Ruqayyah jatuh sakit. Usman tidak ikut dalam perang itu
dengan izin Rasulullah karena akan merawat istrinya. Tetapi
Ruqayyah menemui ajalnya juga. Oleh Rasulullah ia dinikahkan
kepada Um Kulsum, adik Ruqayyah, yang tetap bersamanya
sampai ia meninggal sebelum ayahnya. Rasulullah berkata
menghibur Usman: "Kalau kami punya tiga anak putri juga akan
kami nikahkan kepada Anda." Terjadi demikian ini karena
Usman seorang laki-laki yang saleh, lemah-lembut, mudah
bergaul dan murah hati. Rasulullah sangat mencintainya,
mengenal jasanya, otaknya yang tajam dengan imannya yang
sungguh-sungguh.
Bukan karena semenda Usman kepada Nabi itu saja yang
membuat Muhammad dekat kepadanya dan menanamkah rasa cinta
dalam hatinya, tetapi karena dia juga termasuk orang yang
sudah lebih dulu dalam Islam. Ia tidak terpengaruh oleh
persaingan golongannya Banu Umayyah terhadap Banu Hasyim.
Bergabungnya ia ke dalam Islam telah menimbulkan kemarahan
kabilahnya. Oleh pamannya, Hakam bin Abi al-As bin Umayyah
ia diikat dan katanya: "Kau meninggalkan agama nenek
moyangmu dan menganut agama baru? Tidak, aku samasekali
tidak akan melepaskanmu sebelum kau meninggalkan apa yang
kaulakukan sekarang!" Tetapi Usman menjawab: "Tidak,
sekali-kali saya tidak akan melepaskan Islam dan tidak akan
meninggalkannya." Melihat kegigihannya mempertahankan
kebenaran dan tetap berpegang teguh, tak ada jalan lain oleh
pamannya ia dilepaskan.
Sesudah itu gangguan golongannya itu makin menjadi-jadi.
Ia ikut dua kali hijrah ke Abisinia. Sesudah kemudian hijrah
ke Medinah, tidak segan-segan ia mengeluarkan hartanya yang
tidak sedikit untuk membantu Muslimin. Bahkan ia telah
memberikan saham terbesar dalam menyiapkan pasukan Usrah ke
Tabuk. Dia yang membeli Bi'ir Rumah dari orang Yahudi untuk
tempat minum pasukan Muslimin dan orang dapat menimbanya
seperti yang lain. Dalam peristiwa Hudaibiyah Rasulullah
menugaskannya sebagai utusan kepada
Kuraisy.[16]
Sesudah lama belum kembali juga pihak Muslimin mengira ia
sudah dibunuh. Rasulullah dan sahabat-sahabat mengadakan
Ikrar Ridwan sebagai Ikrar setia, yang berarti siap
memerangi Kuraisy. Kemudian Nabi menepukkan sebelah
tangannya pada yang sebelah lagi sebagai tanda ikrar kepada
Usman seolah ia hadir dalam peristiwa itu.
Usman adalah juga salah seorang penulis
wahyu[17].
Sudah tentu, dengan begitu dekatnya kepada Rasulullah ia
telah mendapat kehormatan dan kedudukan yang sangat mulia
dalam hati kaum Muslimin.
Sa'd bin Abi Waqqas
Sa'd bin Abi Waqqas termasuk kabilah Banu Zuhrah - masih
pernah paman Nabi dari pihak ibu - Sa'd bin Malik bin Wuhaib
bin Abdu-Manaf bin Zuhrah bin Kilab. Jadi dia orang Kuraisy
dari Banu Zuhrah. Ibunya putri Sufyan bin Umayyah, ada juga
yang mengatakan dia putri Abu Sufyan bin Umayyah.
Sa'd termasuk orang yang mula-mula dalam Islam, masuk
Islam ketika baru berumur 17 tahun, kaya dan hidup senang,
berpakaian bahan tenun sutera dan bercincin emas. Ia
mengalami semua peristiwa bersama Rasulullah, ia terus
mendampinginya dan melindunginya dalam Perang Uhud saat
banyak orang yang melarikan diri. Ia memperlihatkan
kepahlawanannya dan begitu berani dalam berbagai pertempuran
sehingga kaum Muslimin sepakat memilihnya sebagai pimpinan
untuk menghadapi Persia di Kadisiah setelah kehancuran Abu
Ubaid bin Mas'ud as-Saqafi di
Qirqis.[18]
Karena termasuk orang yang mula-mula dalam Islam,
kecintaannya kepada Nabi serta kepahlawanan dan
keberaniannya, ia sangat dicintai oleh Rasulullah dan dekat
sekali dalam hatinya.
Itu sebabnya ketika Umar bin Khattab menyerahkan
kepadanya pimpinan pasukan yang berangkat ke Kadisiah ia
berkata: "Sa'd, Sa'd Banu Wuhaib! Janganlah Anda tertipu
dalam menaati perintah Allah karena Anda dikatakan masih
paman Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam dan
sahabatnya. Allah Yang Mahakuasa tidak akan menghapus
kejahatan dengan kejahatan, tetapi Ia menghapus kejahatan
dengan kebaikan! Antara Allah dengan siapa pun tak ada
hubungan nasab selain ketaatannya. Manusia yang tinggi dan
yang rendah dalam pandangan Allah sama. Allah adalah Tuhan
mereka dan mereka hamba-hambaNya, saling menghargai untuk
keselamatan dan menjalankan kewajiban dengan ketaatan
kepada-Nya. Perhatikanlah apa yang biasa dilakukan oleh Nabi
S sallallahu 'alaihi wasallam sejak diutus sampai ia
meninggalkan kita. Teruslah kerjakan, sebab itu adalah
perintah."[19]
Abdur-Rahman bin Auf
Seperti Sa'd bin Abi Waqqas, Abdur-Rahman bin Auf juga
orang Kuraisy dari Banu Zuhrah dan termasuk paman Rasulullah
dari pihak ibu: Abdur-Rahman bin Auf bin Abdul-Haris bin
Zuhrah bin Kilab. Ibunya Syifa' binti Auf bin Abdul-Haris
bin Zuhrah bin Kilab. Jadi dia masih kerabat dekat dari
pihak ayah. Selain Abdur-Rahman masih semenda Usman bin
Affan juga ia sepupu Sa'd bin Abi Waqqas. Sejak semula ia
memang seorang pedagang yang jujur, dan karena kejujurannya
itu ia makin beruntung dalam perdagangan dan menjadi
kepercayaan semua orang. Ia mendapat kepercayaan Rasulullah
sejak masuk agama Allah ini bersama dengan mereka yang
mula-mula dalam Islam, sehingga kata Rasulullah: "Dia jujur
di bumi dan jujur di
langit."[20]
Setelah hijrah ke Medinah ia tinggal di rumah Sa'd bin
Rabi' al-Khazraji. "Ini harta saya," kata Sa'd, "dan akan
saya bagi dua; saya punya dua orang istri, salah seorang
untuk Anda." Tetapi Abdur-Rahman menjawab: "Terima kasih,
semoga harta Anda dan istri Anda memberi berkah kepada Anda.
