Usman bin Affan

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

1. Kisah Tentang-Majelis Syura dan Pelantikan Usman (2/2)

Umar terkena tikam dan penunjukan Majelis Syura - 1; Sikap Ansar terhadap Majelis Syura - 4; Pertemuan dan perdebatan sengit - 6; Sebab-sebab timbulnya perselisihan - 6; Persaingan antara Banu Hasyim dengan Banu Umayyah; sikap orang-orang Arab terhadap kekhalifahan - 9; Abu Sufyan - 11; Memperebutkan pengaruh - 11; Persaingan Banu Hasyim dan Banu Umayyah - 13; Hak dan batil - 13; Ali bin Abi Talib - 14; Zubair bin Awwam -16; Usman bin Affan - 17; Sa’d bin Abi Waqqas - 18; Abdur-Rahman bin Auf - 19; Talhah bin Ubaidillah - 20; Pertimbangan Umar memilih anggota-anggota Majelis Syura - 21; Abbas bersemangat, Ali tenang dan berpandangan jauh - 22; Ambisi untuk kedudukan khalifah - 23; Usaha Abdur-Rahman bin Auf - 24

Usman bin Affan

Kekerabatan Usman bin Affan dengan Rasulullah tidak sedekat mereka itu. Kakeknya, Abu al-As bin Umayyah bin Abdu-Syams bin Abdu-Manaf bin Qusai kakek Rasulullah yang kelima. Tetapi dia juga menantu Nabi yang menikah dengan putrinya Ruqayyah dan kemudian dengan Um Kulsum. Sebelum kerasulannya Rasulullah sudah menikahkan kedua putrinya dengan kedua anak pamannya, Abu Lahab. Sesudah ia menjadi Rasul permusuhan Abu Lahab begitu sengit kepadanya dan menyuruh kedua anaknya itu menceraikan kedua putri Nabi. Lalu Usman menikah dengan Ruqayyah dan ikut bersama-sama dalam dua kali hijrah ke Abisinia, dan tetap bersamanya sampai sesudah hijrah ke Medinah. Sebelum terjadi Perang Badr Ruqayyah jatuh sakit. Usman tidak ikut dalam perang itu dengan izin Rasulullah karena akan merawat istrinya. Tetapi Ruqayyah menemui ajalnya juga. Oleh Rasulullah ia dinikahkan kepada Um Kulsum, adik Ruqayyah, yang tetap bersamanya sampai ia meninggal sebelum ayahnya. Rasulullah berkata menghibur Usman: "Kalau kami punya tiga anak putri juga akan kami nikahkan kepada Anda." Terjadi demikian ini karena Usman seorang laki-laki yang saleh, lemah-lembut, mudah bergaul dan murah hati. Rasulullah sangat mencintainya, mengenal jasanya, otaknya yang tajam dengan imannya yang sungguh-sungguh.

Bukan karena semenda Usman kepada Nabi itu saja yang membuat Muhammad dekat kepadanya dan menanamkah rasa cinta dalam hatinya, tetapi karena dia juga termasuk orang yang sudah lebih dulu dalam Islam. Ia tidak terpengaruh oleh persaingan golongannya Banu Umayyah terhadap Banu Hasyim. Bergabungnya ia ke dalam Islam telah menimbulkan kemarahan kabilahnya. Oleh pamannya, Hakam bin Abi al-As bin Umayyah ia diikat dan katanya: "Kau meninggalkan agama nenek moyangmu dan menganut agama baru? Tidak, aku samasekali tidak akan melepaskanmu sebelum kau meninggalkan apa yang kaulakukan sekarang!" Tetapi Usman menjawab: "Tidak, sekali-kali saya tidak akan melepaskan Islam dan tidak akan meninggalkannya." Melihat kegigihannya mempertahankan kebenaran dan tetap berpegang teguh, tak ada jalan lain oleh pamannya ia dilepaskan.

Sesudah itu gangguan golongannya itu makin menjadi-jadi. Ia ikut dua kali hijrah ke Abisinia. Sesudah kemudian hijrah ke Medinah, tidak segan-segan ia mengeluarkan hartanya yang tidak sedikit untuk membantu Muslimin. Bahkan ia telah memberikan saham terbesar dalam menyiapkan pasukan Usrah ke Tabuk. Dia yang membeli Bi'ir Rumah dari orang Yahudi untuk tempat minum pasukan Muslimin dan orang dapat menimbanya seperti yang lain. Dalam peristiwa Hudaibiyah Rasulullah menugaskannya sebagai utusan kepada Kuraisy.[16] Sesudah lama belum kembali juga pihak Muslimin mengira ia sudah dibunuh. Rasulullah dan sahabat-sahabat mengadakan Ikrar Ridwan sebagai Ikrar setia, yang berarti siap memerangi Kuraisy. Kemudian Nabi menepukkan sebelah tangannya pada yang sebelah lagi sebagai tanda ikrar kepada Usman seolah ia hadir dalam peristiwa itu.

Usman adalah juga salah seorang penulis wahyu[17]. Sudah tentu, dengan begitu dekatnya kepada Rasulullah ia telah mendapat kehormatan dan kedudukan yang sangat mulia dalam hati kaum Muslimin.

Sa'd bin Abi Waqqas

Sa'd bin Abi Waqqas termasuk kabilah Banu Zuhrah - masih pernah paman Nabi dari pihak ibu - Sa'd bin Malik bin Wuhaib bin Abdu-Manaf bin Zuhrah bin Kilab. Jadi dia orang Kuraisy dari Banu Zuhrah. Ibunya putri Sufyan bin Umayyah, ada juga yang mengatakan dia putri Abu Sufyan bin Umayyah.

Sa'd termasuk orang yang mula-mula dalam Islam, masuk Islam ketika baru berumur 17 tahun, kaya dan hidup senang, berpakaian bahan tenun sutera dan bercincin emas. Ia mengalami semua peristiwa bersama Rasulullah, ia terus mendampinginya dan melindunginya dalam Perang Uhud saat banyak orang yang melarikan diri. Ia memperlihatkan kepahlawanannya dan begitu berani dalam berbagai pertempuran sehingga kaum Muslimin sepakat memilihnya sebagai pimpinan untuk menghadapi Persia di Kadisiah setelah kehancuran Abu Ubaid bin Mas'ud as-Saqafi di Qirqis.[18] Karena termasuk orang yang mula-mula dalam Islam, kecintaannya kepada Nabi serta kepahlawanan dan keberaniannya, ia sangat dicintai oleh Rasulullah dan dekat sekali dalam hatinya.

Itu sebabnya ketika Umar bin Khattab menyerahkan kepadanya pimpinan pasukan yang berangkat ke Kadisiah ia berkata: "Sa'd, Sa'd Banu Wuhaib! Janganlah Anda tertipu dalam menaati perintah Allah karena Anda dikatakan masih paman Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam dan sahabatnya. Allah Yang Mahakuasa tidak akan menghapus kejahatan dengan kejahatan, tetapi Ia menghapus kejahatan dengan kebaikan! Antara Allah dengan siapa pun tak ada hubungan nasab selain ketaatannya. Manusia yang tinggi dan yang rendah dalam pandangan Allah sama. Allah adalah Tuhan mereka dan mereka hamba-hambaNya, saling menghargai untuk keselamatan dan menjalankan kewajiban dengan ketaatan kepada-Nya. Perhatikanlah apa yang biasa dilakukan oleh Nabi S sallallahu 'alaihi wasallam sejak diutus sampai ia meninggalkan kita. Teruslah kerjakan, sebab itu adalah perintah."[19]

Abdur-Rahman bin Auf

Seperti Sa'd bin Abi Waqqas, Abdur-Rahman bin Auf juga orang Kuraisy dari Banu Zuhrah dan termasuk paman Rasulullah dari pihak ibu: Abdur-Rahman bin Auf bin Abdul-Haris bin Zuhrah bin Kilab. Ibunya Syifa' binti Auf bin Abdul-Haris bin Zuhrah bin Kilab. Jadi dia masih kerabat dekat dari pihak ayah. Selain Abdur-Rahman masih semenda Usman bin Affan juga ia sepupu Sa'd bin Abi Waqqas. Sejak semula ia memang seorang pedagang yang jujur, dan karena kejujurannya itu ia makin beruntung dalam perdagangan dan menjadi kepercayaan semua orang. Ia mendapat kepercayaan Rasulullah sejak masuk agama Allah ini bersama dengan mereka yang mula-mula dalam Islam, sehingga kata Rasulullah: "Dia jujur di bumi dan jujur di langit."[20]

Setelah hijrah ke Medinah ia tinggal di rumah Sa'd bin Rabi' al-Khazraji. "Ini harta saya," kata Sa'd, "dan akan saya bagi dua; saya punya dua orang istri, salah seorang untuk Anda." Tetapi Abdur-Rahman menjawab: "Terima kasih, semoga harta Anda dan istri Anda memberi berkah kepada Anda. Tetapi tolong besok pagi tunjukkan kepada saya di mana letak pasar."

Setelah ditunjukkan letak pasar dan kemudian ia berdagang di tempat itu ia memperoleh keuntungan yang makin lama makin besar sehingga waktu meninggal dia terbilang orang terkaya. Rasulullah senang bersahabat dengan dia seperti yang diperlihatkan kepada Abu Bakr dan Umar. Karena kejujurannya dan mudah bergaul ia mendapat kepercayaan kalangan pemikir terkemuka, sehingga banyak yang mengusulkan untuk dicalonkan sebagai khalifah sesudah Umar.

Talhah bin Ubaidillah

Orang ini dari Banu Taim bin Murrah, satu kabilah dengan Abu Bakr as-Siddiq. Dia anak Usman bin Umar bin Ka'b bin Taim bin Murrah. Ibunya Sa'abah binti Ubaidillah al-Hadrami, dan ibunda Sa'abah ini Aisyah binti Wahab bin Abdud-Dar bin Qusai bin Kilab. Talhah seorang pedagang yang pada musim dingin dan musim panas pergi ke Yaman dan ke Syam. Selain sebagai salah seorang pemikir Kuraisy, dia juga pemberani dan di Mekah dikenal sangat pemurah. Sesudah Nabi diutus dan Abu Bakr masuk Islam, Talhah orang yang pertama pula datang kepada Abu Bakr dan ia diantarkan kepada Nabi menyatakan keislamannya.

Suatu hari sekembalinya dari perjalanan ke Syam ia mengatakan kepada Nabi bahwa penduduk Medinah sedang menanti-nantikan hijrahnya ke kota mereka. Sesudah keadaan kaum Muslimin stabil di Medinah, dan ekspedisi kemudian dimulai, Talhah berada di barisan depan bersama-sama yang lain. Sebelum pecah Perang Badr Rasulullah pernah mengutusnya untuk mengumpulkan berita-berita tentang Abu Sufyan. Ketika Nabi mendapat musibah dalam Perang Uhud Talhah berada di sampingnya dan termasuk orang yang mati-matian membelanya sehingga dia sendiri mengalami luka-luka yang hampir saja merenggut nyawanya. Selepas Perang Tabuk dengan perintah Rasulullah ia membakar rumah Suwailim, orang Yahudi yang oleh orang-orang munafik dipakai markas untuk menjerumuskan Muslimin. Setelah Rasulullah wafat ia bersama-sama dengan Ali bin Abi Talib dan Zubair bin Awwam tinggal menyendiri di rumah Fatimah dan tidak menghadiri pertemuan Abu Bakr, Umar, Abu Ubaidah di Saqifah Banu Sa'idah. Setelah Abu Bakr dibaiat" sebagai Khalifah dan sedang menghadapi kaum murtad dan mereka yang enggan membayar zakat, Talhah bersama Ali dan Zubair yang menjaga Medinah. Di samping itu, oleh Khalifah ia dipertahankan untuk mendampinginya bersama-sama dengan para penasihatnya yang lain, seperti Umar, Usman, Ali, Abdur-Rahman bin Auf dan sahabat-sahabat besar lainnya yang sudah mula-mula dalam Islam.