Tetapi tolong besok pagi tunjukkan kepada saya di mana letak
pasar."
Setelah ditunjukkan letak pasar dan kemudian ia berdagang
di tempat itu ia memperoleh keuntungan yang makin lama makin
besar sehingga waktu meninggal dia terbilang orang terkaya.
Rasulullah senang bersahabat dengan dia seperti yang
diperlihatkan kepada Abu Bakr dan Umar. Karena kejujurannya
dan mudah bergaul ia mendapat kepercayaan kalangan pemikir
terkemuka, sehingga banyak yang mengusulkan untuk dicalonkan
sebagai khalifah sesudah Umar.
Talhah bin Ubaidillah
Orang ini dari Banu Taim bin Murrah, satu kabilah dengan
Abu Bakr as-Siddiq. Dia anak Usman bin Umar bin Ka'b bin
Taim bin Murrah. Ibunya Sa'abah binti Ubaidillah al-Hadrami,
dan ibunda Sa'abah ini Aisyah binti Wahab bin Abdud-Dar bin
Qusai bin Kilab. Talhah seorang pedagang yang pada musim
dingin dan musim panas pergi ke Yaman dan ke Syam. Selain
sebagai salah seorang pemikir Kuraisy, dia juga pemberani
dan di Mekah dikenal sangat pemurah. Sesudah Nabi diutus dan
Abu Bakr masuk Islam, Talhah orang yang pertama pula datang
kepada Abu Bakr dan ia diantarkan kepada Nabi menyatakan
keislamannya.
Suatu hari sekembalinya dari perjalanan ke Syam ia
mengatakan kepada Nabi bahwa penduduk Medinah sedang
menanti-nantikan hijrahnya ke kota mereka. Sesudah keadaan
kaum Muslimin stabil di Medinah, dan ekspedisi kemudian
dimulai, Talhah berada di barisan depan bersama-sama yang
lain. Sebelum pecah Perang Badr Rasulullah pernah
mengutusnya untuk mengumpulkan berita-berita tentang Abu
Sufyan. Ketika Nabi mendapat musibah dalam Perang Uhud
Talhah berada di sampingnya dan termasuk orang yang
mati-matian membelanya sehingga dia sendiri mengalami
luka-luka yang hampir saja merenggut nyawanya. Selepas
Perang Tabuk dengan perintah Rasulullah ia membakar rumah
Suwailim, orang Yahudi yang oleh orang-orang munafik dipakai
markas untuk menjerumuskan Muslimin. Setelah Rasulullah
wafat ia bersama-sama dengan Ali bin Abi Talib dan Zubair
bin Awwam tinggal menyendiri di rumah Fatimah dan tidak
menghadiri pertemuan Abu Bakr, Umar, Abu Ubaidah di Saqifah
Banu Sa'idah. Setelah Abu Bakr dibaiat" sebagai Khalifah dan
sedang menghadapi kaum murtad dan mereka yang enggan
membayar zakat, Talhah bersama Ali dan Zubair yang menjaga
Medinah. Di samping itu, oleh Khalifah ia dipertahankan
untuk mendampinginya bersama-sama dengan para penasihatnya
yang lain, seperti Umar, Usman, Ali, Abdur-Rahman bin Auf
dan sahabat-sahabat besar lainnya yang sudah mula-mula dalam
Islam.
Talhah termasuk orang yang menentang Abu Bakr ketika
dalam sakitnya yang terakhir ia menunjuk Umar untuk
menggantikannya. Bersama sekelompok Muslimin yang lain ia
datang menemuinya dan berkata: "Anda menunjuk Umar sebagai
pengganti yang akan memimpin kami. Sudah Anda lihat
bagaimana ia menghadapi orang padahal Anda masih ada di
sampingnya, bagaimana pula kalau dia hanya dengan mereka dan
Anda sudah bertemu Tuhan!?" Abu Bakr marah dan berteriak
kepada Talhah: "Untuk urusan Allah Anda mengancam saya!?
Kalau saya bertemu Tuhan dan saya ditanya akan saya katakan,
bahwa untuk memimpin hamba-hamba-Mu aku telah menunjuk
seorang hamba-Mu yang
terbaik."[21]
Pandangan Talhah tentang Umar tidak berubah dalam
kedudukannya mendampingi Umar sesudah ia menjadi Khalifah.
Ia tetap tinggal di Medinah dan sebagai penasihat Umar
seperti terhadap Abu Bakr sebelum itu. Sesudah Umar terkena
tikam ia menunjuk Talhah menjadi salah seorang anggota
Majelis Syura kendati ia sedang tak ada di Medinah. Kepada
anggota-anggota Majelis ia berpesan: "Tunggulah Saudaramu
Talhah selama tiga hari sampai dia datang. Kalau belum
datang juga ambillah keputusan oleh kalian."