Talhah termasuk orang yang menentang Abu Bakr ketika dalam sakitnya yang terakhir ia menunjuk Umar untuk menggantikannya. Bersama sekelompok Muslimin yang lain ia datang menemuinya dan berkata: "Anda menunjuk Umar sebagai pengganti yang akan memimpin kami. Sudah Anda lihat bagaimana ia menghadapi orang padahal Anda masih ada di sampingnya, bagaimana pula kalau dia hanya dengan mereka dan Anda sudah bertemu Tuhan!?" Abu Bakr marah dan berteriak kepada Talhah: "Untuk urusan Allah Anda mengancam saya!? Kalau saya bertemu Tuhan dan saya ditanya akan saya katakan, bahwa untuk memimpin hamba-hamba-Mu aku telah menunjuk seorang hamba-Mu yang terbaik."[21]

Pandangan Talhah tentang Umar tidak berubah dalam kedudukannya mendampingi Umar sesudah ia menjadi Khalifah. Ia tetap tinggal di Medinah dan sebagai penasihat Umar seperti terhadap Abu Bakr sebelum itu. Sesudah Umar terkena tikam ia menunjuk Talhah menjadi salah seorang anggota Majelis Syura kendati ia sedang tak ada di Medinah. Kepada anggota-anggota Majelis ia berpesan: "Tunggulah Saudaramu Talhah selama tiga hari sampai dia datang. Kalau belum datang juga ambillah keputusan oleh kalian."

Pertimbangan Umar memilih anggota-anggota Majelis Syura

Orang-orang yang oleh Umar dipilih menjadi anggota Majelis Syura mengingat hubungan mereka dan kedudukan mereka bersama Rasulullah. Bagaimana sengitnya perselisihan mereka itu ketika mengadakan pertemuan untuk memilih khalifah di antara mereka, sampai-sampai Abu Talhah al-Ansari berkata: "Saya lebih ngeri melihat kalian saling mendorong daripada saling bersaing."

Saya kemukakan pandangan ini untuk menunjukkan bahwa setelah Kedaulatan Islam makin luas kekhalifahan itu telah menjadi ajang persaingan yang mau diperebutkan. Masih ada satu pandangan lagi yang menjurus pada perselisihan yang begitu tajam, dan wajar saja kalau hal ini sampai begitu keras. Ketika itu orang mau mencegah pencalonan khalifah dari pihak Banu Hasyim karena dikhawatirkan kenabian dan kekhalifahan hanya berada dalam keluarga mereka, yang dengan demikian berarti juga kekuasaan rohani dan kekuasaan duniawi. Sesudah itu, tak boleh lagi ada kabilah yang berharap menempati kedudukan khalifah, selain mereka. Kabilah-kabilah Arab itu juga khawatir kekhalifahan akan berada di tangan Banu Umayyah, sebab mereka adalah suku Kuraisy yang terbanyak jumlahnya dan yang terkuat. Kalau kekhalifahan sudah di tangan mereka tak akan mudah dilepaskan.

Banu Hasyim dan Banu Umayyah berpendapat, dari pihak mereka posisi kabilah-kabilah Arab telah dirugikan tidak pada tempatnya. Kedua Keluarga itu masing-masing berupaya menyingkirkan bahaya yang tidak adil itu dengan cara menempati kekhalifahan dan mencari jalan supaya khalifah berada di antara para keturunannya. Keberadaan Usman dan Ali di Majelis Syura merupakan suatu kesempatan untuk itu dan adalah suatu keteledoran jika kesempatan ini sampai hilang.

Tetapi persaingan lama Banu Hasyim dengan Banu Umayyah itu sangat menghambat pengumuman secara terbuka apa yang tersimpan dalam pikiran pemimpin-pemimpin mereka. Ikhtiar Umar membentuk Majelis Syura ini membantu juga segala yang masih tersimpan dalam hati mereka itu, kendati telah banyak juga perbedaan pendapat dalam Majelis Syura yang terungkap dan apa yang akhirnya terjadi.

Abbas bersemangat, Ali tenang dan berpandangan jauh

Abbas bin Abdul-Muttalib, paman Nabi, memang tidak berhasrat menduduki kekhalifahan untuk dirinya, sebab dia bukanlah dari kalangan Islam yang mula-mula. Malah cenderung ia sebagai orang yang masuk Islam karena Mekah sudah dikalahkan. Ia masuk Islam saat angkatan bersenjata Rasulullah sudah siap membebaskan Mekah. Tetapi di kalangan Banu Hasyim dia yang paling bijak dan menginginkan sekali kekhalifahan berada di kalangan keluarga Nabi. Ada disebutkan bahwa dia berkata kepada Ali bin Abi Talib ketika Umar membentuk Majelis Syura: "Jangan ikut mereka!" Tetapi Ali menjawab: "Saya tidak menghendaki ada perselisihan." Dijawab lagi oleh Abbas: "Jadi Anda berpendapat apa yang tidak Anda sukai."

Ketika itu Umar sudah berkata kepada Majelis Syura: "Jika yang setuju tiga orang dan (yang tidak setuju) tiga orang, pilihlah Abdullah bin Umar menjadi penengah. Dari pihak mana pun dari kedua pihak itu yang diputuskan pilihlah seorang dari mereka. Kalau mereka tidak menyetujui keputusan Abdullah bin Umar, maka ikutlah kalian bersama mereka yang di dalamnya ada Abdur-Rahman bin Auf."

Sesudah mendengar suara kedua pihak itu Ali keluar dan menemui pamannya Abbas dan kata Ali: "Sudah meninggalkan kita." Ditanya oleh Abbas: "Dari mana Anda tahu?" Kata Ali: "Usman mengajak saya dengan mengatakan, ikutlah suara terbanyak. Kalau dua orang menyetujui satu orang dan dua orang lagi menyetujui satu orang, ikutlah mereka yang di dalamnya ada Abdur-Rahman bin Auf. Sa'd tidak akan menentang sepupunya, dan Abdur-Rahman adalah semenda Usman, mereka tidak akan berbeda pendapat. Maka Abdur-Rahman akan mengangkat Usman, atau Usman akan mengangkat Abdur-Rahman. Kalau yang dua lainnya di pihak saya tak ada gunanya, lepas bahwa yang saya harapkan itu salah seorang dari mereka."

Mendengar kata-kata Ali itu Abbas menjawab dengan nada agak keras: "Setiap saya mendorong Anda, Anda kembalikan kepada saya sudah terlambat dengan membawa hal yang tidak saya kehendaki. Ketika Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam wafat saya katakan kepada Anda supaya menanyakan siapa yang akan memegang pimpinan ini, Anda menolak. Saya katakan kepada Anda setelah ia wafat agar cepat-cepat bertindak, Anda menolak. Saya katakan kepada Anda ketika Umar menunjuk Anda untuk Majelis Syura agar jangan ikut mereka, Anda menolak. Berpeganglah pada yang satu ini: Setiap mereka menawarkan apa pun kepada Anda jawablah: Tidak, kecuali kalau Anda yang akan diangkat. Berhati-hatilah terhadap jemaah itu, mereka akan selalu menjauhkan kita dari persoalan ini sebelum ada yang lain tampil di luar kita. Ya, memang, kita tidak akan mendapat apa pun selain bencana!"

Ambisi untuk kedudukan khalifah

Pihak Banu Umayyah tidak kurang ambisinya ingin agar kekhalifahan berada di tangan mereka. Setelah tiba saatnya Umar akan dikebumikan dan jenazahnya dibawa ke Masjid[22] Nabi untuk disalatkan, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Talib tampil masing-masing ingin ke depan memimpin salat itu. Melihat yang demikian Abdur-Rahman bin Auf berkata: "Inilah ambisi orang yang ingin memegang pimpinan.

Kalian tentu tahu bahwa dia sudah meminta yang lain di luar kalian. Suhaib, majulah dan salatkan!"[23]

Mendengar suara anggota-anggota Majelis Syura yang saling berselisih pendapat dengan suara lantang itu Abu Talhah al-Ansari masuk dan berkata: "Saya lebih ngeri melihat kalian saling dorong daripada saling bersaing. Saya tidak akan memperpanjang lebih dari tiga hari yang sudah diperintahkan kepada kalian. Setelah itu saya akan tinggal di rumah dan akan melihat apa yang kalian lakukan!"

Sungguhpun begitu, perselisihan pendapat itu terus berlanjut sehari penuh menurut satu sumber, sumber yang lain mengatakan dua hari. Abdur-Rahman bin Auf khawatir perselisihan itu akan makin memuncak dengan segala akibatnya yang tidak diharapkan, maka katanya kepada kedua kelompok itu: "Siapa di antara kalian yang paling utama akan ditampilkan untuk dikukuhkan memegang pimpinan?" Mereka yang hadir terkejut keheranan sambil melihat kepadanya. Kata-kata apa itu?! Mereka bertengkar begitu sengit mau memperebutkan kekhalifahan. Bagaimana Abdur-Rahman mengharapkan ada dari mereka yang mau mundur dari ambisinya supaya dapat diambil keputusan dalam satu atau dua hari ini, dan dia sendiri tidak akan ikut mengambil bagian dalam pencalonan itu?!

Tetapi keheranan mereka tidak berlangsung lama. Cepat-cepat Abdur-Rahman menyambungnya: "Saya menarik diri dari pencalonan." Cepat-cepat pula Usman mengatakan: "Saya yang pertama setuju." Sa'd dan Zubair juga berkata: "Kami setuju." Karena Talhah tak ada di tempat, tinggal lagi Ali bin Abi Talib yang harus memberikan pendapatnya. Tetapi Ali tetap diam, tidak menyatakan setuju atau menolak. Barangkali ia masih mengira tindakan Abdur-Rahman ini suatu muslihat ingin memberikan jalan untuk pengangkatan semendanya, Usman. Ia diam sambil berpikir-pikir muslihat apa yang akan digunakan. Tetapi Abdur-Rahman tidak memberi waktu lama-lama untuk memberikan pendapatnya, malah ia bertanya: "Abu al-Hasan, bagaimana pendapat Anda?" Ali menyatakan kesangsiannya atas tindakan Ibn Auf itu. "Berjanjilah Anda," kata Ali, "bahwa Anda akan mendahulukan kebenaran, tidak memperturutkan hawa nafsu, tidak mengutamakan kerabat dan tidak mengabaikan bimbingan bagi umat." Cepat-cepat Abdur-Rahman tanpa ragu. "Berjanjilah kalian bahwa kalian akan mendukung saya dalam mengadakan perubahan dan menyetujui orang yang saya pilihkan. Saya berjanji kepada Allah tidak akan mengutamakan kerabat dan tidak akan mengabaikan bimbingan kepada umat Muslimin."

Usaha Abdur-Rahman bin Auf

Gerangan apa yang mendorong Abdur-Rahman menempuh cara ini!? Dia sudah tahu, banyak kalangan Muslimin yang mencalonkannya untuk kekhalifahan, dan orang-orang Arab merasa puas dan senang sekali karena dia juga termasuk yang mula-mula dalam Islam, dan kekhalifahan tidak lagi pada Banu Hasyim dan Banu Umayyah. Benarkah ia tidak ingin menduduki kekhalifahan sejak Umar menyatakan keinginannya untuk memberikan kepercayaan kepadanya? Kalau begitu, mengapa sebelum ia duduk dalam Majelis Syura, dan mengapa tidak dari semula ia menghindari ikut serta dalam Majelis itu? Para sejarawan Muslimin berpendapat bahwa dia tidak akan menolak ikut bersama-sama dengan mereka, yang ketika Rasulullah wafat ia senang hati kepada mereka, dan bahwa dia menampik kekhalifahan itu tidak sulit untuk diidentifikasi sementara ia berada di antara mereka yang dipilih oleh Umar. Ini memang benar. Beberapa orientalis berpendapat bahwa ia melepaskan diri dari pencalonan dan pengangkatan sebagai khalifah untuk kemudian akan diberikan kepada semendanya, Usman. Untuk itu mereka berargumen kepada kata-kata Ali kepada pamannya, Abbas: "Abdur-Rahman adalah semenda Usman, mereka tidak akan berbeda pendapat. Mereka akan saling mengangkat satu sama lain."