Pertimbangan Umar memilih
anggota-anggota Majelis Syura
Orang-orang yang oleh Umar dipilih menjadi anggota
Majelis Syura mengingat hubungan mereka dan kedudukan mereka
bersama Rasulullah. Bagaimana sengitnya perselisihan mereka
itu ketika mengadakan pertemuan untuk memilih khalifah di
antara mereka, sampai-sampai Abu Talhah al-Ansari berkata:
"Saya lebih ngeri melihat kalian saling mendorong daripada
saling bersaing."
Saya kemukakan pandangan ini untuk menunjukkan bahwa
setelah Kedaulatan Islam makin luas kekhalifahan itu telah
menjadi ajang persaingan yang mau diperebutkan. Masih ada
satu pandangan lagi yang menjurus pada perselisihan yang
begitu tajam, dan wajar saja kalau hal ini sampai begitu
keras. Ketika itu orang mau mencegah pencalonan khalifah
dari pihak Banu Hasyim karena dikhawatirkan kenabian dan
kekhalifahan hanya berada dalam keluarga mereka, yang dengan
demikian berarti juga kekuasaan rohani dan kekuasaan
duniawi. Sesudah itu, tak boleh lagi ada kabilah yang
berharap menempati kedudukan khalifah, selain mereka.
Kabilah-kabilah Arab itu juga khawatir kekhalifahan akan
berada di tangan Banu Umayyah, sebab mereka adalah suku
Kuraisy yang terbanyak jumlahnya dan yang terkuat. Kalau
kekhalifahan sudah di tangan mereka tak akan mudah
dilepaskan.
Banu Hasyim dan Banu Umayyah berpendapat, dari pihak
mereka posisi kabilah-kabilah Arab telah dirugikan tidak
pada tempatnya. Kedua Keluarga itu masing-masing berupaya
menyingkirkan bahaya yang tidak adil itu dengan cara
menempati kekhalifahan dan mencari jalan supaya khalifah
berada di antara para keturunannya. Keberadaan Usman dan Ali
di Majelis Syura merupakan suatu kesempatan untuk itu dan
adalah suatu keteledoran jika kesempatan ini sampai
hilang.
Tetapi persaingan lama Banu Hasyim dengan Banu Umayyah
itu sangat menghambat pengumuman secara terbuka apa yang
tersimpan dalam pikiran pemimpin-pemimpin mereka. Ikhtiar
Umar membentuk Majelis Syura ini membantu juga segala yang
masih tersimpan dalam hati mereka itu, kendati telah banyak
juga perbedaan pendapat dalam Majelis Syura yang terungkap
dan apa yang akhirnya terjadi.
Abbas bersemangat, Ali tenang dan
berpandangan jauh
Abbas bin Abdul-Muttalib, paman Nabi, memang tidak
berhasrat menduduki kekhalifahan untuk dirinya, sebab dia
bukanlah dari kalangan Islam yang mula-mula. Malah cenderung
ia sebagai orang yang masuk Islam karena Mekah sudah
dikalahkan. Ia masuk Islam saat angkatan bersenjata
Rasulullah sudah siap membebaskan Mekah. Tetapi di kalangan
Banu Hasyim dia yang paling bijak dan menginginkan sekali
kekhalifahan berada di kalangan keluarga Nabi. Ada
disebutkan bahwa dia berkata kepada Ali bin Abi Talib ketika
Umar membentuk Majelis Syura: "Jangan ikut mereka!" Tetapi
Ali menjawab: "Saya tidak menghendaki ada perselisihan."
Dijawab lagi oleh Abbas: "Jadi Anda berpendapat apa yang
tidak Anda sukai."
Ketika itu Umar sudah berkata kepada Majelis Syura: "Jika
yang setuju tiga orang dan (yang tidak setuju) tiga orang,
pilihlah Abdullah bin Umar menjadi penengah. Dari pihak mana
pun dari kedua pihak itu yang diputuskan pilihlah seorang
dari mereka. Kalau mereka tidak menyetujui keputusan
Abdullah bin Umar, maka ikutlah kalian bersama mereka yang
di dalamnya ada Abdur-Rahman bin Auf."
Sesudah mendengar suara kedua pihak itu Ali keluar dan
menemui pamannya Abbas dan kata Ali: "Sudah meninggalkan
kita." Ditanya oleh Abbas: "Dari mana Anda tahu?" Kata Ali:
"Usman mengajak saya dengan mengatakan, ikutlah suara
terbanyak. Kalau dua orang menyetujui satu orang dan dua
orang lagi menyetujui satu orang, ikutlah mereka yang di
dalamnya ada Abdur-Rahman bin Auf. Sa'd tidak akan menentang
sepupunya, dan Abdur-Rahman adalah semenda Usman, mereka
tidak akan berbeda pendapat. Maka Abdur-Rahman akan
mengangkat Usman, atau Usman akan mengangkat Abdur-Rahman.
Kalau yang dua lainnya di pihak saya tak ada gunanya, lepas
bahwa yang saya harapkan itu salah seorang dari mereka."
Mendengar kata-kata Ali itu Abbas menjawab dengan nada
agak keras: "Setiap saya mendorong Anda, Anda kembalikan
kepada saya sudah terlambat dengan membawa hal yang tidak
saya kehendaki. Ketika Rasulullah sallallahu 'alaihi
wasallam wafat saya katakan kepada Anda supaya menanyakan
siapa yang akan memegang pimpinan ini, Anda menolak. Saya
katakan kepada Anda setelah ia wafat agar cepat-cepat
bertindak, Anda menolak. Saya katakan kepada Anda ketika
Umar menunjuk Anda untuk Majelis Syura agar jangan ikut
mereka, Anda menolak. Berpeganglah pada yang satu ini:
Setiap mereka menawarkan apa pun kepada Anda jawablah:
Tidak, kecuali kalau Anda yang akan diangkat.
Berhati-hatilah terhadap jemaah itu, mereka akan selalu
menjauhkan kita dari persoalan ini sebelum ada yang lain
tampil di luar kita. Ya, memang, kita tidak akan mendapat
apa pun selain bencana!"