Malah ada sekelompok orang yang berlebihan dalam menduga-duga. Mereka beranggapan bahwa Abdur-Rahman memperkirakan Usman tidak akan hidup lebih lama lagi, yang ketika itu umumya sudah 70 tahun, dan bebannya sebagai khalifah pasti akan sangat memberatkan. Maka sudah dapat dipastikan Abdur-Rahman-lah saat itu yang akan menggantikannya. Dugaan yang berlebihan ini samasekali sudah tak masuk akal. Abdur-Rahman bin Auf orang yang teguh imannya, dia tahu bahwa setiap ajal sudah ditentukan. Kalau ajal sudah sampai tak akan dapat dimajukan atau diundurkan sesaat pun. Tentang semendanya, Usman, mungkin saja ia cenderung lebih menyukai Usman daripada Ali. Kesimpulan ini mungkin saja dapat dipercaya, karena dalam kenyataannya memang sudah terjadi, Usman diangkat oleh Abdur-Rahman. Tetapi ini tidak lebih dari suatu kesimpulan, yang adakalanya juga salah. Hanya saja kesimpulan ini bukan mustahil, melihat cara yang ditempuh oleh Abdur-Rahman dalam memilih khalifah.

Agaknya Abdur-Rahman sudah tahu bahwa Usman dan Ali adalah calon utama yang harus bersaing. Karenanya ia berusaha untuk membatasi pencalonan itu. Langkah pertama yang dilakukannya dalam hal ini ia mengajak Ali berbicara empat mata. "Anda akan berkata," kata Abdur-Rahman, "bahwa dalam hal ini Anda lebih berhak dimasukkan dalam pencalonan daripada mereka karena kekerabatan Anda, karena Anda sudah lebih dulu dalam Islam serta jasa Anda dalam agama. Memang. Tetapi bagaimana seandainya Anda terlewatkan dan dalam hal ini Anda tidak terpilih, siapa di antara mereka menurut hemat Anda yang lebih berhak?" Dijawab oleh Ali: "Usman!" Kemudian ia mengajak Usman berbicara empat mata, dan katanya: "Anda akan mengatakan 'Saya tetua Banu Abdu-Manaf, menantu Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam, bersepupu pula, yang mula-mula dalam Islam dan sudah berjasa, mengapa akan dijauhkan, mengapa dalam hal ini saya akan dilewatkan?' Tetapi bagaimana seandainya Anda terlewatkan juga dan Anda tidak terpilih, siapa di antara mereka menurut hemat Anda yang lebih berhak?" Dijawab oleh Usman: "Ali!"

Sebelum itu ia sudah berbicara dengan semua anggota Majelis Syura dan dimintanya mereka memberi kuasa kepada tiga orang di antara mereka yang berhak memegang pimpinan. Maka Zubair memberikan haknya kepada Ali, Sa'd memberi kuasa kepada Abdur-Rahman dan hak Talhah diberikan kepada Usman. Tetapi karena Abdur-Rahman sudah mengundurkan diri, maka pencalonan itu dibatasinya hanya pada Ali dan Usman. Hak memilih salah seorang dari keduanya itu kini berada di tangan Abdur-Rahman.

Adakah dia melakukan istikharah dan mengambil keputusan siapa di antara dua calon itu yang lebih layak diangkat? Dia bebas bertindak untuk menentukan ikrarnya sendiri dan meminta ikrar mereka. Tetapi dia khawatir tidak disetujui oleh mayoritas Muslimin yang sedang berkumpul di Medinah dari berbagai kawasan Kedaulatan Islam seusai mereka menunaikan ibadah haji dan tertahan oleh terbunuhnya Umar dalam menunggu apa yang akan disampaikan oleh Majelis Syura. Oleh karena itu ia berusaha menemui sahabat-sahabat Rasulullah dan para perwira militer serta pemuka-pemuka masyarakat yang baru kembali ke Medinah setelah menunaikan ibadah haji. Mereka semua ditanyai, baik bersama-sama atau satu per satu, yang berkelompok atau yang terpencar, dengan diam-diam dan dengan terbuka - sampai dapat menghasilkan dua orang terbaik yang kemudian akan dilantik.

Kalangan sejarawan sependapat bahwa konsultasi-konsultasi Abdur-Rahman telah memperlihatkan banyaknya semacam kesepakatan di barisan Usman, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai alasan-alasan yang menyebabkan banyaknya kesepakatan itu. Sebagian mereka mengatakan bahwa orang cenderung kepada tokoh yang tidak sekeras Umar, yang dalam hidupnya telah menjauhi kehidupan duniawi dan menjauhkan orang dari yang demikian. Dalam hal ini Usmanlah orangnya, bukan Ali. Karenanya mereka tidak menghendaki Ali, karena khawatir Ali' akan membuat beban kepada mereka seperti yang dilakukan Umar. Sebagian lagi mereka berpendapat bahwa sudah dua hari dua malam Abdur-Rahman berkonsultasi.

Sementara itu Banu Hasyim dan Banu Umayyah berkampanye untuk pihaknya masing-masing. Karena Banu Umayyah lebih banyak jumlah orangnya, lebih kaya dan lebih dermawan, propaganda mereka dapat menekan propaganda Banu Hasyim, dan sebagian besar mereka condong kepada Usman. Kalau ini benar, barangkali propaganda Banu Umayyah itu dasarnya adalah bahwa jika kekuasaan di tangan mereka, orang akan lebih terbuka dan lebih bebas menikmati segala harta dan kekayaan hasil rampasan perang, tidak akan merasakan tekanan seperti pada masa Umar. Pendapat ketiga mengatakan, bahwa orang melihat usia Usman sudah mendekati tujuh puluh enam tahun atau lebih sementara Ali belum mencapai usia enam puluh tahun. Juga mereka mengatakan tentang persahabatan Usman dengan Rasulullah serta posisinya. Selain itu mereka berpendapat kekhalifahannya tidak tertutup buat Ali untuk menggantikannya sebagai khalifah sesudahnya. Rasa kasihan mereka melihat umurnya yang sudah lanjut, penghargaan mereka pada masa lalunya, membuat mereka lebih cenderung kepada Usman dan mau memilihnya.