Ambisi untuk kedudukan khalifah
Pihak Banu Umayyah tidak kurang ambisinya ingin agar
kekhalifahan berada di tangan mereka. Setelah tiba saatnya
Umar akan dikebumikan dan jenazahnya dibawa ke
Masjid[22]
Nabi untuk disalatkan, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Talib
tampil masing-masing ingin ke depan memimpin salat itu.
Melihat yang demikian Abdur-Rahman bin Auf berkata: "Inilah
ambisi orang yang ingin memegang pimpinan.
Kalian tentu tahu bahwa dia sudah meminta yang lain di
luar kalian. Suhaib, majulah dan
salatkan!"[23]
Mendengar suara anggota-anggota Majelis Syura yang saling
berselisih pendapat dengan suara lantang itu Abu Talhah
al-Ansari masuk dan berkata: "Saya lebih ngeri melihat
kalian saling dorong daripada saling bersaing. Saya tidak
akan memperpanjang lebih dari tiga hari yang sudah
diperintahkan kepada kalian. Setelah itu saya akan tinggal
di rumah dan akan melihat apa yang kalian lakukan!"
Sungguhpun begitu, perselisihan pendapat itu terus
berlanjut sehari penuh menurut satu sumber, sumber yang lain
mengatakan dua hari. Abdur-Rahman bin Auf khawatir
perselisihan itu akan makin memuncak dengan segala akibatnya
yang tidak diharapkan, maka katanya kepada kedua kelompok
itu: "Siapa di antara kalian yang paling utama akan
ditampilkan untuk dikukuhkan memegang pimpinan?" Mereka yang
hadir terkejut keheranan sambil melihat kepadanya. Kata-kata
apa itu?! Mereka bertengkar begitu sengit mau memperebutkan
kekhalifahan. Bagaimana Abdur-Rahman mengharapkan ada dari
mereka yang mau mundur dari ambisinya supaya dapat diambil
keputusan dalam satu atau dua hari ini, dan dia sendiri
tidak akan ikut mengambil bagian dalam pencalonan itu?!
Tetapi keheranan mereka tidak berlangsung lama.
Cepat-cepat Abdur-Rahman menyambungnya: "Saya menarik diri
dari pencalonan." Cepat-cepat pula Usman mengatakan: "Saya
yang pertama setuju." Sa'd dan Zubair juga berkata: "Kami
setuju." Karena Talhah tak ada di tempat, tinggal lagi Ali
bin Abi Talib yang harus memberikan pendapatnya. Tetapi Ali
tetap diam, tidak menyatakan setuju atau menolak. Barangkali
ia masih mengira tindakan Abdur-Rahman ini suatu muslihat
ingin memberikan jalan untuk pengangkatan semendanya, Usman.
Ia diam sambil berpikir-pikir muslihat apa yang akan
digunakan. Tetapi Abdur-Rahman tidak memberi waktu lama-lama
untuk memberikan pendapatnya, malah ia bertanya: "Abu
al-Hasan, bagaimana pendapat Anda?" Ali menyatakan
kesangsiannya atas tindakan Ibn Auf itu. "Berjanjilah Anda,"
kata Ali, "bahwa Anda akan mendahulukan kebenaran, tidak
memperturutkan hawa nafsu, tidak mengutamakan kerabat dan
tidak mengabaikan bimbingan bagi umat." Cepat-cepat
Abdur-Rahman tanpa ragu. "Berjanjilah kalian bahwa kalian
akan mendukung saya dalam mengadakan perubahan dan
menyetujui orang yang saya pilihkan. Saya berjanji kepada
Allah tidak akan mengutamakan kerabat dan tidak akan
mengabaikan bimbingan kepada umat Muslimin."
Usaha Abdur-Rahman bin Auf
Gerangan apa yang mendorong Abdur-Rahman menempuh cara
ini!? Dia sudah tahu, banyak kalangan Muslimin yang
mencalonkannya untuk kekhalifahan, dan orang-orang Arab
merasa puas dan senang sekali karena dia juga termasuk yang
mula-mula dalam Islam, dan kekhalifahan tidak lagi pada Banu
Hasyim dan Banu Umayyah. Benarkah ia tidak ingin menduduki
kekhalifahan sejak Umar menyatakan keinginannya untuk
memberikan kepercayaan kepadanya? Kalau begitu, mengapa
sebelum ia duduk dalam Majelis Syura, dan mengapa tidak dari
semula ia menghindari ikut serta dalam Majelis itu? Para
sejarawan Muslimin berpendapat bahwa dia tidak akan menolak
ikut bersama-sama dengan mereka, yang ketika Rasulullah
wafat ia senang hati kepada mereka, dan bahwa dia menampik
kekhalifahan itu tidak sulit untuk diidentifikasi sementara
ia berada di antara mereka yang dipilih oleh Umar. Ini
memang benar. Beberapa orientalis berpendapat bahwa ia
melepaskan diri dari pencalonan dan pengangkatan sebagai
khalifah untuk kemudian akan diberikan kepada semendanya,
Usman. Untuk itu mereka berargumen kepada kata-kata Ali
kepada pamannya, Abbas: "Abdur-Rahman adalah semenda Usman,
mereka tidak akan berbeda pendapat. Mereka akan saling
mengangkat satu sama lain."
Malah ada sekelompok orang yang berlebihan dalam
menduga-duga. Mereka beranggapan bahwa Abdur-Rahman
memperkirakan Usman tidak akan hidup lebih lama lagi, yang
ketika itu umumya sudah 70 tahun, dan bebannya sebagai
khalifah pasti akan sangat memberatkan. Maka sudah dapat
dipastikan Abdur-Rahman-lah saat itu yang akan
menggantikannya. Dugaan yang berlebihan ini samasekali sudah
tak masuk akal. Abdur-Rahman bin Auf orang yang teguh
imannya, dia tahu bahwa setiap ajal sudah ditentukan. Kalau
ajal sudah sampai tak akan dapat dimajukan atau diundurkan
sesaat pun. Tentang semendanya, Usman, mungkin saja ia
cenderung lebih menyukai Usman daripada Ali. Kesimpulan ini
mungkin saja dapat dipercaya, karena dalam kenyataannya
memang sudah terjadi, Usman diangkat oleh Abdur-Rahman.