Mana pun yang benar dari semua alasan itu suara mayoritas yang menyerupai konsensus itu jelas ada di pihak Usman. Kendatipun begitu, Abdur-Rahman bin Auf masih khawatir pembela-pembela Ali akan mencurigainya jika hasil ini sudah diumumkan. Ia pergi ke rumah kemenakannya, Miswar bin Makhramah dan dibangunkannya ia dari tidurnya - yang ketika itu sudah larut malam - pada malam terakhir batas waktu yang sudah ditentukan oleh Umar untuk memilih seorang amirulmukrninin. Dimintanya ia memanggil Ali dan Usman. Setelah kemudian keduanya datang ia berkata kepada mereka: "Saya sudah menanyakan orang banyak, tetapi saya tidak melihat ada orang yang membeda-bedakan kalian berdua." Kemudian ia meminta janji mereka masing-masing: Yang terpilih agar berlaku adil, dan yang tidak terpilih supaya tetap taat dan patuh.

Subuh itu ia mengajak kedua mereka setelah terdengar suara azan untuk salat. Ketika Masjid sudah penuh sesak, ia naik ke mimbar dan berdoa panjang sekali. Setelah itu katanya: "Saudara-saudara, orang-orang dari daerah-daerah perbatasan menginginkan, begitu mereka pulang ke daerah masing-masing sudah tahu siapa pemimpin mereka." Sa'id bin Zaid menyela: "Kami lihat Andalah yang pantas untuk itu." Tetapi dijawab oleh Abdur-Rahman: "Kalian sebutkan nama yang lain!" Ammar bin Yasir dan Miqdad bin Amr menyebut nama Ali sementara Abdullah bin Abi Sarh dan Abdullah bin Abi Rabi'ah menyebut nama Usman. Perbedaan pendapat antara kedua golongan ini berlanjut dengan saling mencerca antara Ammar dengan Ibn Abi Sarh.

Khawatir perselisihan itu akan berlarut-larut Sa'd bin Abi Waqqas berteriak marah: Abdur-Rahman! Coba atasi ini sebelum orang banyak terpancing dalam keributan!" Abdur-Rahman menjawab: "Sudah saya pertimbangkan dan saya musyawarahkan. Janganlah kalian menjerumuskan diri!"

Abdur-Rahman masih di tempat duduknya di mimbar dengan tanda-tanda kesungguhan tampak di wajahnya, dan Muslimin yang mengelilinginya sudah memenuhi Masjid. Ia sudah bertekad agar Usman yang menjadi khalifah dan akan mengajak orang membaiatnya. Tetapi adakah hadirin mau segera memenuhi seruannya itu? Ataukah mereka masih terpecah dan masih beradu argumen seperti yang terjadi tadi antara Ammar bin Yasir dengan Abdullah bin Abi Sarh? Kalau ini juga yang terjadi dan mereka terpancing, maka akibatnya adalah bencana besar. Kota Medinah akan menjadi ajang kerusuhan dengan bahaya yang lebih meluas. Kebanyakan orang hanya menjadi budak nafsu dan mengejar kepentingannya sendiri. Demi memperjuangkan semua itu mereka mau mengorbankan keamanan dan keselamatan negara. Tetapi sikap ragu dalam pengangkatan khalifah itu tidak akan dapat mencegah bahaya dan tidak akan menghindarkan kaum Muslimin dari kekacauan, malah akan makin memperkuat timbulnya fitnah itu. Oleh karena itu Abdur-Rahman memanggil Ali dan memegang tangannya seraya berkata:

"Bersediakah Anda saya baiat untuk tetap berpegang pada Kitabullah dan sunah Rasulullah serta teladan kedua orang penggantinya?" Ali menjawab: "Saya berharap dapat berbuat dan bekerja apa yang saya ketahui dan menurut kemampuan saya." Tangan Ali dilepaskan lalu ia memanggil Usman dan memegang tangannya seraya berkata:

"Bersediakah Anda saya baiat untuk tetap berpegang pada Kitabullah dan sunah Rasulullah serta teladan kedua orang penggantinya?" Usman menjawab: Ya, demi Allah! Abdur-Rahman mengangkat mukanya ke langit-langit Masjid dan sambil memegang tangan Usman ia berkata tiga kali: "Dengarkanlah dan saksikanlah!" dilanjutkan dengan katanya: "Saya sudah melepaskan beban yang dipikulkan di bahu saya dan saya letakkan di bahu Usman!" Setelah itu ia membaiat Usman, orang-orang di dalam Masjid pun beramai-ramai membaiat Usman.

Sumber-sumber itu tidak sama mengenai sikap Ali dan pelantikan Usman ini. Tetapi semua sepakat bahwa orang beramai-ramai membaiat khalifah tua itu, tak ada yang ketinggalan dan tak ada yang menentang. Adakah itu berarti karena kecintaan mereka kepada Usman, ataukah karena gembira sudah lepas dari suatu bahaya yang mengancam kehidupan negara yang barus segera diselesaikan? Keenam tokoh tersebut adalah orang-orang yang sangat mereka hormati. Malah sesudah pelantikan Usman, ada sumber yang dikaitkan kepada Ali bahwa dia berkata "Orang melihat Kuraisy dan Kuraisy melihat Keluarganya dengan mengatakan: Kalau Banu Hasyim sudah diangkat untuk kalian, kalian tidak akan pernah lepas dari mereka, juga Kuraisy yang lain tidak akan dapat saling bergantian di antara kalian." Itu sebabnya, ketika Abdur-Rahman bin Auf meninggalkan Ali bin Abi Talib, tak ada orang yang marah, malah orang menerima Usman sebagai Khalifah dengan senang hati dan rasa puas.

Sumber-sumber mengenai sikap Ali bin Abi Talib terhadap Usman ini masih saling berbeda, yang sukar sekali untuk dapat mengukuhkan salah satunya. Ibn Sa'd dengan sanadnya menyebutkan, bahwa orang pertama yang membaiat Usman adalah Abdur-Rahman bin Auf, kemudian Ali bin Abi Talib. Dengan sanad lain ia menuturkan, bahwa Ali adalah orang yang pertama membaiat Usman, kemudian berturut-turut yang lain juga membaiatnya. Ibn Kasir menuturkan bahwa Abdur-Rahman bin Auf di mimbar duduk di tempat duduk Nabi, dan sesudah dibaiat Usman didudukkan di tingkat kedua. "Orang datang beramai-ramai membaiatnya. Yang pertama kali membaiat adalah Ali bin Abi Talib, malah ada yang mengatakan justru dia yang terakhir."

Tetapi at-Tabari membawa dua sumber, salah satunya hampir sama dengan sumber-sumber tersebut dan yang kedua sangat berbeda. Keduanya menunjukkan bahwa pemilihan Usman ini meninggalkan dampak yang dalam sekali dalam hati Ali.

Sumber pertama berpendapat bahwa sesudah orang berdatangan membaiat Usman - sesudah dibaiat oleh Abdur-Rahman - Ali masih maju-mundur. Maka kata Abdur-Rahman:

[tulisan Arab]

"Barang siapa melanggar janji, sebenarnya ia telah melanggar janjinya sendiri, dan barang siapa menepati janji yang dijanjikannya kepada Allah, maka Ia akan memberinya pahala yang besar." (Qur'an, 48:10).

Kemudian Ali kembali dan setelah menyeruak di tengah orang banyak ia membaiat seraya berkata: "Suatu tipu muslihat yang luar biasa." Sumber kedua mengatakan bahwa setelah Abdur-Rahman membaiat Usman, Ali berkata kepadanya: "Anda merangkak untuk selamanya. Ini bukan yang pertama kali Anda memperlihatkan kekuatan Anda kepada kami. Tabahkan dan sabarlah, itulah yang terbaik, dan memohonkan pertolongan hanya kepada Allah atas segala yang kalian lukiskan itu! Sungguh, Anda mengangkat Usman itu hanya supaya kekuasaan kembali kepada Anda! Dan setiap hari Allah memperlihatkan kekuasaan baru."

Dalam hal ini Abdur-Rahman berkata: "Ali, janganlah menjerumuskan diri! Sudah saya pertimbangkan dan sudah saya musyawarahkan dengan khalayak ramai, tetapi ternyata mereka tidak keberatan dengan Usman." Ali keluar sambil berkata: "Akan tiba waktunya."

Dengan mengacu pada kedua sumber at-Tabari ini Ibn Kasir mengatakan: "Orang-orang yang sering disebutkan oleh para sejarawan seperti Ibn Jarir (Tabari) dan yang lain tidak tahu bahwa Ali berkata kepada Abdur-Rahman: 'Anda telah menipu saya, dan Anda mengangkatnya hanya karena dia semenda Anda, agar dapat berunding dengan Anda setiap hari.' Tetapi karena dia masih maju mundur Abdur-Rahman berkata kepadanya: Barang siapa melanggar janji, sebenarnya ia telah melanggar janjinya sendiri.... sampai akhir ayat, dan berita-berita lain yang bertentangan dengan yang terdapat dalam kitab-kitab yang sahih, tertolak kembali kepada yang mengatakannya dan yang melakukannya. Wallahualam."

Untuk memastikan mana salah satu sumber ini yang lebih kuat memang tidak mudah. Besar sekali dugaan kita bahwa semua ini direkayasa sesudah adanya propaganda untuk tujuan-tujuan politik, di antaranya apa yang ditafsirkan oleh Tabari kata-kata Ali bin Abi Talib: Suatu tipu muslihat yang luar biasa, yakni ketika ia dipanggil oleh Abdur-Rahman bin Auf untuk membaiat Usman supaya ia tidak melanggar janjinya sendiri. Ibn Jarir juga menyebutkan bahwa Amr bin As bertemu dengan Ali pada malam-malam selama berlangsung Majelis Syura dan mengatakan kepadanya: "Abdur-Rahman orang yang mau berusaha dan suka bekerja keras dan bila dihadapkan pada tanggung jawab, ia akan sangat berhati-hati. Tapi dia mampu dan lebih berhasrat daripada Anda." Setelah itu ia menemui Usman dan berkata kepadanya: "Abdur-Rahman orang yang mau berusaha dan suka bekerja keras, dan akan membaiat Anda dengan penuh kepastian dan tanggung jawab, maka terimalah." Saya yakin ini adalah cerita yang dikarang-karang setelah terjadi perselisihan antara Ali dengan Amr mengenai Mu'awiyah.

Sebenarnya Amr bin As tidak menyimpan dendam kepada Usman ketika Umar terbunuh. Beberapa sumber melangsir bahwa Usman memecat Amr dari Mesir tak lama setelah pengangkatannya itu. Suara mayoritas menyebutkan bahwa Usman meminta bantuan Amr saat Rumawi menyerang Iskandariah. Sesudah Amr memperoleh kemenangan Usman bermaksud akan mengangkat Amr sebagai komandan angkatan bersenjata Mesir dengan membiarkan Abdullah bin Abi Sarh tetap sebagai wakilnya di Mesir dan kepala urusan pajak. Tetapi Amr menolak dengan mengatakan: "Jadi saya seperti orang yang memegang kedua tanduk sapi betina, orang lain yang memerah susunya!"

Setelah itu ia kembali ke Mekah dan bergabung dengan Mu'awiyah dalam perselisihannya dengan Ali. Semua ini membuktikan bahwa ketika dalam Majelis Syura itu Amr dan Usman sudah sepakat mendorong Amr untuk menipu Ali. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa sumber yang dikutip oleh Tabari sebagai pembenaran atas kata-kata Ali: "Suatu tipu muslihat yang luar biasa" itu samasekali tak punya dasar.