Tetapi ini tidak lebih dari suatu kesimpulan, yang
adakalanya juga salah. Hanya saja kesimpulan ini bukan
mustahil, melihat cara yang ditempuh oleh Abdur-Rahman dalam
memilih khalifah.
Agaknya Abdur-Rahman sudah tahu bahwa Usman dan Ali
adalah calon utama yang harus bersaing. Karenanya ia
berusaha untuk membatasi pencalonan itu. Langkah pertama
yang dilakukannya dalam hal ini ia mengajak Ali berbicara
empat mata. "Anda akan berkata," kata Abdur-Rahman, "bahwa
dalam hal ini Anda lebih berhak dimasukkan dalam pencalonan
daripada mereka karena kekerabatan Anda, karena Anda sudah
lebih dulu dalam Islam serta jasa Anda dalam agama. Memang.
Tetapi bagaimana seandainya Anda terlewatkan dan dalam hal
ini Anda tidak terpilih, siapa di antara mereka menurut
hemat Anda yang lebih berhak?" Dijawab oleh Ali: "Usman!"
Kemudian ia mengajak Usman berbicara empat mata, dan
katanya: "Anda akan mengatakan 'Saya tetua Banu Abdu-Manaf,
menantu Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam,
bersepupu pula, yang mula-mula dalam Islam dan sudah
berjasa, mengapa akan dijauhkan, mengapa dalam hal ini saya
akan dilewatkan?' Tetapi bagaimana seandainya Anda
terlewatkan juga dan Anda tidak terpilih, siapa di antara
mereka menurut hemat Anda yang lebih berhak?" Dijawab oleh
Usman: "Ali!"
Sebelum itu ia sudah berbicara dengan semua anggota
Majelis Syura dan dimintanya mereka memberi kuasa kepada
tiga orang di antara mereka yang berhak memegang pimpinan.
Maka Zubair memberikan haknya kepada Ali, Sa'd memberi kuasa
kepada Abdur-Rahman dan hak Talhah diberikan kepada Usman.
Tetapi karena Abdur-Rahman sudah mengundurkan diri, maka
pencalonan itu dibatasinya hanya pada Ali dan Usman. Hak
memilih salah seorang dari keduanya itu kini berada di
tangan Abdur-Rahman.
Adakah dia melakukan istikharah dan mengambil keputusan
siapa di antara dua calon itu yang lebih layak diangkat? Dia
bebas bertindak untuk menentukan ikrarnya sendiri dan
meminta ikrar mereka. Tetapi dia khawatir tidak disetujui
oleh mayoritas Muslimin yang sedang berkumpul di Medinah
dari berbagai kawasan Kedaulatan Islam seusai mereka
menunaikan ibadah haji dan tertahan oleh terbunuhnya Umar
dalam menunggu apa yang akan disampaikan oleh Majelis Syura.
Oleh karena itu ia berusaha menemui sahabat-sahabat
Rasulullah dan para perwira militer serta pemuka-pemuka
masyarakat yang baru kembali ke Medinah setelah menunaikan
ibadah haji. Mereka semua ditanyai, baik bersama-sama atau
satu per satu, yang berkelompok atau yang terpencar, dengan
diam-diam dan dengan terbuka - sampai dapat menghasilkan dua
orang terbaik yang kemudian akan dilantik.
Kalangan sejarawan sependapat bahwa konsultasi-konsultasi
Abdur-Rahman telah memperlihatkan banyaknya semacam
kesepakatan di barisan Usman, tetapi mereka berbeda pendapat
mengenai alasan-alasan yang menyebabkan banyaknya
kesepakatan itu. Sebagian mereka mengatakan bahwa orang
cenderung kepada tokoh yang tidak sekeras Umar, yang dalam
hidupnya telah menjauhi kehidupan duniawi dan menjauhkan
orang dari yang demikian. Dalam hal ini Usmanlah orangnya,
bukan Ali. Karenanya mereka tidak menghendaki Ali, karena
khawatir Ali' akan membuat beban kepada mereka seperti yang
dilakukan Umar. Sebagian lagi mereka berpendapat bahwa sudah
dua hari dua malam Abdur-Rahman berkonsultasi.
Sementara itu Banu Hasyim dan Banu Umayyah berkampanye
untuk pihaknya masing-masing. Karena Banu Umayyah lebih
banyak jumlah orangnya, lebih kaya dan lebih dermawan,
propaganda mereka dapat menekan propaganda Banu Hasyim, dan
sebagian besar mereka condong kepada Usman. Kalau ini benar,
barangkali propaganda Banu Umayyah itu dasarnya adalah bahwa
jika kekuasaan di tangan mereka, orang akan lebih terbuka
dan lebih bebas menikmati segala harta dan kekayaan hasil
rampasan perang, tidak akan merasakan tekanan seperti pada
masa Umar. Pendapat ketiga mengatakan, bahwa orang melihat
usia Usman sudah mendekati tujuh puluh enam tahun atau lebih
sementara Ali belum mencapai usia enam puluh tahun. Juga
mereka mengatakan tentang persahabatan Usman dengan
Rasulullah serta posisinya. Selain itu mereka berpendapat
kekhalifahannya tidak tertutup buat Ali untuk
menggantikannya sebagai khalifah sesudahnya. Rasa kasihan
mereka melihat umurnya yang sudah lanjut, penghargaan mereka
pada masa lalunya, membuat mereka lebih cenderung kepada
Usman dan mau memilihnya.
Mana pun yang benar dari semua alasan itu suara mayoritas
yang menyerupai konsensus itu jelas ada di pihak Usman.
Kendatipun begitu, Abdur-Rahman bin Auf masih khawatir
pembela-pembela Ali akan mencurigainya jika hasil ini sudah
diumumkan. Ia pergi ke rumah kemenakannya, Miswar bin
Makhramah dan dibangunkannya ia dari tidurnya - yang ketika
itu sudah larut malam - pada malam terakhir batas waktu yang
sudah ditentukan oleh Umar untuk memilih seorang
amirulmukrninin. Dimintanya ia memanggil Ali dan Usman.
Setelah kemudian keduanya datang ia berkata kepada mereka:
"Saya sudah menanyakan orang banyak, tetapi saya tidak
melihat ada orang yang membeda-bedakan kalian berdua."
Kemudian ia meminta janji mereka masing-masing: Yang
terpilih agar berlaku adil, dan yang tidak terpilih supaya
tetap taat dan patuh.
Subuh itu ia mengajak kedua mereka setelah terdengar
suara azan untuk salat. Ketika Masjid sudah penuh sesak, ia
naik ke mimbar dan berdoa panjang sekali. Setelah itu
katanya: "Saudara-saudara, orang-orang dari daerah-daerah
perbatasan menginginkan, begitu mereka pulang ke daerah
masing-masing sudah tahu siapa pemimpin mereka." Sa'id bin
Zaid menyela: "Kami lihat Andalah yang pantas untuk itu."
Tetapi dijawab oleh Abdur-Rahman: "Kalian sebutkan nama yang
lain!" Ammar bin Yasir dan Miqdad bin Amr menyebut nama Ali
sementara Abdullah bin Abi Sarh dan Abdullah bin Abi Rabi'ah
menyebut nama Usman. Perbedaan pendapat antara kedua
golongan ini berlanjut dengan saling mencerca antara Ammar
dengan Ibn Abi Sarh.
Khawatir perselisihan itu akan berlarut-larut Sa'd bin
Abi Waqqas berteriak marah: Abdur-Rahman! Coba atasi ini
sebelum orang banyak terpancing dalam keributan!"
Abdur-Rahman menjawab: "Sudah saya pertimbangkan dan saya
musyawarahkan. Janganlah kalian menjerumuskan diri!"
Abdur-Rahman masih di tempat duduknya di mimbar dengan
tanda-tanda kesungguhan tampak di wajahnya, dan Muslimin
yang mengelilinginya sudah memenuhi Masjid. Ia sudah
bertekad agar Usman yang menjadi khalifah dan akan mengajak
orang membaiatnya. Tetapi adakah hadirin mau segera memenuhi
seruannya itu? Ataukah mereka masih terpecah dan masih
beradu argumen seperti yang terjadi tadi antara Ammar bin
Yasir dengan Abdullah bin Abi Sarh? Kalau ini juga yang
terjadi dan mereka terpancing, maka akibatnya adalah bencana
besar. Kota Medinah akan menjadi ajang kerusuhan dengan
bahaya yang lebih meluas. Kebanyakan orang hanya menjadi
budak nafsu dan mengejar kepentingannya sendiri. Demi
memperjuangkan semua itu mereka mau mengorbankan keamanan
dan keselamatan negara. Tetapi sikap ragu dalam pengangkatan
khalifah itu tidak akan dapat mencegah bahaya dan tidak akan
menghindarkan kaum Muslimin dari kekacauan, malah akan makin
memperkuat timbulnya fitnah itu. Oleh karena itu
Abdur-Rahman memanggil Ali dan memegang tangannya seraya
berkata:
"Bersediakah Anda saya baiat untuk tetap berpegang pada
Kitabullah dan sunah Rasulullah serta teladan kedua orang
penggantinya?" Ali menjawab: "Saya berharap dapat berbuat
dan bekerja apa yang saya ketahui dan menurut kemampuan
saya." Tangan Ali dilepaskan lalu ia memanggil Usman dan
memegang tangannya seraya berkata:
"Bersediakah Anda saya baiat untuk tetap berpegang pada
Kitabullah dan sunah Rasulullah serta teladan kedua orang
penggantinya?" Usman menjawab: Ya, demi Allah! Abdur-Rahman
mengangkat mukanya ke langit-langit Masjid dan sambil
memegang tangan Usman ia berkata tiga kali: "Dengarkanlah
dan saksikanlah!" dilanjutkan dengan katanya: "Saya sudah
melepaskan beban yang dipikulkan di bahu saya dan saya
letakkan di bahu Usman!" Setelah itu ia membaiat Usman,
orang-orang di dalam Masjid pun beramai-ramai membaiat
Usman.
Sumber-sumber itu tidak sama mengenai sikap Ali dan
pelantikan Usman ini. Tetapi semua sepakat bahwa orang
beramai-ramai membaiat khalifah tua itu, tak ada yang
ketinggalan dan tak ada yang menentang. Adakah itu berarti
karena kecintaan mereka kepada Usman, ataukah karena gembira
sudah lepas dari suatu bahaya yang mengancam kehidupan
negara yang barus segera diselesaikan? Keenam tokoh tersebut
adalah orang-orang yang sangat mereka hormati. Malah sesudah
pelantikan Usman, ada sumber yang dikaitkan kepada Ali bahwa
dia berkata "Orang melihat Kuraisy dan Kuraisy melihat
Keluarganya dengan mengatakan: Kalau Banu Hasyim sudah
diangkat untuk kalian, kalian tidak akan pernah lepas dari
mereka, juga Kuraisy yang lain tidak akan dapat saling
bergantian di antara kalian." Itu sebabnya, ketika
Abdur-Rahman bin Auf meninggalkan Ali bin Abi Talib, tak ada
orang yang marah, malah orang menerima Usman sebagai
Khalifah dengan senang hati dan rasa puas.