Juga saya yakin bahwa kata-kata yang dikutip dari Ali atau dari Abdur-Rahman bin Auf ataupun dari yang lain lebih menyerupai pemalsuan yang dibuat untuk memuaskan sebagian orang bahwa seolah-olah hal itu memang terjadi, dan yang sebagian lagi tujuannya propaganda politik semata. Saya tidak ingin menjelaskan secara panjang lebar mengenai alasan saya berkeyakinan demikian. Cukup kalau saya menunjuk saja pada para penghimpun hadis Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam, bahwa menurut mereka, sepersepuluh dari yang diriwayatkan itu tidak sahih. Penyampaian beberapa ungkapan dengan kata-katanya dari Ali bin Abi Talib atau dari Abdur-Rahman bin Auf, ataupun dari yang lain masih perlu disaring. Para sejarawan itu mencatatnya sesudah berlalu puluhan tahun dari peristiwa-peristiwa yang diceritakan itu dan sesudah berbagai propaganda politik memegang peranan amat penting dalam sejarah Kedaulatan Islam. Dalam keadaan semacam itu tidak heran jika mereka mencatat kata-kata yang mengungkapkan perasaan pihak-pihak yang bersangkutan, kendati kata-kata itu tidak bersumber dari mereka sendiri.

Tetapi masih ada dua masalah yang menurut hemat saya tidak diragukan kebenarannya. Pertama, Ali dan Banu Hasyim tidak puas atas pembaiatan Usman dengan alasan karena mereka masih keluarga Nabi. Kalau sekali pimpinan kekhalifahan diserahkan kepada Banu Umayyah, maka tidak akan pernah keluar lagi dari mereka.

Kedua, mayoritas Muslimin sudah merasa lega dengan pembaiatan Usman dan mereka menerima dengan senang hati dan puas. Ketika dibaiat, tak ada dari mereka yang menyebutkan bahwa Usman dari Banu Umayyah, atau menyebut-nyebut adanya permusuhan Banu Umayyah kepada Rasulullah atau adanya persaingan lama terhadap Banu Hasyim dan mereka masuk Islam sudah ketinggalan, baru sesudah Mekah membuka pintu karena sudah tidak mampu lagi mengadakan perlawanan terhadap Muslimin. Tetapi semua mereka mengatakan, bahwa Khalifah tua itu sudah lebih dulu masuk Islam, serta pembelaannya di samping Rasulullah dan hubungannya yang baik dengan kedua istrinya, Ruqayyah dan Um Kulsum. Kemudian hijrahnya ke Abisinia dan ke Medinah dengan mengorbankan harta kekayaannya demi membela agama Allah dan kaum Muslimin.

Sejarah menyebutkan bahwa Talhah bin Ubaidillah sampai di Medinah pagi hari saat pelantikan Usman itu. Ketika dia diundang untuk juga membaiatnya ia bertanya: Sudah semua Kuraisy menerima dengan senang hati? Dijawab: Ya. Ia pergi menemui Usman dan menanyanya: Semua orang sudah membaiat Anda? Dijawab oleh Usman: Ya. Kata Talhah selanjutnya: Saya sudah puas. Saya juga bersama mereka. Lalu ia pun membaiat. Usman selesai dibaiat dalam suasana optimistis dan penuh harapan untuk masa depan. Sesudah semua acara itu usai, mereka yang datang ke Medinah selesai menunaikan ibadah haji mulai bubar, pulang kembali ke daerah mereka masing-masing - ke Irak, Persia, Syam dan Mesir. Dan semua mereka mengharapkan, semoga Allah dengan karunia-Nya melimpahkan segala kemudahan kepadanya.

Dengan demikian segalanya kembali seperti semula, dan orang pun sudah dalam suasana kehidupan seperti biasa. Tiba saatnya sekarang Usman untuk mulai memikul tanggung jawab pemerintahan, mengemudikannya sesuai dengan bawaannya yang lemah-lembut, budi bahasanya yang halus dengan keimanan yang sungguh-sungguh dan pengabdian yang semata-mata untuk kebaikan. Ia akan menghadapi situasi yang berbeda dengan situasi di masa Umar dan di masa Abu Bakr, saat mereka masing-masing memikul tanggung jawab kekhalifahan. Dalam menghadapi semua ini ia memerlukan warna kebijakan baru. Pada mulanya Usman memang jelas sekali berhasil baik. Kemudian ia terhambat oleh usianya yang sudah lanjut serta peristiwa-peristiwa yang sudah tak mampu lagi ia kendalikan.

Catatan kaki:

16. Sehubungan dengan ikrar ini Allah berfirman: "Allah telah meridai orang-orang beriman ketika mereka memberikan ikrar setia kepadamu di bawah pohon..." (Qur'an 48:18).
17. Lihat Umar bin Khattab, h. 213-9. - Pnj.
18. Lihat Sejarah Hidup Muhammad, h. 398. - Pnj.
19. At-Tabari, 2/4.
20. Op. cit 2/29.
21. Op.cit. 2/621. Ibn al-Asir, al-Kamil fit-Tarikh, 2/162.
22. Semua kata 'Masjid' berarti Masjid Nabawi di Medinah. - Pnj.
23. Ini menurut sumber Ibn Sa'd dalam at-Tabaqat. Menurut sumber at-Tabari, Abdur-Rahman bin Auf berkata: Besar sekali ambisi kalian untuk memegang pimpinan. Tidakkah kalian tahu bahwa Amirulmukminin berkata: Suruh Suhaib memimpin salat. Maka Suhaib maju dan memimpin salat dengan empat kali takbir (at-Tabari 3/295).

(sebelum, sesudah)


Usman bin Affan
Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan
 
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
Penerbit P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel./Fax. (0251) 330505, Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 978-979-8100-40-6
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak dan dijilid oleh P.T. Mitra Kerjaya Indonesia.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team