Sumber-sumber mengenai sikap Ali bin Abi Talib terhadap
Usman ini masih saling berbeda, yang sukar sekali untuk
dapat mengukuhkan salah satunya. Ibn Sa'd dengan sanadnya
menyebutkan, bahwa orang pertama yang membaiat Usman adalah
Abdur-Rahman bin Auf, kemudian Ali bin Abi Talib. Dengan
sanad lain ia menuturkan, bahwa Ali adalah orang yang
pertama membaiat Usman, kemudian berturut-turut yang lain
juga membaiatnya. Ibn Kasir menuturkan bahwa Abdur-Rahman
bin Auf di mimbar duduk di tempat duduk Nabi, dan sesudah
dibaiat Usman didudukkan di tingkat kedua. "Orang datang
beramai-ramai membaiatnya. Yang pertama kali membaiat adalah
Ali bin Abi Talib, malah ada yang mengatakan justru dia yang
terakhir."
Tetapi at-Tabari membawa dua sumber, salah satunya hampir
sama dengan sumber-sumber tersebut dan yang kedua sangat
berbeda. Keduanya menunjukkan bahwa pemilihan Usman ini
meninggalkan dampak yang dalam sekali dalam hati Ali.
Sumber pertama berpendapat bahwa sesudah orang
berdatangan membaiat Usman - sesudah dibaiat oleh
Abdur-Rahman - Ali masih maju-mundur. Maka kata
Abdur-Rahman:
[tulisan Arab]
"Barang siapa melanggar janji, sebenarnya ia telah
melanggar janjinya sendiri, dan barang siapa menepati janji
yang dijanjikannya kepada Allah, maka Ia akan memberinya
pahala yang besar." (Qur'an, 48:10).
Kemudian Ali kembali dan setelah menyeruak di tengah
orang banyak ia membaiat seraya berkata: "Suatu tipu
muslihat yang luar biasa." Sumber kedua mengatakan bahwa
setelah Abdur-Rahman membaiat Usman, Ali berkata kepadanya:
"Anda merangkak untuk selamanya. Ini bukan yang pertama kali
Anda memperlihatkan kekuatan Anda kepada kami. Tabahkan dan
sabarlah, itulah yang terbaik, dan memohonkan pertolongan
hanya kepada Allah atas segala yang kalian lukiskan itu!
Sungguh, Anda mengangkat Usman itu hanya supaya kekuasaan
kembali kepada Anda! Dan setiap hari Allah memperlihatkan
kekuasaan baru."
Dalam hal ini Abdur-Rahman berkata: "Ali, janganlah
menjerumuskan diri! Sudah saya pertimbangkan dan sudah saya
musyawarahkan dengan khalayak ramai, tetapi ternyata mereka
tidak keberatan dengan Usman." Ali keluar sambil berkata:
"Akan tiba waktunya."
Dengan mengacu pada kedua sumber at-Tabari ini Ibn Kasir
mengatakan: "Orang-orang yang sering disebutkan oleh para
sejarawan seperti Ibn Jarir (Tabari) dan yang lain tidak
tahu bahwa Ali berkata kepada Abdur-Rahman: 'Anda telah
menipu saya, dan Anda mengangkatnya hanya karena dia semenda
Anda, agar dapat berunding dengan Anda setiap hari.' Tetapi
karena dia masih maju mundur Abdur-Rahman berkata kepadanya:
Barang siapa melanggar janji, sebenarnya ia telah melanggar
janjinya sendiri.... sampai akhir ayat, dan berita-berita
lain yang bertentangan dengan yang terdapat dalam
kitab-kitab yang sahih, tertolak kembali kepada yang
mengatakannya dan yang melakukannya. Wallahualam."
Untuk memastikan mana salah satu sumber ini yang lebih
kuat memang tidak mudah. Besar sekali dugaan kita bahwa
semua ini direkayasa sesudah adanya propaganda untuk
tujuan-tujuan politik, di antaranya apa yang ditafsirkan
oleh Tabari kata-kata Ali bin Abi Talib: Suatu tipu muslihat
yang luar biasa, yakni ketika ia dipanggil oleh Abdur-Rahman
bin Auf untuk membaiat Usman supaya ia tidak melanggar
janjinya sendiri. Ibn Jarir juga menyebutkan bahwa Amr bin
As bertemu dengan Ali pada malam-malam selama berlangsung
Majelis Syura dan mengatakan kepadanya: "Abdur-Rahman orang
yang mau berusaha dan suka bekerja keras dan bila dihadapkan
pada tanggung jawab, ia akan sangat berhati-hati. Tapi dia
mampu dan lebih berhasrat daripada Anda." Setelah itu ia
menemui Usman dan berkata kepadanya: "Abdur-Rahman orang
yang mau berusaha dan suka bekerja keras, dan akan membaiat
Anda dengan penuh kepastian dan tanggung jawab, maka
terimalah." Saya yakin ini adalah cerita yang
dikarang-karang setelah terjadi perselisihan antara Ali
dengan Amr mengenai Mu'awiyah.
Sebenarnya Amr bin As tidak menyimpan dendam kepada Usman
ketika Umar terbunuh. Beberapa sumber melangsir bahwa Usman
memecat Amr dari Mesir tak lama setelah pengangkatannya itu.
Suara mayoritas menyebutkan bahwa Usman meminta bantuan Amr
saat Rumawi menyerang Iskandariah. Sesudah Amr memperoleh
kemenangan Usman bermaksud akan mengangkat Amr sebagai
komandan angkatan bersenjata Mesir dengan membiarkan
Abdullah bin Abi Sarh tetap sebagai wakilnya di Mesir dan
kepala urusan pajak. Tetapi Amr menolak dengan mengatakan:
"Jadi saya seperti orang yang memegang kedua tanduk sapi
betina, orang lain yang memerah susunya!"
Setelah itu ia kembali ke Mekah dan bergabung dengan
Mu'awiyah dalam perselisihannya dengan Ali. Semua ini
membuktikan bahwa ketika dalam Majelis Syura itu Amr dan
Usman sudah sepakat mendorong Amr untuk menipu Ali. Dengan
demikian dapat dipastikan bahwa sumber yang dikutip oleh
Tabari sebagai pembenaran atas kata-kata Ali: "Suatu tipu
muslihat yang luar biasa" itu samasekali tak punya
dasar.
Juga saya yakin bahwa kata-kata yang dikutip dari Ali
atau dari Abdur-Rahman bin Auf ataupun dari yang lain lebih
menyerupai pemalsuan yang dibuat untuk memuaskan sebagian
orang bahwa seolah-olah hal itu memang terjadi, dan yang
sebagian lagi tujuannya propaganda politik semata. Saya
tidak ingin menjelaskan secara panjang lebar mengenai alasan
saya berkeyakinan demikian. Cukup kalau saya menunjuk saja
pada para penghimpun hadis Rasulullah sallallahu 'alaihi
wasallam, bahwa menurut mereka, sepersepuluh dari yang
diriwayatkan itu tidak sahih. Penyampaian beberapa ungkapan
dengan kata-katanya dari Ali bin Abi Talib atau dari
Abdur-Rahman bin Auf, ataupun dari yang lain masih perlu
disaring. Para sejarawan itu mencatatnya sesudah berlalu
puluhan tahun dari peristiwa-peristiwa yang diceritakan itu
dan sesudah berbagai propaganda politik memegang peranan
amat penting dalam sejarah Kedaulatan Islam. Dalam keadaan
semacam itu tidak heran jika mereka mencatat kata-kata yang
mengungkapkan perasaan pihak-pihak yang bersangkutan,
kendati kata-kata itu tidak bersumber dari mereka
sendiri.
Tetapi masih ada dua masalah yang menurut hemat saya
tidak diragukan kebenarannya. Pertama, Ali dan Banu Hasyim
tidak puas atas pembaiatan Usman dengan alasan karena mereka
masih keluarga Nabi. Kalau sekali pimpinan kekhalifahan
diserahkan kepada Banu Umayyah, maka tidak akan pernah
keluar lagi dari mereka.
Kedua, mayoritas Muslimin sudah merasa lega dengan
pembaiatan Usman dan mereka menerima dengan senang hati dan
puas. Ketika dibaiat, tak ada dari mereka yang menyebutkan
bahwa Usman dari Banu Umayyah, atau menyebut-nyebut adanya
permusuhan Banu Umayyah kepada Rasulullah atau adanya
persaingan lama terhadap Banu Hasyim dan mereka masuk Islam
sudah ketinggalan, baru sesudah Mekah membuka pintu karena
sudah tidak mampu lagi mengadakan perlawanan terhadap
Muslimin. Tetapi semua mereka mengatakan, bahwa Khalifah tua
itu sudah lebih dulu masuk Islam, serta pembelaannya di
samping Rasulullah dan hubungannya yang baik dengan kedua
istrinya, Ruqayyah dan Um Kulsum. Kemudian hijrahnya ke
Abisinia dan ke Medinah dengan mengorbankan harta
kekayaannya demi membela agama Allah dan kaum Muslimin.
Sejarah menyebutkan bahwa Talhah bin Ubaidillah sampai di
Medinah pagi hari saat pelantikan Usman itu. Ketika dia
diundang untuk juga membaiatnya ia bertanya: Sudah semua
Kuraisy menerima dengan senang hati? Dijawab: Ya. Ia pergi
menemui Usman dan menanyanya: Semua orang sudah membaiat
Anda? Dijawab oleh Usman: Ya. Kata Talhah selanjutnya: Saya
sudah puas. Saya juga bersama mereka. Lalu ia pun membaiat.
Usman selesai dibaiat dalam suasana optimistis dan penuh
harapan untuk masa depan. Sesudah semua acara itu usai,
mereka yang datang ke Medinah selesai menunaikan ibadah haji
mulai bubar, pulang kembali ke daerah mereka masing-masing -
ke Irak, Persia, Syam dan Mesir. Dan semua mereka
mengharapkan, semoga Allah dengan karunia-Nya melimpahkan
segala kemudahan kepadanya.
Dengan demikian segalanya kembali seperti semula, dan
orang pun sudah dalam suasana kehidupan seperti biasa. Tiba
saatnya sekarang Usman untuk mulai memikul tanggung jawab
pemerintahan, mengemudikannya sesuai dengan bawaannya yang
lemah-lembut, budi bahasanya yang halus dengan keimanan yang
sungguh-sungguh dan pengabdian yang semata-mata untuk
kebaikan. Ia akan menghadapi situasi yang berbeda dengan
situasi di masa Umar dan di masa Abu Bakr, saat mereka
masing-masing memikul tanggung jawab kekhalifahan. Dalam
menghadapi semua ini ia memerlukan warna kebijakan baru.
Pada mulanya Usman memang jelas sekali berhasil baik.
Kemudian ia terhambat oleh usianya yang sudah lanjut serta
peristiwa-peristiwa yang sudah tak mampu lagi ia
kendalikan.
Catatan kaki:
- 16. Sehubungan
dengan ikrar ini Allah berfirman: "Allah telah meridai
orang-orang beriman ketika mereka memberikan ikrar setia
kepadamu di bawah pohon..." (Qur'an 48:18).
- 17. Lihat Umar
bin Khattab, h. 213-9. - Pnj.
- 18. Lihat
Sejarah Hidup Muhammad, h. 398. - Pnj.
- 19. At-Tabari,
2/4.
- 20. Op. cit
2/29.
- 21. Op.cit. 2/621.
Ibn al-Asir, al-Kamil fit-Tarikh, 2/162.
- 22. Semua kata
'Masjid' berarti Masjid Nabawi di Medinah. - Pnj.
- 23. Ini menurut
sumber Ibn Sa'd dalam at-Tabaqat. Menurut sumber
at-Tabari, Abdur-Rahman bin Auf berkata: Besar sekali
ambisi kalian untuk memegang pimpinan. Tidakkah kalian
tahu bahwa Amirulmukminin berkata: Suruh Suhaib memimpin
salat. Maka Suhaib maju dan memimpin salat dengan empat
kali takbir (at-Tabari 3/295).
|